Assalamu'alaikum ! welcome to Media Pendidikan.| Contact | Register | Sign In
Showing posts with label GSM. Show all posts
Showing posts with label GSM. Show all posts

Ketika Empati Menguap: Pendidikan Kita Mencetak Manusia atau Robot?

Hari ini, kita menyaksikan sebuah ironi yang menyayat hati. Di tengah gemuruh pembangunan dan kemajuan teknologi, nilai-nilai luhur yang menjadi fondasi bangsa kita seolah menguap begitu saja. Simpati, empati, rasa menghargai, tolong-menolong, gotong royong, bahkan kasih sayang terasa langka, tergantikan oleh ego dan kepentingan pribadi. Penguasa, wakil rakyat, dan masyarakat biasa tampak terperangkap dalam pusaran pragmatisme, membuat bangsa ini terasa seperti tubuh yang tercabik-cabik.
Dalam keadaan getir ini, para pendidik—mereka yang berada di garda terdepan pembentukan karakter—dituntut untuk berkaca. Sudahkah peran kita benar-benar berada di relnya? Atau, jangan-jangan kita juga ikut terseret arus, terjebak dalam mengejar relevansi industri dan hedonisme ekonomi semata? Pertanyaan mendalam ini menuntut jawaban yang jujur. Apakah pendidikan kita masih melahirkan manusia yang memanusiakan manusia, atau justru sekadar mencetak robot-robot cerdas yang kehilangan nilai dasar kemanusiaannya?

Pendidikan: Lebih dari Sekadar Pabrik Tenaga Kerja
Pendidikan seharusnya menjadi kunci untuk membangun peradaban, bukan sekadar pabrik yang mencetak tenaga kerja siap pakai. Kita harus jujur mengakui, sistem pendidikan kita saat ini seringkali terlalu fokus pada aspek kognitif dan keterampilan teknis, mengabaikan pembentukan karakter dan moral. Kurikulum didesain untuk memenuhi kebutuhan pasar, bukan untuk membentuk manusia seutuhnya. Akibatnya, kita melahirkan generasi yang cerdas secara intelektual, tetapi miskin secara spiritual dan emosional. Mereka lihai dalam teori, tetapi gagap dalam memahami penderitaan sesama.

Mendidik dengan Hati: Kunci Membangun Kembali Peradaban: 
Untuk menyelamatkan peradaban bangsa, pendidikan harus kembali ke esensinya: memanusiakan manusia. Ini berarti kita harus menanamkan tidak hanya pengetahuan, tetapi juga nilai-nilai moral, etika, dan spiritualitas. Pendidikan bukan hanya tentang apa yang diajarkan di kelas, tetapi juga tentang bagaimana kita membentuk jiwa dan karakter anak didik. Berikut adalah beberapa pilar pendidikan yang krusial untuk menjaga peradaban:
  • Pendidikan Karakter: Ini adalah fondasi. Kita harus mengajarkan kejujuran, integritas, tanggung jawab, dan saling menghormati. Pendidikan harus menjadi ruang di mana empati ditumbuhkan, di mana anak-anak belajar merasakan penderitaan orang lain.
  • Pendidikan Kritis dan Reflektif: Alih-alih hanya menerima informasi, siswa harus dilatih untuk berpikir kritis. Mereka harus mampu mempertanyakan fenomena sosial dan politik, sehingga tidak mudah terprovokasi dan mampu mencari solusi yang bijaksana.
  • Pendidikan Berbasis Komunitas: Pendidikan tidak boleh berhenti di gerbang sekolah. Kolaborasi antara guru, orang tua, dan masyarakat sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang mendukung tumbuh kembang karakter anak secara holistik.
  • Pendidikan untuk Toleransi dan Kebinekaan: Di tengah perpecahan, pendidikan harus menjadi jembatan yang menyatukan. Kita harus mengajarkan toleransi dan saling menghargai perbedaan suku, agama, dan budaya, menjadikan kebinekaan sebagai kekuatan, bukan ancaman.
Sebagai pendidik, peran kita adalah penjaga peradaban. Di tangan kitalah masa depan bangsa ini berada. Jangan biarkan kita terjebak dalam arus pragmatisme yang hanya mengejar angka dan materi. Mari kita kembali ke rel yang benar: mendidik dengan hati. Hanya dengan cara ini, kita bisa melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berakhlak mulia, yang mampu merajut kembali "tubuh bangsa yang tercabik-cabik" ini.

Read More »
02 September | 0komentar

Ketika Bangsa Kehilangan Hati, Pendidikanlah yang Membangun Kembali

Di tengah hiruk-pikuk bangsa yang seakan kehilangan arah, pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang peran pendidikan muncul ke permukaan. Anda benar, kita semua menyaksikan bagaimana nilai-nilai luhur seperti simpati, empati, gotong royong, dan kasih sayang seolah-olah menguap dari kehidupan berbangsa kita. Penguasa, wakil rakyat, dan bahkan masyarakat biasa tampak asyik dengan diri masing-masing, terperangkap dalam ego dan kepentingan sesaat. Dalam kondisi ini, merefleksikan peran kita sebagai pendidik bukanlah pilihan, melainkan sebuah keharusan.

Pendidikan: Lebih dari Sekadar Pabrik Tenaga Kerja 
Kita harus jujur mengakui, sistem pendidikan kita hari ini seringkali terjebak dalam arus materialisme dan pragmatisme. Sekolah dan universitas seakan menjelma menjadi "pabrik" yang tugasnya mencetak robot-robot siap kerja. Kurikulum didesain untuk memenuhi kebutuhan industri, bukan untuk membentuk manusia seutuhnya. 
Kita fokus pada relevansi industri, pekerjaan, dan hedonisme ekonomi, sementara lupa menanamkan benih-benih peradaban. Akibatnya, kita melahirkan generasi yang cerdas secara intelektual, namun miskin secara spiritual dan emosional. Mereka fasih dalam rumus matematika dan teori ekonomi, tetapi gagap dalam memahami penderitaan orang lain. Mereka lihai dalam mengejar jabatan dan kekayaan, tetapi buta terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Ironisnya, pendidikan yang seharusnya menjadi solusi justru menjadi bagian dari masalah.

Pendidikan yang Memanusiakan Manusia
Lantas, pendidikan macam apa yang bisa menjadi tumpuan harapan di tengah kegelapan ini? Kita perlu kembali ke esensi, ke akar yang sesungguhnya. Pendidikan harus kembali menjadi proses memanusiakan manusia. Ini berarti pendidikan harus menanamkan tidak hanya pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga nilai-nilai moral, etika, dan spiritualitas. 

Berikut adalah beberapa pilar pendidikan yang harus kita perjuangkan:
  • Pendidikan Karakter: Ini bukan sekadar mata pelajaran, tetapi nafas dari setiap kegiatan belajar. Kita harus mengajarkan anak-anak tentang kejujuran, integritas, tanggung jawab, dan saling menghormati. Pendidikan harus menjadi tempat di mana mereka belajar untuk berempati dan merasakan penderitaan orang lain.
  • Pendidikan Kritis dan Reflektif: Alih-alih hanya menerima informasi mentah, siswa harus dilatih untuk berpikir kritis. Mereka harus mampu mempertanyakan fenomena sosial, politik, dan ekonomi. Ini akan melahirkan generasi yang tidak mudah terprovokasi, tetapi mampu mencari solusi yang bijaksana.
  • Pendidikan Berbasis Komunitas: Pendidikan tidak boleh berhenti di gerbang sekolah. Lingkungan keluarga dan masyarakat adalah "sekolah" yang tak kalah penting. Kolaborasi antara guru, orang tua, dan tokoh masyarakat sangat krusial dalam membentuk karakter anak. Kita harus membangun ekosistem pendidikan yang holistik.
  • Pendidikan untuk Perdamaian dan Kebinekaan: Di tengah perpecahan, pendidikan harus menjadi jembatan. Kita harus mengajarkan toleransi, saling menghargai perbedaan suku, agama, dan budaya. Ini akan melahirkan generasi yang mampu hidup berdampingan dalam harmoni, menjadikan kebinekaan sebagai kekuatan, bukan ancaman.

Membangun Peradaban: Kembali ke Rel Awal
Sebagai pendidik, peran kita lebih dari sekadar mengajar mata pelajaran. Kita adalah penjaga peradaban. Di tangan kitalah benih-benih kemanusiaan ditanam dan dirawat. Tanggung jawab ini memang berat, tetapi juga mulia. Jangan biarkan diri kita terjebak dalam arus pragmatisme yang hanya mengejar angka dan materi.
Marilah kita berkaca kembali. Apakah kita sudah benar-benar berada di rel yang tepat? Apakah kita sudah menanamkan nilai-nilai luhur kepada anak didik kita? Apakah kita sudah menjadi teladan bagi mereka? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan menentukan masa depan bangsa. Masa depan yang kita impikan—sebuah bangsa yang kuat, berbudaya, dan berakhlak mulia—hanya bisa terwujud jika kita, sebagai pendidik, berani kembali ke esensi, yaitu mendidik dengan hati.

Referensi : Grup WA GSM Kab. Purbalingga

Read More »
01 September | 0komentar

Terjebak di Zona Nyaman: Ketika Sesama Guru Saling Menghambat Kemajuan

Asesmen
Asesmen
Mentalitas Kepiting: Tembok Tak Kasat Mata di Dunia Pendidikan Pernahkah Anda melihat sekumpulan kepiting di dalam ember? Ketika salah satu kepiting berusaha memanjat keluar, kepiting-kepiting lain dengan cepat menariknya kembali ke bawah. Mereka tidak hanya menariknya sendiri, tetapi juga beramai-ramai. Akhirnya, tidak ada satu pun dari mereka yang berhasil keluar. Mereka semua terjebak di dasar ember—bukan karena tidak bisa keluar, tetapi karena tidak ada yang diizinkan untuk keluar.
Fenomena inilah yang dalam psikologi dikenal sebagai mentalitas kepiting (crab mentality). Sebuah mentalitas yang tidak rela melihat orang lain maju dan berkembang. Selama semua orang berada di tempat yang sama, meskipun itu tidak nyaman, mereka merasa aman. Daripada melihat orang lain berhasil dan membuat diri mereka terlihat malas, lebih baik semua tetap sama-sama di bawah.

Menghadapi Tembok Pengap di Ruang Kelas
Kisah ember kepiting ini sering kali mirip dengan apa yang terjadi di dunia pendidikan. Seorang teman guru saya, seorang pendidik yang progresif, ahli IT, dan gemar berbagi ilmu, pernah curhat. Ia merasa lelah dan sendirian. Setiap kali ia mencoba metode pembelajaran yang berbeda, mengajak murid-murid untuk bereksplorasi, dan menginspirasi guru lain, ia sering dicibir. Ia dianggap aneh, menyalahi aturan, dan dianggap "sok pintar" ketika berbagi dengan guru dari sekolah lain. Ia merasa seperti dikelilingi tembok pengap—ia ingin naik, tetapi selalu ditarik turun.
Sayangnya, cerita teman saya ini bukan satu-satunya. Banyak guru yang saya temui di berbagai daerah menghadapi situasi serupa. Mereka adalah guru-guru yang ingin menyalakan lilin, menumbuhkan cahaya dan kehangatan, tetapi sering dipadamkan oleh tiupan angin ketidakpercayaan dan keraguan.
Kadang, kita membayangkan mengapa para "kepiting" itu menarik orang lain ke bawah. Mungkin mereka berpikir, "Kalau dia keluar, nanti kita akan terlihat malas. Kalau dia kreatif, kita akan terlihat bodoh." Lebih baik semua tetap sama-sama di dalam ember, meski lembap dan pengap. Mereka merasa nyaman dengan rutinitas: mengajar seadanya, memberikan tugas tanpa refleksi, dan terkadang mengabaikan kebutuhan murid.

Read More »
01 September | 0komentar

Semangat Tjokroaminoto: Napas Baru Profesi Guru

Arisan Soal

Lebih dari seabad yang lalu, di tengah gejolak pergerakan nasional, seorang guru bangsa berdiri tegak menyemai benih-benih kemerdekaan. Dialah Oemar Said Tjokroaminoto, sosok yang tak hanya mengajar, tetapi juga menginspirasi. Membedah film Guru Bangsa: Tjokroaminoto bukan sekadar menonton kisah perjuangan heroik, melainkan sebuah ruang refleksi untuk meneladani semangatnya sebagai seorang guru yang menyalakan api perubahan.
Tjokroaminoto adalah seorang pendidik ulung. Murid-muridnya bukan sekadar diajari membaca dan menulis, tetapi ditempa untuk menjadi pemimpin yang kritis, berani, dan berjiwa merdeka. Soekarno, Semaoen, Alimin, Musso, Kartosuwiryo – nama-nama besar ini adalah bukti nyata bagaimana seorang guru mampu membentuk karakter dan visi, bahkan menggerakkan roda sejarah. Semangat yang ia kobarkan adalah semangat untuk tidak menyerah pada ketidakadilan, untuk berani menyuarakan kebenaran, dan untuk berjuang demi cita-cita luhur bangsanya.
Kini, di tengah dinamika zaman yang terus bergerak, profesi guru menghadapi tantangan yang tak kalah berat. Guru-guru di Purwokerto, dan di seluruh penjuru negeri, memanggul tanggung jawab besar yang sama: menumbuhkan generasi yang bukan hanya cerdas secara akademis, tetapi juga memiliki karakter kuat, pemikiran kritis, dan keberanian untuk menghadapi masa depan.
Bagaimana semangat Tjokroaminoto bisa menjadi napas baru bagi profesi guru hari ini?
  • Guru sebagai Agen Perubahan, Bukan Sekadar Pengajar: Tjokroaminoto membuktikan bahwa ruang kelas adalah laboratorium pergerakan. Guru masa kini juga diharapkan mampu menjadi agen perubahan, yang tidak hanya mentransfer ilmu, tetapi juga menanamkan nilai-nilai kebangsaan, kemandirian, dan kepeloporan. Kita bisa memulai dari hal kecil, seperti mendorong diskusi kritis di kelas atau memfasilitasi proyek-proyek yang mengasah jiwa kepemimpinan siswa. 
  • Menumbuhkan Daya Kritis dan Keberanian: Tjokroaminoto tak pernah membatasi pemikiran muridnya. Ia membiarkan mereka berdialektika, beradu argumen, dan menemukan jalan pikiran sendiri. Hal ini relevan dengan kondisi sekarang di mana informasi berlimpah. Guru harus membimbing siswa untuk mampu menyaring informasi, berpikir logis, dan berani menyuarakan pendapatnya dengan santun dan berlandaskan data. 
  • Menggerakkan Bangsa dari Ruang Kelas: Sebagaimana Tjokroaminoto yang melalui murid-muridnya menggerakkan bangsa dari pondok kecilnya di Gang Peneleh, kita pun bisa menggerakkan bangsa dari ruang kelas kita masing-masing. Setiap interaksi, setiap pelajaran, setiap motivasi yang diberikan adalah investasi untuk masa depan Indonesia. Guru adalah arsitek peradaban.
Perjalanan mulia, sebuah panggilan untuk menggerakkan bangsa dari ruang kelas kita. Mari kita hidupkan kembali semangat Tjokroaminoto: menjadi guru bangsa yang menyalakan api perubahan, satu murid pada satu waktu.

Read More »
31 August | 0komentar

Harga Mahal dari Satu Bentakan

Bagi sebagian guru, mungkin ada masanya kita merasa lelah, jengkel, dan frustrasi. Kita melihat anak-anak yang sulit diatur, tak termotivasi, dan lebih asyik dengan gawainya. Hati terasa panas, dan kadang tanpa sadar, satu bentakan meluncur dari mulut kita.
Kita teriak. Kita gebrak meja. Tujuannya? Agar mereka takut, agar mereka tahu siapa yang berkuasa di kelas. Anehnya, setelah melampiaskan emosi itu, seringkali bukannya lega, kita malah merasa menyesal. Rasa bersalah itu datang menghampiri. "Kenapa tadi harus membentak? Bukannya guru harus jadi teladan?" Kita tahu guru juga manusia biasa, bukan malaikat. Tapi, tetap saja, ada rasa malu karena merasa telah gagal mengendalikan diri.

Rasio Ajaib 1:5 
Ternyata, perasaan bersalah itu bukan sekadar halusinasi. Ada landasan ilmiahnya. John Gottman, seorang pakar psikologi hubungan, menemukan sebuah konsep yang dikenal sebagai rasio ajaib 1:5. Teori ini menyatakan bahwa untuk setiap interaksi negatif—seperti bentakan, sindiran, atau perlakuan kasar—diperlukan lima kali interaksi positif untuk mengembalikan hubungan ke titik semula.

Satu bentakan = lima kebaikan
Satu hardikan = lima kali harus tersenyum, menyapa, mengapresiasi, memberikan kepercayaan, atau sekadar berbisik, "Kamu bisa, aku percaya sama kamu." Bayangkan, jika kita membentak seorang anak, luka emosional yang tercipta itu seperti tato di hati mereka. Tidak mudah hilang. Hubungan yang tadinya utuh bisa retak. Dan untuk merekatkan kembali, kita perlu usaha ekstra yang besarnya lima kali lipat. Jika tidak, anak-anak akan terus mengingat luka itu. Mereka mungkin diam, tapi bukan karena hormat. Mereka diam karena takut.

Membayar Utang Emosional
Mungkin selama ini kita, para guru, sering lupa. Kita ingin anak-anak menghormati kita, tetapi terkadang kita sendiri lupa bagaimana rasanya menjadi mereka. Dan ternyata, kunci dari rasa hormat itu bukan berasal dari rasa takut, melainkan dibangun melalui kebaikan—kebaikan yang lima kali lipat lebih banyak dari kesalahan kita.
Membentak itu mudah dan murah. Siapa pun bisa melakukannya. Tapi, membangun ulang kepercayaan setelah marah? Itu adalah investasi lima kali lipat. Investasi inilah yang akan menentukan bagaimana kita akan dikenang oleh murid-murid kita. Apakah kita akan diingat sebagai guru yang menciptakan trauma, atau sebagai guru yang mengajarkan mereka tentang arti manusia dan kemanusiaan?
Jadi, jika ada yang bertanya, "Kenapa anak-anak sekarang sulit diatur?" Mungkin jawaban yang paling jujur bukanlah "mereka memang susah." Melainkan, "Mungkin kita saja yang kurang lima kali kebaikan, setelah satu kali kebablasan."

Read More »
30 August | 0komentar

Membangun Ikatan: Fondasi Pembelajaran yang Lebih dari Sekadar Angka

Di tengah tuntutan kurikulum, target nilai, dan berbagai teori pembelajaran, sering kali kita lupa pada satu elemen terpenting: ikatan atau engagement. Sebelum kita bicara soal rumus, teori, kompetensi, atau target kurikulum, hal pertama yang harus dibangun adalah ikatan. Sebuah koneksi emosional yang mungkin tidak terlihat di layar atau rapor, tetapi sungguh terasa di hati.
Guru adalah sosok yang hadir di kelas untuk menyatukan frekuensi dan menghilangkan "noise-noise" dalam pembelajaran. Noise itu bisa jadi rasa bosan, takut, cemas, atau bahkan trauma yang dibawa murid dari luar kelas. Tanpa ikatan yang kuat, materi pelajaran sehebat apa pun akan menjadi sekadar informasi yang menguap, tanpa bekas yang mendalam.

Mengapa Ikatan Itu Penting? 
  1. Menciptakan Ruang Aman: Ketika murid merasa terhubung dengan gurunya, mereka merasa aman untuk bertanya, berpendapat, dan mencoba hal baru tanpa takut dihakimi. Ruang kelas bukan lagi tempat yang menakutkan, melainkan tempat di mana mereka bisa menjadi diri sendiri. 
  2. Meningkatkan Motivasi Intrinsik: Hubungan yang positif dapat memicu motivasi dari dalam diri murid. Mereka belajar bukan hanya karena disuruh, melainkan karena ingin tahu dan ingin berkembang. Ikatan emosional ini mengubah "kewajiban" menjadi "kesenangan". 
  3. Mengurangi Kendala Belajar: Murid yang memiliki ikatan kuat dengan gurunya cenderung lebih terbuka tentang kesulitan yang mereka hadapi. Ini memungkinkan guru untuk memberikan dukungan yang lebih personal dan tepat sasaran.

Bagaimana Cara Membangun Ikatan?
Ikatan tidak bisa dipaksa. Ia tumbuh dari interaksi yang tulus dan berkelanjutan. 
  • Dengarkan dengan Hati: Luangkan waktu untuk benar-benar mendengarkan cerita, keluhan, atau ide-ide murid. Tatap mata mereka, berikan respons yang menunjukkan bahwa Anda peduli. 
  •  Apresiasi Proses, Bukan Hanya Hasil: Puji usaha dan kerja keras mereka, bukan hanya nilai akhir. Ini akan menumbuhkan rasa percaya diri dan mendorong mereka untuk terus mencoba. Jadilah Manusia: Jangan takut untuk menunjukkan sisi manusiawi Anda. 
  • Berbagi cerita ringan, tertawa bersama, atau mengakui kesalahan dapat membuat Anda lebih mudah didekati.
  • Perhatikan Hal-Hal Kecil: Ingat nama mereka, hobi favorit mereka, atau hal-hal kecil yang mereka ceritakan. 

Tindakan sederhana ini menunjukkan bahwa Anda melihat mereka sebagai individu, bukan sekadar nama di daftar absen.
Pada akhirnya, guru yang berhasil adalah mereka yang tidak hanya mampu menyampaikan materi, tetapi juga berhasil menyentuh hati. Karena pembelajaran yang paling berkesan bukan tentang apa yang kita ajarkan, melainkan tentang bagaimana kita membuat murid merasa dilihat, didengar, dan dihargai. Ikatan adalah fondasi, dan di atasnya, keajaiban belajar dapat dibangun.

Read More »
27 August | 0komentar

Deep Learning atau Deep Drilling? Sebuah Pertanyaan Menggelitik

Ada pertanyaan yang terus mengusik dari ruang-ruang diskusi para pendidik: "Ini deep learning atau deep feeling, sih? Kok tiap ada workshop baru, saya malah bingung, yang dalam itu otaknya atau anggarannya?"
Pertanyaan ini muncul bukan tanpa alasan. Sebelum Kurikulum Merdeka digaungkan, komunitas-komunitas seperti Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) sudah lama menerapkan nilai-nilai yang serupa. Mereka belajar, berdiskusi, dan berbagi praktik baik secara mandiri, bermodalkan kopi saset dan obrolan di warung kopi. Bukan di seminar megah dengan spanduk "narasumber internasional".

Membedah Konsep: Surface vs. Deep Learner
Dalam berbagai bimbingan teknis (bimtek) dan workshop, konsep surface learner dan deep learner selalu diulang-ulang. Surface learner didorong oleh motivasi eksternal. Mereka belajar untuk mendapatkan nilai bagus, lulus ujian, atau sekadar menunjukkan hasil berupa angka. Strategi yang digunakan pun cenderung pada hafalan, mencatat, menyalin, dan mengulang-ulang.
Deep learner sebaliknya, memiliki motivasi dari dalam. Mereka menganalisis, menghubungkan ide, dan mengajukan pertanyaan filosofis seperti, "Kenapa materi ini relevan dengan hidup saya?"
Marton & Saljo (1976) menguatkan perbedaan ini dengan mengatakan, "A surface approach to learning is characterized by memorization and focus on assessment, while a deep approach emphasizes understanding, meaning, and integration of knowledge." Konsepnya jelas, sejelas perbedaan antara mi instan dan ramen Jepang, meski sama-sama mie, kualitasnya berbeda.

Ketika Teori Bertabrakan dengan Realitas
Sayangnya, meski konsep deep learning terdengar indah, praktik di lapangan sering kali menunjukkan hal sebaliknya. Guru-guru disibukkan dengan berbagai persiapan yang justru mendorong budaya surface learning:
  • Membagikan buku-buku Tes Kemampuan Akademik (TKA) yang katanya tidak wajib, tapi seolah menjadi kewajiban.
  • Repot menyiapkan lab komputer hanya untuk ujian satu kali. 
  • Latihan soal setiap hari demi nilai TKA yang tinggi. 
  • Berlomba mencari kisi-kisi dan tips sukses TKA. 

Maka tak heran, muncul pertanyaan, "Ini deep learning atau deep drilling?"
Ada ironi yang mencolok. Vibes yang digaungkan dalam seminar adalah deeper learner, tetapi perilaku di lapangan justru kembali ke budaya ujian standar. TKA disebut sebagai "kenapa"-nya, alasannya adalah laporan hasil akademik. Namun, pertanyaan yang paling jujur adalah: laporan itu penting untuk siapa? Murid? Guru? Atau pihak yang butuh angka-angka bagus untuk presentasi di kementerian?

Paradoks yang Membingungkan
Kita seolah-olah menjadi bangsa surface learner yang dikemas seolah-olah deeper learner. Atau, sebaliknya, kita sudah menjadi deeper learner tetapi terpaksa kembali menjadi surface learner demi tuntutan administrasi? Paradoks ini menunjukkan adanya ketidakselarasan antara narasi besar dan praktik di lapangan. 
Konsep deep learning mengajak kita untuk berpikir kritis, menganalisis, dan mencari relevansi, tetapi perilaku kita masih terjebak pada hafalan dan hasil instan. Mungkin, saatnya kita, para pendidik, bertanya pada diri sendiri dan pembuat kebijakan: apakah kita benar-benar ingin membangun pemelajar yang mendalam, atau hanya ingin membangun citra pendidikan yang terlihat cemerlang di atas kertas?
Sumber: Grup WA GSM Kab. Purbalingga

Read More »
26 August | 0komentar

Membangun Jembatan, Bukan Tembok: Refleksi Jujur Seorang Guru

Saya yakin, curhatan ini tidak hanya mewakili satu atau dua guru, melainkan ribuan pendidik di seluruh penjuru negeri. Curhatan tentang murid-murid yang "sulit diatur, susah dimotivasi, dan terus-terusan asyik dengan gawai." Perasaan lelah, makan hati, dan marah yang seolah menjadi rutinitas harian.
Ironisnya, saat mendengar curhatan itu, saya sendiri sering berpikir, "Kalau mereka curhat ke saya, saya curhat ke siapa?" Sebab, saya pun mengalami hal yang sama. Bahkan, lebih parah. Ada momen di mana saya kehilangan kontrol diri, membentak, dan menggebrak meja, berharap anak-anak akan patuh karena takut. Namun, alih-alih dihormati, saya justru merasa merendahkan diri. Rasanya seperti mengemis rasa hormat yang sejatinya tak bisa didapat dengan paksaan.
Penyesalan selalu datang setelah amarah mereda. "Kenapa tadi harus bentak? Kenapa tidak bisa mengendalikan emosi?" Padahal, kita selalu menuntut diri untuk menjadi teladan, sabar, dan bijaksana. Tapi ya, kita manusia. Guru juga punya batas kesabaran.
Namun, sebuah pencerahan datang dari teori magic ratio 1:5 milik John Gottman, seorang pakar psikologi hubungan. Menurutnya, satu tindakan negatif yang kita lakukan, seperti bentakan atau sindiran, butuh lima kali lipat tindakan positif untuk bisa memperbaiki hubungan yang rusak. Satu bentakan sama dengan lima kali kebaikan. Satu hardikan sama dengan lima kali senyum, apresiasi, atau ucapan yang membangun kepercayaan. Jika tidak, bentakan itu akan membekas di hati murid, layaknya tato yang sulit dihilangkan.
Saya mencoba menerapkan teori ini. Setiap kali saya lepas kendali, saya tahu saya harus "membayar utang" itu lima kali lipat. Saya mulai dari hal-hal kecil: tersenyum lebih dulu, menyapa, memberikan apresiasi, dan menunjukkan bahwa saya percaya pada mereka. Perlahan, hubungan yang sempat retak kembali membaik. Murid yang tadinya tertutup, akhirnya mulai terbuka.
Tentu saja, kondisi setiap murid dan guru berbeda. Namun, satu hal penting yang saya pelajari adalah: bentakan itu ibarat api, dan anak-anak adalah kertas. Sekali terbakar, kertas tidak akan pernah kembali putih bersih. Dibutuhkan upaya ekstra untuk membuatnya mau kembali menerima kita.
Kita sering lupa, kita menuntut anak-anak untuk menghormati kita, tetapi kadang kita lupa bagaimana rasanya menjadi mereka. Kunci dari rasa hormat bukanlah intimidasi, melainkan dibangun melalui kebaikan, yang jauh lebih banyak dari kesalahan kita.
Mungkin, selama ini kita terlalu bangga saat berhasil membuat kelas hening karena ketakutan. Padahal, esensi dari menjadi guru adalah menciptakan ruang yang aman bagi murid, bukan ruang yang kosong dan sunyi.
Bentakan itu murah, semua orang bisa melakukannya. Tapi membangun kembali kepercayaan setelah marah? Itu adalah investasi lima kali lipat yang akan menentukan bagaimana kita akan dikenang. Apakah sebagai guru yang meninggalkan trauma, atau sebagai guru yang mengajarkan tentang makna kemanusiaan?
Jadi, ketika ada yang bilang, "Anak-anak sekarang susah diatur," mungkin jawaban yang paling jujur bukanlah "iya, mereka susah," melainkan: "Iya, mungkin kita yang belum memberikan lima kali kebaikan setelah satu kali kebablasan."
Sumber : Grup Wa GSM Kab. Purbalingga

Read More »
25 August | 0komentar

Guru Bukan Hanya Profesi, Tetapi Posisi Hati

Di tengah tuntutan kurikulum, administrasi, dan target pencapaian akademik, kita sering kali lupa akan inti sesungguhnya dari profesi guru. Guru bukan sekadar penyampai materi pelajaran, bukan pula hanya pengawas di ruang kelas. Lebih dari itu, guru adalah sebuah posisi hati. Sebuah panggilan yang menuntut lebih dari sekadar keahlian, melainkan juga kepekaan, kesabaran, dan empati yang tak terbatas.
Refleksi ini sering kali muncul saat kita menyaksikan kisah-kisah luar biasa di mana seorang guru mampu menembus tembok pertahanan seorang anak. Ada kalanya, anak didik yang datang ke sekolah membawa beban yang tak terlihat: keresahan, kebingungan, atau bahkan rasa putus asa. Mereka mungkin menunjukkan perilaku yang menantang, menarik diri, atau sekadar tampak "tersesat" dalam dunianya sendiri, tidak tahu arah dan tujuan.
Namun, di sinilah keajaiban posisi hati seorang guru bekerja. Guru yang memahami bahwa pendidikan adalah proses menyeluruh, bukan hanya transfer ilmu, akan melihat lebih dari sekadar nilai ujian atau perilaku di permukaan. Ia akan melihat jiwa di balik mata yang kosong, potensi di balik sikap menantang, dan kerinduan untuk dipahami di balik setiap tindakan.
Guru semacam ini tidak menyerah. Ketika anak lain mungkin dicap "bermasalah" atau "sulit diatur," guru dengan "posisi hati" akan memilih untuk membuka diri. Mereka mencoba berbagai pendekatan, mendengarkan tanpa menghakimi, dan menawarkan ruang aman yang sering kali tidak ditemukan anak di tempat lain. Mereka mungkin berbicara dari hati ke hati, mencari tahu akar masalah, atau sekadar memberikan perhatian tulus yang belum pernah diterima anak tersebut.
Dan saat guru itu berhasil membuka dirinya, keajaiban pun terjadi: anak itu terbuka juga. Seolah-olah, ada pintu yang terkunci rapat tiba-tiba terbuka karena sentuhan kunci yang tepat. Anak yang sebelumnya tertutup, yang mungkin merasa tidak ada yang peduli, akhirnya merasa dilihat, didengar, dan dihargai. Mereka mulai percaya. Mereka mulai berbagi. Dan dalam prosesnya, mereka mulai menemukan jalan pulang-pulang ke dirinya sendiri, pulang ke jalur pendidikan, dan pulang ke potensi terbaik mereka.
Anak yang sebelumnya tersesat, akhirnya pulang. Kisah-kisah ini bukan fiksi. Ini adalah realitas yang terjadi di berbagai sudut sekolah. Seorang anak yang nyaris putus sekolah, seorang remaja yang terjerat masalah sosial, atau seorang murid yang kehilangan motivasi belajar, bisa saja kembali menemukan arah hanya karena satu guru yang memutuskan tidak menyerah. Satu guru yang melihat jauh melampaui kurikulum, jauh melampaui kewajiban formal, dan melihat setiap anak sebagai individu yang berharga.
Dan siapa tahu, dunia anak itu berubah cuma karena satu guru yang memutuskan nggak menyerah. Dampaknya bisa begitu masif dan berjangka panjang. 
Anak yang dulunya "tersesat" kini mungkin menjadi pribadi yang sukses, mandiri, dan bahkan mampu memberikan dampak positif bagi lingkungannya. Semua bermula dari satu hati yang terbuka, satu tangan yang terulur, dan satu keyakinan bahwa setiap anak layak mendapatkan kesempatan kedua, atau bahkan ketiga, untuk menemukan jalannya.
Maka, mari kita renungkan kembali. Profesi guru memang mulia, tetapi esensinya terletak pada posisi hati. Ini adalah pengingat bahwa di tengah hiruk-pikuk tuntutan akademik, sentuhan manusiawi, empati, dan kegigihan seorang guru adalah aset paling berharga dalam membentuk masa depan generasi. Mari kita hargai dan dukung para guru yang berjuang dari "posisi hati" ini, karena merekalah pahlawan sejati yang mampu memulangkan jiwa-jiwa yang tersesat.

Read More »
31 July | 0komentar

Jiwa Resilience Guru: Bersemi Bersama Komunitas yang Saling Menguatkan

Menjadi seorang guru adalah panggilan mulia. Setiap hari, kita berhadapan dengan berbagai tantangan, mulai dari dinamika kelas, tuntutan kurikulum, hingga ekspektasi orang tua dan masyarakat. Tak jarang, tekanan ini bisa menguras energi dan semangat. Di sinilah jiwa resilience atau daya lenting seorang guru menjadi krusial. Namun, resilience bukanlah sesuatu yang tumbuh sendiri; ia bersemi subur ketika kita berada dalam sebuah komunitas yang saling menguatkan.
Kita seringkali melihat guru sebagai sosok tanpa cela, pahlawan tanpa tanda jasa yang selalu kuat dan tak kenal lelah. Namun, guru juga manusia. Kita memiliki batas, merasakan lelah, dan terkadang membutuhkan dukungan. Justru dalam mengakui sisi kemanusiaan inilah kita bisa menemukan kekuatan sejati. Kita tidak harus menghadapi segalanya sendirian.
Mengapa Komunitas Penting untuk Resilience Guru?
  • Komunitas guru, baik yang terbentuk secara formal maupun informal, adalah wadah yang tak ternilai untuk mengembangkan resilience. Di dalamnya, kita bisa: 
  • Berbagi Cerita dan Pengalaman: Seringkali, masalah yang kita hadapi terasa berat karena kita pikir hanya kita yang mengalaminya. Dengan berbagi cerita, kita menyadari bahwa orang lain pun memiliki tantangan serupa. Ini menciptakan rasa empati dan mengurangi beban emosional. Mendapatkan 
  • Dukungan Emosional: Saat semangat mulai redup, ada rekan sejawat yang siap mendengarkan, memberikan kata-kata penyemangat, atau bahkan sekadar kehadiran yang menenangkan. 
  • Dukungan emosional ini sangat vital untuk menjaga kesehatan mental guru. 
  • Belajar dari Pengalaman Orang Lain: Komunitas adalah tempat terbaik untuk berbagi praktik baik (best practices) dan solusi kreatif. Mungkin ada rekan yang sudah menemukan cara efektif menghadapi tantangan yang sedang kita alami, atau sebaliknya, kita bisa membantu rekan lain dengan pengalaman kita. 
  • Merayakan Keberhasilan Bersama: Di tengah kesibukan mengajar, kita sering lupa mengapresiasi pencapaian kecil sekalipun. Komunitas menjadi tempat di mana kita bisa merayakan keberhasilan bersama, sekecil apapun itu, menumbuhkan rasa bangga dan motivasi. 
  • Mengembangkan Diri Secara Berkelanjutan: Komunitas dapat memfasilitasi diskusi, lokakarya, atau pelatihan yang relevan dengan kebutuhan guru. Ini membantu kita terus beradaptasi dengan perubahan, meningkatkan kompetensi, dan merasa relevan dalam profesi. 

Melangkah Lebih Kokoh Bersama
Mari kita mulai membangun atau memperkuat komunitas guru di sekitar kita. Ini bisa berupa kelompok diskusi rutin, forum daring, pertemuan informal, atau bahkan sekadar menjadwalkan minum kopi bersama. Yang terpenting adalah menciptakan ruang yang aman dan mendukung, di mana setiap guru merasa dihargai, didengarkan, dan memiliki tempat untuk bertumbuh.
Ketika kita saling berbagi semangat, saling menguatkan pundak, dan saling menularkan energi positif, maka jiwa resilience dalam diri setiap guru akan tumbuh lebih kokoh. Kita akan mampu melangkah melewati setiap rintangan dengan kepala tegak, bukan hanya sebagai pendidik yang profesional, tetapi juga sebagai manusia yang utuh dan berdaya.
Karena guru juga manusia, dan bersama, kita bisa menghadapi badai, menumbuhkan harapan, dan terus menyalakan obor pendidikan dengan semangat yang tak padam.

Read More »
30 July | 0komentar

Pentingnya Ikatan Emosional Guru dan Murid

Pernahkah Anda merasakan momen ini di kelas? Anda sudah menyiapkan materi dengan sepenuh hati, media pembelajaran yang menarik, bahkan lagu yang sedang viral agar suasana kelas lebih hidup. Namun, saat pelajaran dimulai, bukannya antusiasme yang Anda dapat, melainkan keheningan dan tatapan datar dari deretan "pot bunga" di depan Anda. Rasanya seperti presentasi di depan kursi kosong.
Jika ya, Anda tidak sendiri. Momen tersebut seringkali menjadi titik balik bagi banyak guru, termasuk saya. Saya sadar, mungkin masalahnya bukan pada materi yang kurang seru, atau saya yang kurang atraktif. Justru, inti masalahnya ada pada sesuatu yang lebih mendasar: kita belum terhubung. Belum "klik" dengan para murid. Frekuensi kita belum bertemu.
Pengalaman ini, ditambah dengan pembelajaran dari Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), membuka mata saya pada satu hal krusial: engagement. Sebelum kita bicara soal rumus, teori, kompetensi, atau target kurikulum, hal pertama yang harus dibangun adalah ikatan. Sebuah koneksi emosional yang mungkin tidak terlihat di layar, tapi sungguh terasa di hati.
Seperti yang Profesor Rita Pierson sampaikan dalam TED Talk-nya yang viral, "Kids don't learn from people they don't like." Anak-anak tidak akan belajar dari guru yang tidak mereka sukai. Namun, "suka" di sini bukan berarti guru harus menjadi influencer yang lucu atau populer. Ini tentang guru yang hadir secara emosional, yang tulus, dan yang membuat anak merasa: "Di kelas ini, aku aman untuk salah."
Membangun Fondasi Kepercayaan dan Rasa Aman
Maka, jangan heran jika di minggu pertama sekolah, saya memilih untuk tidak langsung memulai pelajaran formal. Tidak ada salahnya kok, jika waktu itu kita gunakan untuk benar-benar berkenalan. Bukan cuma menanyakan nama dan cita-cita, tapi lebih dalam: "Apa yang membuatmu semangat datang ke sekolah?", "Apa hal kecil yang membuatmu takut di kelas?", atau "Kapan terakhir kali kamu merasa diterima apa adanya?".
Bagaimana mungkin anak-anak bisa merasa nyaman belajar jika mereka belum merasa aman menjadi diri mereka sendiri? Bagaimana mereka bisa berani berpikir kritis jika setiap kesalahan langsung ditertawakan, dicoret, atau disalahkan? Ini seperti adegan di kompetisi memasak yang penuh tekanan. Di kelas saya, saya ingin mereka tahu: salah itu tidak apa-apa. Salah adalah tanda bahwa kamu sedang belajar. Tidak perlu takut. Di sini, kamu diterima, bahkan dengan segala kekuranganmu yang justru membuatmu menjadi manusia seutuhnya.
Oleh karena itu, di awal-awal masuk kelas, saya lebih banyak mengobrol, bermain, melempar pertanyaan-pertanyaan ringan, atau bahkan mengajak mereka menulis harapan di kertas warna-warni bersama-sama. Saya percaya, pembelajaran itu bukan soal seberapa cepat Anda menyampaikan materi, tapi seberapa dalam anak-anak mau menerima. Dan penerimaan itu hanya bisa terjadi jika ada rasa percaya.
Guru: Lebih dari Sekadar Robot Kurikulum
Kita ini guru, bukan robot kurikulum. Kita adalah manusia yang tugasnya bukan hanya mengajar, tetapi juga menuntun dan menemani mereka bertumbuh. Dan proses menuntun itu membutuhkan kedekatan, membutuhkan hati. Jadi, untuk rekan-rekan guru yang sedang bersemangat menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) atau Rencana Pelaksanaan Mengajar (RPM), menulis Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) atau Lembar Kerja Murid (LKM), dan mengutak-atik Canva untuk media ajar yang memukau, saya sangat salut! Semangat Anda luar biasa.
Namun, di tengah kesibukan itu, jangan lupa untuk menyiapkan waktu sekadar mendengar. Duduk bersama, mengobrol dari hati ke hati, dan membangun bonding. Karena kadang, anak-anak lebih membutuhkan itu daripada PowerPoint 20 slide dengan font kekinian dan animasi tingkat tinggi. Percayalah, begitu kita berhasil "mengklik" hati mereka, barulah kita bisa "mengklik" slide dengan penuh keyakinan. Karena pendidikan yang bermakna dimulai dari hubungan yang tulus.

Read More »
17 July | 0komentar

Suara Murid sebagai Pusat Pembelajaran

Pendidikan yang transformatif bukanlah tentang mengisi bejana kosong, melainkan tentang menyalakan api. Dan percayalah, api itu sudah berkobar di dalam diri setiap murid kita. Seringkali, kita, para pendidik dan orang dewasa, cenderung melihat suara murid sebagai pelengkap, hiasan di pinggir panggung utama pembelajaran. Namun, sudah saatnya kita menggeser paradigma itu. Sudah saatnya kita merayakan suara murid (student voice) sebagai jantung dari proses pembelajaran itu sendiri.
Mengapa begitu penting? Karena pendidikan yang bermakna dan mendalam tumbuh dari keberanian murid untuk berbicara dan dari kesediaan kita untuk mendengarkan.

Bukan Sekadar Pelengkap, tapi Fondasi Pembelajaran
Bayangkan sebuah ruang kelas di mana murid tidak hanya diizinkan berbicara, tetapi didorong untuk melakukannya. Ruang di mana ide-ide mereka dihargai, pertanyaan-pertanyaan mereka didalami, dan perspektif mereka membentuk arah diskusi. Inilah esensi dari ruang berbagi yang merayakan suara murid.
Ketika kita memberikan kesempatan bagi murid untuk mengungkapkan pemikiran, perasaan, dan pengalaman mereka, kita tidak hanya memberdayakan mereka; kita juga memperkaya proses pembelajaran itu sendiri. Murid bukan lagi penerima pasif informasi, melainkan agen aktif dalam konstruksi pengetahuan mereka. Mereka menjadi pemilik pembelajaran mereka.

Mengapa Suara Murid Begitu Kuat?
  • Meningkatkan Keterlibatan dan Motivasi: Ketika murid merasa didengar dan dihargai, mereka menjadi lebih terlibat dalam pembelajaran. Rasa memiliki ini memicu motivasi intrinsik yang jauh lebih kuat daripada instruksi satu arah. 
  • Mengembangkan Pemikiran Kritis dan Kreativitas: Dengan mengungkapkan ide-ide mereka, murid dilatih untuk menganalisis, mengevaluasi, dan mensintesis informasi. Ini adalah lahan subur untuk tumbuhnya pemikiran kritis dan kreativitas. 
  • Membangun Keterampilan Berkomunikasi dan Berkolaborasi: Ruang berbagi melatih murid untuk mengartikulasikan pikiran mereka dengan jelas, mendengarkan dengan empati, dan berkolaborasi dengan orang lain, keterampilan yang tak ternilai di dunia nyata. 
  • Menciptakan Lingkungan Belajar yang Inklusif: Suara murid membantu kita memahami keberagaman kebutuhan, minat, dan gaya belajar mereka. Ini memungkinkan kita untuk menciptakan lingkungan belajar yang lebih inklusif dan responsif. 
  • Mengidentifikasi Kebutuhan dan Potensi Tersembunyi: Murid seringkali tahu apa yang mereka butuhkan untuk belajar dengan lebih baik. Dengan mendengarkan mereka, kita dapat menemukan hambatan yang mungkin tidak terlihat dan menggali potensi yang belum tergali. 

Sebuah Ajakan untuk Membuka Telinga dan Hati 
Untuk kita, para pendidik, orang tua, dan semua orang dewasa yang peduli dengan masa depan pendidikan, ini adalah sebuah ajakan. Sebuah ajakan untuk membuka telinga dan hati kita lebar-lebar. 
  • Ciptakan Ruang Aman: Pastikan setiap murid merasa aman untuk berbicara, untuk berpendapat, bahkan untuk membuat kesalahan. Bebaskan mereka dari rasa takut dihakimi. 
  • Dengarkan dengan Aktif: Ini lebih dari sekadar mendengar kata-kata. Ini tentang memahami makna di balik kata-kata, emosi, dan niat. Ajukan pertanyaan yang menggugah, tunjukkan minat yang tulus. 
  • Validasi Perspektif Mereka: Meskipun kita mungkin tidak selalu setuju, penting untuk mengakui dan memvalidasi perspektif mereka. Ini membangun kepercayaan dan rasa hormat. 
  • Berikan Kesempatan Nyata: Libatkan murid dalam perencanaan pelajaran, evaluasi, bahkan dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi pengalaman belajar mereka. 
  • Jadikan Dialog Dua Arah: Pembelajaran adalah sebuah tarian, bukan monolog. Jadikan dialog sebagai inti dari setiap interaksi. 

Mari kita singkirkan anggapan bahwa kita adalah satu-satunya sumber pengetahuan. Mari kita rayakan keberanian murid untuk bersuara, karena dalam setiap suara itu, tersimpan potensi tak terbatas untuk sebuah pendidikan yang lebih hidup, lebih relevan, dan lebih manusiawi. Mari kita bangun ruang berbagi yang menjadikan suara murid sebagai pusat dari segalanya, karena di sanalah masa depan pembelajaran sejati dimulai.

Read More »
03 July | 0komentar

Saat Tidur Jadi Metafora

Tidur Adalah Usaha Termudah Menghargai Waktu Libur: Sebuah Renungan tentang Pendidikan dan Apresiasi Judul di atas mungkin terdengar kontradiktif, bahkan mungkin mengundang senyum. Bagaimana bisa tidur dianggap sebagai bentuk apresiasi terhadap waktu libur? Bukankah seharusnya waktu luang diisi dengan aktivitas produktif, pengembangan diri, atau petualangan seru? Namun, di balik judul yang sekilas nyeleneh ini, tersembunyi sebuah refleksi mendalam tentang nilai sesungguhnya dari waktu istirahat dan, yang lebih penting lagi, bagaimana kita sebagai masyarakat dan institusi memberikan apresiasi terhadap keberhasilan. 
Meskipun secara harfiah saya tidak akan membahas detail tidur di hari libur kali ini, frasa "tidur adalah usaha termudah menghargai waktu libur" justru menjadi metafora sempurna untuk mengajak kita merenungkan: apakah kita sudah cukup menghargai proses dan beragam bentuk keberhasilan, ataukah kita terlalu sibuk mengejar validasi eksternal yang seragam dan bersifat permukaan? Pendidikan: Mencetak Manusia atau Portofolio? 
Pertanyaan yang terus bergelora dalam benak kita adalah: "Sebenarnya sekolah ini tempat mendidik manusia… atau mendidik portofolio?" Pertanyaan ini bukan tanpa alasan. Setiap musim penerimaan siswa baru, pemandangan yang lazim kita jumpai adalah semaraknya spanduk-spanduk besar di depan sekolah. "Selamat kepada Ananda Budi, diterima di UGM. Terima kasih telah mengharumkan nama sekolah." Begitu bunyi salah satu contohnya, lengkap dengan foto siswa yang tersenyum bangga mengenakan jaket almamater kampus impian. 
Ucapan selamat bertebaran di media sosial, kepala sekolah ikut mengunggah, dan alumni pun turut bangga. Tentu saja, kebahagiaan ini patut dirayakan. Siapa yang tidak bangga melihat muridnya sukses menembus perguruan tinggi top? Namun, di tengah euforia itu, kerap kali ada ganjalan yang mengusik: bagaimana dengan "Siti"? Siti, mungkin, diterima di STIE Tri Dharma, sebuah universitas swasta yang lokasinya agak masuk gang, tidak sepopuler UGM. Ia mendaftar sendiri, menyiapkan berkas di sela-sela membantu orang tuanya menjaga warung. 
Tidak ada spanduk untuk Siti. Tidak ada ucapan "terima kasih telah mengharumkan nama sekolah." Keberhasilannya seolah lenyap dalam bayang-bayang prestasi yang "layak dipajang." Ini memicu pertanyaan krusial: jangan-jangan selama ini yang kita apresiasi itu bukan perjuangan, tapi branding? Bahkan, ironisnya, fenomena ini semakin tervalidasi dengan maraknya seminar tentang branding sekolah. Seolah-olah, nilai sebuah institusi pendidikan diukur dari seberapa banyak "produk unggulan" yang bisa dipamerkan di katalog prestasinya. 
Ketika Apresiasi Hanya untuk yang Terpilih Maka, kembali kita merenung: Apakah kita benar-benar sedang mendidik manusia sesuai versi terbaik dirinya? Atau kita sedang mencetak ‘produk unggulan’ buat katalog prestasi institusi? Prestasi memang penting, itu tidak bisa dimungkiri. Namun, apakah hanya mereka yang diterima di perguruan tinggi negeri favorit yang disebut "berhasil"? 
Bagaimana dengan mereka yang melanjutkan ke politeknik kecil, atau bahkan memilih untuk bekerja terlebih dahulu demi bisa melanjutkan kuliah tahun depan? Apakah perjuangan mereka tidak layak disebut sebagai hasil pendidikan juga? Apakah ketekunan dan kerja keras mereka dalam menghadapi realitas hidup tidak pantas mendapatkan apresiasi? 
Seringkali, tanpa disadari, kita sedang diam-diam ikut menyaring manusia dengan standar yang kita anggap ‘layak ditampilkan di spanduk’. Seolah-olah, ada kriteria tidak tertulis tentang "alumni sukses" yang hanya mencakup mereka dengan label-label bergengsi. Yang lainnya? Ya, mereka memang alumni juga, tapi "bukan yang itu lho… yang itu…" Sebuah pengabaian halus yang dapat melukai semangat dan memupus rasa bangga. 
Pendidikan Sejati Melampaui Baliho Penulis artikel ini teringat pengalamannya sendiri: masuk universitas dengan jurusan Pendidikan Teknik Mesin yang kala itu tidak termasuk kategori favorit. Namun, dari sana ia tetap bisa tumbuh, belajar, dan menjadi manusia yang utuh. Ia kemudian menjadi seorang guru, dan dari sanalah ia menyadari: jangan-jangan sekolah memang lupa, bahwa menjadi manusia itu bukan perlombaan banner. 
Menjadi manusia berarti tumbuh, berkembang, dan memberikan kontribusi dalam berbagai bentuk, terlepas dari label institusi atau popularitas. Pendidikan sejati seharusnya tentang memfasilitasi setiap individu untuk mencapai potensi terbaiknya, bukan sekadar mencetak daftar prestasi yang seragam. Kamu Sudah Masuk Hati Kami Maka, melalui artikel ini, sebuah pesan penting ingin disampaikan: Untuk kamu yang diterima di mana pun – baik di perguruan tinggi negeri, swasta, akademi, bahkan "sekolah kehidupan" itu sendiri – ketahuilah, kamu juga bagian dari perjuangan kami. 
Perjuanganmu, usahamu, dan semua tetes keringatmu dalam meraih mimpi adalah bagian tak terpisahkan dari misi pendidikan. Jika sekolah ini benar-benar mendidik manusia, maka tak satupun perjuanganmu akan luput dari apresiasi. Mungkin namamu tidak terpampang di baliho besar di pinggir jalan, namun percayalah, kamu sudah masuk hati kami. 
Yang terpenting dari segalanya adalah: teruslah bertumbuh. Teruslah belajar, beradaptasi, dan berkembang, dengan atau tanpa spanduk ucapan selamat. Karena pada akhirnya, nilai sejati seorang manusia tidak diukur dari seberapa megah pengakuan eksternal yang ia dapatkan, melainkan dari seberapa besar ia mampu menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri, dan seberapa besar dampaknya bagi dunia di sekitarnya.
Sumber : Grup WA GSM Kab. Purbalingga.

Read More »
29 June | 0komentar

Bawah Tumpukan Dokumen Kurikulum

Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum
Semester telah usai. Pembagian raport akan dibagikan esok Pagi (20/6/2025). Buku catatan penuh kejadian, rekap nilai rapi, dan lembar asesmen otentik tersusun lengkap dengan bukti-bukti foto siswa yang berproyek, mengenakan baju adat, menanam pohon, atau berdiskusi layaknya anak-anak Google. Namun, di tengah hiruk pikuk akhir tahun ajaran, sebuah pertanyaan mengganjal di benak: sebenarnya yang belajar itu siapa sih? 
Konon, negeri ini memiliki peta jalan pendidikan. Tetapi, rasanya kita ini seperti orang yang memegang Google Maps, namun tetap saja bertanya arah pada ibu-ibu yang sedang menyapu halaman rumahnya. Peta ada, tapi kita bingung. Dan lucunya, saat kebingungan melanda, yang paling sering diubah adalah kurikulum. Dalihnya, ini hanya pendekatan. Tapi kenapa pendekatannya selalu menyeret gerbong yang berisi seluruh "persilatan"? Pendekatan berubah, namun guru dan murid justru semakin pontang-panting mengejar istilah baru yang sejatinya hanya ganti baju dari istilah lama. 
Di lapangan, yang terjadi adalah guru sibuk mencari waktu untuk membuat dokumen, bukan untuk memikirkan muridnya. Pendekatan katanya berpusat pada murid dan mendalam. Tapi murid mana yang ditanya keinginannya? Yang terjadi justru guru dipasung dengan format yang bahkan kepala sekolahnya pun kadang kebingungan membacanya. Inovasi, katanya. Tapi mengapa guru dan murid selalu yang ketinggalan kereta? Coba saja, para pembuat kebijakan itu, pernahkah menginap semalam saja di desa yang listriknya masih seperti suasana Senin pagi: naik-turun tak menentu? Pernahkah merasakan sinyal hanya bisa didapat jika memanjat pohon jambu? Pernahkah melihat anak-anak tanpa alas kaki berjalan puluhan kilometer menuju sekolahnya? 
Namun, begitu melihat konten TikTok sekolah yang digelontorkan miliaran, mereka puas dan tersenyum bangga. Sementara itu, anak-anak di desa diminta membuat proyek Pancasila yang nilai-nilai silanya pun mereka tak pahami. Yang penting ramai, yang penting terlihat kreatif. Artefak dikumpulkan, tapi jiwanya kosong. Kolaborasi, katanya. Namun yang terjadi? Anak-anak dibariskan dalam kasta akademik, bahkan akan ada kasta sekolah. Kompetisi dibungkus kolaborasi, seperti bakso isi cabai rawit; terlihat adem, tapi membuat hati panas. 
Kurikulum Merdeka katanya tidak diganti, namun terasa seperti gerbong yang berganti, dan kita semua disuruh ikut arusnya. Saya mulai curiga, yang doyan eksperimen ini siapa? Murid dan guru yang belajar, atau pembuat kebijakan yang lagi hobi mencoba-coba teori pendidikan yang paling jitu? Pendidikan seharusnya membuat manusia berpikir. Tetapi sistemnya justru sibuk membuat manusia yang bisa dikontrol. 
Di kelas, anak-anak mengerjakan tugas dengan tatapan kosong. Hafal rumus, iya. Tapi arah hidup? Mereka tidak tahu. Mereka sibuk menata resume sekolah dan "muka" pendidikan, namun semakin jauh dari jati dirinya. Sumatif? Ya, anak-anak tetap dipaksa ikut tes. Dan nilai akhirnya membuat wali murid tersenyum lebar, padahal mereka tak tahu isi kepala anaknya. Karakter? Ah, itu seperti bumbu penyedap di mi instan; disebut-sebut, tapi tak terasa. Sementara gurunya? Masih harus memikirkan biaya sekolah anaknya dan cicilan yang tersenyum lebar di awal bulan, sambil memutar otak bagaimana membuat murid-murid "terinspirasi". 
Lah, siapa yang memberi inspirasi untuk guru? Ini bukan ironi. Ini luka. Luka yang dirayakan setiap hari agar terlihat normal. Saya bermimpi… ya, masih berani bermimpi, bahwa pendidikan suatu hari kembali menjadi taman berpikir. Bukan ruang penuh soal pilihan ganda, bukan panggung lomba yang dipoles untuk postingan pamer pembuat kebijakan, bukan tempat uji coba kurikulum yang tak sempat matang. Taman itu, seharusnya menjadi tempat manusia tumbuh, saling memahami, menemukan dirinya, dan mencintai proses berpikir sebagai proses menjadi manusia utuh. Untuk siapa pendidikan Indonesia ini? Untuk siapa kita mengajar? Kalau jawabannya hanya untuk melanggengkan sistem, maka sungguh, kita sudah gagal… bahkan sebelum lonceng pulang berbunyi. 
Dan saya... saya hanya ingin besok pagi masuk kelas tanpa merasa sedang ikut lomba siapa paling patuh pada edaran tentang kurikulum pendekatan terbaru. Saya hanya ingin menjadi guru yang menemani anak-anak menjadi manusia. Tidak lebih, tapi semoga itu cukup.
Sumber: Gurp WA GSM Kab. Purbalingga

Read More »
19 June | 0komentar

Ketika Guru Pun Harus Belajar Mengakui


Maaf Ya, Nak... Pak Guru Juga Masih Belajar "Maaf ya, Nak..."
 
Seringkali kalimat itu terucap dalam hati para guru, namun tak jarang sulit untuk dilafalkan secara langsung. Kepada kalian, murid-muridku, yang setiap Senin pagi berbaris rapi di lapangan untuk upacara Hari Pancasila—meskipun dalam benak kecil kalian mungkin bertanya-tanya, "Pancasilanya mana, ya? Yang ada cuma gambar Garuda dan teksnya." Kalian berdiri tegak dan rapi, padahal jujur saja, Pak Guru terkadang datang terlambat ke tengah lapangan bersama kalian. Kalian yang hormat pada bendera sambil khidmat mendengar lagu kebangsaan "Indonesia Raya," tahukah kalian bahwa Pak Guru sendiri masih sering terjajah oleh ambisi pribadi akan pengakuan? Ambisi untuk terlihat sempurna, terlihat menguasai segalanya.

Ketika Amarah Menguasai "Maaf ya, Nak..." 
Kadang, saat kalian riuh sebentar saja Pak Guru keluar kelas, kalian langsung kena marah. Bentakan meluncur, dan cap "anak-anak yang susah diatur" langsung tersemat. Padahal, bisa jadi yang gagal mengatur itu ya... Pak Guru sendiri. Gagal memahami, gagal mendekati, gagal mengelola emosi.

Mencari Makna di Balik Kebosanan
"Maaf ya, Nak..."
Kalau ada hari ketika kalian hanya bermain, kelas ramai, ada yang duduk diam, bahkan ketiduran, itu bukan karena kalian malas. Mungkin kalian lelah, mungkin bosan, atau tidak tahu lagi harus berbuat apa. Mengapa? Karena Pak Guru belum mengajak kalian mengobrol, belum mengajak berdiskusi, belum benar-benar mengajak belajar bersama. Pak Guru ini kadang lebih sibuk jadi penyampai materi daripada jadi pendengar cerita. Lebih semangat memberi tugas daripada memberi kepercayaan. Lebih rajin membuat soal ujian daripada membuat kalian nyaman. Terkadang, Pak Guru merasa sedang bekerja di "pabrik sekolah," bukan membersamai manusia-manusia kecil yang sedang tumbuh mencari jati diri. Dan lucunya, Nak... setiap tahun murid-murid Pak Guru berubah, tapi pendekatan Pak Guru tetap... begitu-gitu saja. Ibarat unduhan modul ajar versi lama yang tak pernah diperbarui, kadang cuma menanyakan teman, "Sudah jadi belum aku kopi?" Atau seperti meme Bapak-bapak yang dipaksakan lucu padahal sudah tidak relevan.

Luka yang Tak Sengaja Terukir
Pak Guru juga tahu, kadang kalian belajar sambil menangis. Bukan karena pelajarannya susah, tapi karena sikap Pak Guru yang keras, yang tanpa sadar lebih sering menyakiti daripada membimbing. Yang berkata, "Masa gitu aja nggak bisa sih?" padahal belum pernah benar-benar menjelaskan dengan baik. "Maaf ya, Nak..." 
Kalau selama ini Pak Guru menganggap kalian hanya objek pekerjaan, bukan subjek kehidupan yang punya rasa, punya cerita, punya impian. Pak Guru sadar, bahwa sebetulnya yang paling harus belajar di kelas ini... ya Pak Guru sendiri. Belajar untuk tidak lagi menjadi guru yang hanya ingin diakui, tapi jadi guru yang bisa mengakui, bahwa mendidik itu bukan sekadar memberi nilai angka, tapi memberi ruang. Dan mungkin, ruang yang paling dibutuhkan sekarang adalah ruang untuk meminta maaf. 
Jadi, maaf ya, Nak... Jika selama satu tahun ini bersama Pak Guru ada luka yang belum tersembuhkan, ada dendam diam-diam dalam hatimu pada Pak Guru, ada tangis yang kamu tahan saat dimarahi di depan kelas, ada semangat yang padam karena merasa tidak dianggap. 
Pak Guru tidak sedang mencari pembenaran. Pak Guru hanya sedang belajar... jadi manusia. Dan semoga, besok-besok, Pak Guru tak cuma datang ke kelas membawa absensi dan modul ajar, tapi juga membawa hati... yang siap belajar dari kalian. 
#kembalimendidikmanusia #gurumeraki #terbebasmentalterjajah #mandiriberdayaberdampak #gerakansekolahmenyenangkan

Read More »
06 June | 0komentar

Menuju Pendidikan yang Membebaskan dan Berdaya Sejarah

Maindfull
Pendidikan di banyak negara, termasuk Indonesia, tak bisa dilepaskan dari bayang-bayang kolonialisme dan feodalisme. Dua kekuatan ini, yang secara inheren mengedepankan kontrol dan hierarki, telah menancapkan akar kuat dalam sistem pendidikan kita, menghasilkan warisan yang kompleks dan seringkali menghambat. Penjajahan pendidikan ini bukan hanya tentang kurikulum yang dipaksakan atau bahasa pengantar yang diganti, melainkan juga tentang pembentukan mental inferior, menciptakan perasaan tertekan, takut salah melangkah, dan secara fundamental mengkerdilkan potensi manusia untuk mewujudkan mimpi besar kodrat dirinya. 
Mentalitas yang terbentuk dari penjajahan ini sering termanifestasi dalam pola pikir yang enggan berinovasi, terlalu bergantung pada otoritas, serta kurangnya inisiatif dan keberanian untuk mengambil risiko. Sistem yang rigid, evaluasi yang cenderung menghakimi, dan penekanan pada hafalan daripada pemahaman mendalam, semuanya berkontribusi pada penciptaan lingkungan belajar yang jauh dari ideal. Anak didik tumbuh dengan keyakinan bahwa kesalahan adalah kegagalan mutlak, bukan bagian dari proses belajar. Namun, zaman telah berubah, dan kesadaran akan pentingnya pendidikan yang membebaskan semakin menguat. 
Di tengah upaya kolektif untuk memerdekakan diri dari belenggu masa lalu, Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) Kebumen hadir dengan sebuah ajakan yang revolusioner: "Bebaskan Diri dari Mental Terjajah, Ciptakan Lingkungan Belajar yang Joyful, Mindful, Meaningful, dan Powerful." Memutus Rantai Mental Inferior Ajakan GSM Kebumen ini adalah sebuah seruan untuk merombak paradigma. Ini bukan hanya tentang mengubah metode pengajaran, tetapi tentang merevolusi cara kita memandang pendidikan dan peran setiap individu di dalamnya. 
Joyful (Menyenangkan): Lingkungan belajar yang menyenangkan adalah antitesis dari tekanan dan ketakutan. Ketika belajar menjadi kegiatan yang dinikmati, bukan beban, potensi anak-anak akan mekar secara alami. Ini berarti menciptakan suasana kelas yang hidup, interaktif, penuh tawa, dan memungkinkan eksplorasi tanpa batas. Kegembiraan adalah bahan bakar untuk rasa ingin tahu dan kreativitas. 
Mindful (Penuh Kesadaran): Pendidikan yang mindful mengajak setiap individu—guru dan murid—untuk hadir sepenuhnya dalam setiap momen. Ini berarti melatih kesadaran diri, memahami emosi, dan belajar mengelola pikiran yang seringkali riuh. Dalam konteks kelas, mindfulness membantu menciptakan fokus, mengurangi stres, dan memungkinkan proses belajar yang lebih mendalam, di mana murid benar-benar menyerap dan meresapi materi, bukan hanya menghafal. 
Meaningful (Bermakna): Salah satu dampak terbesar dari pendidikan terjajah adalah hilangnya makna. Materi pelajaran terasa asing, tidak relevan dengan kehidupan nyata, dan hanya menjadi deretan fakta yang harus dihafal. Pendidikan yang meaningful mengembalikan relevansi ini. Ini berarti menghubungkan materi pelajaran dengan pengalaman hidup murid, tujuan mereka, dan isu-isu yang relevan di sekitar mereka. Ketika belajar memiliki makna, motivasi intrinsik akan tumbuh dan pengetahuan akan melekat lebih lama. 
Powerful (Berdaya): Tujuan akhir dari membebaskan diri dari mental terjajah adalah memberdayakan individu. Lingkungan belajar yang powerful adalah tempat di mana setiap suara didengar, setiap ide dihargai, dan setiap murid merasa memiliki agensi atas pembelajarannya sendiri. Ini mendorong pemikiran kritis, kemampuan memecahkan masalah, dan keberanian untuk berinovasi. 
Pendidikan yang berdaya melahirkan individu yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga memiliki kepercayaan diri, resiliensi, dan kesiapan untuk menjadi agen perubahan di masyarakat. Jalan Menuju Pendidikan yang Memerdekakan Gerakan seperti yang diusung GSM Kebumen ini adalah langkah krusial. Ini adalah upaya kolektif untuk membongkar struktur dan mentalitas lama yang membelenggu, dan menggantinya dengan pendekatan yang memanusiakan dan memberdayakan. 
Guru, sebagai garda terdepan pendidikan, memegang peran sentral dalam transformasi ini. Dengan membebaskan diri mereka sendiri dari mental terjajah, mereka dapat menjadi fasilitator bagi kebebasan belajar murid-muridnya. Transformasi ini membutuhkan keberanian—keberanian untuk mempertanyakan status quo, keberanian untuk mencoba hal baru, dan keberanian untuk menerima bahwa proses belajar adalah perjalanan yang penuh penemuan, bukan sekadar perlombaan mencapai nilai tertinggi. 
Ketika kita berhasil menciptakan lingkungan belajar yang Joyful, Mindful, Meaningful, dan Powerful, kita tidak hanya mendidik generasi baru, tetapi kita juga turut menulis ulang sejarah pendidikan di Indonesia, membebaskannya dari bayang-bayang masa lalu, dan mengarahkannya menuju masa depan yang cerah, di mana setiap potensi manusia dapat berkembang tanpa batas. Apakah Anda siap menjadi bagian dari gerakan yang membebaskan ini?

Read More »
29 May | 0komentar

Ketika Bengong Menjadi Gerbang Fokus

Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM)
Pernahkah Bapak dan Ibu mengalami momen ketika niat hati ingin menyelesaikan pekerjaan—entah itu laporan, modul ajar, atau tugas lainnya—namun tiba-tiba pikiran melayang entah ke mana? Layar laptop menyala, kursor berkedip-kedip, tapi tangan enggan bergerak. Seolah pikiran kita adalah layangan putus yang terbawa angin terlalu kencang. Orang mungkin akan berteriak, "Woy! Fokus dong!" 
Tapi, siapa sangka, justru di momen "bengong" itulah fokus sejati bisa ditemukan. Semalam, saya berkesempatan mengikuti bedah buku "Stolen Focus" karya Johann Hari bersama Bu Novi. Antusiasme pesertanya luar biasa, memenuhi kuota Zoom. Dan dari sana, saya menyadari satu hal penting: kita ini bukan kekurangan waktu atau semangat, melainkan fokus kita yang sedang dicuri. 
Dari paparan Bu Novi, saya mencoba mengaitkan sisi kecil, atau fokus kecil, pada tindakan melamun yang sering kita anggap sepele. Mengapa? Melamun: Pintu Masuk Menuju Kreativitas Ternyata, salah satu cara untuk merebut kembali fokus yang telah dicuri itu adalah dengan melamun. Terdengar kontradiktif, bukan? Kegiatan yang dulu dicap sebagai tanda kemalasan atau pemborosan waktu, kini justru terbukti menjadi pintu masuk menuju kreativitas. Para profesor dan filsuf sering mengatakan bahwa melamun itu seperti jalan kecil yang mengarah ke hutan ide. 
Di sanalah, momen "AHA!" biasanya muncul tanpa diundang, datang di saat kita tenang, bagaikan sebuah pencerahan yang tak terduga. Saya pribadi sering mengalaminya. Sepulang kerja, saya suka berkeliling kampung dengan motor, bukan mencari kopi atau membuat konten, melainkan sekadar "muter" saja. Menatap sawah, mendengar suara ayam. Atau, sesekali berjalan kaki menyusuri desa. Dan di sanalah, ide-ide pembelajaran baru seringkali muncul, tiba-tiba saja terlintas ide tantangan menarik untuk anak-anak didik. Tenang Itu Kekuatan, 
Refleksi Itu Pelita Bapak dan Ibu, kita hidup di zaman yang bising. Bising dengan notifikasi yang tak henti-henti, bising dengan tuntutan pencapaian, dan bising dengan orang-orang yang terus berlari kencang tanpa tahu arah tujuan. Maka tak heran jika kini "slow living" menjadi tren. Ini bukan berarti kita lemah, melainkan sebuah kesadaran bahwa ketenangan adalah kekuatan, dan refleksi adalah pelita. Filosofi ini juga yang sejak lama digaungkan oleh Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM): "Biasakan refleksi." Mengapa? Karena ketika guru merasa tenang, murid juga akan tumbuh. Ketika guru melamun, bisa jadi mereka sedang merancang petualangan belajar yang inovatif. Dan ketika guru berani berhenti sejenak, di situlah makna hadir, bukan sekadar mengejar target semata. 
Kita ini bukan pelatih sirkus yang menyuruh anak-anak terus melompat melewati lingkaran api. Kita adalah penjaga lentera pertumbuhan. Dan lentera itu, kadang kala, perlu ditiup pelan, ditenangkan, dan dibiarkan berpendar dalam hening. Tujuannya agar anak-anak tahu bahwa hidup itu bukan lomba, melainkan sebuah perjalanan. Tugas kita adalah menemani langkah kecil mereka, bukan memburu ranking, tetapi membimbing mereka menemukan irama diri. Jadi, jika hari ini ada yang berkata, "Eh, jangan melamun!", saya akan dengan santai menjawab, "Maaf, saya sedang menciptakan dunia baru di kepala saya." Ya, ternyata di sanalah, fokus sejati kita sedang kembali ke rumahnya.

Read More »
29 May | 0komentar

PSAT Tahun 2025

PSAT merupakan salah satu momen penting dalam kalender akademik, yang bertujuan untuk mengukur pencapaian kompetensi siswa pada akhir tahun pelajaran. Dengan beralih ke sistem berbasis Android, SMKN 1 Bukateja tidak hanya mengikuti perkembangan zaman, tetapi juga berupaya menciptakan proses penilaian yang lebih efisien, transparan, dan akuntabel. 


Mengapa Memilih Platform Android? 
Keputusan untuk menggunakan platform Android sebagai basis pelaksanaan PSAT didasari oleh beberapa pertimbangan matang: Aksesibilitas: Sebagian besar siswa saat ini telah memiliki perangkat Android, baik smartphone maupun tablet. Hal ini akan mempermudah akses mereka terhadap soal ujian tanpa perlu bergantung pada penyediaan komputer atau laboratorium khusus. 
Efisiensi Biaya: Implementasi PSAT berbasis Android berpotensi mengurangi biaya yang terkait dengan pencetakan soal ujian dalam jumlah besar, pengawasan yang ketat di ruang ujian konvensional, serta pengolahan hasil ujian secara manual. 
Fleksibilitas: Platform Android memungkinkan penyajian soal dalam berbagai format yang lebih menarik dan interaktif, seperti gambar, video, dan bahkan simulasi (jika diperlukan untuk mata pelajaran tertentu). 
Keamanan Data: Dengan sistem yang terkelola dengan baik, data jawaban siswa dapat tersimpan secara aman dan terhindar dari risiko kehilangan atau kerusakan fisik. 
Pengolahan Hasil yang Cepat dan Akurat: Sistem digital memungkinkan pengolahan hasil ujian secara otomatis, sehingga guru dapat lebih cepat mengetahui hasil belajar siswa dan memberikan umpan balik yang relevan. 
Ramah Lingkungan: Pengurangan penggunaan kertas secara signifikan akan berkontribusi pada upaya pelestarian lingkungan. Persiapan dan Implementasi PSAT Berbasis Android di SMKN 1 Bukateja Menjelang pelaksanaan PSAT tahun ajaran 2024/2025, SMKN 1 Bukateja telah melakukan berbagai persiapan yang matang, antara lain: 
Pengembangan Aplikasi PSAT: Tim IT sekolah bekerja sama dengan guru mata pelajaran untuk mengembangkan aplikasi PSAT yang user-friendly, aman, dan sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Aplikasi ini akan memuat soal-soal ujian, mekanisme pengiriman jawaban, serta fitur-fitur pendukung lainnya. Sosialisasi kepada Siswa dan Orang Tua: Pihak sekolah akan melakukan sosialisasi secara intensif kepada siswa dan orang tua mengenai mekanisme pelaksanaan PSAT berbasis Android, termasuk tata cara penggunaan aplikasi, jadwal ujian, dan hal-hal teknis lainnya. 
Pelatihan Guru: Guru-guru akan diberikan pelatihan khusus mengenai penggunaan aplikasi PSAT, pembuatan soal dalam format digital, serta pengelolaan dan analisis hasil ujian melalui platform tersebut. Simulasi Ujian: Sebelum pelaksanaan PSAT sesungguhnya, akan diadakan simulasi ujian berbasis Android untuk memastikan siswa dan guru familiar dengan sistem dan mengidentifikasi potensi kendala teknis yang mungkin muncul. Penyediaan Infrastruktur Pendukung: Sekolah akan memastikan ketersediaan jaringan internet yang stabil dan memadai selama pelaksanaan PSAT. Bagi siswa yang mungkin memiliki kendala perangkat, sekolah akan berupaya mencari solusi alternatif. Harapan dan Dampak Positif Implementasi PSAT berbasis Android di SMKN 1 Bukateja diharapkan dapat memberikan dampak positif yang signifikan, antara lain: 
Peningkatan Efisiensi: Proses pelaksanaan dan pengolahan hasil ujian menjadi lebih cepat dan efisien. Peningkatan Akuntabilitas: Setiap jawaban siswa terekam secara digital, sehingga meminimalisir potensi kecurangan. 
Umpan Balik yang Lebih Cepat: Guru dapat memberikan umpan balik yang lebih cepat dan spesifik kepada siswa berdasarkan hasil ujian. 
Penggunaan Teknologi dalam Pembelajaran: Mendorong siswa dan guru untuk lebih adaptif terhadap penggunaan teknologi dalam proses pembelajaran. 
Citra Sekolah yang Inovatif: Meningkatkan citra SMKN 1 Bukateja sebagai sekolah yang progresif dan adaptif terhadap perkembangan teknologi. 
Dengan semangat inovasi dan komitmen untuk memberikan pendidikan yang berkualitas, SMKN 1 Bukateja optimis bahwa pelaksanaan PSAT tahun ajaran 2024/2025 berbasis Android akan berjalan sukses dan memberikan kontribusi positif bagi kemajuan pendidikan di sekolah ini. Langkah ini menjadi bukti nyata bahwa SMKN 1 Bukateja terus berupaya untuk menjadi yang terdepan dalam memanfaatkan teknologi demi kemajuan peserta didiknya.








Read More »
28 May | 0komentar

"Barak Kemanusiaan" untuk Generasi Anti Kekerasan

Bullying, tawuran, dan kekerasan bagaikan tiga serangkai momok yang terus menghantui dunia pendidikan dan sosial kita. Reaksi instan yang seringkali muncul adalah penegakan disiplin yang lebih ketat, bahkan tak jarang muncul wacana solusi ala "barak militer" di lingkungan sekolah. Namun, anggapan bahwa masalah kompleks ini dapat diselesaikan hanya dengan memperkuat disiplin adalah sebuah simplifikasi yang berbahaya. Akar permasalahan bullying, tawuran, dan kekerasan jauh lebih dalam dan melibatkan jalinan berbagai faktor, mulai dari dinamika keluarga, pengaruh lingkungan sosial, hingga sistem pendidikan yang ada. 
Jika demikian, solusi jangka panjang yang lebih konstruktif dan berkelanjutan adalah membangun sebuah ekosistem empati dan pemahaman melalui sebuah gagasan transformatif: Barak Kemanusiaan. 
Mengurai Benang Kusut Faktor Penyebab: Kita tidak bisa menutup mata terhadap kompleksitas penyebab munculnya perilaku agresif dan merugikan ini. Beberapa faktor krusial yang saling terkait meliputi: 
Keluarga sebagai Fondasi: Keluarga adalah sekolah pertama bagi seorang individu. Pola asuh yang otoriter atau permisif, kurangnya komunikasi yang efektif, adanya kekerasan dalam rumah tangga, atau bahkan ketidakpedulian orang tua terhadap perkembangan emosi anak dapat menjadi bibit perilaku agresif dan kurangnya empati. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan seperti ini berpotensi meniru perilaku negatif atau melampiaskan frustrasi melalui bullying atau kekerasan di luar rumah. 
Pengaruh Lingkungan Sosial: Lingkungan pergaulan, baik di sekolah maupun di masyarakat, memiliki peran signifikan. Tekanan teman sebaya, budaya kekerasan yang dianggap "keren" atau sebagai cara menyelesaikan masalah, pengaruh media yang tidak sehat, serta kurangnya ruang aman untuk berinteraksi secara positif dapat memicu perilaku agresif dan tawuran. Sekolah yang tidak memiliki mekanisme pencegahan dan penanganan bullying yang efektif juga turut memperparah masalah. 
Sistem Pendidikan yang Belum Optimal: Sistem pendidikan yang terlalu fokus pada aspek kognitif dan kurang memperhatikan pengembangan karakter, empati, dan keterampilan sosial emosional (EQ) dapat menjadi lahan subur bagi munculnya perilaku negatif. Kurangnya pemahaman tentang keberagaman, toleransi, dan penyelesaian konflik secara damai juga menjadi kontributor. Selain itu, tekanan akademik yang berlebihan dan kurangnya ruang ekspresi diri yang positif dapat menimbulkan stres dan frustrasi yang berujung pada pelampiasan negatif. 
Faktor Individu: Karakteristik individu seperti kurangnya rasa percaya diri, kesulitan mengelola emosi, atau adanya riwayat menjadi korban kekerasan juga dapat berkontribusi pada perilaku bullying atau terlibat dalam tawuran. 
Peran Masyarakat dan Budaya: Norma-norma sosial dan budaya yang permisif terhadap kekerasan atau meremehkan isu bullying juga turut melanggengkan masalah ini. Kurangnya kepedulian dan tindakan nyata dari masyarakat terhadap fenomena ini membuat pelaku merasa aman dan korban merasa tidak berdaya. 
Mengapa "Barak Militer" Bukan Solusi Jangka Panjang: 
Meskipun disiplin memiliki peran penting dalam membentuk perilaku, pendekatan "barak militer" yang menekankan hukuman fisik dan pengekangan seringkali bersifat represif dan tidak menyentuh akar permasalahan. Pendekatan ini dapat menimbulkan rasa takut dan kepatuhan semu, namun tidak menumbuhkan pemahaman, empati, atau perubahan perilaku yang mendasar. Bahkan, dalam beberapa kasus, pendekatan represif dapat memicu trauma dan dendam, yang justru berpotensi melahirkan masalah baru di kemudian hari. "Barak Kemanusiaan": Investasi Jangka Panjang untuk Perubahan Mindset dan Karakter: 
Sebagai alternatif yang lebih konstruktif dan berkelanjutan, gagasan "Barak Kemanusiaan" hadir sebagai sebuah ruang transformatif untuk membentuk pola pikir, mengasah empati, mempertajam pemahaman, dan memperkuat karakter seluruh elemen masyarakat. Ini bukan sekadar tempat pelatihan fisik, melainkan sebuah pusat pembelajaran holistik yang berfokus pada pengembangan dimensi kemanusiaan. Siapa yang Akan Masuk ke Barak Kemanusiaan? Konsep "Barak Kemanusiaan" bersifat inklusif dan melibatkan seluruh lapisan masyarakat, menyadari bahwa perubahan yang signifikan memerlukan partisipasi kolektif: 
  • Pejabat dan Pembuat Kebijakan: Mereka perlu memahami akar permasalahan secara mendalam dan merumuskan kebijakan yang mendukung pembentukan karakter, pencegahan kekerasan, dan penguatan nilai-nilai kemanusiaan dalam sistem pendidikan dan masyarakat. 
  • Guru dan Tenaga Pendidik: Mereka adalah garda terdepan dalam membentuk karakter siswa. Barak Kemanusiaan dapat menjadi wadah untuk melatih keterampilan komunikasi efektif, manajemen konflik, pemahaman psikologi perkembangan anak, dan strategi pencegahan serta penanganan bullying. 
  • Orang Tua: Peran orang tua sangat krusial. Barak Kemanusiaan dapat memberikan edukasi tentang pola asuh positif, komunikasi yang sehat, pentingnya membangun empati pada anak, serta cara mendeteksi dan mengatasi masalah bullying dan kekerasan. 
  • Siswa: Sebagai subjek utama, siswa akan mendapatkan ruang untuk mengembangkan kecerdasan emosional, keterampilan sosial, pemahaman tentang keberagaman, kemampuan menyelesaikan konflik secara damai, serta menumbuhkan rasa saling menghormati dan peduli. 
  • Masyarakat Umum: Keterlibatan masyarakat luas penting untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi tumbuh kembang karakter positif. 
Barak Kemanusiaan dapat menjadi pusat edukasi publik tentang isu bullying, tawuran, dan kekerasan, serta mendorong partisipasi aktif dalam upaya pencegahan dan penanggulangan. Apa yang Akan Dilakukan di Barak Kemanusiaan? Barak Kemanusiaan akan menjadi pusat kegiatan yang beragam dan interaktif, meliputi: 
  • Pelatihan dan Workshop: Berbagai pelatihan dan workshop tentang pengembangan empati, komunikasi efektif, manajemen emosi, resolusi konflik, pemahaman keberagaman, hak asasi manusia, dan pencegahan kekerasan. 
  • Diskusi dan Forum: Ruang diskusi terbuka untuk membahas isu-isu terkait bullying, tawuran, dan kekerasan dari berbagai perspektif, mencari solusi bersama, dan membangun pemahaman yang lebih mendalam. 
  • Simulasi dan Role-Playing: Kegiatan simulasi dan bermain peran untuk melatih keterampilan sosial, empati, dan kemampuan menghadapi situasi konflik secara konstruktif. 
  • Kegiatan Sosial dan Komunitas: Program-program yang melibatkan interaksi antar berbagai kelompok masyarakat untuk menumbuhkan rasa kebersamaan, solidaritas, dan kepedulian sosial. 
  • Pendampingan dan Konseling: Menyediakan layanan pendampingan dan konseling bagi individu yang menjadi korban atau pelaku bullying dan kekerasan, serta bagi keluarga yang membutuhkan dukungan. 
  • Kampanye dan Edukasi Publik: Mengembangkan kampanye kreatif dan program edukasi publik untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang dampak negatif bullying, tawuran, dan kekerasan, serta mendorong perubahan perilaku yang positif. 
Menuju Masyarakat yang Lebih Beradab: Gagasan "Barak Kemanusiaan" bukan solusi instan, melainkan sebuah investasi jangka panjang dalam membangun masyarakat yang lebih beradab, penuh empati, dan bebas dari kekerasan. Dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat dalam proses pembelajaran dan transformasi karakter, kita dapat secara bertahap mengikis akar permasalahan bullying, tawuran, dan kekerasan. Ini adalah tentang membangun fondasi kemanusiaan yang kuat, di mana setiap individu merasa dihargai, aman, dan memiliki pemahaman yang mendalam tentang pentingnya hidup berdampingan secara damai dan harmonis. Bukan barak militer yang kita butuhkan, melainkan ruang inklusif di mana kemanusiaan menjadi panglima. Sumber: GSM

Read More »
25 May | 0komentar