Menyeruput kopi hitam di pagi yang tenang, pikiran ini kembali berkelana pada potret pendidikan di negeri kita. Rasanya memang seperti tersesat di sebuah labirin raksasa, bukan labirin biasa, melainkan labirin ajaib yang tembok-temboknya gemar sekali bermain petak umpet. Baru saja kita merasa menemukan alur yang pas, eh, tiba-tiba jalur itu lenyap, berganti nama, atau bahkan dihapus begitu saja.
Ada semacam siklus lima tahunan yang ironis. Setiap pergantian tampuk kekuasaan, seolah kita mendapatkan "mainan" baru di dunia pendidikan.
Kurikulum berganti rupa, program-program anyar bermunculan, seringkali dengan dalih penyegaran dan inovasi. Namun, tak jarang kita mendengar bisikan-bisikan di warung kopi, termasuk mungkin di kedai kopi Mbok Yem di Jepara, yang mempertanyakan kontinuitas dan efektivitas perubahan yang terkesan terburu-buru.
Benar adanya apa yang diungkapkan oleh para pemerhati pendidikan dunia, seperti John Hattie dengan konsep visible learning-nya. Pengaruh terbesar pada hasil belajar siswa bukanlah semata-mata kurikulum atau program, melainkan kualitas guru itu sendiri.
Hal senada juga digaungkan oleh Pak Rizal dari GSM dalam berbagai kesempatan. Namun, kenyataannya, suara riset dan kajian mendalam seringkali teredam oleh riuhnya "rapat kepentingan". Alhasil, energi dan fokus kita terkadang lebih tersedot pada implementasi perubahan yang datang silih berganti, ketimbang pada penguatan fondasi utama: pengembangan profesional guru.
Belum lagi kerumitan birokrasi yang dihadapi para pendidik. Seorang guru, dalam kesehariannya, harus "melayani" berbagai "majikan" dengan aturan main yang berbeda-beda.
Urusan seragam bisa jadi ranahnya Kemendagri, penilaian kinerja oleh BKN, gaji melalui Kemenkeu, sementara regulasi dan pengembangan berada di bawah Kemendikbud. Ibarat memiliki empat orang tua dengan instruksi yang tak jarang saling bertentangan, guru pun akhirnya dituntut menjadi sosok multitasking yang luar biasa. Harus tetap waras di tengah perubahan yang konstan, menjaga semangat meski peta pendidikan terus bergeser, dan tetap fokus mendidik di tengah gempuran slogan-slogan perubahan.
Srutup kopi lagi... lalu, di tengah labirin yang terus bermetamorfosis ini, bekal apa saja yang seharusnya dimiliki seorang guru zaman sekarang?
Pertama, mental petualang yang berani berinovasi. Jangan biarkan rasa takut tersesat menghalangi langkah untuk mencoba hal baru. Labirin ini memang penuh kejutan, namun di setiap sudutnya bisa jadi tersimpan potensi pembelajaran yang tak terduga.
Kedua, kompas batin yang kuat. Pegang teguh tujuan utama kita: mendidik dan menumbuhkan manusia seutuhnya, bukan sekadar menuntaskan materi atau mengejar proyek sesaat. Fokus pada dampak jangka panjang bagi anak didik kita.
Ketiga, keberanian berpikir kritis. Jangan telan mentah-mentah setiap arus perubahan program. Sebagai pendidik, kita punya tanggung jawab untuk menganalisis, mengevaluasi, dan berani menyuarakan pendapat, meskipun terkadang terasa sepi di tengah arus yang dominan.
Keempat, kesabaran tingkat dewa, lengkap dengan dosis humor yang tinggi. Menavigasi labirin yang terus berubah membutuhkan ketahanan mental yang luar biasa. Humor bisa menjadi oase di tengah kelelahan dan frustrasi.
Dan yang terpenting dari semuanya adalah keyakinan yang tak tergoyahkan bahwa meskipun jalan ini tampak berputar-putar tanpa akhir, anak-anak kita membutuhkan guru-guru yang tetap tegak berdiri, membawa cinta, ketulusan hati, dan kreativitas dalam membersamai perjalanan belajar mereka.
Kita mungkin tidak bisa menghentikan perubahan peta di labirin ini. Namun, kita bisa memilih untuk tidak menjadi guru yang hanya sibuk membenarkan peta yang salah.
Kita bisa menjadi guru merdeka yang berani menciptakan jalan sendiri, yang berani keluar dari kotak dan merancang pengalaman belajar yang relevan dan bermakna bagi siswa.
Karena, jika kita tidak mampu menemukan pintu keluar dari labirin yang terus bergeser ini, setidaknya kita bisa mengajarkan anak-anak kita... cara membuat pintu mereka sendiri.
Bagaimana dengan Bapak dan Ibu guru? Adakah pengalaman menarik saat Anda merasa "membuat pintu sendiri" dalam mendidik anak-anak kita di tengah dinamika perubahan pendidikan ini? Mari berbagi cerita sambil kita menghabiskan secangkir kopi hitam ini.
Disarikan dari Grup WA GSM Kab. Purbalingga
Read More »
27 April | 0komentar