Assalamu'alaikum ! welcome to Media Pendidikan.| Contact | Register | Sign In
Showing posts with label Kurikulum. Show all posts
Showing posts with label Kurikulum. Show all posts

Guru Lebih dari Sekedar Agen Program

Menyeruput kopi hitam di pagi yang tenang, pikiran ini kembali berkelana pada potret pendidikan di negeri kita. Rasanya memang seperti tersesat di sebuah labirin raksasa, bukan labirin biasa, melainkan labirin ajaib yang tembok-temboknya gemar sekali bermain petak umpet. Baru saja kita merasa menemukan alur yang pas, eh, tiba-tiba jalur itu lenyap, berganti nama, atau bahkan dihapus begitu saja. Ada semacam siklus lima tahunan yang ironis. Setiap pergantian tampuk kekuasaan, seolah kita mendapatkan "mainan" baru di dunia pendidikan. 
Kurikulum berganti rupa, program-program anyar bermunculan, seringkali dengan dalih penyegaran dan inovasi. Namun, tak jarang kita mendengar bisikan-bisikan di warung kopi, termasuk mungkin di kedai kopi Mbok Yem di Jepara, yang mempertanyakan kontinuitas dan efektivitas perubahan yang terkesan terburu-buru. Benar adanya apa yang diungkapkan oleh para pemerhati pendidikan dunia, seperti John Hattie dengan konsep visible learning-nya. Pengaruh terbesar pada hasil belajar siswa bukanlah semata-mata kurikulum atau program, melainkan kualitas guru itu sendiri. 
Hal senada juga digaungkan oleh Pak Rizal dari GSM dalam berbagai kesempatan. Namun, kenyataannya, suara riset dan kajian mendalam seringkali teredam oleh riuhnya "rapat kepentingan". Alhasil, energi dan fokus kita terkadang lebih tersedot pada implementasi perubahan yang datang silih berganti, ketimbang pada penguatan fondasi utama: pengembangan profesional guru. Belum lagi kerumitan birokrasi yang dihadapi para pendidik. Seorang guru, dalam kesehariannya, harus "melayani" berbagai "majikan" dengan aturan main yang berbeda-beda. 
Urusan seragam bisa jadi ranahnya Kemendagri, penilaian kinerja oleh BKN, gaji melalui Kemenkeu, sementara regulasi dan pengembangan berada di bawah Kemendikbud. Ibarat memiliki empat orang tua dengan instruksi yang tak jarang saling bertentangan, guru pun akhirnya dituntut menjadi sosok multitasking yang luar biasa. Harus tetap waras di tengah perubahan yang konstan, menjaga semangat meski peta pendidikan terus bergeser, dan tetap fokus mendidik di tengah gempuran slogan-slogan perubahan. Srutup kopi lagi... lalu, di tengah labirin yang terus bermetamorfosis ini, bekal apa saja yang seharusnya dimiliki seorang guru zaman sekarang? 
Pertama, mental petualang yang berani berinovasi. Jangan biarkan rasa takut tersesat menghalangi langkah untuk mencoba hal baru. Labirin ini memang penuh kejutan, namun di setiap sudutnya bisa jadi tersimpan potensi pembelajaran yang tak terduga. 
Kedua, kompas batin yang kuat. Pegang teguh tujuan utama kita: mendidik dan menumbuhkan manusia seutuhnya, bukan sekadar menuntaskan materi atau mengejar proyek sesaat. Fokus pada dampak jangka panjang bagi anak didik kita. 
Ketiga, keberanian berpikir kritis. Jangan telan mentah-mentah setiap arus perubahan program. Sebagai pendidik, kita punya tanggung jawab untuk menganalisis, mengevaluasi, dan berani menyuarakan pendapat, meskipun terkadang terasa sepi di tengah arus yang dominan. 
Keempat, kesabaran tingkat dewa, lengkap dengan dosis humor yang tinggi. Menavigasi labirin yang terus berubah membutuhkan ketahanan mental yang luar biasa. Humor bisa menjadi oase di tengah kelelahan dan frustrasi. 
Dan yang terpenting dari semuanya adalah keyakinan yang tak tergoyahkan bahwa meskipun jalan ini tampak berputar-putar tanpa akhir, anak-anak kita membutuhkan guru-guru yang tetap tegak berdiri, membawa cinta, ketulusan hati, dan kreativitas dalam membersamai perjalanan belajar mereka. Kita mungkin tidak bisa menghentikan perubahan peta di labirin ini. Namun, kita bisa memilih untuk tidak menjadi guru yang hanya sibuk membenarkan peta yang salah. 
Kita bisa menjadi guru merdeka yang berani menciptakan jalan sendiri, yang berani keluar dari kotak dan merancang pengalaman belajar yang relevan dan bermakna bagi siswa. Karena, jika kita tidak mampu menemukan pintu keluar dari labirin yang terus bergeser ini, setidaknya kita bisa mengajarkan anak-anak kita... cara membuat pintu mereka sendiri. 
Bagaimana dengan Bapak dan Ibu guru? Adakah pengalaman menarik saat Anda merasa "membuat pintu sendiri" dalam mendidik anak-anak kita di tengah dinamika perubahan pendidikan ini? Mari berbagi cerita sambil kita menghabiskan secangkir kopi hitam ini.

Disarikan dari Grup WA GSM Kab. Purbalingga

Read More »
27 April | 0komentar

Sekolah Unggul untuk Siapa, Sekolah Rakyat untuk Apa?

Belum terang benderang pelaksanaan Deep Learning pada pendidikan kita, akhir-akhir di dunia pendidikan terdengar sayup-sayup memperbincangkan berkaitan dengan sekolah unggulan dan sekolah rakyat. Dua istilah atau nama itu yaitu Sekolah unggul, sekolah rakyat nama yang terlihat begitu sakral unggul dan rakyat. Yang satu menjanjikan: prestasi, keunggulan, masa depan gemilang. Satunya lagi membawa harapan, kesempatan, dan keberpihakan bagi yg terpinggir dan tersisihkan siapa lagi kalau bukan rakyat. 
Dua wajah dari sebuah cita-cita pendidikan?
Tapi… benarkah demikian?” Mengapa ada sekolah rakyat? Bukankah setiap sekolah seharusnya menjadi tempat bagi seluruh rakyat? Bukankah pendidikan adalah hak semua orang, bukan sesuatu yang perlu 'dikategorikan'? Ah… tetapi, mungkin ini memang kenyataan yg harus diterima. 
Sekolah unggul untuk mereka yg ‘terpilih’, sekolah rakyat untuk mereka yang ‘tersisih’. Seperti dua jalur yg berpisah, masing-masing menentukan nasib penghuninya. Yang satu untuk melahirkan pemimpin unggul, yg lain melahirkan kesempatan bisa bekerja memperbaiki nasib. Yang satu berorientasi pada inovasi, yang lain berjuang memberi peluang untuk mengenyam pendidikan dan bisa bertahan hidup. 
Bukankah ini yang terjadi? Lalu di mana Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia? Bukankah para pendahulu kita memperjuangkan dan mengajarkan tentang kesetaraan, tentang kemerdekaan, tentang hak yg sama bagi semua anak bangsa? Ataukah kita telah kembali ke masa lalu, di mana pendidikan adalah hak segelintir orang, sementara yg lain cukup puas dengan serpihan² kesempatan? 
Ki Hadjar Dewantara mendirikan Taman Siswa bukan untuk menciptakan sekolah bagi orang kaya, bukan untuk menciptakan sekolah yg membedakan kasta sosial. Ia mendirikan sekolah untuk membebaskan jiwa-jiwa tertindas dari kebodohan. Ia ingin agar pendidikan bukan lagi menjadi hak istimewa, melainkan cahaya bagi semua rakyat. 
Jadi, apa yang kita butuhkan sebenarnya? Sekolah unggul yg benar² menciptakan pemimpin yg unggul tapi juga merakyat. Bukan sekolah yg membangun tembok tinggi untuk mereka yg berduit. Kita butuh sekolah yg tidak hanya memberi ‘akses’, tapi benar² menjamin pemerataan, djmana masih ada sekolah negeri atau swasta yang berlantai tanah, atapnya bocor, yg jendelanya sudah hilang, bahkan tidak bertembok. 
Kita butuh pemimpin yg tidak hanya cerdas, tapi juga berpihak pada rakyat. Kita butuh perubahan… bukan sekadar slogan. Maka pertanyaannya adalah… apakah kita akan terus membiarkan pendidikan ini menjadi alat pembeda? Atau kita akan mengembalikan esensi pendidikan sebagai alat perjuangan bagi semua? Kita berharap dua program tersebut bukan memperbanyak paradoks dalam dunia pendidikan apalagi sekadar menjalankan program tanpa keberlanjutan. Sebab sekolah seharusnya bukan tentang ‘unggul’ atau ‘rakyat’… tapi tentang bagaimana menciptakan manusia yg benar² menjadi manusia dan merdeka. 
 #kembalimendidikmanusia #kesempatansetara #gerakansekolahmenyenangkan
Sumber : Grup WA GSM Kab. Purbalingga 

Read More »
19 April | 0komentar

Ujian Nasional Kembali di 2026: Tantangan dan Implikasinya bagi Pendidikan

Pemerintah Indonesia dikabarkan tengah merencanakan kembali diadakannya Ujian Nasional (UN) pada tahun 2026 setelah sebelumnya dihapus pada 2021 dan digantikan dengan Asesmen Nasional (AN). Keputusan ini menuai beragam tanggapan dari berbagai pihak, mulai dari pendidik, siswa, hingga pemerhati pendidikan. Apakah kembalinya Ujian Nasional akan menjadi langkah maju dalam mengevaluasi mutu pendidikan, atau justru menjadi kemunduran bagi sistem pendidikan Indonesia? 

Penghapusan Ujian Nasional Pada tahun 2021
Pemerintah menghapuskan Ujian Nasional dengan alasan bahwa ujian tersebut tidak lagi relevan sebagai satu-satunya tolok ukur keberhasilan pendidikan. Sebagai gantinya, Asesmen Nasional (AN) diperkenalkan dengan pendekatan yang lebih komprehensif dalam mengukur kualitas pendidikan melalui tiga komponen utama, yaitu Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), Survei Karakter, dan Survei Lingkungan Belajar. 
AN lebih berfokus pada pemetaan mutu pendidikan secara keseluruhan dibandingkan dengan menilai prestasi individu siswa. Alasan Kembalinya Ujian Nasional Pemerintah berpendapat bahwa dengan kembalinya Ujian Nasional, sistem evaluasi pendidikan akan lebih objektif dan dapat digunakan sebagai standar nasional. 

Beberapa alasan utama yang mendasari keputusan ini antara lain: 
Standarisasi Evaluasi Pendidikan: UN dianggap dapat memberikan ukuran baku terhadap kompetensi akademik siswa di seluruh Indonesia. 
Motivasi Siswa: UN diyakini dapat meningkatkan motivasi belajar siswa karena adanya tolok ukur yang jelas. 
Pemantauan Kualitas Pendidikan: Dengan UN, pemerintah dapat lebih mudah mengukur capaian pendidikan di berbagai daerah secara lebih merata. 

Kontroversi dan Tantangan 
Meski memiliki tujuan yang jelas, rencana ini juga menghadapi banyak tantangan dan kritik, antara lain: Kembali ke Pola Lama yang Tekanan Tinggi: Salah satu alasan utama penghapusan UN adalah karena tekanan berlebih yang dialami siswa. Banyak pihak khawatir kembalinya UN akan menghidupkan kembali budaya belajar yang berorientasi pada ujian semata. Ketimpangan Pendidikan: Indonesia memiliki ketimpangan kualitas pendidikan yang cukup tinggi antar daerah. Jika UN dijadikan sebagai tolok ukur utama, daerah dengan fasilitas pendidikan yang kurang memadai akan mengalami kesulitan. 

Efektivitas Asesmen Nasional: 
Banyak kalangan menilai bahwa Asesmen Nasional lebih relevan dalam mengevaluasi pendidikan secara menyeluruh dibandingkan UN yang hanya menilai siswa secara individu. Alternatif dan Solusi Jika pemerintah tetap ingin menerapkan Ujian Nasional, diperlukan pendekatan yang lebih fleksibel agar tidak mengulang kesalahan di masa lalu. Beberapa alternatif yang dapat dipertimbangkan antara lain: Mengombinasikan UN dengan metode asesmen lain, seperti portofolio dan proyek berbasis keterampilan. Menjadikan UN sebagai bagian dari evaluasi, bukan satu-satunya penentu kelulusan. Meningkatkan kualitas pendidikan secara merata sebelum menerapkan kembali sistem ujian nasional. 
Rencana kembalinya Ujian Nasional di 2026 menjadi perdebatan yang menarik dalam dunia pendidikan Indonesia. Di satu sisi, UN dapat menjadi alat untuk menstandarisasi mutu pendidikan nasional, tetapi di sisi lain, ada risiko mengembalikan sistem yang sarat tekanan dan kurang memperhatikan kesenjangan pendidikan. Oleh karena itu, kebijakan ini perlu dikaji lebih mendalam dengan mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk kesiapan siswa, guru, dan infrastruktur pendidikan di seluruh Indonesia.

Read More »
14 February | 0komentar

Peran Orang Tua, Pendidik dan Satuan Pendidikan dalam 7 Kebiasaan Anak Hebat


Read More »
13 January | 0komentar

Peran Pendidik dalam Kebiasaan Makan Sehat dan Bergizi


Pendidik perlu membimbing peserta didik agar terbiasa makan makanan sehat dan bergizi untuk memastikan tumbuh kembangnya optimal dan menumbuhkembangkan pola makan yang baik hingga dewasa. Beberapa cara yang dapat dilakukan pendidik antara lain: 
  1. Pendidik dapat memberikan contoh baik makan makanan sehat dan bergizi dalam kesehariannya di satuan pendidikan, sehingga dapat ditiru oleh peserta didik.
  2. Pendidik dapat mengajarkan secara lebih mendalam tentang nutrisi, metabolisme, cara tubuh memproses makanan sehat dan kebutuhan nutrisi, dampak konsumsi gula berlebih, makanan cepat saji, dan makanan olahan pada kesehatan, seperti obesitas, diabetes, dan dampak pada konsentrasi belajar. 
  3. Pendidik dapat mengajarkan cara membaca label nutrisi pada kemasan makanan sehingga peserta didik dapat lebih cerdas dalam memilih makanan yang rendah gula, rendah lemak jenuh, dan kaya serat atau protein. 
  4. Pendidik dapat mengadakan kegiatan memasak sederhana, seperti membuat salad atau makanan ringan sehat yang mudah diikuti peserta didik. Keterlibatan langsung dapat membuat lebih tertarik pada makanan sehat. 
  5.  Pendidik dapat membuat kompetisi memasak sehat antar peserta didik dan diminta untuk berkreasi dengan bahan-bahan sehat. Kegiatan ini dapat menumbuhkan kreativitas dan ketertarikan pada makanan bergizi. 
  6. Pendidik dapat menjelaskan bahwa makanan sehat dapat meningkatkan konsentrasi, energi, dan daya ingat, yang berpengaruh positif pada prestasi akademik. Selain itu, dibahas tentang hubungan antara makanan dan kesehatan mental, seperti pengaruh gula berlebih pada suasana hati (mood) dan tingkat kecemasan. Hal ini dapat menjadi motivasi tambahan bagi peserta didik untuk memahami pentingnya memilih makanan sehat mengubah pola makan.
  7. Pendidik dapat mengajak peserta didik untuk mengikuti kampanye makan sehat melalui media sosial, dengan konten seperti fakta nutrisi, resep sederhana, atau tantangan mengunggah foto bekal sehat. Hal ini dapat membuat edukasi lebih menarik dan relevan. Buat atau tunjukkan video dan infografis singkat yang informatif tentang nutrisi dan dampak makanan sehat pada tubuh. Visual seperti ini sering kali lebih menarik bagi remaja. 
  8. Pendidik dapat memberikan panduan kepada orang tua tentang cara menyediakan makanan sehat di rumah dan pentingnya dukungan dari rumah, menghimbau kepada orang tua untuk mendukung gerakan makan sehat dan bergizi dengan memberikan sarapan pagi dan membawakan bekal makanan ke satuan pendidikan.
  9. Pendidik dapat meminta peserta didik membuat proyek kelompok tentang menu makanan sehat atau rencana makanan selama seminggu. Proyek ini dapat disertai dengan penjelasan nutrisi dan manfaat setiap makanan yang dipilih. Berikan tugas penelitian sederhana bagi peserta didik tentang manfaat kesehatan yang dirasakan setelah menerapkan pola makan sehat. Peserta didik dapat melaporkan hasilnya dalam bentuk esai atau presentasi. 
  10. Pendidik perlu memberikan penghargaan untuk kebiasaan makan sehat dan bergizi yang dilakukan peserta didik, seperti memberi penghargaan berupa stiker atau pujian ketika peserta didik membawa bekal sehat atau makan makanan sehat dan bergizi di kelas

Read More »
13 January | 0komentar

Peran Orang Tua/Wali dalam Menerapkan Kebiasaan Bangun Pagi


Membiasakan anak usia dini untuk bangun pagi setiap hari memerlukan kesabaran dan konsistensi, mengingat bahwa pola tidur anak masih dalam tahap perkembangan. Berikut beberapa cara untuk membantu membiasakan anak usia dini bangun pagi. 
1) Orang tua/wali menjadi teladan yang baik dengan membiasakan diri untuk bangun pagi. Jika anak melihat orang tua bangun pagi, anak akan belajar bahwa bangun pagi adalah bagian penting dari kehidupan keluarga, sehingga anak akan meniru kebiasaan ini. 
 2) Orang tua/wali perlu menetapkan jam tidur yang konsisten dan memastikan anak tidur pada waktu yang sama setiap malam sehingga memungkinkan anak bangun pagi dengan segar. 
3) Orang tua/wali perlu membuat kegiatan rutin sebelum tidur yang menenangkan, seperti mendongeng atau membacakan buku cerita atau menyetel musik lembut. Kegiatan ini membantu tubuh anak beristirahat dan lebih siap tidur sehingga mudah terbangun keesokan harinya. 
4) Orang tua/wali perlu menerapkan prinsip 3S (Screen Time, Screen Break, Screen Zone) di rumah. Pertama, mengajarkan untuk screen time berapa lama dan cara mengaturnya (Screen Time). Kedua, melakukan jeda ketika anak beraktivitas dengan gadget, untuk bermain, berinteraksi, atau bersosialisasi (Screen Break). Ketiga, menetapkan wilayah bebas gadget di 3 ruangan rumah: ruang tidur, ruang makan, dan kamar mandi (Screen Zone).

Catatan Penting: Waktu penggunaan layar (screen time) diantaranya TV, laptop, tablet, dan ponsel untuk anak di bawah 2 tahun adalah 0 (nol) jam atau tidak diperbolehkan sama sekali, untuk anak usia 2-5 tahun adalah 1 jam per hari, di atas usia anak 6 tahun ke atas tidak melebihi 2-3 jam per hari dengan konten edukatif dan bimbingan orang tua (WHO, IDAI, Kemenkes).
5) Orang tua/wali perlu mengondisikan suasana pagi yang menyenangkan, misalnya dengan menyajikan sarapan favorit atau menyetel musik yang disukai anak. Hal ini membantu anak merasa senang dan lebih termotivasi untuk bangun pagi. 
6) Orang tua/wali perlu membangunkan anak bangun pagi dengan lembut dan beri waktu untuk menyesuaikan diri, seperti membelai rambut atau mengajak anak berbicara dengan nada lembut, dan memberikan beberapa menit untuk beradaptasi. 
7) Orang tua/wali perlu melakukan kegiatan pagi di luar rumah, jika memungkinkan, seperti mengajak anak untuk bermain atau berjalan-jalan sebentar di luar rumah setelah bangun pagi. Kegiatan ini membantu anak merasakan manfaat udara segar, serta membuat anak lebih semangat untuk bangun pagi keesokan harinya. 
8) Orang tua/wali perlu memotivasi anak untuk mematuhi jadwal bangun pagi di jam yang sama pada akhir pekan untuk menjaga konsistensi bangun pagi sehingga tubuh anak terbiasa. 
9) Orang tua/wali dapat menjadikan kebiasaan bangun pagi sebagai kegiatan rutin keluarga, seperti menikmati sarapan bersama atau melakukan kegiatan ringan di pagi hari. Anak akan lebih mudah bangun pagi jika melihat seluruh keluarga melakukannya bersama. 
10) Orang tua/wali perlu memberi pujian atau apresiasi ketika anak berhasil bangun pagi. Pujian ini membuat anak merasa dihargai dan lebih semangat untuk menjaga kebiasaan bangun pagi.

Read More »
11 January | 0komentar

Motivasi Belajar Siswa Identik dengan Motivasi Mengajar Guru


Mengawali minggu pertama di semester genap ini alhamdulillah berjalan dengan lancar. Meskipun banyak ketidakpuasan terkait dengan jadwal dan lain-lain. Minggu pertama pada semester ini telah/sudah bergulir.  ada hal yg mengusik. Sebagai pendidik, sering mengalami masa di mana motivasi mengajar terasa hilang. Ketika masuk kelas, hanya sekadar hadir secara fisik tanpa benar-benar hadir secara utuh. Pikiran melayang kemana-mana, ke tempat lain, hati saya tidak sepenuhnya terlibat, dan energi tidak menyentuh pribadi anak didik di kelas. Sepertinya di kelas hanya menemui wajah-wajah murung, energi belajar yg rendah, dan suasana yg kurang bersemangat.
Akhirnya, Guru malah cenderung menyalahkan mereka: “Anak-anak setelah libur 2 minggu sepertinya kurang ya, mana semangat untuk belajar kembali? sekarang memang malas belajar,” atau bahkan terlintas pikiran bahwa mungkin mereka perlu “dipaksa” seperti lewat Ujian Nasional agar motivasi belajarnya naik. 
Pada sisi lain, bukankah motivasi belajar siswa adalah cerminan dari motivasi mengajar guru? Jadi ketika guru masuk kelas dengn ogah-ogahan, (saya melihat beberapa postingan teman-teman yg memperlihatkan kelas dibiarkan bebas meski jam masuk belajar sudah mulai, atau guru-guru yg masih sibuk menyibukan diri ke hal-hal yg nggak jelas, sedang anak-anak sudah menunggu kehadiranya di kelas) pun energi yg dipancarkan pun lemah, dan hal itu dengan cepat menular kepada anak-anak kita. 

Dimungkinkan masalah sebenarnya bukanlah mereka (anak didik), melainkan diri kita sebagai guru. Guru tidak hadir utuh di kelas, bukan hanya fisik, tetapi juga hati, pikiran, dan energi. Hasil penelitian pun menguatkan kesadaran ini. Sebuah studi psikologi menunjukkan bahwa emosi dan energi seseorang dapat menular kepada orang di sekitarnya, sebuah fenomena yg dikenal sebagai emotional contagion. Ketika guru masuk kelas dengn semangat, percaya diri, dan penuh cinta, energi itu akan memengaruhi anak didik. Sebaliknya, ketika kita masuk dengn energi negatif, anak-anak kitapun akan merasakan hal yg sama. 
Energi kita sebagai pendidik bukan hanya tentang mengajarkan konten materi, tetapi juga tentang mentransfer energi semangat, optimisme, dan kehangatan kepada anak didik kita. Melihat bahwa perjumpaan dengan anak didik kita seharusnya adalah momen yg dirindukan, momen yg kita tunggu-tunggu. Ketika kita benar-benar hadir di kelas (bukan sekadar fisik), tetapi dengan hati & pikiran yg fokus, maka ada keajaiban yg terjadi. Anak-anak mulai merespons, mata mereka berbinar, dan suasana kelas berubah menjadi penuh kehidupan. 
Mereka belajar bukan karena takut hukuman atau ujian, tetapi karena terinspirasi oleh energi yg kita pancarkan. Namun, sebaliknya, ketidakhadiran kita secara utuh di kelas dapat berdampak serius. Ketika anak kita merasa tidak diperhatikan/tidak dihargai keberadaanya, motivasi belajar mereka menurun, dan lingkungan kelas menjadi rawan konflik, bahkan bullying. Tidak hadirnya energi kita sebagai guru dapat menciptakan kekosongan yg diisi oleh dinamika negatif di antara anak didik kita. 
Bukan sekadar menyalahkan siswa atau mencari obat eksternal yg jauh dari obat sebanarnya, atau pembenaran, tetapi melihat ke dalam diri kita sendiri. Sebagai pendidik, kita perlu kembali ke tujuan utama kita: mendidik bukan hanya untuk mengisi otak anak didik kita dengan konten materi, tetapi juga untuk mengisi hati mereka dengan energi positif, keyakinan, dan semangat hidup. 
Refleksi akhir pekan pertama di semester genap ini menjadi pengingat bagi kita semua para guru. Jika kita ingin motivasi belajar anak didik kita meningkat, kita perlu memulainya dari diri sendiri. Hadir utuh di kelas (secara fisik, mental, dan emosional) adalah langkah pertama untuk menciptakan suasana belajar yg penuh semangat & bermakna. Sebab, pada akhirnya, energi kita adalah api yg dapat menyalakan obor semangat/motivasi belajar mereka. Menjadikan pembelajaran menjadikan setiap perjumpaan di kelas sebagai momen untuk mengisi, bukan hanya materi pelajaran, tetapi juga energi kehidupan di dalam diri setiap anak didik kita. 

Dari Grup WA GSM Kab. Purbalingga
#kembalimendidikmanusia#gurumeraki#mulaidarikelasberdampakuntukindonesia #

Read More »
11 January | 0komentar

After Case Guru Honorer Supriyani: Guru Sebagai Sebuah Profesi

Saat ini guru menjadi profesi yang sangat rentan di Indonesia. Profesi guru terus dibayangi ketakutan dilaporkan ke polisi oleh orang tua siswa dalam rangka mendidiplinkan siswa. Banyak kasus tentang ini terakhir adalah kasus ibu guru honorer yang ditahan dikantor polisi karena dilaporkan oleh orang tua siswa yang seorang anggota polisi. 
Apakah guru akan membiarkan siswa jika melakukan hal-hal yang tidak disiplin? Jika melihat kasus-kasus yang dilaporkan ke Polisi kemungkinan tersebut bisa terjadi. Bahkan juga mucul video parodi tentang hal itu.... 
Sesuai dengan PP No. 74 Tahun 2008, guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. 

Pasal 39 ayat 1 berbunyi :
 "Guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang ditetapkan guru, peraturan tingkat satuan pendidikan, dan peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang berada di bawah kewenangannya."
Ayat 2:
sanksi tersebut dapat berupa teguran dan/atau peringatan, baik lisan maupun tulisan, serta hukuman yang bersifat mendidik sesuai dengan kaedah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan.
Pasal 40 : 
Guru berhak mendapat perlindungan dalam melaksanakan tugas dalam bentuk rasa aman dan jaminan keselamatan dari pemerintah, pemerintah daerah, satuan pendidikan, organisasi profesi guru, dan/atau masyarakat sesuai dengan kewenangan masing-masing.

Pasal 41 :
Guru berhak mendapatkan perlindungan hukum dari tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain.

Bahwa pendidikan adalah tanggungjawab bersama antara negara, orang tua, lingkungan dan guru. Tugas utama mendidik anak adalah tugas orang tua. Aparat penegak hukum hendaknya bijak dalam menyikapi pengaduan masyarakat yang berkait dengan relasi guru dan murid. 
Mahkamah Agung (MA) RI pernah mengeluarkan keputusan yurisprudensi bahwa guru tidak bisa dipidanakan saat menjalankan profesinya melakukan tindakan pendisiplinan terhadap siswa. Keputusan MA tersebut dikeluarkan saat mengadili seorang guru dari Majalengka bernama Aop Saepudin tanggal 6 Mei 2014. 
Kasusnya bermula ketika pada Mei 2012 Aop mendisiplinkan empat siswa berambut gondrong dengan mencukurnya. Salah seorang siswa tidak terima kemudian memukuli dan mencukur balik Aop. Polisi dan jaksa kemudian melimpahkan kasus Aop ke pengadilan. Aop dikenakan pasal berlapis, yakni Pasal 77 huruf a UU Perlindungan Anak tentang perbuatan diskriminasi terhadap anak, Pasal 80 ayat 1 UU Perlindungan Anak, dan Pasal 335 ayat 1 kesatu KUHP tentang Perbuatan Tidak Menyenangkan. 
Atas dakwaan itu, Aop dikenakan pasal percobaan oleh PN Majalengka dan Pengadilan Tinggi (PT) Bandung. Tapi MA menganulir putusan itu dan menjatuhkan vonis bebas murni ke Aop
Putusan yang diketok pada 6 Mei 2014 itu diadili oleh ketua majelis hakim Salman Luthan dengan anggota Syarifuddin dan Margono. Ketiga hakim MA membebaskan Aop karena sebagai guru ia mempunyai tugas mendisiplinkan siswa. Apa yang dilakukan Aop adalah bagian dari tugasnya dan bukan merupakan suatu tindak pidana, karenanya terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana atas perbuatannya tersebut sebab bertujuan mendidik agar menjadi murid yang baik dan disiplin.

Read More »
15 November | 0komentar

Capaian Pembelajaran Mapel Konsentrasi DPIB Fase F


Pada akhir fase F, peserta didik mampu memahami gambaran mengenai program keahlian yang dipilihnya sehingga mampu memantapkan passion dan vision untuk merencanakan dan melaksanakan aktivitas belajar. Selain itu mampu menggambar 3D dan 2D struktur, arsitektur, interior dan eksterior gedung, teknik konstruksi utilitas, dan sistem plumbing gedug serta menggambar konstruksi jalan dan jembatan menggunakan perangkat lunak desain pemodelan dan informasi bangunan yang relevan dengan dunia kerja, serta dapat melakukan perhitungan estimasi biaya konstruksi bangunan dengan menerapkan K3LH.

Capaian Pembelajaran setiap elemen adalah sebagai berikut.

Elemen

Capaian Pembelajaran

Desain pemodelan bangunan

Peserta didik mampu menerapkan teknik menggambar 3D dan 2D struktur, arsitektur, interior dan eksterior gedung, serta pembuatan visualisasi animasi desain yang informatif (perencanaan, teknik pemodelan, serta gambar rumah sederhana dan bertingkat) dengan menggunakan teknologi BIM.

Desain pemodelan jalan dan jembatan

Peserta didik mampu menerapkan teknik menggambar 2D dan 3D konstruksi jalan dan jembatan, serta pembuatan visualisasi animasi desain yang informatif dengan menggunakan teknologi BIM.

Gambar konstruksi utilitas gedung dan sistem plumbing

Peserta didik mampu menerapkan teknik menggambar 2D dan 3D konstruksi utilitas bangunan (instalasi air bersih, air kotor, saniter, instalasi listrik, dan instalasi sistem kebakaran) dengan menggunakan teknologi BIM.

Rencana biaya dan penjadwalan konstruksi bangunan

Peserta didik mampu menerapkan estimasi real cost dalam perencanaan bangunan dengan teknologi BIM.

 


Read More »
25 August | 0komentar

Tabel Poin Rencana Hasil Kerja (RHK) PMM

Perencanaan Pengembangan Kompetensi dianjurkan memiliki rentang poin minimum antara 32 (tiga puluh dua) dan 128 (seratus dua puluh delapan dalam satu semester) (Perdirjen GTK/Nomor7607/B.B1/HK.03/2023). Poin tersebut diperoleh dengan memilih Rencana Hasil Kerja' yang efektif dan berdampak bagi diri sendiri, komunitas pendidikan, maupun Satuan Pendidikan. Panduan berikut dapat membantu Anda menghitung poin pada tahap pengembangan kompetensi. Poin dihitung dengan memilih ‘Rencana Hasil Kerja’ sesuai dengan minat dan pengembangan diri. Rencana Hasil Kerja memiliki poin yang berbeda-beda.
Berikut Tabel Poin RHK PMM :

No

Rencana Hasil Kerja

Catatan

Bukti Dukung

Poin (statis)

1

Meningkatnya kompetensi melalui peran sebagai Peserta pelatihan mandiri sesuai model kompetensi Guru, Kepala Sekolah, dan/atau pengawas sekolah

1 pelatihan beserta Aksi Nyata setara 8 poin.

Sertifikat Topik / Dokumen Relavan Lainnya

8

2

Meningkatnya kompetensi melalui peran sebagai Partisipan observasi praktik pembelajaran (persiapan, pelaksanaan, dan diskusi tindak lanjut) bersama rekan sejawat

1 observasi sebagai pelaku dan pengamat secara bergantian setara 8 poin.

Laporan

8

3

Meningkatnya kompetensi melalui peran sebagai Penggerak komunitas belajar dengan mengadakan minimal 3 kegiatan berbagi praktik baik

3 kegiatan setara 36 poin.

Sertifikat

36

4

Meningkatnya kompetensi melalui peran sebagai Narasumber berbagi praktik baik dalam kegiatan yang terkait implementasi Kurikulum Merdeka dan/atau Perencanaan Berbasis Data

1 kegiatan berdurasi 2-3 jam setara 8 poin.

Sertifikat

8

5

Meningkatnya kompetensi melalui peran sebagai Peserta berbagi praktik baik yang diselenggarakan komunitas belajar

1 kegiatan berdurasi 2-3 jam setara 4 poin.

Sertifikat

4

6

Meningkatnya kompetensi melalui peran sebagai Peserta program pelatihan dan pendidikan jangka pendek atau menengah pada bidang kepemimpinan dan bidang teknis yang relevan, seperti Pendidikan Guru Penggerak atau pelatihan manajerial Kepala Sekolah

1 kegiatan berdurasi 3-6 bulan setara 128 poin.

Sertifikat

128

7

Meningkatnya kompetensi melalui peran sebagai Peserta kegiatan pelatihan atau bimbingan teknis yang memperoleh sertifikat di bidang pendidikan, kebudayaan, riset dan teknologi

1 kegiatan berdurasi 2-3 hari setara 8 poin.

Sertifikat

8

8

Meningkatnya kompetensi melalui peran sebagai Peserta praktik magang pada dunia kerja dan/atau bidang lain yang relevan

1 kegiatan berdurasi 2-4 minggu setara 24 poin.

Sertifikat

24

9

Meningkatnya kompetensi melalui peran sebagai Partisipan kegiatan seminar, lokakarya, konferensi, simposium, dan/atau studi banding lapangan yang diselenggarakan di bidang pendidikan

1 kegiatan setara 4 poin.

Sertifikat

4

10

Meningkatnya kompetensi melalui peran sebagai Peraih pengakuan atau penghargaan terhadap kompetensi dan kinerjanya dalam berbagai wadah atau ajang

1 penghargaan setara 12 poin.

Piagam

12

11

Meningkatnya kompetensi melalui peran sebagai Penelaah aksi nyata sejawat yang dihasilkan Guru dan/atau Kepala Sekolah lain

10 Aksi Nyata setara 6 poin.

Laporan

6

12

Meningkatnya kompetensi melalui peran sebagai Penelaah cerita praktik yang dihasilkan Guru dan/atau Kepala Sekolah lain

10 Cerita Praktik setara 6 poin.

Laporan

6

13

Meningkatnya kompetensi melalui peran sebagai Penelaah perangkat ajar yang dihasilkan Guru dan/atau Kepala Sekolah lain

10 Perangkat Ajar setara 6 poin.

Laporan

6

14

Meningkatnya kompetensi melalui peran sebagai Penyusun cerita praktik yang dapat dibagikan kepada Guru dan/atau Kepala Sekolah lain

1 Cerita Praktik yang terbit di PMM setara 12 poin.

Cerita Praktik yang terbit di PMM

12

15

Meningkatnya kompetensi melalui peran sebagai Penyusun perangkat ajar yang dapat dibagikan kepada Guru dan/atau Kepala Sekolah lain

1 Perangkat Ajar yang terbit di PMM setara 24 poin.

Perangkat Ajar yang terbit di PMM

24

16

Meningkatnya kompetensi melalui peran sebagai Penyusun kumpulan konten unggulan yang dapat dibagikan kepada Guru dan/atau Kepala Sekolah lain

1 Kumpulan Konten Unggulan yang terbit di PMM setara 6 poin.

Kumpulan Konten Unggulan yang terbit di PMM

6

17

Meningkatnya kompetensi melalui peran sebagai Coach, mentor, fasilitator, dan/atau pengajar praktik dalam kegiatan pengembangan kompetensi kepada Guru, Kepala Sekolah, dan/atau pengawas sekolah

1 kegiatan berdurasi 2-3 jam setara 12 poin.

Sertifikat

12

18

Meningkatnya kompetensi melalui peran sebagai Peserta coaching atau mentoring pengembangan kompetensi oleh Guru, Kepala Sekolah, dan/atau pengawas sekolah

1 kegiatan setara 4 poin.

Sertifikat

4



Read More »
03 August | 0komentar