Di tengah gemerlap dunia yang seringkali mengagungkan kekayaan materi, kita terkadang terjebak dalam perlombaan yang tidak berujung. Dorongan untuk terlihat sukses dan berada di atas seringkali membuat kita mengambil jalan pintas yang justru menjerumuskan. Salah satu jebakan terbesar adalah keinginan untuk tampak kaya melalui cara-cara yang tidak berkah, bahkan diharamkan agama, seperti melalui riba.
Seringkali, kita merasa malu dengan kesederhanaan yang kita miliki. Kita khawatir dipandang rendah, diremehkan, atau bahkan dikucilkan karena keterbatasan harta, contohnya tidak memiliki mobil. Padahal yang lain sudah punya semua. Rasa malu ini kemudian memicu kita untuk berusaha menutupi kekurangan dengan berbagai cara, termasuk memaksakan diri untuk memiliki barang-barang mewah atau gaya hidup di luar kemampuan. Ironisnya, upaya ini seringkali berujung pada jurang utang yang semakin dalam, yang mana salah satu sumber utang yang paling umum adalah melalui pinjaman bank yang seringkali mengandung unsur riba.
Memahami Riba dan Bahayanya
Dalam ajaran agama Islam, riba adalah sesuatu yang diharamkan dengan tegas. Secara sederhana, riba adalah kelebihan atau tambahan yang disyaratkan dalam transaksi pinjam-meminjam. Berhutang di bank, meskipun terlihat sebagai solusi cepat untuk memenuhi kebutuhan atau keinginan, seringkali melibatkan sistem bunga yang merupakan bentuk riba.
Prinsip keadilan dan keberkahan dalam setiap aspek kehidupan sangat ditekankan, terutama dalam urusan muamalah atau transaksi ekonomi. Salah satu hal yang diharamkan secara tegas dan dikutuk keras dalam Islam adalah riba. Riba secara bahasa berarti ziyadah (tambahan) atau namaa' (pertumbuhan). Dalam konteks ekonomi dan syariah, riba merujuk pada setiap kelebihan atau tambahan yang disyaratkan dalam transaksi pinjam-meminjam harta atau utang piutang.
Allah SWT dengan jelas dan tegas mengharamkan riba dalam berbagai ayat Al-Qur'an. Salah satu ayat yang paling terkenal adalah dalam Surah Al-Baqarah ayat 275:
"Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya."
Post a Comment