Assalamu'alaikum ! welcome to Media Pendidikan.| Contact | Register | Sign In

Guru Ini Membuktikan Pendidikan Dimulai dari Hati

Para Guru
Guru sering kali diidentikkan dengan sosok yang berdiri di depan kelas, menyampaikan materi pelajaran, dan memberikan nilai. Namun, pernahkah kita berpikir, ada panggilan yang lebih dalam dari sekadar rutinitas mengajar? Panggilan untuk mewakafkan diri, hadir sepenuhnya, dan menjadi tempat bersandar bagi anak-anak yang paling membutuhkan.
Inilah yang dirasakan aktivis Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), Pak Ali. Setelah sekian lama, hatinya tergerak untuk kembali menjadi wali kelas. Bukan karena tidak ada pekerjaan lain, melainkan sebuah panggilan hati yang tak bisa ditolak: mendampingi anak-anak dari jarak terdekat, membersamai mereka dalam setiap langkah, baik yang benar maupun yang keliru.

Ketika "Anak-Anak Sulit" Menjadi "Anak-Anak Saya" 
Tantangan pertama tiba dalam wujud sebuah kelas. Bukan kelas dengan sederet piala, melainkan kelas yang terkenal dengan catatan pelanggaran. Mulai dari yang sering terlambat, ketahuan merokok, hingga pelanggaran berat yang membuat mereka harus dibina di Koramil. Di mata banyak orang, mereka adalah "anak-anak sulit". Namun, di mata Pak Ali, mereka adalah "anak-anak saya". Pandangan ini mengubah segalanya. Tidak ada label, tidak ada vonis. Hanya ada hati yang siap menerima.
Waktu bergulir, sampai tiba hari penyerahan kembali murid-murid dari Koramil. Para orang tua datang, memeluk anak mereka dengan haru. Namun, satu wajah yang paling Pak Ali cari tidak juga muncul. Rupanya, orang tuanya tidak hadir, dan ia sendiri menghilang entah ke mana. Ada tusukan di dada Pak Ali, rasa cemas dan khawatir yang menusuk relung hati. Dengan hati penuh harapan, ia meminta tolong seorang teman untuk memanggilnya.

Sebuah Pelukan yang Berbicara Lebih dari Ribuan Kata
Beberapa menit kemudian, anak itu muncul. Langkahnya ragu, wajahnya tertunduk. Tanpa diduga, ia berlutut di kaki Pak Ali, suaranya pecah: "Pak Ali… maaf. Saya sudah membuat malu Pak Ali." Dunia seakan berhenti. Hati Pak Ali tercekat. Ia mengangkat tubuh anak itu perlahan, menatap mata yang sembab, dan membisikkan kata-kata yang memecah keheningan: "Tidak… Pak Ali tidak malu. Pak Ali yang minta maaf. Pak Ali juga salah… karena tidak selalu mendampingi kamu. Maafkan Pak Ali, ya." Tanpa kata-kata lagi, Pak Ali memeluknya. Di detik itu, tangis mereka pecah. Tangis yang bukan sekadar air mata, melainkan luapan beban, rasa bersalah, dan kerinduan untuk dimengerti. Sebuah pelukan yang lebih bermakna dari ribuan kata.

Pendidikan Sejati Berawal dari Hati yang Mau Memeluk
Momen itu menjadi pengingat bagi Pak Ali, dan bagi kita semua, bahwa menjadi guru jauh lebih dari sekadar mengajar. Ini tentang keberanian untuk hadir, untuk tidak pergi saat seorang anak merasa paling sendirian. Ini tentang menyalakan kembali keyakinan bahwa setiap anak layak diberi kesempatan, bukan vonis.
Pelukan itu bukanlah sekadar maaf antara guru dan murid. Ia adalah jembatan yang menghubungkan dua hati, mengingatkan betapa besarnya kuasa kasih dan kehadiran. Hari itu, Pak Ali pulang dengan hati yang baru. Ia menyadari, pendidikan sejati dimulai dari hati yang mau memeluk, bahkan sebelum kata-kata sempat terucap.
Sumber: Grup WA GSM Kab. Purbalingga
Share this article now on :

Post a Comment