Assalamu'alaikum ! welcome to Media Pendidikan.| Contact | Register | Sign In


Perangkat pembelajaran untuk menunjang Proses Belajar Mengajar(PBM) ini sesuai dengan kurikulum Merdeka. Informasi tentang CP dengan meng-KLIK gambar di atas. Perangkat pembelajaran Desain Pemodelan dan Informasi Bangunan Bangunan pada Mata Pelajaran Mekanika Teknik


INSTAGRAM :@sarastiana1
        RECENT POST

Ketika Empati Menguap: Pendidikan Kita Mencetak Manusia atau Robot?

Hari ini, kita menyaksikan sebuah ironi yang menyayat hati. Di tengah gemuruh pembangunan dan kemajuan teknologi, nilai-nilai luhur yang menjadi fondasi bangsa kita seolah menguap begitu saja. Simpati, empati, rasa menghargai, tolong-menolong, gotong royong, bahkan kasih sayang terasa langka, tergantikan oleh ego dan kepentingan pribadi. Penguasa, wakil rakyat, dan masyarakat biasa tampak terperangkap dalam pusaran pragmatisme, membuat bangsa ini terasa seperti tubuh yang tercabik-cabik.
Dalam keadaan getir ini, para pendidik—mereka yang berada di garda terdepan pembentukan karakter—dituntut untuk berkaca. Sudahkah peran kita benar-benar berada di relnya? Atau, jangan-jangan kita juga ikut terseret arus, terjebak dalam mengejar relevansi industri dan hedonisme ekonomi semata? Pertanyaan mendalam ini menuntut jawaban yang jujur. Apakah pendidikan kita masih melahirkan manusia yang memanusiakan manusia, atau justru sekadar mencetak robot-robot cerdas yang kehilangan nilai dasar kemanusiaannya?

Pendidikan: Lebih dari Sekadar Pabrik Tenaga Kerja
Pendidikan seharusnya menjadi kunci untuk membangun peradaban, bukan sekadar pabrik yang mencetak tenaga kerja siap pakai. Kita harus jujur mengakui, sistem pendidikan kita saat ini seringkali terlalu fokus pada aspek kognitif dan keterampilan teknis, mengabaikan pembentukan karakter dan moral. Kurikulum didesain untuk memenuhi kebutuhan pasar, bukan untuk membentuk manusia seutuhnya. Akibatnya, kita melahirkan generasi yang cerdas secara intelektual, tetapi miskin secara spiritual dan emosional. Mereka lihai dalam teori, tetapi gagap dalam memahami penderitaan sesama.

Mendidik dengan Hati: Kunci Membangun Kembali Peradaban: 
Untuk menyelamatkan peradaban bangsa, pendidikan harus kembali ke esensinya: memanusiakan manusia. Ini berarti kita harus menanamkan tidak hanya pengetahuan, tetapi juga nilai-nilai moral, etika, dan spiritualitas. Pendidikan bukan hanya tentang apa yang diajarkan di kelas, tetapi juga tentang bagaimana kita membentuk jiwa dan karakter anak didik. Berikut adalah beberapa pilar pendidikan yang krusial untuk menjaga peradaban:
  • Pendidikan Karakter: Ini adalah fondasi. Kita harus mengajarkan kejujuran, integritas, tanggung jawab, dan saling menghormati. Pendidikan harus menjadi ruang di mana empati ditumbuhkan, di mana anak-anak belajar merasakan penderitaan orang lain.
  • Pendidikan Kritis dan Reflektif: Alih-alih hanya menerima informasi, siswa harus dilatih untuk berpikir kritis. Mereka harus mampu mempertanyakan fenomena sosial dan politik, sehingga tidak mudah terprovokasi dan mampu mencari solusi yang bijaksana.
  • Pendidikan Berbasis Komunitas: Pendidikan tidak boleh berhenti di gerbang sekolah. Kolaborasi antara guru, orang tua, dan masyarakat sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang mendukung tumbuh kembang karakter anak secara holistik.
  • Pendidikan untuk Toleransi dan Kebinekaan: Di tengah perpecahan, pendidikan harus menjadi jembatan yang menyatukan. Kita harus mengajarkan toleransi dan saling menghargai perbedaan suku, agama, dan budaya, menjadikan kebinekaan sebagai kekuatan, bukan ancaman.
Sebagai pendidik, peran kita adalah penjaga peradaban. Di tangan kitalah masa depan bangsa ini berada. Jangan biarkan kita terjebak dalam arus pragmatisme yang hanya mengejar angka dan materi. Mari kita kembali ke rel yang benar: mendidik dengan hati. Hanya dengan cara ini, kita bisa melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berakhlak mulia, yang mampu merajut kembali "tubuh bangsa yang tercabik-cabik" ini.

Read More »
02 September | 0komentar

Ketika Bangsa Kehilangan Hati, Pendidikanlah yang Membangun Kembali

Di tengah hiruk-pikuk bangsa yang seakan kehilangan arah, pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang peran pendidikan muncul ke permukaan. Anda benar, kita semua menyaksikan bagaimana nilai-nilai luhur seperti simpati, empati, gotong royong, dan kasih sayang seolah-olah menguap dari kehidupan berbangsa kita. Penguasa, wakil rakyat, dan bahkan masyarakat biasa tampak asyik dengan diri masing-masing, terperangkap dalam ego dan kepentingan sesaat. Dalam kondisi ini, merefleksikan peran kita sebagai pendidik bukanlah pilihan, melainkan sebuah keharusan.

Pendidikan: Lebih dari Sekadar Pabrik Tenaga Kerja 
Kita harus jujur mengakui, sistem pendidikan kita hari ini seringkali terjebak dalam arus materialisme dan pragmatisme. Sekolah dan universitas seakan menjelma menjadi "pabrik" yang tugasnya mencetak robot-robot siap kerja. Kurikulum didesain untuk memenuhi kebutuhan industri, bukan untuk membentuk manusia seutuhnya. 
Kita fokus pada relevansi industri, pekerjaan, dan hedonisme ekonomi, sementara lupa menanamkan benih-benih peradaban. Akibatnya, kita melahirkan generasi yang cerdas secara intelektual, namun miskin secara spiritual dan emosional. Mereka fasih dalam rumus matematika dan teori ekonomi, tetapi gagap dalam memahami penderitaan orang lain. Mereka lihai dalam mengejar jabatan dan kekayaan, tetapi buta terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Ironisnya, pendidikan yang seharusnya menjadi solusi justru menjadi bagian dari masalah.

Pendidikan yang Memanusiakan Manusia
Lantas, pendidikan macam apa yang bisa menjadi tumpuan harapan di tengah kegelapan ini? Kita perlu kembali ke esensi, ke akar yang sesungguhnya. Pendidikan harus kembali menjadi proses memanusiakan manusia. Ini berarti pendidikan harus menanamkan tidak hanya pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga nilai-nilai moral, etika, dan spiritualitas. 

Berikut adalah beberapa pilar pendidikan yang harus kita perjuangkan:
  • Pendidikan Karakter: Ini bukan sekadar mata pelajaran, tetapi nafas dari setiap kegiatan belajar. Kita harus mengajarkan anak-anak tentang kejujuran, integritas, tanggung jawab, dan saling menghormati. Pendidikan harus menjadi tempat di mana mereka belajar untuk berempati dan merasakan penderitaan orang lain.
  • Pendidikan Kritis dan Reflektif: Alih-alih hanya menerima informasi mentah, siswa harus dilatih untuk berpikir kritis. Mereka harus mampu mempertanyakan fenomena sosial, politik, dan ekonomi. Ini akan melahirkan generasi yang tidak mudah terprovokasi, tetapi mampu mencari solusi yang bijaksana.
  • Pendidikan Berbasis Komunitas: Pendidikan tidak boleh berhenti di gerbang sekolah. Lingkungan keluarga dan masyarakat adalah "sekolah" yang tak kalah penting. Kolaborasi antara guru, orang tua, dan tokoh masyarakat sangat krusial dalam membentuk karakter anak. Kita harus membangun ekosistem pendidikan yang holistik.
  • Pendidikan untuk Perdamaian dan Kebinekaan: Di tengah perpecahan, pendidikan harus menjadi jembatan. Kita harus mengajarkan toleransi, saling menghargai perbedaan suku, agama, dan budaya. Ini akan melahirkan generasi yang mampu hidup berdampingan dalam harmoni, menjadikan kebinekaan sebagai kekuatan, bukan ancaman.

Membangun Peradaban: Kembali ke Rel Awal
Sebagai pendidik, peran kita lebih dari sekadar mengajar mata pelajaran. Kita adalah penjaga peradaban. Di tangan kitalah benih-benih kemanusiaan ditanam dan dirawat. Tanggung jawab ini memang berat, tetapi juga mulia. Jangan biarkan diri kita terjebak dalam arus pragmatisme yang hanya mengejar angka dan materi.
Marilah kita berkaca kembali. Apakah kita sudah benar-benar berada di rel yang tepat? Apakah kita sudah menanamkan nilai-nilai luhur kepada anak didik kita? Apakah kita sudah menjadi teladan bagi mereka? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan menentukan masa depan bangsa. Masa depan yang kita impikan—sebuah bangsa yang kuat, berbudaya, dan berakhlak mulia—hanya bisa terwujud jika kita, sebagai pendidik, berani kembali ke esensi, yaitu mendidik dengan hati.

Referensi : Grup WA GSM Kab. Purbalingga

Read More »
01 September | 0komentar

Terjebak di Zona Nyaman: Ketika Sesama Guru Saling Menghambat Kemajuan

Asesmen
Asesmen
Mentalitas Kepiting: Tembok Tak Kasat Mata di Dunia Pendidikan Pernahkah Anda melihat sekumpulan kepiting di dalam ember? Ketika salah satu kepiting berusaha memanjat keluar, kepiting-kepiting lain dengan cepat menariknya kembali ke bawah. Mereka tidak hanya menariknya sendiri, tetapi juga beramai-ramai. Akhirnya, tidak ada satu pun dari mereka yang berhasil keluar. Mereka semua terjebak di dasar ember—bukan karena tidak bisa keluar, tetapi karena tidak ada yang diizinkan untuk keluar.
Fenomena inilah yang dalam psikologi dikenal sebagai mentalitas kepiting (crab mentality). Sebuah mentalitas yang tidak rela melihat orang lain maju dan berkembang. Selama semua orang berada di tempat yang sama, meskipun itu tidak nyaman, mereka merasa aman. Daripada melihat orang lain berhasil dan membuat diri mereka terlihat malas, lebih baik semua tetap sama-sama di bawah.

Menghadapi Tembok Pengap di Ruang Kelas
Kisah ember kepiting ini sering kali mirip dengan apa yang terjadi di dunia pendidikan. Seorang teman guru saya, seorang pendidik yang progresif, ahli IT, dan gemar berbagi ilmu, pernah curhat. Ia merasa lelah dan sendirian. Setiap kali ia mencoba metode pembelajaran yang berbeda, mengajak murid-murid untuk bereksplorasi, dan menginspirasi guru lain, ia sering dicibir. Ia dianggap aneh, menyalahi aturan, dan dianggap "sok pintar" ketika berbagi dengan guru dari sekolah lain. Ia merasa seperti dikelilingi tembok pengap—ia ingin naik, tetapi selalu ditarik turun.
Sayangnya, cerita teman saya ini bukan satu-satunya. Banyak guru yang saya temui di berbagai daerah menghadapi situasi serupa. Mereka adalah guru-guru yang ingin menyalakan lilin, menumbuhkan cahaya dan kehangatan, tetapi sering dipadamkan oleh tiupan angin ketidakpercayaan dan keraguan.
Kadang, kita membayangkan mengapa para "kepiting" itu menarik orang lain ke bawah. Mungkin mereka berpikir, "Kalau dia keluar, nanti kita akan terlihat malas. Kalau dia kreatif, kita akan terlihat bodoh." Lebih baik semua tetap sama-sama di dalam ember, meski lembap dan pengap. Mereka merasa nyaman dengan rutinitas: mengajar seadanya, memberikan tugas tanpa refleksi, dan terkadang mengabaikan kebutuhan murid.

Read More »
01 September | 0komentar

Semangat Tjokroaminoto: Napas Baru Profesi Guru

Arisan Soal

Lebih dari seabad yang lalu, di tengah gejolak pergerakan nasional, seorang guru bangsa berdiri tegak menyemai benih-benih kemerdekaan. Dialah Oemar Said Tjokroaminoto, sosok yang tak hanya mengajar, tetapi juga menginspirasi. Membedah film Guru Bangsa: Tjokroaminoto bukan sekadar menonton kisah perjuangan heroik, melainkan sebuah ruang refleksi untuk meneladani semangatnya sebagai seorang guru yang menyalakan api perubahan.
Tjokroaminoto adalah seorang pendidik ulung. Murid-muridnya bukan sekadar diajari membaca dan menulis, tetapi ditempa untuk menjadi pemimpin yang kritis, berani, dan berjiwa merdeka. Soekarno, Semaoen, Alimin, Musso, Kartosuwiryo – nama-nama besar ini adalah bukti nyata bagaimana seorang guru mampu membentuk karakter dan visi, bahkan menggerakkan roda sejarah. Semangat yang ia kobarkan adalah semangat untuk tidak menyerah pada ketidakadilan, untuk berani menyuarakan kebenaran, dan untuk berjuang demi cita-cita luhur bangsanya.
Kini, di tengah dinamika zaman yang terus bergerak, profesi guru menghadapi tantangan yang tak kalah berat. Guru-guru di Purwokerto, dan di seluruh penjuru negeri, memanggul tanggung jawab besar yang sama: menumbuhkan generasi yang bukan hanya cerdas secara akademis, tetapi juga memiliki karakter kuat, pemikiran kritis, dan keberanian untuk menghadapi masa depan.
Bagaimana semangat Tjokroaminoto bisa menjadi napas baru bagi profesi guru hari ini?
  • Guru sebagai Agen Perubahan, Bukan Sekadar Pengajar: Tjokroaminoto membuktikan bahwa ruang kelas adalah laboratorium pergerakan. Guru masa kini juga diharapkan mampu menjadi agen perubahan, yang tidak hanya mentransfer ilmu, tetapi juga menanamkan nilai-nilai kebangsaan, kemandirian, dan kepeloporan. Kita bisa memulai dari hal kecil, seperti mendorong diskusi kritis di kelas atau memfasilitasi proyek-proyek yang mengasah jiwa kepemimpinan siswa. 
  • Menumbuhkan Daya Kritis dan Keberanian: Tjokroaminoto tak pernah membatasi pemikiran muridnya. Ia membiarkan mereka berdialektika, beradu argumen, dan menemukan jalan pikiran sendiri. Hal ini relevan dengan kondisi sekarang di mana informasi berlimpah. Guru harus membimbing siswa untuk mampu menyaring informasi, berpikir logis, dan berani menyuarakan pendapatnya dengan santun dan berlandaskan data. 
  • Menggerakkan Bangsa dari Ruang Kelas: Sebagaimana Tjokroaminoto yang melalui murid-muridnya menggerakkan bangsa dari pondok kecilnya di Gang Peneleh, kita pun bisa menggerakkan bangsa dari ruang kelas kita masing-masing. Setiap interaksi, setiap pelajaran, setiap motivasi yang diberikan adalah investasi untuk masa depan Indonesia. Guru adalah arsitek peradaban.
Perjalanan mulia, sebuah panggilan untuk menggerakkan bangsa dari ruang kelas kita. Mari kita hidupkan kembali semangat Tjokroaminoto: menjadi guru bangsa yang menyalakan api perubahan, satu murid pada satu waktu.

Read More »
31 August | 0komentar

Asesmen Anti-Mainstream

Di ruang kelas XI DPIB 2 SMKN 1 Bukateja, hawa tegang menyelimuti suasana. Hari itu, jadwal asesmen mata pelajaran Estimasi Biaya Konstruksi. Bapak guru berdiri di depan kelas dengan senyum misterius. Di tangannya, sebuah kotak kardus bekas snak yang dihiasi kertas kado berwarna-warni.
"Selamat siang, anak-anak," Bapak guru menyapa ramah. "Hari ini, kita akan melakukan asesmen yang sedikit berbeda. Tidak ada soal dari saya. Kalianlah yang akan menentukan soal kalian sendiri."
Semua siswa saling pandang, bingung. Budi, yang duduk di barisan depan, berbisik pada temannya, Agus, "Maksudnya apa, ya?"
Pak Guru meletakkan kotak itu di atas meja dan menjelaskan, "Di dalam kotak ini ada 9 gulungan kertas. Setiap gulungan berisi nomor soal dari materi 'Jenis-jenis Pekerjaan Konstruksi', dan  'Menghitung Volume Pekerjaan Konstruksi'. Masing-masing dari kalian akan maju, mengambil satu gulungan, dan mengerjakan soal yang tertera di dalamnya."
Seketika, bisik-bisik dan celetukan langsung memenuhi ruangan.
"Wah, ini kayak undian arisan!" celetuk Aljaan, si jagoan hitung.
"Gawat, kalau dapat soal yang susah gimana?" timpal Sifa, yang lebih suka materi teori.
Adinda maju pertama. Ia memasukkan tangannya ke dalam kotak, meraba-raba gulungan kertas, dan menarik satu. Dengan hati-hati, ia membukanya. Soal yang didapatnya adalah: "Hitung volume pekerjaan beton pada balok kolom proyek rumah tinggal sederhana." Adinda mengembuskan napas lega. Ini adalah materi yang ia kuasai dengan baik.
Selanjutnya, giliran Aira. Ia menarik gulungan dan membacanya: "Hitung volume pekerjaan plesteran dan acian dinding untuk rumah tinggal sederhana." Wajah Aira langsung pias. Ia lupa rumus volume plesteran.
Yang paling kocak adalah Gunawa. Ia dengan santai mengambil gulungan dan membukanya. Soalnya berbunyi: "Hitung volume pekerjaan pemasangan atap genteng pada proyek masjid agung." Ujang langsung tertawa terbahak-bahak. "Pak, kenapa harus masjid agung, Pak? Gentengnya pasti banyak banget!" ujarnya sambil menggaruk kepala.
Pak guru hanya tersenyum. Asesmen pun dimulai. Sebagian siswa terlihat lancar mengerjakan soalnya, seperti Nabila dan Ratu. Sementara itu, Harlan dan Chrisan tampak kesulitan.
Pak guru menyampaikan refleksi terkait dengan model asesmen yang baru saja dilaksanakan, "Bagaimana menurut kalian dengan asesmen dengan model diundi ini?" 
"Saya lupa rumus menghitung pondasi, Pak," jawab Agus lesu.
"Grogi pak !" jawab Dela
" Soalnya ndak sesuai dengan yang saya hafalkan", celetuk Gunawan
Pak Budi menepuk pundaknya. "Nak, di dunia kerja nanti, kamu tidak akan pernah tahu proyek seperti apa yang akan kamu dapatkan. Asesmen ini bukan hanya menguji pengetahuanmu, tetapi juga kesiapanmu dalam menghadapi ketidakpastian. Siapa yang menguasai semua materi, dia yang akan siap menghadapi undian apapun."
Agus merenung. Ia menyadari bahwa ia terlalu fokus pada materi-materi yang ia anggap mudah. Malam itu, ia kembali membuka buku Estimasi Biaya Konstruksi dan membaca semua bab dari awal hingga akhir. Ia tak ingin lagi kalah dalam 'undian' kehidupan.

Read More »
30 August | 0komentar

Harga Mahal dari Satu Bentakan

Bagi sebagian guru, mungkin ada masanya kita merasa lelah, jengkel, dan frustrasi. Kita melihat anak-anak yang sulit diatur, tak termotivasi, dan lebih asyik dengan gawainya. Hati terasa panas, dan kadang tanpa sadar, satu bentakan meluncur dari mulut kita.
Kita teriak. Kita gebrak meja. Tujuannya? Agar mereka takut, agar mereka tahu siapa yang berkuasa di kelas. Anehnya, setelah melampiaskan emosi itu, seringkali bukannya lega, kita malah merasa menyesal. Rasa bersalah itu datang menghampiri. "Kenapa tadi harus membentak? Bukannya guru harus jadi teladan?" Kita tahu guru juga manusia biasa, bukan malaikat. Tapi, tetap saja, ada rasa malu karena merasa telah gagal mengendalikan diri.

Rasio Ajaib 1:5 
Ternyata, perasaan bersalah itu bukan sekadar halusinasi. Ada landasan ilmiahnya. John Gottman, seorang pakar psikologi hubungan, menemukan sebuah konsep yang dikenal sebagai rasio ajaib 1:5. Teori ini menyatakan bahwa untuk setiap interaksi negatif—seperti bentakan, sindiran, atau perlakuan kasar—diperlukan lima kali interaksi positif untuk mengembalikan hubungan ke titik semula.

Satu bentakan = lima kebaikan
Satu hardikan = lima kali harus tersenyum, menyapa, mengapresiasi, memberikan kepercayaan, atau sekadar berbisik, "Kamu bisa, aku percaya sama kamu." Bayangkan, jika kita membentak seorang anak, luka emosional yang tercipta itu seperti tato di hati mereka. Tidak mudah hilang. Hubungan yang tadinya utuh bisa retak. Dan untuk merekatkan kembali, kita perlu usaha ekstra yang besarnya lima kali lipat. Jika tidak, anak-anak akan terus mengingat luka itu. Mereka mungkin diam, tapi bukan karena hormat. Mereka diam karena takut.

Membayar Utang Emosional
Mungkin selama ini kita, para guru, sering lupa. Kita ingin anak-anak menghormati kita, tetapi terkadang kita sendiri lupa bagaimana rasanya menjadi mereka. Dan ternyata, kunci dari rasa hormat itu bukan berasal dari rasa takut, melainkan dibangun melalui kebaikan—kebaikan yang lima kali lipat lebih banyak dari kesalahan kita.
Membentak itu mudah dan murah. Siapa pun bisa melakukannya. Tapi, membangun ulang kepercayaan setelah marah? Itu adalah investasi lima kali lipat. Investasi inilah yang akan menentukan bagaimana kita akan dikenang oleh murid-murid kita. Apakah kita akan diingat sebagai guru yang menciptakan trauma, atau sebagai guru yang mengajarkan mereka tentang arti manusia dan kemanusiaan?
Jadi, jika ada yang bertanya, "Kenapa anak-anak sekarang sulit diatur?" Mungkin jawaban yang paling jujur bukanlah "mereka memang susah." Melainkan, "Mungkin kita saja yang kurang lima kali kebaikan, setelah satu kali kebablasan."

Read More »
30 August | 0komentar