Assalamu'alaikum ! welcome to Media Pendidikan.| Contact | Register | Sign In
Showing posts with label Kurikulum. Show all posts
Showing posts with label Kurikulum. Show all posts

Guru Olahraga dalam Denyut Teaching Factory

Pemisahan fisik antara guru kejuruan dan guru umum sering kali membuat mata pelajaran umum, seperti Olahraga, terkesan "terpisah" dari core bisnis SMK. Namun, dalam konteks TeFa di mana siswa diibaratkan bekerja di industri nyata, peran guru Olahraga sangat krusial, dan sinergi ini hanya bisa tercipta dengan mudah melalui ruang guru bersama. 

Skenario Proyek TeFa: 
Jurusan Teknik Otomotif (TO) Produk TeFa: Pelayanan bengkel otomotif dan pengembangan prototyping suku cadang. 

1. Kolaborasi dalam Aspek K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) 
Di bengkel industri, kebugaran fisik dan kesadaran ergonomi adalah faktor penentu keselamatan kerja. 


 🗣️ Keterangan: 
Berkat ruang guru yang menyatu, Guru TO dan Guru PJOK dapat bertemu spontan untuk menyusun "Protokol Kebugaran Harian Bengkel" yang terintegrasi langsung dalam jam praktik. Guru Olahraga bahkan bisa membuat poster panduan stretching yang dipasang di area workshop.

2. Kolaborasi dalam Aspek Soft Skill: 
Disiplin dan Mentalitas AtletTeFa menuntut disiplin waktu, etika kerja, dan mentalitas pantang menyerah—kualitas yang sangat ditekankan dalam olahraga.

🗣️ Keterangan: 
Guru PJOK berkoordinasi dengan Guru Produktif untuk memasukkan poin penilaian soft skill seperti "Resiliensi Proyek" atau "Komunikasi Tim Efektif" ke dalam rubrik asesmen berbasis proyek.

3. Kolaborasi Kesehatan Sekolah (UKS) 
Terintegrasi IndustriLingkungan industri harus menjamin kesehatan pekerjanya. Peran UKS yang biasanya digerakkan oleh guru PJOK menjadi sangat relevan.
  • Guru PJOK dapat berkolaborasi dengan guru kejuruan untuk memastikan standar higienitas dan sanitasi di area produksi TeFa sesuai dengan standar kesehatan industri.
  • Merancang program edukasi kesehatan kerja, seperti pencegahan paparan bahan kimia berbahaya atau penanganan kelelahan kronis (burnout), yang langsung kontekstual dengan jurusan masing-masing.
TambahanPenyatuan ruang guru di SMKN 1 Bukateja telah meniadakan batasan fisik, yang pada gilirannya menghancurkan sekat-sekat isolasi pedagogis. Kolaborasi Guru Olahraga dalam TeFa membuktikan bahwa mata pelajaran umum bukan sekadar pelengkap, melainkan fondasi vital yang menyiapkan siswa agar tidak hanya terampil secara teknis, tetapi juga sehat, bugar, dan bermental baja siap menghadapi kerasnya dunia kerja.Ruang guru yang bersatu telah menjadi hub kolaborasi, tempat ide-ide lintas disiplin berputar cepat, menciptakan perencanaan yang benar-benar terintegrasi demi kesuksesan Teaching Factory.

Read More »
07 November | 0komentar

Ribuan Ujian Sejak SD: Apakah Hanya Melahirkan Penghafal, Bukan Pemikir Kritis?

Pernahkah kita menghitung sejak hari pertama masuk SD hingga kelulusan SMA/SMK, bahkan saat kuliah sudah berapa banyak ujian dan ulangan yang kita tempuh?
Angkanya mungkin mengejutkan. Bayangkan saja: Ujian Harian/Ulangan Harian, Ulangan Tengah Semester, Ujian Akhir Semester, Ujian Sekolah/USBN, hingga Ujian Nasional (di masa lalu), dan mungkin juga try out yang tak terhitung jumlahnya. Setiap jenjang (SD 6 tahun, SMP 3 tahun, SMA/SMK 3 tahun) dipenuhi siklus ujian yang berulang, minimal 4-5 kali ujian besar setiap tahun (UTS, UAS, US/UN).
Jika dihitung kasar, kita telah melalui ratusan, bahkan mungkin ribuan kali duduk di kursi dengan selembar kertas soal, pena, dan detak jantung yang berpacu.
Namun, yang jauh lebih penting dari angka itu adalah: Apa yang sebenarnya diwariskan dari rentetan ujian tersebut?

🧐 Ujian: Sekadar Menguji Ingatan, atau Membentuk Keahlian Abad 21?
Pertanyaan besar muncul: Apakah semua ujian dan ulangan selama belasan tahun itu benar-benar mampu menjawab kebutuhan dunia kerja dan kehidupan saat ini yang sangat menuntut keahlian seperti:
  • Berpikir Kritis (Critical Thinking) 
  • Kreatif (Creativity) 
  • Memecahkan Masalah (Problem Solving) 
  • Kolaborasi (Collaboration) 
Jawabannya adalah: Tergantung pada jenis ujiannya.

🌟 Sisi Positif dari "Tekanan" Ujian
Ujian, pada dasarnya, adalah sebuah simulasi tekanan dan batas waktu. Ini adalah "arena tempur" kecil di mana kita diasah untuk:
Disiplin dan Manajemen Waktu: Belajar membagi waktu antara persiapan materi yang banyak dalam waktu yang terbatas.

Ketahanan Mental: Mengatasi rasa takut, kecemasan, dan kegagalan—kemampuan yang sangat dibutuhkan di dunia kerja.

Penguasaan Konsep Dasar: Memastikan kita setidaknya menguasai fondasi ilmu yang akan menjadi pijakan untuk pemikiran yang lebih kompleks.

🚀 Transformasi: Dari Ujian Ingatan Menuju Ujian Kompetensi
Ujian tradisional yang hanya menguji hafalan (misalnya, pilihan ganda definisi) memang tidak secara langsung mengembangkan kemampuan 4C (Kritis, Kreatif, Kolaborasi, Komunikasi/Problem Solving).
Namun, terjadi pergeseran besar dalam pendidikan:

Ujian Berbasis Proyek (Project-Based Assessment): Model ujian berbasis proyek (seperti yang banyak diterapkan pada Kurikulum Merdeka) secara eksplisit menuntut keahlian 4C. Ketika siswa harus membuat produk, presentasi, atau karya inovatif, mereka dipaksa untuk:
Berpikir Kritis: Menganalisis masalah, mengevaluasi sumber, dan mempertanyakan asumsi. 
Kreatif: Merancang solusi unik atau menghasilkan karya baru. 
Kolaborasi: Bekerja dalam tim, membagi tugas, dan menyatukan ide. 
Problem Solving: Mengatasi kendala di tengah proses proyek.

Soal Berpikir Tingkat Tinggi (HOTS): 
Jenis soal yang tidak hanya menanyakan "apa" tetapi juga "mengapa" dan "bagaimana" suatu konsep diterapkan. Ini melatih kita untuk menghubungkan berbagai informasi dan membuat kesimpulan yang logis.
Intinya: Jumlah ujian yang banyak adalah sebuah fakta, tetapi nilai sejatinya terletak pada bagaimana kita menyikapi dan memaknai proses ujian tersebut. Bukan skor yang dihitung, melainkan pertumbuhan diri di balik setiap angka.

🌈 Pelajaran Paling Berharga yang Kita Dapatkan
Mungkin nilai mata pelajaran tertentu telah kita lupakan, namun ada "harta karun" lain yang kita bawa hingga dewasa, yang merupakan hasil dari "latihan" menghadapi ujian:
Kemampuan Coping dengan Kegagalan: Setiap kali nilai tidak sesuai harapan, kita belajar bahwa kegagalan adalah guru. Kita belajar bangkit, merefleksi, dan mencoba lagi di kesempatan berikutnya.
Keterampilan Mengelola Informasi: Kita dilatih untuk memilah mana materi esensial dan mana yang hanya detail, sebuah keahlian penting di era banjir informasi saat ini.
Resiliensi (Ketangguhan): Belasan tahun menghadapi tantangan akademik membuat kita menjadi pribadi yang tangguh, siap menghadapi tantangan hidup yang jauh lebih besar.
Jadi, ketika kita melihat kembali rentetan ujian itu, jangan hanya melihatnya sebagai tumpukan kertas soal. Lihatlah sebagai tangga yang telah kita daki—setiap anak tangganya, yang disebut "ujian," telah membentuk fondasi intelektual dan mental kita untuk menjadi pemecah masalah, pemikir kritis, dan kolaborator ulung di masa depan.

Read More »
05 November | 0komentar

Ringkasan Regulasi Baru : Permendikdasmen Nomor 13 Tahun 2025

Pembina Upacara 
Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) telah menetapkan Peraturan Menteri Nomor 13 Tahun 2025 sebagai perubahan atas Permendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024. Perubahan ini merupakan bentuk penyesuaian administratif dan penguatan kebijakan dalam rangka mengoptimalkan implementasi kurikulum yang telah berlaku. Tujuan utama dari regulasi ini adalah untuk menjawab tantangan zaman sekaligus memperkuat kualitas pembelajaran tanpa melakukan perubahan substansial terhadap struktur kurikulum yang sudah ada.


Tidak Ada Perubahan Kurikulum
Permendikdasmen Nomor 13 Tahun 2025 menegaskan bahwa tidak ada pergantian kurikulum nasional. Satuan pendidikan pada tahun ajaran 2025/2026 tetap menggunakan Kurikulum 2013 dan Kurikulum Merdeka. Kurikulum Merdeka, yang sejak awal dirancang dengan prinsip fleksibilitas dan penguatan kompetensi, tetap menjadi acuan dalam upaya membangun karakter dan kecakapan peserta didik sesuai konteks lokal dan kebutuhan masa depan. Kurikulum 2013 pun tetap digunakan secara berkelanjutan sesuai dengan kesiapan satuan pendidikan.


Pendekatan Pembelajaran Mendalam
Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) telah menetapkan Peraturan Menteri Nomor 13 Tahun 2025 sebagai perubahan atas Permendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024. Perubahan ini merupakan bentuk penyesuaian administratif dan penguatan kebijakan dalam rangka mengoptimalkan implementasi kurikulum yang telah berlaku. Tujuan utama dari regulasi ini adalah untuk menjawab tantangan zaman sekaligus memperkuat kualitas pembelajaran tanpa melakukan perubahan substansial terhadap struktur kurikulum yang sudah ada.


Penambahan Mata Pelajaran Pilihan Koding dan Kecerdasan Artifisial
Salah satu perubahan penting dalam Permendikdasmen Nomor 13 Tahun 2025 adalah penambahan mata pelajaran pilihan baru berupa Koding dan Kecerdasan Artifisial. Pelajaran ini akan mulai diterapkan secara bertahap mulai tahun ajaran 2025/2026, dimulai dari kelas 5 dan 6 jenjang pendidikan dasar, serta kelas 7 jenjang pendidikan menengah. Tujuan dari penambahan ini adalah untuk memberikan bekal keterampilan abad ke-21 kepada murid, khususnya dalam menghadapi tantangan era digital dan perkembangan teknologi yang sangat pesat.


Profil Lulusan
Permendikdasmen Nomor 13 Tahun 2025 memperbarui profil lulusan dari enam dimensi Profil Pelajar Pancasila menjadi delapan Profil Lulusan, yaitu:
  1. Keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa 
  2. Kewargaan 
  3. Penalaran kritis 
  4. Kreativitas 
  5. Kolaborasi 
  6. Kemandirian 
  7. Kesehatan 
  8. Komunikasi
Perubahan ini mencerminkan pendekatan holistik dalam pengembangan kompetensi siswa, dengan penambahan aspek kesehatan dan komunikasi sebagai bagian dari profil lulusan.


Perubahan Kokurikuler
Kegiatan kokurikuler mengalami penyesuaian sebagai berikut:

Bentuk:
Semula: Minimal berupa Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5).
Menjadi: Dapat dilakukan melalui pembelajaran kolaboratif lintas disiplin ilmu, gerakan tujuh kebiasaan anak Indonesia hebat, atau cara lain yang relevan.

Kompetensi:
Semula: Enam dimensi Profil Pelajar Pancasila.
Menjadi: Delapan Profil Lulusan.

Muatan:
Semula: Tema ditetapkan oleh pemerintah.
Menjadi: Tema dapat ditetapkan oleh satuan pendidikan, memberikan fleksibilitas sesuai kebutuhan dan karakteristik lokal.

Kegiatan Ekstrakurikuler
Ekstrakurikuler dirancang untuk mengembangkan potensi, bakat, minat, kemampuan, kepribadian, kerja sama, dan kemandirian siswa secara optimal. Kegiatan ini dilakukan di bawah bimbingan dan pengawasan satuan pendidikan, dengan pramuka atau kepanduan lainnya sebagai kegiatan wajib. Satuan pendidikan juga dapat menyediakan kegiatan ekstrakurikuler lain sesuai kebutuhan siswa.

Read More »
04 November | 0komentar

Kembali pada Esensi: Tiga Pilar Pola Pikir

Untuk mengatasi tantangan ini, kita harus kembali pada tujuan fundamental pendidikan: menciptakan manusia yang merdeka, reflektif, dan bermakna. Ini adalah tiga pilar yang harus menjadi fondasi pola pikir setiap insan pendidikan. 

1. Merdeka: Kebebasan Berpikir (Freedom of Thought) 
Berpikir merdeka berarti memiliki keberanian untuk mempertanyakan (to question), tidak menerima informasi secara mentah-mentah, dan membentuk opini berdasarkan nalar serta bukti, bukan sekadar otoritas. Pendidikan harus menjadi ruang aman bagi siswa untuk mengajukan pertanyaan bodoh, berdebat secara sehat, dan mengemukakan ide-ide yang berbeda. Guru berperan sebagai fasilitator yang mendorong rasa ingin tahu, bukan sebagai diktator pengetahuan. 

2. Reflektif: Menyelami Kedalaman Diri dan Pembelajaran 
Berpikir reflektif adalah kemampuan untuk melihat ke dalam (introspection), mengevaluasi tindakan, proses, dan hasil pembelajaran diri sendiri. Ini melibatkan proses bertanya: Apa yang sudah saya pelajari? Bagaimana saya mempelajarinya? Apa yang bisa saya lakukan berbeda lain kali? Proses refleksi mengubah kesalahan dari kegagalan menjadi peluang belajar dan mematikan budaya menyalahkan. Bagi guru, refleksi berarti terus-menerus menguji efektivitas metode pengajaran mereka. 

3. Bermakna: Menghubungkan Teori dengan Realitas 
Berpikir bermakna adalah kemampuan untuk menghubungkan apa yang dipelajari di kelas dengan kehidupan nyata dan tujuan yang lebih besar. Ketika siswa memahami bahwa matematika digunakan dalam arsitektur, sejarah mengajarkan pola-pola sosial, atau bahasa adalah alat untuk perubahan, motivasi mereka akan melonjak. Pendidikan yang bermakna adalah yang relevan, menanamkan nilai-nilai, dan mendorong siswa untuk menggunakan pengetahuannya demi kebaikan bersama. 

Perubahan Sejati Dimulai dari Dalam Perubahan dalam sistem pendidikan tidak akan efektif jika hanya bersifat kosmetik mengganti kurikulum, menambah jam pelajaran, atau membeli teknologi baru. Perubahan sejati dimulai dari dalam, yaitu dari pola pikir semua yang terlibat: 

Untuk Guru: Dari Pemberi Tahu menjadi Pemandu Guru harus berani melepaskan peran mereka sebagai "satu-satunya sumber pengetahuan" dan beralih menjadi pemandu (guide) atau kolega belajar. Pola pikir ini membutuhkan keberanian untuk mengakui bahwa guru pun bisa belajar dari siswa, dan bahwa tujuan utama adalah mengembangkan kemampuan siswa untuk belajar sendiri (self-directed learning). 

Untuk Siswa: Dari Penerima Pasif menjadi Pemilik Pembelajaran Siswa perlu didorong untuk mengambil kepemilikan (ownership) atas proses belajar mereka. Pola pikir ini menumbuhkan otonomi, tanggung jawab, dan motivasi intrinsik. Sekolah harus menciptakan lingkungan yang memberdayakan siswa untuk menentukan tujuan belajar mereka, memilih proyek yang mereka sukai, dan menilai perkembangan mereka sendiri. 

Untuk Semua Pihak: Mengutamakan Proses daripada Hasil Pemerintah, orang tua, dan institusi pendidikan perlu menggeser fokus dari tekanan nilai akhir ke penghargaan atas proses, usaha, dan pertumbuhan. Pola pikir ini menghargai kegigihan, percobaan, dan perjalanan intelektual, bukan sekadar garis finish yang diukur oleh angka. Penutup Pendidikan yang ideal adalah yang melahirkan individu yang tidak hanya cerdas secara kognitif tetapi juga sehat secara moral dan mental. 

Kembalikan pendidikan pada esensinya: membebaskan pikiran, mendorong refleksi mendalam, dan menumbuhkan rasa ingin tahu yang tak pernah padam. Hanya dengan mengubah pola pikir internal, kita dapat menciptakan generasi yang siap menghadapi masa depan dengan pikiran yang merdeka, reflektif, dan penuh makna. Apakah Anda setuju bahwa mengubah pola pikir internal adalah langkah paling fundamental dalam reformasi pendidikan?

Read More »
30 September | 0komentar

Membentuk Pikiran yang Merdeka dan Bermakna

Wisuda UNS, 27 Sept 2025
Pendidikan, sejatinya, adalah jantung peradaban. Ia bukan sekadar transfer pengetahuan, melainkan proses menumbuhkan individu yang mampu berpikir kritis, berempati, dan berkontribusi secara positif pada dunia. Namun, di tengah gempuran kurikulum yang padat dan tuntutan akreditasi, seringkali kita kehilangan arah, menjauh dari esensi utama pendidikan: membentuk cara berpikir yang merdeka, reflektif, dan bermakna.
Artikel ini mengajak kita untuk menelisik berbagai tantangan pendidikan hari ini dan menggarisbawahi mengapa perubahan sejati harus dimulai dari internal dari pola pikir semua pihak yang terlibat. Tantangan Pendidikan Kontemporer Sistem pendidikan global, termasuk di Indonesia, menghadapi beberapa tantangan krusial yang menghambat pembentukan individu yang mandiri dalam berpikir. 

1. Kurikulum yang Terlalu Berorientasi pada Nilai 
Fokus utama seringkali beralih dari pemahaman mendalam dan proses pembelajaran menjadi sekadar capaian angka (nilai ujian, nilai rapor). Hal ini memicu budaya "menghafal untuk ujian" (rote learning) dan bukannya "belajar untuk mengerti". Akibatnya, siswa lulus dengan kepala penuh informasi namun minim kemampuan untuk menganalisis, menyintesis, atau memecahkan masalah kompleks di dunia nyata. 

2. Beban Administrasi yang Mematikan Kreativitas Guru 
Para guru, sebagai ujung tombak pendidikan, seringkali terbebani oleh tugas administrasi dan pelaporan yang masif. Waktu dan energi yang seharusnya dicurahkan untuk merancang metode pembelajaran yang inovatif, berdiskusi dengan siswa, atau melakukan refleksi praktik mengajar, terkuras untuk urusan birokrasi. Ini secara langsung mematikan kreativitas dan semangat mereka dalam mengajar. 

3. Ketidakselarasan dengan Kebutuhan Masa Depan 
Pendidikan saat ini masih berjuang untuk mengejar laju perubahan dunia. Revolusi industri, disrupsi teknologi, dan perubahan iklim menuntut keterampilan abad ke-21 seperti keterampilan berpikir kritis, kolaborasi, komunikasi, dan kreativitas. Sayangnya, banyak praktik di kelas masih berpegang pada model yang dirancang untuk era industri, yang lebih menekankan kepatuhan daripada inisiatif mandiri.



Read More »
30 September | 0komentar

AI Adalah Partner Anda, Bukan Pengganti

Umroh 2017
Di tengah derasnya arus teknologi, mengajar bukan lagi sekadar menyampaikan materi. Tantangannya semakin kompleks, tetapi kabar baiknya, potensinya juga semakin besar. Jika Anda merasa ingin selalu selangkah lebih maju dan penasaran dengan rahasia guru-guru yang selalu efektif, artikel ini adalah jawabannya.
Kami memahami betapa berharganya setiap detik bagi seorang guru. Waktu adalah aset paling berharga, dan kami tahu Anda ingin bekerja lebih cerdas, bukan lebih keras. Artikel ini akan membongkar strategi rahasia bagaimana para pendidik modern bisa melakukannya, terutama dengan bantuan teknologi kecerdasan buatan (AI).
Mengapa AI Penting bagi Guru?
Artificial Intelligence (AI) bukan lagi sekadar wacana futuristik, melainkan alat praktis yang siap membantu Anda. AI dapat mengambil alih tugas-tugas administratif yang memakan banyak waktu, seperti menyusun materi, membuat soal, atau bahkan memberikan umpan balik awal. Dengan begitu, Anda bisa fokus pada hal yang paling penting: berinteraksi langsung dengan siswa, memahami kebutuhan mereka, dan menciptakan pengalaman belajar yang personal.

Membangun Kekuatan Mengajar Anda dengan AI
Bagaimana AI dapat membantu Anda menjadi guru yang lebih efektif? Berikut beberapa rahasia yang perlu Anda ketahui:
  • Menciptakan Materi Ajar Super Menarik dalam Waktu Singkat: Bayangkan Anda bisa membuat presentasi interaktif, video pendek, atau kuis yang menarik hanya dalam hitungan menit. Alat AI generatif dapat membantu membuat draf materi, menyusun narasi, atau bahkan mengubah format materi yang sudah ada menjadi lebih menarik dan mudah dicerna oleh siswa. 
  • Merancang Soal dan Penilaian yang Tepat Sasaran: Membuat soal yang variatif dan efektif seringkali memakan waktu. Dengan AI, Anda bisa dengan mudah membuat bank soal, merancang penilaian formatif yang personal, dan mendapatkan analisis cepat tentang pemahaman siswa. Ini memungkinkan Anda untuk segera menyesuaikan metode pengajaran agar lebih tepat sasaran. 
  • Menghadirkan Ide-Ide Pembelajaran Inovatif dan Personal: Setiap siswa unik, dan AI dapat membantu Anda memenuhi kebutuhan mereka. Alat-alat AI bisa menganalisis gaya belajar siswa dan menyarankan pendekatan yang berbeda. Anda bisa menciptakan skenario pembelajaran berbasis proyek yang lebih mendalam atau memberikan bimbingan personal yang disesuaikan dengan kemajuan setiap individu. 
  • Memangkas Drastis Waktu Persiapan Mengajar: Bayangkan waktu yang Anda habiskan untuk merencanakan RPP, mencari sumber materi, atau bahkan hanya sekadar menyalin catatan. AI dapat mengambil alih tugas-tugas ini, memberikan Anda lebih banyak ruang untuk berpikir kreatif, merancang aktivitas yang lebih bermakna, dan tentu saja, meluangkan waktu untuk pengembangan diri. 

AI Adalah Partner Anda, Bukan Pengganti
Sangat penting untuk ditekankan bahwa AI tidak akan menggantikan peran guru. Sebaliknya, AI adalah partner Anda, sebuah alat canggih yang dirancang untuk memperkuat kemampuan Anda. Dengan memanfaatkan AI, Anda tidak hanya menjadi guru yang efektif, tetapi juga guru yang visioner, siap menghadapi tantangan masa depan, dan terus menginspirasi siswa dengan cara yang belum pernah ada sebelumnya.
Ini bukan sekadar teori. Saat ini, sudah banyak alat-alat AI yang tersedia dan dapat Anda coba. Masing-masing dirancang untuk mengubah cara Anda berinteraksi dengan kurikulum dan siswa, membuka pintu menuju pengalaman mengajar yang lebih bermakna dan efisien.

Read More »
02 August | 0komentar

Regulasi Pendidikan Tahun Ajaran 2025/2026

Tahun ajaran 2025/2026 di Indonesia diproyeksikan menjadi periode krusial dalam evolusi sistem pendidikan nasional. Setelah beberapa tahun implementasi dan adaptasi berbagai kebijakan kurikulum, perhatian utama kini tertuju pada konsolidasi regulasi yang akan menopang arah pembelajaran di masa depan. Artikel ini akan membahas potensi regulasi dan dampaknya terhadap dinamika pendidikan di Indonesia pada tahun ajaran tersebut, dengan fokus pada kesinambungan, inovasi, dan relevansi
Regulasi terkait dengan kurikulum pada pendidikan di tahun ajaran 2025/2026 berikut:
  1. Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2025 tentang Standar Kompetensi Lulusan pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah; 
  2. Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2025 tentang Standar Isi pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah; 
  3. Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 16 Tahun 2022 tentang Standar Proses pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah; 
  4. Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 21 Tahun 2022 tentang Standar Penilaian pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah; 
  5. Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah; dan 
  6. Keputusan Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 046/H/Kr/2025 tentang Capaian Pembelajaran pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah
  7. Capaian Pembelajaran untuk SMK

Read More »
31 July | 0komentar

Capaian Pembelajaran SMK sesuai Kep.Kepala BSKAP No. 046/H/KR/2025

Pendidikan di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dirancang untuk membekali peserta didik dengan keterampilan dan pengetahuan yang relevan dengan dunia kerja. Kurikulum SMK terbagi menjadi dua kelompok mata pelajaran utama yang saling melengkapi: Mata Pelajaran Umum dan Mata Pelajaran Kejuruan. Pembagian ini bertujuan untuk memastikan lulusan SMK tidak hanya memiliki kompetensi teknis yang mumpuni, tetapi juga pondasi pengetahuan dan karakter yang kuat.

Kelompok Mata Pelajaran Umum
Kelompok Mata Pelajaran Umum bertujuan untuk membentuk karakter peserta didik, menumbuhkan wawasan kebangsaan, serta membekali mereka dengan dasar-dasar ilmu pengetahuan yang esensial. Mata pelajaran dalam kelompok ini memiliki peran krusial dalam mengembangkan soft skills dan kemampuan berpikir kritis yang dibutuhkan di segala bidang.

Mata pelajaran yang termasuk dalam kelompok ini antara lain:
  1. Pendidikan Agama dan Budi Pekerti: Membentuk peserta didik yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia. 
  2. Pendidikan Pancasila: Menumbuhkan rasa cinta tanah air dan memahami nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara. 
  3. Bahasa Indonesia: Mengembangkan kemampuan berbahasa Indonesia yang baik dan benar untuk berkomunikasi secara efektif. 
  4. Matematika: Melatih kemampuan berpikir logis, analitis, dan problem-solving. 
  5. Sejarah: Membekali peserta didik dengan pemahaman tentang peristiwa-peristiwa penting di masa lalu untuk mengambil pelajaran dan membangun masa depan. 
  6. Seni Budaya: Mengembangkan apresiasi terhadap seni dan budaya serta mengekspresikan kreativitas. 
  7. Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan: Meningkatkan kebugaran fisik dan kesadaran akan pentingnya hidup sehat.

Kelompok Mata Pelajaran Kejuruan
Kelompok Mata Pelajaran Kejuruan (Muatan Peminatan Kejuruan) adalah inti dari pendidikan vokasi di SMK. Mata pelajaran ini secara spesifik membekali peserta didik dengan kompetensi teknis sesuai dengan Bidang Keahlian, Program Keahlian, dan Konsentrasi Keahlian yang dipilih. Fokus utamanya adalah aplikasi praktis dan relevansi dengan kebutuhan industri.
Mata pelajaran dalam kelompok kejuruan dapat meliputi:
  1. Dasar-dasar Keahlian: Memperkenalkan konsep dasar dan prinsip-prinsip yang melandasi suatu bidang keahlian. 
  2. Mata Pelajaran Kejuruan: Mata pelajaran inti yang berfokus pada kompetensi spesifik sesuai dengan program keahlian yang diambil. Ini bisa berupa pelajaran teori maupun praktik di laboratorium atau bengkel. 
  3. Proyek Kreatif dan Kewirausahaan: Mendorong peserta didik untuk mengembangkan ide-ide inovatif, merencanakan proyek, dan memahami dasar-dasar kewirausahaan. 
  4. Praktek Kerja Lapangan (PKL): Pengalaman langsung di dunia industri untuk mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan yang telah dipelajari serta beradaptasi dengan lingkungan kerja nyata.

Struktur kurikulum SMK, termasuk pembagian kelompok mata pelajaran dan capaian pembelajarannya, diatur secara rinci dalam Keputusan Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 046/H/KR/2025. Keputusan ini menjadi landasan bagi satuan pendidikan dalam menyusun kurikulum operasional dan melaksanakan proses pembelajaran untuk memastikan lulusan SMK memiliki standar kompetensi yang relevan dan dibutuhkan oleh dunia usaha dan dunia industri (DUDI).
Bagi Anda yang ingin mengunduh salinan lengkap dari Keputusan Kepala BSKAP No. 046/H/KR/2025, Anda dapat mencarinya di situs web resmi Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi atau melalui portal resmi BSKAP.

Read More »
28 July | 0komentar

Capaian Pembelajaran : BSKAP 046/H/KR/2025


Apa itu Capaian Pembelajaran? 
Capaian Pembelajaran (CP) adalah rumusan kompetensi yang ditargetkan dicapai peserta didik pada setiap fase perkembangan. CP menjadi dasar perencanaan pembelajaran, asesmen, hingga pelaporan hasil belajar. 

Struktur Fase dalam Kurikulum 2025 :

Jenjang Pendidikan

Fase

Rentang Umum

PAUD

Fondasi

Usia 2–6 tahun

SD/MI

A–C

Kelas I–VI

SMP/MTs

D

Kelas VII–IX

SMA/SMK/MAK

E–F

Kelas X–XII/XIII

Pendidikan Khusus/Kesetaraan

A–F

Disesuaikan kebutuhan


Tujuan CP Terbaru :
Integratif: pengetahuan, keterampilan, dan sikap secara holistik 
Berbasis proyek dan kontekstual 
Relevan dengan literasi digital dan dunia kerja 
Fleksibel sesuai konteks lokal dan karakteristik siswa

Surat keputusan BSKAP 046/H/KR/2025 adalah revisi dari capaian pembelajaran CP PSMK 2025 kurikulum merdeka yang di dalamnya juga memuat CP untuk Dikdas (Pendidikan Dasar) dan Dikmen (Pendidikan Menengah). Surat Keputusan Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (BSKAP) Nomor 046/H/KR/2025 ini isinya sama tentang capaian pembelajaran dalam implementasi kurikulum merdeka mulai jenjang paud hingga smk sederajat. Bagi ayah bunda yang belum sempat melihat paparan kurikulum merdeka kami sudah ringkaskan apa itu kurikulum merdeka.


Read More »
28 July | 0komentar

Regulasi Baru Pendidikan Tahun Ajaran 2025/2026




Regulasi terkait dengan kurikulum dipendidikan di tahun ajaran 2025/2026 berikut:
  1. Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2025 tentang Standar Kompetensi Lulusan pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah; 
  2. Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2025 tentang Standar Isi pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah; 
  3. Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 16 Tahun 2022 tentang Standar Proses pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah; 
  4. Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 21 Tahun 2022 tentang Standar Penilaian pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah; 
  5. Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah; dan 
  6. Keputusan Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 046/H/Kr/2025 tentang Capaian Pembelajaran pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah

Read More »
24 July | 0komentar

Permendikdasmen Nomor 13 Tahun 2025

Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) telah meresmikan kehadiran Permendikdasmen Nomor 13 Tahun 2025. Peraturan ini secara singkat memuat berbagai perubahan pada kurikulum jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Perubahan ini mengacu pada Permendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum, yang terdiri dari 5 Bab dan 34 Pasal. Latar Belakang Permendikdasmen No. 13 Tahun 2025 Penerbitan Permendikdasmen No. 13 Tahun 2025 merupakan langkah konkret Kemendikdasmen dalam menindaklanjuti dan mengimplementasikan kebijakan kurikulum yang telah ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui Permendikbudristek No. 12 Tahun 2024. Hal ini menunjukkan sinkronisasi kebijakan antara kementerian induk dan kementerian di bawahnya dalam upaya pembaruan sistem pendidikan nasional. 
Peraturan ini hadir untuk memastikan bahwa perubahan kurikulum dapat diterapkan secara efektif di tingkat operasional, yakni di sekolah-sekolah dasar dan menengah di seluruh Indonesia. Isi Pokok Permendikdasmen No. 13 Tahun 2025 Secara umum, Permendikdasmen No. 13 Tahun 2025 berfokus pada implementasi perubahan kurikulum di jenjang pendidikan dasar dan menengah. Meskipun rincian spesifik pasal-pasalnya tidak dijelaskan, dapat diasumsikan bahwa peraturan ini akan mengatur hal-hal berikut: 
Adaptasi Kurikulum Baru: Penjelasan lebih lanjut mengenai bagaimana satuan pendidikan dasar dan menengah harus mengadopsi dan menerapkan ketentuan-ketentuan yang ada dalam Permendikbudristek No. 12 Tahun 2024. 
Jadwal dan Mekanisme Penerapan: Aturan mengenai lini masa transisi, pelatihan guru, penyesuaian materi ajar, dan evaluasi implementasi kurikulum baru. 
Peran dan Tanggung Jawab: Penjelasan mengenai peran pemerintah daerah, dinas pendidikan, pengawas sekolah, kepala sekolah, guru, serta komite sekolah dalam mendukung keberhasilan penerapan kurikulum baru. 
Penyesuaian Teknis: Kemungkinan besar terdapat rincian teknis terkait penyusunan perangkat pembelajaran, penilaian, dan pelaporan yang selaras dengan filosofi dan tujuan kurikulum baru. 
Dukungan dan Pembinaan: Mekanisme pemberian dukungan, bimbingan, dan pembinaan kepada sekolah-sekolah untuk memastikan pemahaman dan pelaksanaan kurikulum yang optimal. Peraturan ini akan menjadi panduan operasional bagi seluruh pemangku kepentingan di tingkat pendidikan dasar dan menengah untuk menjalankan perubahan kurikulum yang digariskan oleh Permendikbudristek No. 12 Tahun 2024. 

Keterkaitan dengan Permendikbudristek No. 12 Tahun 2024 Permendikdasmen No. 13 Tahun 2025 tidak dapat dilepaskan dari Permendikbudristek No. 12 Tahun 2024. Peraturan induk ini, dengan 5 Bab dan 34 Pasal, menjadi landasan filosofis dan konseptual bagi kurikulum baru. Peran Permendikdasmen No. 13 Tahun 2025 adalah menerjemahkan kerangka besar tersebut ke dalam petunjuk teknis yang lebih detail dan operasional agar dapat diterapkan di lapangan. Adanya dua peraturan ini menunjukkan bahwa perubahan kurikulum adalah proses berlapis yang melibatkan penetapan kebijakan di tingkat pusat (Kemendikbudristek) dan kemudian implementasi serta penyesuaian di tingkat fungsional (Kemendikdasmen). Hal ini bertujuan untuk menciptakan kurikulum yang relevan, dinamis, dan responsif terhadap kebutuhan peserta didik serta tantangan zaman.



Read More »
23 July | 0komentar

Alur Pembelajaran Modul Kecerdasan Artifisial dengan Taksonomi SOLO

Alur Pembelajaran Modul Kecerdasan Artifisial dengan Taksonomi SOLO
Penguasaan kecerdasan artifisial (KA) kini menjadi kebutuhan esensial. Namun, bagaimana kita bisa memastikan pembelajaran tentang KA tidak hanya bersifat superfisial, melainkan benar-benar mendalam? Salah satu kerangka yang sangat efektif untuk merancang alur pembelajaran yang progresif adalah Taksonomi SOLO (Structure of Observed Learning Outcome). Taksonomi ini membantu kita mengidentifikasi tingkat pemahaman peserta didik, dari yang paling dasar hingga yang paling kompleks.
Mari kita bedah alur pembelajaran modul "Pengoperasian, Pengaplikasian, dan Kolaborasi Perangkat Kecerdasan Artifisial" menggunakan pendekatan SOLO Taxonomy:

1. Tahap Pra-Struktural (Pre-Structural): Pengenalan Awal Pada tahap ini, peserta mungkin belum memiliki pemahaman atau hanya memiliki pemahaman yang sangat terbatas tentang materi. Tujuan utamanya adalah membangun fondasi awal. 
  • Materi: Konsep dasar Kecerdasan Artifisial, sejarah singkat, dan contoh-contoh sederhana dalam kehidupan sehari-hari (misalnya, rekomendasi Netflix, asisten suara). 
  • Pengalaman Belajar dalam Pembelajaran Mendalam: Mengenali keberadaan KA. Mendengarkan dan mengidentifikasi contoh-contoh KA. 
  • Aktivitas: Diskusi kelas tentang "Apa yang Anda ketahui tentang AI?" Menonton video pengantar tentang AI. Kuis singkat identifikasi (benar/salah) tentang pernyataan dasar KA. 
  • Tagihan: Daftar contoh KA yang mereka temui sehari-hari. 
  • Moda: Synchronous (tatap muka/virtual) – Ceramah singkat, diskusi.

2. Tahap Uni-Struktural (Uni-Structural): Fokus pada Satu Aspek Peserta mulai memahami satu aspek dari materi, namun belum mampu menghubungkannya dengan konsep lain. 
  • Materi: Pengenalan komponen dasar perangkat keras/lunak yang mendukung KA (misalnya, sensor, kamera, data sederhana). Pengenalan perintah dasar pengoperasian perangkat KA sederhana. 
  • Pengalaman Belajar dalam Pembelajaran Mendalam: Mengidentifikasi satu fungsi spesifik perangkat KA. Mampu mengikuti satu instruksi untuk mengoperasikan. 
  • Aktivitas: Simulasi pengoperasian perangkat KA sederhana (misalnya, mengendalikan robot mini dengan perintah dasar). Mengidentifikasi input dan output dari satu contoh KA. Latihan interaktif: Menarik dan melepas blok kode untuk perintah dasar. 
  • Tagihan: Laporan singkat tentang satu fungsi perangkat KA yang dipelajari. 
  • Moda: Blended – Demonstrasi langsung, tutorial interaktif.

3. Tahap Multi-Struktural (Multi-Structural): Mengidentifikasi Beberapa Aspek Peserta dapat mengidentifikasi beberapa aspek terpisah dari materi, namun belum memahami bagaimana aspek-aspek tersebut saling berkaitan. 
  • Materi: Pengoperasian berbagai fitur perangkat KA yang berbeda. Pemahaman dasar tentang cara mengumpulkan dan menyiapkan data untuk aplikasi sederhana. Konsep aplikasi dasar KA (misalnya, pengenalan gambar sederhana, pengolahan suara dasar). 
  • Pengalaman Belajar dalam Pembelajaran Mendalam: Menjelaskan beberapa fungsi perangkat KA secara terpisah. Menerapkan beberapa perintah yang berbeda secara sekuensial. Menjelaskan beberapa jenis data yang digunakan KA. 
  • Aktivitas: Eksperimen dengan berbagai fitur perangkat KA (misalnya, robot yang dapat mendeteksi warna DAN suara). Studi kasus singkat tentang aplikasi KA yang berbeda. Latihan pengumpulan data sederhana dan visualisasinya. 
  • Tagihan: Diagram yang menunjukkan beberapa fungsi terpisah dari perangkat KA, atau daftar jenis aplikasi KA yang berbeda. 
  • Moda: Hybrid – Praktikum mandiri, studi kasus kelompok kecil.

4. Tahap Relasional (Relational): Menghubungkan Berbagai Aspek Pada tahap ini, peserta mulai melihat hubungan antara berbagai aspek materi dan bagaimana mereka membentuk sebuah keseluruhan yang kohesif. 
  • Materi: Alur kerja lengkap pengaplikasian KA, dari pengumpulan data, pelatihan model, hingga implementasi dan pengujian. Prinsip dasar kolaborasi dalam proyek KA (misalnya, pembagian peran, penggunaan version control). 
  • Pengalaman Belajar dalam Pembelajaran Mendalam: Menjelaskan proses end-to-end pengembangan aplikasi KA. Menganalisis bagaimana perubahan pada satu komponen KA memengaruhi komponen lainnya. Merancang strategi kolaborasi untuk proyek KA. 
  • Aktivitas: Proyek kelompok kecil: Mengembangkan aplikasi KA sederhana (misalnya, chatbot dasar, sistem klasifikasi gambar kecil). Diskusi kasus: Mengidentifikasi masalah dalam proyek KA dan solusi kolaboratif. Presentasi tentang arsitektur aplikasi KA. 
  • Tagihan: Prototipe aplikasi KA sederhana yang fungsional, atau rencana proyek kolaborasi KA. 
  • Moda: Synchronous & Asynchronous – Proyek berbasis tim, mentoring, peer review.

5. Tahap Extended Abstract (Extended Abstract): Generalisasi dan Penerapan dalam Konteks Baru Ini adalah tingkat pemahaman tertinggi, di mana peserta mampu menggeneralisasi konsep yang dipelajari dan menerapkannya dalam situasi atau konteks baru yang belum pernah diajarkan sebelumnya. 
  • Materi: Etika KA, bias dalam algoritma, implikasi sosial KA, tren masa depan KA, dan inovasi dalam kolaborasi lintas disiplin. 
  • Pengalaman Belajar dalam Pembelajaran Mendalam: Mengevaluasi dampak etis dan sosial dari aplikasi KA. Merancang solusi KA untuk masalah dunia nyata yang kompleks, mempertimbangkan berbagai faktor. Mengusulkan ide-ide inovatif untuk pemanfaatan KA di luar domain yang diajarkan. Menginisiasi dan memimpin kolaborasi multi-pihak dalam konteks KA. 
  • Aktivitas: Studi kasus mendalam tentang dilema etika KA. Proyek inovasi: Mengidentifikasi masalah kompleks dan merancang solusi KA yang mempertimbangkan etika dan keberlanjutan. Debat terstruktur tentang masa depan KA. Menyajikan proposal proyek KA yang ambisius kepada audiens eksternal. 
  • Tagihan: Proposal proyek inovasi KA yang komprehensif, atau esai kritis tentang dampak etika KA. 
  • Moda: Asynchronous & Synchronous – Penelitian mandiri, lokakarya khusus, presentasi publik.

Dengan mengikuti alur pembelajaran yang terstruktur menggunakan Taksonomi SOLO ini, modul pengoperasian, pengaplikasian, dan kolaborasi perangkat kecerdasan artifisial dapat memastikan bahwa peserta didik tidak hanya menguasai keterampilan teknis, tetapi juga mengembangkan pemahaman yang mendalam, kritis, dan mampu berinovasi di bidang kecerdasan artifisial. Pendekatan ini memungkinkan pendidik untuk secara sistematis memandu peserta dari sekadar pengenalan hingga menjadi pemikir dan inovator KA yang ulung.

Read More »
06 July | 0komentar

Delapan Dimensi Profil Lulusan,

Profil lulusan bukan sekadar daftar mata pelajaran yang telah diselesaikan, melainkan cetak biru komprehensif yang menggambarkan karakter, kompetensi, dan kapabilitas yang diharapkan dimiliki oleh setiap individu setelah menyelesaikan jenjang pendidikan tertentu. Di tengah dinamika global yang terus berubah, fokus pada pengembangan profil lulusan yang holistik menjadi semakin krusitis. Artikel ini akan mengupas tuntas dimensi-dimensi kunci yang membentuk profil lulusan unggul, meliputi keimanan dan ketakwaan, kewargaan, kreativitas, penalaran kritis, kolaborasi, kemandirian, kesehatan, dan komunikasi pada Pembelajaran Mendalam
  1. Keimanan dan Ketakwaan terhadap Tuhan YME Individu yang memiliki keyakinan teguh akan keberadaan Tuhan YME dan menghayati serta mengamalkan nilai-nilai spiritual dalam kehidupan sehari-hari.
  2. Kewargaan Individu yang memiliki rasa cinta tanah air serta menghargai keberagaman budaya, mentaati aturan dan norma sosial dalam kehidupan bermasyarakat, memiliki kepedulian dan tanggung jawab sosial, serta berkomitmen untuk menyelesaikan masalah nyata yang berkaitan dengan keberlanjutan kehidupan, lingkungan, dan harmoni antarbangsa dalam konteks kebhinekaan global.
  3. Penalaran Kritis Individu yang mampu berpikir secara logis, analitis, dan reflektif dalam memahami, mengevaluasi, serta memproses informasi untuk menyelesaikan masalah.
  4. Kreativitas Individu yang mampu berpikir secara inovatif, fleksibel, dan orisinal dalam mengolah ide atau informasi untuk menciptakan solusi yang unik dan bermanfaat.
  5. Kolaborasi Individu yang mampu bekerja sama secara efektif dengan orang lain secara gotong royong untuk mencapai tujuan bersama melalui pembagian peran dan tanggung jawab.
  6. Kemandirian Individu yang mampu bertanggung jawab atas proses dan hasil belajarnya sendiri dengan menunjukkan kemampuan untuk mengambil inisiatif, mengatasi hambatan, dan menyelesaikan tugas secara tepat tanpa bergantung pada orang lain.
  7. Kesehatan Individu yang memiliki fisik yang prima, bugar, sehat, dan mampu menjaga keseimbangan kesehatan mental dan fisik untuk mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin (well-being).
  8. Komunikasi Individu yang memiliki kemampuan komunikasi intrapribadi untuk melakukan refleksi dan antarpribadi untuk menyampaikan ide, gagasan, dan informasi baik lisan maupun tulisan serta berinteraksi secara efektif dalam berbagai situasi.



Read More »
24 June | 0komentar

Bawah Tumpukan Dokumen Kurikulum

Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum
Semester telah usai. Pembagian raport akan dibagikan esok Pagi (20/6/2025). Buku catatan penuh kejadian, rekap nilai rapi, dan lembar asesmen otentik tersusun lengkap dengan bukti-bukti foto siswa yang berproyek, mengenakan baju adat, menanam pohon, atau berdiskusi layaknya anak-anak Google. Namun, di tengah hiruk pikuk akhir tahun ajaran, sebuah pertanyaan mengganjal di benak: sebenarnya yang belajar itu siapa sih? 
Konon, negeri ini memiliki peta jalan pendidikan. Tetapi, rasanya kita ini seperti orang yang memegang Google Maps, namun tetap saja bertanya arah pada ibu-ibu yang sedang menyapu halaman rumahnya. Peta ada, tapi kita bingung. Dan lucunya, saat kebingungan melanda, yang paling sering diubah adalah kurikulum. Dalihnya, ini hanya pendekatan. Tapi kenapa pendekatannya selalu menyeret gerbong yang berisi seluruh "persilatan"? Pendekatan berubah, namun guru dan murid justru semakin pontang-panting mengejar istilah baru yang sejatinya hanya ganti baju dari istilah lama. 
Di lapangan, yang terjadi adalah guru sibuk mencari waktu untuk membuat dokumen, bukan untuk memikirkan muridnya. Pendekatan katanya berpusat pada murid dan mendalam. Tapi murid mana yang ditanya keinginannya? Yang terjadi justru guru dipasung dengan format yang bahkan kepala sekolahnya pun kadang kebingungan membacanya. Inovasi, katanya. Tapi mengapa guru dan murid selalu yang ketinggalan kereta? Coba saja, para pembuat kebijakan itu, pernahkah menginap semalam saja di desa yang listriknya masih seperti suasana Senin pagi: naik-turun tak menentu? Pernahkah merasakan sinyal hanya bisa didapat jika memanjat pohon jambu? Pernahkah melihat anak-anak tanpa alas kaki berjalan puluhan kilometer menuju sekolahnya? 
Namun, begitu melihat konten TikTok sekolah yang digelontorkan miliaran, mereka puas dan tersenyum bangga. Sementara itu, anak-anak di desa diminta membuat proyek Pancasila yang nilai-nilai silanya pun mereka tak pahami. Yang penting ramai, yang penting terlihat kreatif. Artefak dikumpulkan, tapi jiwanya kosong. Kolaborasi, katanya. Namun yang terjadi? Anak-anak dibariskan dalam kasta akademik, bahkan akan ada kasta sekolah. Kompetisi dibungkus kolaborasi, seperti bakso isi cabai rawit; terlihat adem, tapi membuat hati panas. 
Kurikulum Merdeka katanya tidak diganti, namun terasa seperti gerbong yang berganti, dan kita semua disuruh ikut arusnya. Saya mulai curiga, yang doyan eksperimen ini siapa? Murid dan guru yang belajar, atau pembuat kebijakan yang lagi hobi mencoba-coba teori pendidikan yang paling jitu? Pendidikan seharusnya membuat manusia berpikir. Tetapi sistemnya justru sibuk membuat manusia yang bisa dikontrol. 
Di kelas, anak-anak mengerjakan tugas dengan tatapan kosong. Hafal rumus, iya. Tapi arah hidup? Mereka tidak tahu. Mereka sibuk menata resume sekolah dan "muka" pendidikan, namun semakin jauh dari jati dirinya. Sumatif? Ya, anak-anak tetap dipaksa ikut tes. Dan nilai akhirnya membuat wali murid tersenyum lebar, padahal mereka tak tahu isi kepala anaknya. Karakter? Ah, itu seperti bumbu penyedap di mi instan; disebut-sebut, tapi tak terasa. Sementara gurunya? Masih harus memikirkan biaya sekolah anaknya dan cicilan yang tersenyum lebar di awal bulan, sambil memutar otak bagaimana membuat murid-murid "terinspirasi". 
Lah, siapa yang memberi inspirasi untuk guru? Ini bukan ironi. Ini luka. Luka yang dirayakan setiap hari agar terlihat normal. Saya bermimpi… ya, masih berani bermimpi, bahwa pendidikan suatu hari kembali menjadi taman berpikir. Bukan ruang penuh soal pilihan ganda, bukan panggung lomba yang dipoles untuk postingan pamer pembuat kebijakan, bukan tempat uji coba kurikulum yang tak sempat matang. Taman itu, seharusnya menjadi tempat manusia tumbuh, saling memahami, menemukan dirinya, dan mencintai proses berpikir sebagai proses menjadi manusia utuh. Untuk siapa pendidikan Indonesia ini? Untuk siapa kita mengajar? Kalau jawabannya hanya untuk melanggengkan sistem, maka sungguh, kita sudah gagal… bahkan sebelum lonceng pulang berbunyi. 
Dan saya... saya hanya ingin besok pagi masuk kelas tanpa merasa sedang ikut lomba siapa paling patuh pada edaran tentang kurikulum pendekatan terbaru. Saya hanya ingin menjadi guru yang menemani anak-anak menjadi manusia. Tidak lebih, tapi semoga itu cukup.
Sumber: Gurp WA GSM Kab. Purbalingga

Read More »
19 June | 0komentar

Tes Kemampuan Akademik (TKA) 2025

Tes Kemampuan Akademik
Belajar, dalam rangka memenuhi mandat konstitusional untuk menyediakan pendidikan bermutu bagi seluruh warga negara tanpa diskriminasi, Kemendikdasmen melalui Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 9 Tahun 2025 tentang Tes Kemampuan Akademik (TKA). Peraturan ini telah diundangkan pada tanggal 3 Juni 2025 dan menjadi momen penting dalam upaya penguatan sistem penilaian capaian akademik yang terstandar, objektif, dan inklusif di seluruh jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Dalam implementasinya, TKA dapat diikuti oleh murid dari berbagai jalur pendidikan, termasuk jalur formal (SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK), jalur nonformal (program paket A, B, dan C), serta jalur informal. Peserta TKA akan menerima hasil berupa nilai dan kategori capaian yang ditetapkan secara nasional. Murid dari jalur formal dan nonformal yang telah mengikuti TKA berhak memperoleh sertifikat hasil TKA.
Adapun hasil TKA memiliki fungsi strategis dalam mendukung berbagai kebijakan pendidikan, yakni :
  1. sebagai dasar seleksi jalur prestasi dalam penerimaan murid baru tingkat SMP, SMA dan SMK; 
  2. menjadi salah satu pertimbangan dalam seleksi masuk perguruan tinggi jalur prestasi; 
  3. mendukung penyetaraan hasil belajar bagi peserta didik dari jalur nonformal dan informal; 
  4. menjadi referensi dalam proses seleksi akademik lainnya, serta menjadi acuan penting dalam sistem pengendalian dan penjaminan mutu pendidikan oleh berbagai pemangku kepentingan.
Untuk tahun ini TKA baru dilaksanakan untuk kelas 12 SMA atau kelas akhir SMK. Sementara untuk SD dan SMP, TKA akan dilaksanakan tahun 2026. 
 #SobatBelajar dapat mengakses selengkapnya Permendikdasmen Nomor 9 Tahun 2025 tentang Tes Kemampuan Akademik (TKA) melalui tautan https://jdih.kemendikdasmen.go.id/detail_peraturan?main=3527

Read More »
13 June | 0komentar

Kelas Maya Bukan Kelas "Mayeng-Mayeng"

Artikel ini pernah saya tulis sebelum kurikulum merdeka saya tulis tahun 2018. Saat itu sedang trennya istilah "Kelas Maya". Berlaku kurikulum 13 yang salah satunya muncul mata pelajaran Simulasi Digital (Simdig). Ketika Kelas Mendadak Kosong: Memahami Pembelajaran Kelas Maya dan Peran Petugas Piket Pemandangan yang mungkin menimbulkan keheranan, bahkan teguran, di lingkungan sekolah adalah ketika kelas yang tadinya tenang tiba-tiba berhamburan keluar, bukan karena jam istirahat, melainkan untuk mencari sinyal internet. Padahal hasil pembelajaran ini dapat dipantau secara baik. Terbukti dari hasil analisa pada pembelajaran ini.
Fenomena ini bisa memicu berbagai pertanyaan dan bahkan kesalahpahaman, terutama bagi guru lain, petugas piket, hingga kepala sekolah. Namun, di balik "kekacauan" sesaat ini, tersembunyi sebuah metode pembelajaran yang mungkin belum sepenuhnya dipahami: pemanfaatan Kelas Maya. Konteks ini menjadi penting untuk dipahami seiring dengan rekomendasi penggunaan Kelas Maya sebagai salah satu pendekatan pembelajaran di Indonesia, yang bahkan digaungkan bersamaan dengan lahirnya Kurikulum 2013. 
Seorang guru yang menerapkan metode ini tentu memiliki alasan pedagogis yang kuat, yaitu menyampaikan materi pelajaran melalui platform daring yang interaktif dan berpotensi meningkatkan keterlibatan siswa. Dalam era digital ini, Kelas Maya menawarkan fleksibilitas, akses ke berbagai sumber belajar, dan kesempatan untuk berkolaborasi secara virtual. Namun, implementasi Kelas Maya di lapangan seringkali menemui kendala, salah satunya adalah keterbatasan akses internet yang stabil dan merata. Inilah yang kemungkinan besar menjadi penyebab mengapa siswa terpaksa "mayeng-mayeng" atau berkeliaran di sekitar sekolah untuk mencari titik koneksi yang memadai. 
Mereka tidak sedang bolos atau menghindari pelajaran, melainkan berusaha untuk berpartisipasi aktif dalam pembelajaran yang dirancang oleh guru mereka. Dalam situasi seperti ini, pemakluman dari seluruh elemen sekolah menjadi krusial. Guru lain perlu memahami bahwa rekan sejawat mereka sedang mencoba mengimplementasikan metode pembelajaran yang inovatif dan sesuai dengan perkembangan zaman. Petugas piket, yang biasanya bertugas menjaga ketertiban dan keamanan sekolah, perlu memahami konteks situasional ini dan tidak serta-merta menganggap siswa yang berada di luar kelas sebagai pelanggar aturan. 
Kepala sekolah, sebagai pemimpin institusi, memiliki peran penting dalam mensosialisasikan dan mendukung implementasi metode pembelajaran berbasis teknologi ini, termasuk mencari solusi untuk kendala infrastruktur seperti ketersediaan internet. Lantas, muncul pertanyaan menarik: apakah mengevaluasi metode yang digunakan guru merupakan tupoksi seorang petugas piket? Jawabannya, secara umum, tidak. 
Tupoksi utama petugas piket biasanya berkisar pada: Memastikan keamanan dan ketertiban lingkungan sekolah selama jam pelajaran. Mencatat kehadiran dan keterlambatan siswa. Menangani perizinan siswa yang keluar masuk sekolah. Menjadi penghubung informasi antara siswa, guru, dan pihak sekolah. Merespon kejadian insidental atau darurat. Evaluasi metode pembelajaran adalah ranah profesional guru dan kepala sekolah, atau tim khusus yang ditunjuk untuk pengembangan kurikulum dan inovasi pembelajaran. Guru memiliki otonomi dalam memilih dan menerapkan metode pembelajaran yang dianggap paling efektif untuk mencapai tujuan pembelajaran, tentu dengan mempertimbangkan karakteristik siswa dan materi ajar. 
Kepala sekolah bertanggung jawab untuk memantau dan mengevaluasi kualitas pembelajaran secara keseluruhan, memberikan dukungan dan umpan balik kepada guru, serta memastikan bahwa metode yang digunakan selaras dengan visi dan misi sekolah. Dalam konteks siswa yang keluar kelas untuk mencari sinyal internet, peran petugas piket yang lebih tepat adalah: Mencatat siswa yang keluar kelas dengan tujuan mencari koneksi internet (jika diperlukan untuk pendataan). Memastikan siswa tetap berada di area sekolah dan tidak menyalahgunakan waktu di luar kelas. Mengarahkan siswa ke area yang memiliki sinyal internet lebih baik (jika diketahui). 
Berkoordinasi dengan guru yang bersangkutan jika ada siswa yang terlalu lama berada di luar kelas atau menimbulkan potensi masalah. Kesalahpahaman terjadi ketika kita melihat fenomena ini dari sudut pandang aturan dan ketertiban konvensional tanpa memahami konteks pedagogis di baliknya. Pembelajaran Kelas Maya, meskipun menjanjikan, memerlukan dukungan infrastruktur dan pemahaman dari seluruh komunitas sekolah. Alih-alih langsung menghakimi, dialog dan koordinasi antar guru, petugas piket, kepala sekolah, dan bahkan siswa menjadi kunci untuk mengatasi kendala dan mengoptimalkan implementasi metode pembelajaran inovatif ini. 
Pada akhirnya, tujuan utama kita adalah menciptakan lingkungan belajar yang kondusif dan efektif bagi siswa. Jika pemanfaatan Kelas Maya adalah salah satu cara untuk mencapai tujuan tersebut, maka seluruh elemen sekolah perlu berkolaborasi dan saling memahami demi kelancaran proses pembelajaran, meskipun terkadang terlihat "berantakan" di permukaan. Memahami konteks dan berkomunikasi secara efektif adalah langkah awal untuk menghindari kesalahpahaman dan mendukung inovasi dalam dunia pendidikan.

Read More »
25 May | 0komentar

Ketika Jari-jemari Lebih Aktif dari Pikiran: Paradoks Literasi Digital

Literasi digital
Di era digital yang serba cepat ini, kita menyaksikan sebuah fenomena yang menarik sekaligus ironis terkait dengan literasi. Di satu sisi, masyarakat kita menunjukkan tingkat partisipasi yang tinggi dalam menyerap informasi digital. Layar ponsel pintar menjadi jendela utama menuju dunia pengetahuan, berita, dan opini. Namun, di sisi lain, kebiasaan membaca yang dominan justru terfragmentasi, dangkal, dan seringkali tidak terstruktur, jauh berbeda dengan esensi literasi yang sesungguhnya. 
Inilah paradoks "literasi" digital: kita aktif "membaca" konten-konten digital baik itu di internet atau di kolom percakapan grup medsos. Namun seringkali mengabaikan kedalaman dan analisis yang ditawarkan oleh bacaan yang lebih substansial seperti buku atau artikel ilmiah. Ironi ini terletak pada definisi "membaca" itu sendiri. Dalam konteks digital, "membaca" seringkali hanya sebatas memindai judul, membaca beberapa kalimat pertama, atau bahkan langsung melompat ke bagian komentar. Interaksi dengan teks menjadi dangkal dan sporadis. 
Kita lebih tertarik pada ringkasan singkat, infografis menarik, atau cuitan padat berisi daripada menyelami argumen yang kompleks atau narasi yang panjang. Kebiasaan membaca komentar online menjadi salah satu manifestasi paling jelas dari paradoks ini. Kolom komentar, yang seharusnya menjadi ruang diskusi dan pertukaran ide, seringkali justru dipenuhi dengan opini instan, reaksi emosional, bahkan ujaran kebencian. 
Masyarakat kita seolah lebih tertarik untuk membaca dan merespons komentar-komentar singkat ini daripada meluangkan waktu untuk memahami konteks dan substansi dari artikel atau berita yang dikomentari. Mengapa fenomena ini bisa terjadi? Beberapa faktor kemungkinan berperan. Pertama, sifat informasi digital yang serba cepat dan berlimpah mendorong kita untuk mencari kepuasan instan. Kita terbiasa dengan notifikasi dan pembaruan yang konstan, sehingga sulit untuk fokus pada satu teks yang panjang dan membutuhkan konsentrasi tinggi. Kedua, algoritma media sosial cenderung memprioritaskan konten yang menarik perhatian dan memicu interaksi cepat, seperti komentar kontroversial atau ringkasan viral. 
Hal ini secara tidak sadar membentuk preferensi membaca kita. Ketiga, tekanan sosial untuk selalu "up-to-date" membuat kita merasa perlu untuk mengonsumsi sebanyak mungkin informasi dalam waktu sesingkat mungkin, meskipun dengan kedalaman yang minim. Dampak dari "literasi" digital yang dangkal ini bisa sangat signifikan. Kemampuan untuk berpikir kritis dan analitis dapat terkikis karena kita jarang melatih diri untuk memahami argumen yang kompleks dan mengevaluasi informasi secara mendalam. Kita menjadi lebih rentan terhadap misinformasi dan disinformasi karena kurangnya kemampuan untuk memverifikasi fakta dan memahami konteks yang lebih luas. 
Diskusi publik pun menjadi lebih polarisasi karena kita cenderung hanya terpapar pada opini yang sesuai dengan pandangan kita dan jarang berinteraksi dengan perspektif yang berbeda secara substansial. Tentu saja, bukan berarti semua interaksi digital bersifat negatif. Internet dan media sosial juga menawarkan potensi besar untuk pendidikan dan penyebaran informasi yang bermanfaat. Namun, penting bagi kita untuk menyadari paradoks "literasi" digital ini dan mengambil langkah-langkah untuk mengatasinya. Beberapa upaya yang bisa dilakukan antara lain: 
  • Meningkatkan kesadaran akan pentingnya membaca mendalam: 
  • Mengedukasi masyarakat tentang manfaat membaca buku, artikel ilmiah, atau laporan yang lebih komprehensif dalam mengembangkan pemikiran kritis dan pemahaman yang mendalam. 
  • Mengembangkan keterampilan literasi digital yang sejati: 
  • Tidak hanya sekadar mampu menggunakan teknologi, tetapi juga mampu mengevaluasi sumber informasi, membedakan fakta dan opini, serta memahami konteks yang lebih luas. 
  • Menciptakan ruang diskusi online yang lebih sehat: 
  • Mendorong interaksi yang lebih konstruktif dan berbasis argumen, bukan hanya reaktif dan emosional. 
  • Mengintegrasikan kegiatan membaca mendalam dalam pendidikan: 
  • Mendorong siswa untuk membaca dan menganalisis teks yang lebih panjang dan kompleks sejak dini. 
  • Bijak dalam mengonsumsi informasi digital: 
  • Meluangkan waktu untuk membaca artikel secara utuh sebelum berkomentar, memverifikasi informasi dari berbagai sumber, dan menghindari terjebak dalam echo chamber media sosial. 

Paradoks "literasi" digital adalah tantangan nyata di era informasi ini. Meskipun kita aktif dalam dunia digital, esensi literasi yang mendalam dan analitis tidak boleh hilang. Dengan meningkatkan kesadaran dan mengambil tindakan yang tepat, kita dapat memanfaatkan potensi positif teknologi sambil tetap menjaga dan mengembangkan kemampuan literasi yang sesungguhnya. Membaca komentar online boleh menjadi bagian dari interaksi digital kita, namun jangan sampai kebiasaan ini menggantikan kebutuhan kita akan bacaan yang lebih substansial dan bermakna.

Read More »
23 May | 0komentar

Revisi Tahun 2024 Panduan Praktik Kerja Lapangan

Pada panduan Revisi  yang diterbitkan oleh Dirjen Vokasi pada bulan Juni 2024 terkait Praktik Kerja Lapangan dari Panduan PKL sebelumnya adalag salah satunya pada rumus pembagian pembimbing PKL. Disketahui bersama bahwa  pada kelas XII PKL sebagai Mata Pelajaran tentu terdapat guru yang tidak memiliki jam karena ada Mapel PKL ini. Sebagai ganti mengajarnya guru tersebut membimbing siswa PKL.
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)/Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) merupakan satuan pendidikan yang bertujuan untuk menghasilkan lulusan yang kompeten untuk bekerja pada bidang tertentu sesuai dengan keahliannya. Keterserapan lulusan di dunia kerja¹ menjadi salah satu tantangan yang harus dihadapi oleh SMK/MAK beserta pemangku kepentingan (stakeholder) pendidikan. Penguatan keterampilan teknis (hard skills) dan keterampilan non-teknis (soft skills) merupakan kunci untuk meningkatkan angka kebekerjaan lulusan SMK/MAK. 
Pembelajaran langsung di dunia kerja menjadi kebutuhan peserta didik SMK/MAK agar dapat mengasah kompetensi dan menguatkan budaya kerja. Oleh karena itu, penting sekali dibangun kerjasama antara SMK/MAK dengan dunia kerja. Berdasarkan Permendikbud Nomor 50 Tahun 2020 tentang Praktik Kerja Lapangan Bagi Peserta Didik, Praktik Kerja Lapangan yang selanjutnya disingkat PKL adalah pembelajaran bagi Peserta Didik pada SMK/MAK, SMALB, dan LKP yang dilaksanakan melalui praktik kerja di dunia kerja dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan kurikulum dan kebutuhan dunia kerja. 
Penyelenggaraan PKL di SMK/MAK yang tidak dapat dilaksanakan di dunia kerja dapat dilaksanakan dalam bentuk kegiatan kewirausahaan dan/atau pembelajaran berbasis projek dalam bentuk Teaching Factory (Tefa) berdasarkan kebutuhan dunia kerja. PKL dapat dilaksanakan di dalam atau luar negeri secara luar jaringan (luring) atau dalam jaringan (daring) sesuai dengan ketentuan. Mata pelajaran PKL dilaksanakan di satuan pendidikan dan dunia kerja. Selanjutnya pada Permendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah, ditetapkan bahwa PKL merupakan salah satu mata pelajaran (mapel) sebagai wahana pembelajaran di dunia kerja. 
Pada Kurikulum Merdeka, PKL menjadi mata pelajaran yang harus diikuti oleh seluruh peserta didik SMK/MAK dengan ketentuan sekurang-kurangnya selama 1 semester atau 16 minggu efektif setara dengan 736 jam pelajaran di kelas XII pada SMK/MAK program 3 tahun dan sekurang-kurangnya 10 bulan setara dengan 1.216 jam pelajaran di kelas XIII pada SMK/MAK program 4 tahun. 
Sesuai dengan ketentuan Permendikbudristek tersebut, SMK/MAK bersama dengan mitra dunia kerja berkewajiban untuk membuat perencanaan pembelajaran yang meliputi: menganalisis Capaian Pembelajaran (CP), serta menyusun Tujuan Pembelajaran (TP) dan Alur Tujuan Pembelajaran (ATP).Pada CP tersebut ditegaskan bahwa PKL merupakan bentuk penyelarasan pembelajaran untuk dilaksanakan di dunia kerja. Selain pelaksanaan, asesmen PKL juga direncanakan dalam perencanaan pembelajaran. Pembelajaran PKL diselenggarakan berbasis proses bisnis dan mengikuti Prosedur Operasional Standar (POS) yang berlaku di dunia kerja.
Postingan Rumus pembagian siswa 



Read More »
17 May | 0komentar

Tahun Ajaran 2025/2026: Jawa Tengah Membangun Ekosistem Kewirausahaan di SMK

Membuat Project Kreatif
Tahun 2025 diharapkan menjadi tonggak penting dalam pengembangan pendidikan vokasi di Jawa Tengah, khususnya dalam menanamkan jiwa dan keterampilan kewirausahaan pada peserta didik. Sebuah langkah strategis tengah dipersiapkan untuk menginternalisasikan Kurikulum Kewirausahaan secara menyeluruh di lingkungan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Sebagai bagian dari upaya ini, Kurikulum Kewirausahaan akan diunggah dan dapat diakses melalui platform e-Kurikulum Satuan Pendidikan (e-KSP), berdampingan dengan Kurikulum Satuan Pendidikan yang telah ada. 
Langkah ini bertujuan untuk memudahkan para guru dalam memahami, mengimplementasikan, dan mengintegrasikan nilai-nilai serta kompetensi kewirausahaan ke dalam proses pembelajaran sehari-hari. Lebih dari sekadar teori, implementasi Kurikulum Kewirausahaan di SMK akan diwujudkan melalui serangkaian Kegiatan Project Pembelajaran yang inovatif dan aplikatif. 
Tiga fokus utama dalam project pembelajaran ini adalah: 
  1. Karya Inovatif Siswa: Mendorong siswa untuk menciptakan ide-ide baru, mengembangkan solusi kreatif terhadap permasalahan yang ada, dan menuangkannya dalam bentuk produk atau layanan yang memiliki nilai tambah. 
  2. Karya Produktif Siswa: Melatih siswa untuk menghasilkan produk atau layanan yang memiliki nilai ekonomi dan dapat dipasarkan. Kegiatan ini akan mengasah keterampilan produksi, manajemen, dan pemasaran siswa. 
  3. Karya Teknologi Siswa: Mengintegrasikan pemanfaatan teknologi dalam pengembangan produk atau layanan. Siswa akan didorong untuk memanfaatkan teknologi digital, otomasi, atau teknologi terapan lainnya dalam menciptakan solusi yang efektif dan efisien. 

Gagasan besar di balik inisiatif ini adalah keyakinan bahwa mewirausahakan murid akan bisa terlaksana setelah mewirausahakan guru. Oleh karena itu, sebelum menuntut siswa untuk memiliki mentalitas dan keterampilan wirausaha, para pendidik di SMK diharapkan terlebih dahulu memiliki pemahaman, semangat, dan kemampuan dalam bidang ini. Pelatihan, workshop, dan pendampingan bagi guru akan menjadi bagian penting dalam proses internalisasi kurikulum ini. 
Lebih lanjut, hasil dari berbagai project pembelajaran kewirausahaan yang dihasilkan oleh siswa akan mendapatkan wadah untuk dipamerkan dan diapresiasi melalui kegiatan class meeting. Ini akan menjadi ajang bagi siswa untuk menunjukkan kreativitas, inovasi, dan hasil kerja keras mereka, sekaligus melatih kemampuan presentasi dan komunikasi. Sebagai langkah awal dan fokus implementasi, Provinsi Jawa Tengah menargetkan 35 piloting SMK di tahun 2025. 
Target ini memastikan bahwa paling tidak terdapat 1 SMK di setiap kabupaten/kota yang secara aktif menjalankan Kurikulum Kewirausahaan dan mengunggah dokumen kurikulumnya ke platform e-KSP. Langkah piloting ini diharapkan dapat menjadi contoh praktik baik, mengidentifikasi tantangan, dan menyusun strategi implementasi yang lebih luas di masa mendatang. Dengan adanya Kurikulum Kewirausahaan yang terstruktur, kegiatan project pembelajaran yang aplikatif, dan fokus pada pemberdayaan guru, diharapkan tahun 2025 akan menjadi momentum penting dalam membentuk generasi muda Jawa Tengah yang tidak hanya memiliki keterampilan teknis sesuai bidang keahliannya, tetapi juga memiliki jiwa wirausaha yang kuat, kreatif, inovatif, dan siap menghadapi tantangan dunia kerja maupun menciptakan lapangan pekerjaan sendiri. Langkah ini sejalan dengan visi untuk menghasilkan lulusan SMK yang kompeten dan berdaya saing tinggi.

Karya Interior Siswa DPIB SMKN 1 Bukateja



Read More »
17 May | 0komentar