Assalamu'alaikum ! welcome to Media Pendidikan.| Contact | Register | Sign In
Showing posts sorted by relevance for query gsm. Sort by date Show all posts
Showing posts sorted by relevance for query gsm. Sort by date Show all posts

Metabolisme Jiwa Seorang Guru Sejati

Ada kegelisahan yang menyelinap di lorong-lorong sekolah. Sebuah rutinitas yang terstruktur rapi, namun terasa hampa. Murid datang, duduk, mencatat, lalu pulang. Guru datang, absen, masuk kelas, menjelaskan, memberi tugas, lalu selesai. Semuanya bergerak seolah mengikuti panduan mekanis, seperti mesin pabrik yang memproduksi pengetahuan tanpa melibatkan ‘rasa’ dan jiwa. Kita menyaksikan sebuah alur yang terasa sibuk, padat, dan ramai, namun diwarnai kesunyian dan kehampaan.
Kegelisahan ini semakin dalam saat melihat budaya yang terkadang masih kental dengan nuansa feodalistik di mana yang dominan adalah tumpukan tuntutan alih-alih semangat penuntun. Sekolah, alih-alih menjadi taman tumbuh kembang, seolah berubah menjadi ruang pertunjukan yang memamerkan kesibukan tanpa esensi.
Pendidikan sebagai Perjalanan Batin
Di tengah kemonotonan ini, Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) datang menyadarkan satu hal fundamental: bahwa pendidikan sejati adalah sebuah perjalanan batin, bukan sekadar tumpukan administratif. Tujuan utamanya bukan semata capaian akademik, melainkan hati yang gembira. GSM bercita-cita melihat murid-murid tersenyum karena belajar itu sungguh-sungguh menyenangkan dan membahagiakan.
Namun, GSM tidak hanya fokus pada murid. Gerakan ini juga menyoroti ‘metabolisme jiwa’ seorang guru.
Seringkali kita bertanya-tanya, mengapa ada individu dengan kapasitas luar biasa, ilmu tinggi, dan prestasi hebat, namun enggan untuk berbagi? Padahal, seperti yang ditekankan oleh Fullan (2012), guru yang bersedia berbagi pengetahuan dan pengalaman justru memiliki professional capital yang jauh lebih kuat, dan yang terpenting: hidupnya terasa lebih bermakna.
Kehampaan dan Kebutuhan untuk Berbagi
Mungkin benar, ilmu yang disimpan rapat-rapat akan membuat hidup menjadi tidak seimbang. Fenomenanya mirip dengan tubuh yang terus menerus diberi asupan namun tak pernah bergerak lambat laun, metabolisme jiwa kita akan terganggu. Manusia memiliki kebutuhan dasar untuk memberi kontribusi pada sesama. Ketika dorongan ini ditahan, akan muncul rasa hampa dan kehilangan arah.
Inilah mengapa muncul hipotesis yang menyentuh: kehampaan yang dirasakan guru bukan melulu karena kurangnya penghargaan finansial, melainkan karena kurangnya kesempatan untuk berbagi.
“Berbagi adalah panggilan jiwa terdalam manusia,” ujar Bu Novi (CoFounder GSM), dan esensinya terasa begitu nyata. Setiap kali berbagi, ada perasaan pemulihan, bukan pada fisik, melainkan pada batin yang terasa lebih sehat dan sembuh.
Lumbung Pengetahuan: Menyembuhkan Diri dengan Memberi
Saat ini, GSM sedang menghidupkan kembali semangat berbagi itu melalui inisiasi Lumbung Pengetahuan. Ini adalah ruang di mana para guru saling berbagi, saling belajar, dan saling menguatkan. Beberapa komunitas GSM telah mendaftar untuk mendapatkan penguatan, lalu dengan sukarela membagikannya lagi kepada saudara-saudara guru lain.
Model ini sejajar dengan konsep Learning Organization yang digagas oleh Peter Senge (1990). Senge menjelaskan bahwa sebuah organisasi (termasuk sekolah) akan tumbuh lebih adaptif dan berkelanjutan jika setiap anggotanya mau terus menerus belajar dan, yang paling penting, berbagi pengetahuan.
Pada titik inilah, banyak guru merasa hidupnya kembali menemukan arah. Berbagi dilakukan bukan karena harus menunggu undangan, bukan karena surat tugas, dan bukan karena berharap imbalan. Sebab, setiap kali berbagi, seorang guru tahu bahwa ia sedang menyembuhkan dirinya sendiri. Dan setiap kali ada hati lain yang mendengarkan dan ikut tergerak, ia tahu bahwa ia tidak sendirian di jalan sunyi perubahan ini.
Maka, bagi teman-teman seperjuangan yang mungkin sedang merasa lelah, merasa kehilangan makna, atau tersesat dalam rutinitas mekanistik, marilah bergabung menempuh perjalanan batin ini.
Pada akhirnya, kebahagiaan sejati kita sebagai pendidik tidak diukur dari berapa banyak murid yang mendapatkan nilai sempurna, melainkan dari berapa banyak hati yang kita nyalakan.
Dan siapa tahu, dari Lumbung Pengetahuan ini akan lahir generasi guru-guru yang tidak hanya cerdas dalam ilmu, tapi juga penuh cinta, peduli, dan sadar bahwa belajar adalah proses seumur hidup.
Khoirunnas anfa‘uhum linnas, sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesamanya. Dan mungkin, itulah metabolisme jiwa seorang guru sejati.

Sumber: WA Grup GSM Kab. Purbalingga

Read More »
28 October | 0komentar

Sekolah menyenangkan

GSM
GSM lahir dari perjalanan spiritual dan pengalaman perubahan yang dialami oleh pendirinya, Muhammad Nur Rizal, dan sang istri, Novi Poespita Candra. Pengalaman ini didapatkan ketika Rizal dan Novi tinggal di Melbourne, Australia untuk menempuh studi doktoral. Mereka menemukan inspirasi dari ketiga buah hatinya yang sangat mencintai sekolahnya. Dari situ, mereka melihat pendidikan Australia yang berbeda jauh dengan pendidikan Indonesia. Bahkan bisa dibilang bahwa pendidikan Indonesia tertinggal 128 tahun dari Australia. 
Pendidikan Australia unggul dari segi kurikulum yang lebih bagus, lebih menyenangkan, dan disesuaikan dengan kelebihan tiap anak. Bahkan, anak-anak mereka justru rindu pergi ke sekolah saat liburan. Inspirasi ini dikembangkan saat mereka pulang ke Indonesia dengan membangun GSM pada tahun 2016. Perjalanan menyoal fenomena pengalaman terbaik bersekolah di Australia yang ingin disebarluaskan agar bisa dirasakan oleh seluruh murid di Indonesia tanpa terkecuali. Rizal dan Novi merasa prihatin dengan pendidikan Indonesia yang masih mematok nilai dan ujian, padahal sebetulnya anak-anak bisa belajar dengan metode yang lebih menyenangkan. 
Dalam praktiknya, GSM merangkul sekolah-sekolah pinggiran yang tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah. Tujuannya agar kualitas sekolah pinggiran juga bisa terangkat dan para murid dapat merasakan iklim belajar seperti sekolah di Australia. GSM memiliki filosofi dan nilai sebagai narasi yang menginspirasi melalui ketokohan yang dapat dipercaya dengan melakukan upaya pergeseran paradigma lama ke pola pikir baru, dan dari budaya lama ke budaya baru dalam pendidikan melalui komunitas. 

Mengapa komunitas? 
Karena komunitas dipercayai dapat membuat pendistribusian nilai-nilai pendidikan menjadi lebih gencar dan masif. Peningkatan profesionalisme guru juga lebih mudah dan cepat karena dilakukan melalui pertukaran praktik baik, pengetahuan, dan pengalaman di antara mereka. Komunitas memungkinkan semangat kolektif-kolegial dan kolaborasi itu terjadi. Menyelenggarakan pendidikan berkualitas bagi semua anak di Indonesia melalui:Penciptaan budaya dan lingkungan belajar positif dan menyenangkan melalui perubahan pola pikir, penciptaan budaya profesionalisme guru, dan penerapan strategi kurikulum di sekolah.
Pengembangan dan perluasan komunitas guru melalui pelatihan, pendampingan, dan berbagai kegiatan akar rumput termasuk pertukaran praktik mengajar, kolaborasi pengajaran lintas guru, dan pengembangan diri.

Read More »
25 December | 0komentar

Menuju Pendidikan yang Membebaskan dan Berdaya Sejarah

Maindfull
Pendidikan di banyak negara, termasuk Indonesia, tak bisa dilepaskan dari bayang-bayang kolonialisme dan feodalisme. Dua kekuatan ini, yang secara inheren mengedepankan kontrol dan hierarki, telah menancapkan akar kuat dalam sistem pendidikan kita, menghasilkan warisan yang kompleks dan seringkali menghambat. Penjajahan pendidikan ini bukan hanya tentang kurikulum yang dipaksakan atau bahasa pengantar yang diganti, melainkan juga tentang pembentukan mental inferior, menciptakan perasaan tertekan, takut salah melangkah, dan secara fundamental mengkerdilkan potensi manusia untuk mewujudkan mimpi besar kodrat dirinya. 
Mentalitas yang terbentuk dari penjajahan ini sering termanifestasi dalam pola pikir yang enggan berinovasi, terlalu bergantung pada otoritas, serta kurangnya inisiatif dan keberanian untuk mengambil risiko. Sistem yang rigid, evaluasi yang cenderung menghakimi, dan penekanan pada hafalan daripada pemahaman mendalam, semuanya berkontribusi pada penciptaan lingkungan belajar yang jauh dari ideal. Anak didik tumbuh dengan keyakinan bahwa kesalahan adalah kegagalan mutlak, bukan bagian dari proses belajar. Namun, zaman telah berubah, dan kesadaran akan pentingnya pendidikan yang membebaskan semakin menguat. 
Di tengah upaya kolektif untuk memerdekakan diri dari belenggu masa lalu, Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) Kebumen hadir dengan sebuah ajakan yang revolusioner: "Bebaskan Diri dari Mental Terjajah, Ciptakan Lingkungan Belajar yang Joyful, Mindful, Meaningful, dan Powerful." Memutus Rantai Mental Inferior Ajakan GSM Kebumen ini adalah sebuah seruan untuk merombak paradigma. Ini bukan hanya tentang mengubah metode pengajaran, tetapi tentang merevolusi cara kita memandang pendidikan dan peran setiap individu di dalamnya. 
Joyful (Menyenangkan): Lingkungan belajar yang menyenangkan adalah antitesis dari tekanan dan ketakutan. Ketika belajar menjadi kegiatan yang dinikmati, bukan beban, potensi anak-anak akan mekar secara alami. Ini berarti menciptakan suasana kelas yang hidup, interaktif, penuh tawa, dan memungkinkan eksplorasi tanpa batas. Kegembiraan adalah bahan bakar untuk rasa ingin tahu dan kreativitas. 
Mindful (Penuh Kesadaran): Pendidikan yang mindful mengajak setiap individu—guru dan murid—untuk hadir sepenuhnya dalam setiap momen. Ini berarti melatih kesadaran diri, memahami emosi, dan belajar mengelola pikiran yang seringkali riuh. Dalam konteks kelas, mindfulness membantu menciptakan fokus, mengurangi stres, dan memungkinkan proses belajar yang lebih mendalam, di mana murid benar-benar menyerap dan meresapi materi, bukan hanya menghafal. 
Meaningful (Bermakna): Salah satu dampak terbesar dari pendidikan terjajah adalah hilangnya makna. Materi pelajaran terasa asing, tidak relevan dengan kehidupan nyata, dan hanya menjadi deretan fakta yang harus dihafal. Pendidikan yang meaningful mengembalikan relevansi ini. Ini berarti menghubungkan materi pelajaran dengan pengalaman hidup murid, tujuan mereka, dan isu-isu yang relevan di sekitar mereka. Ketika belajar memiliki makna, motivasi intrinsik akan tumbuh dan pengetahuan akan melekat lebih lama. 
Powerful (Berdaya): Tujuan akhir dari membebaskan diri dari mental terjajah adalah memberdayakan individu. Lingkungan belajar yang powerful adalah tempat di mana setiap suara didengar, setiap ide dihargai, dan setiap murid merasa memiliki agensi atas pembelajarannya sendiri. Ini mendorong pemikiran kritis, kemampuan memecahkan masalah, dan keberanian untuk berinovasi. 
Pendidikan yang berdaya melahirkan individu yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga memiliki kepercayaan diri, resiliensi, dan kesiapan untuk menjadi agen perubahan di masyarakat. Jalan Menuju Pendidikan yang Memerdekakan Gerakan seperti yang diusung GSM Kebumen ini adalah langkah krusial. Ini adalah upaya kolektif untuk membongkar struktur dan mentalitas lama yang membelenggu, dan menggantinya dengan pendekatan yang memanusiakan dan memberdayakan. 
Guru, sebagai garda terdepan pendidikan, memegang peran sentral dalam transformasi ini. Dengan membebaskan diri mereka sendiri dari mental terjajah, mereka dapat menjadi fasilitator bagi kebebasan belajar murid-muridnya. Transformasi ini membutuhkan keberanian—keberanian untuk mempertanyakan status quo, keberanian untuk mencoba hal baru, dan keberanian untuk menerima bahwa proses belajar adalah perjalanan yang penuh penemuan, bukan sekadar perlombaan mencapai nilai tertinggi. 
Ketika kita berhasil menciptakan lingkungan belajar yang Joyful, Mindful, Meaningful, dan Powerful, kita tidak hanya mendidik generasi baru, tetapi kita juga turut menulis ulang sejarah pendidikan di Indonesia, membebaskannya dari bayang-bayang masa lalu, dan mengarahkannya menuju masa depan yang cerah, di mana setiap potensi manusia dapat berkembang tanpa batas. Apakah Anda siap menjadi bagian dari gerakan yang membebaskan ini?

Read More »
29 May | 0komentar

Gagal Itu Data, Pengalaman Itu Hikmah: Membangun Kebiasaan Reflektif di Setiap Ruang Kelas

Founder GSM
Di tengah derasnya arus perubahan global dan berbagai tantangan kompleks yang mendera dunia pendidikan mulai dari adaptasi teknologi yang cepat hingga isu kesenjangan kualitas kita seringkali terjebak pada solusi-solusi struktural dan teknis. Kurikulum diubah, fasilitas diperbarui, dan pelatihan dilaksanakan. Namun, esensi sejati dari pendidikan seringkali terlewatkan. Saatnya kita berhenti sejenak dan kembali pada inti: membentuk cara berpikir yang merdeka, reflektif, dan bermakna. 

Fondasi Perubahan: Pola Pikir yang Merdeka 
Pendidikan sejati bukanlah transfer pengetahuan semata, melainkan proses memerdekakan akal dan hati. Cara Berpikir Merdeka adalah kemampuan untuk melepaskan diri dari belenggu dogma, prasangka, dan ketergantungan pada jawaban tunggal. Ini mendorong guru untuk berani bereksperimen, menyesuaikan metode ajar dengan konteks lokal dan kebutuhan siswa, alih-alih sekadar menjalankan instruksi. Bagi siswa, kemerdekaan berpikir berarti mereka memiliki otonomi untuk bertanya, menyelidiki, dan membangun pengetahuannya sendiri.
Ini adalah pergeseran dari paradigma "mengisi wadah" menjadi "menyalakan api" rasa ingin tahu dan inisiatif.

Kekuatan Introspeksi: Berpikir Reflektif
Jika kemerdekaan adalah sayapnya, maka refleksi adalah kompasnya. Berpikir Reflektif adalah kemampuan untuk melihat kembali pengalaman, tindakan, dan hasil belajar dengan jujur dan kritis. Ini berlaku untuk semua pihak: Guru: Secara rutin mengevaluasi efektivitas metode pengajaran mereka, bertanya, "Apakah siswa saya benar-benar memahami, atau hanya menghafal?" dan "Apa yang bisa saya perbaiki di sesi berikutnya?" Siswa: Mengembangkan kesadaran diri tentang proses belajar mereka, mengetahui kekuatan dan kelemahan diri, serta mampu merencanakan perbaikan diri (metakognisi). Sistem: Para pemangku kebijakan dan pengelola harus merefleksikan dampak nyata dari kebijakan, bukan sekadar melihat angka statistik, melainkan perubahan sikap dan karakter lulusan. Refleksi mengubah kegagalan menjadi data dan pengalaman menjadi hikmah. 

Mencari Jati Diri: Pembelajaran yang Bermakna
Pada akhirnya, pendidikan haruslah bermakna. Pembelajaran Bermakna adalah ketika materi yang dipelajari terhubung dengan kehidupan nyata, nilai-nilai, dan tujuan hidup siswa. Ini menjawab pertanyaan krusial siswa: "Untuk apa saya belajar ini?" Pembelajaran bermakna bukan hanya tentang nilai ujian, tetapi tentang kontribusi siswa kepada komunitas, pemecahan masalah di dunia nyata, dan pengembangan karakter yang kuat. Hal ini menumbuhkan tanggung jawab dan empati, menjauhkan pendidikan dari sekadar perlombaan akademis. 

Gerakan Perubahan Sejati Dimulai dari Dalam
Prinsip inilah yang diyakini oleh gerakan seperti Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) dan inisiatif perubahan pola pikir lainnya. GSM percaya bahwa perubahan sejati dimulai dari dalam, yaitu dari pola pikir guru, siswa, dan semua yang terlibat. Inovasi teknologi, gedung baru, dan buku pelajaran yang canggih hanyalah alat. Mesin penggerak yang sesungguhnya adalah manusia dengan pola pikir yang terbuka, mau belajar, dan berorientasi pada pertumbuhan.
Jika seorang guru masih berpegangan pada pola pikir otoriter, takut pada kesalahan, dan kaku terhadap perubahan, maka secanggih apapun kurikulumnya, hasilnya akan sama. Sebaliknya, guru dengan pola pikir berkembang (growth mindset) akan mampu mentransformasi ruang kelasnya menjadi laboratorium ide yang menarik. 

Aksi Nyata: Mari Kita Mulai dari Diri Sendiri 
Mengubah sistem yang besar memang menantang, tetapi mengubah diri sendiri adalah hal yang sepenuhnya berada dalam kendali kita.

Mari kita mulai dari diri sendiri: 
Bagi Guru: Mulailah hari ini dengan mencoba satu metode pembelajaran baru yang lebih interaktif dan berani mengakui ketika Anda tidak tahu jawabannya. Jadilah pembelajar yang jujur di depan siswa Anda. 
Bagi Siswa: Jadikan rasa ingin tahu sebagai navigasi utama. Bertanyalah "mengapa" dan "bagaimana" alih-alih hanya "apa". Carilah kaitan antara materi pelajaran dengan impian dan lingkungan Anda.
Bagi Orang Tua/Masyarakat: Hargai proses belajar anak, bukan hanya hasilnya. Berikan ruang bagi anak untuk mencoba, gagal, dan berefleksi. Pendidikan bukanlah balapan, melainkan perjalanan penemuan diri dan kontribusi. 
Dengan kembali memprioritaskan cara berpikir yang merdeka, reflektif, dan bermakna, kita tidak hanya menyiapkan generasi untuk menghadapi tantangan, tetapi juga untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.
Perubahan sejati di ruang kelas kita, berawal dari perubahan pola pikir di hati dan pikiran kita.

Sumber: Grup WA GSM Kab.Purbalingga

Read More »
01 October | 0komentar

Ketika Bengong Menjadi Gerbang Fokus

Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM)
Pernahkah Bapak dan Ibu mengalami momen ketika niat hati ingin menyelesaikan pekerjaan—entah itu laporan, modul ajar, atau tugas lainnya—namun tiba-tiba pikiran melayang entah ke mana? Layar laptop menyala, kursor berkedip-kedip, tapi tangan enggan bergerak. Seolah pikiran kita adalah layangan putus yang terbawa angin terlalu kencang. Orang mungkin akan berteriak, "Woy! Fokus dong!" 
Tapi, siapa sangka, justru di momen "bengong" itulah fokus sejati bisa ditemukan. Semalam, saya berkesempatan mengikuti bedah buku "Stolen Focus" karya Johann Hari bersama Bu Novi. Antusiasme pesertanya luar biasa, memenuhi kuota Zoom. Dan dari sana, saya menyadari satu hal penting: kita ini bukan kekurangan waktu atau semangat, melainkan fokus kita yang sedang dicuri. 
Dari paparan Bu Novi, saya mencoba mengaitkan sisi kecil, atau fokus kecil, pada tindakan melamun yang sering kita anggap sepele. Mengapa? Melamun: Pintu Masuk Menuju Kreativitas Ternyata, salah satu cara untuk merebut kembali fokus yang telah dicuri itu adalah dengan melamun. Terdengar kontradiktif, bukan? Kegiatan yang dulu dicap sebagai tanda kemalasan atau pemborosan waktu, kini justru terbukti menjadi pintu masuk menuju kreativitas. Para profesor dan filsuf sering mengatakan bahwa melamun itu seperti jalan kecil yang mengarah ke hutan ide. 
Di sanalah, momen "AHA!" biasanya muncul tanpa diundang, datang di saat kita tenang, bagaikan sebuah pencerahan yang tak terduga. Saya pribadi sering mengalaminya. Sepulang kerja, saya suka berkeliling kampung dengan motor, bukan mencari kopi atau membuat konten, melainkan sekadar "muter" saja. Menatap sawah, mendengar suara ayam. Atau, sesekali berjalan kaki menyusuri desa. Dan di sanalah, ide-ide pembelajaran baru seringkali muncul, tiba-tiba saja terlintas ide tantangan menarik untuk anak-anak didik. Tenang Itu Kekuatan, 
Refleksi Itu Pelita Bapak dan Ibu, kita hidup di zaman yang bising. Bising dengan notifikasi yang tak henti-henti, bising dengan tuntutan pencapaian, dan bising dengan orang-orang yang terus berlari kencang tanpa tahu arah tujuan. Maka tak heran jika kini "slow living" menjadi tren. Ini bukan berarti kita lemah, melainkan sebuah kesadaran bahwa ketenangan adalah kekuatan, dan refleksi adalah pelita. Filosofi ini juga yang sejak lama digaungkan oleh Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM): "Biasakan refleksi." Mengapa? Karena ketika guru merasa tenang, murid juga akan tumbuh. Ketika guru melamun, bisa jadi mereka sedang merancang petualangan belajar yang inovatif. Dan ketika guru berani berhenti sejenak, di situlah makna hadir, bukan sekadar mengejar target semata. 
Kita ini bukan pelatih sirkus yang menyuruh anak-anak terus melompat melewati lingkaran api. Kita adalah penjaga lentera pertumbuhan. Dan lentera itu, kadang kala, perlu ditiup pelan, ditenangkan, dan dibiarkan berpendar dalam hening. Tujuannya agar anak-anak tahu bahwa hidup itu bukan lomba, melainkan sebuah perjalanan. Tugas kita adalah menemani langkah kecil mereka, bukan memburu ranking, tetapi membimbing mereka menemukan irama diri. Jadi, jika hari ini ada yang berkata, "Eh, jangan melamun!", saya akan dengan santai menjawab, "Maaf, saya sedang menciptakan dunia baru di kepala saya." Ya, ternyata di sanalah, fokus sejati kita sedang kembali ke rumahnya.

Read More »
29 May | 0komentar

Guru Ini Membuktikan Pendidikan Dimulai dari Hati

Para Guru
Guru sering kali diidentikkan dengan sosok yang berdiri di depan kelas, menyampaikan materi pelajaran, dan memberikan nilai. Namun, pernahkah kita berpikir, ada panggilan yang lebih dalam dari sekadar rutinitas mengajar? Panggilan untuk mewakafkan diri, hadir sepenuhnya, dan menjadi tempat bersandar bagi anak-anak yang paling membutuhkan.
Inilah yang dirasakan aktivis Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), Pak Ali. Setelah sekian lama, hatinya tergerak untuk kembali menjadi wali kelas. Bukan karena tidak ada pekerjaan lain, melainkan sebuah panggilan hati yang tak bisa ditolak: mendampingi anak-anak dari jarak terdekat, membersamai mereka dalam setiap langkah, baik yang benar maupun yang keliru.

Ketika "Anak-Anak Sulit" Menjadi "Anak-Anak Saya" 
Tantangan pertama tiba dalam wujud sebuah kelas. Bukan kelas dengan sederet piala, melainkan kelas yang terkenal dengan catatan pelanggaran. Mulai dari yang sering terlambat, ketahuan merokok, hingga pelanggaran berat yang membuat mereka harus dibina di Koramil. Di mata banyak orang, mereka adalah "anak-anak sulit". Namun, di mata Pak Ali, mereka adalah "anak-anak saya". Pandangan ini mengubah segalanya. Tidak ada label, tidak ada vonis. Hanya ada hati yang siap menerima.
Waktu bergulir, sampai tiba hari penyerahan kembali murid-murid dari Koramil. Para orang tua datang, memeluk anak mereka dengan haru. Namun, satu wajah yang paling Pak Ali cari tidak juga muncul. Rupanya, orang tuanya tidak hadir, dan ia sendiri menghilang entah ke mana. Ada tusukan di dada Pak Ali, rasa cemas dan khawatir yang menusuk relung hati. Dengan hati penuh harapan, ia meminta tolong seorang teman untuk memanggilnya.

Sebuah Pelukan yang Berbicara Lebih dari Ribuan Kata
Beberapa menit kemudian, anak itu muncul. Langkahnya ragu, wajahnya tertunduk. Tanpa diduga, ia berlutut di kaki Pak Ali, suaranya pecah: "Pak Ali… maaf. Saya sudah membuat malu Pak Ali." Dunia seakan berhenti. Hati Pak Ali tercekat. Ia mengangkat tubuh anak itu perlahan, menatap mata yang sembab, dan membisikkan kata-kata yang memecah keheningan: "Tidak… Pak Ali tidak malu. Pak Ali yang minta maaf. Pak Ali juga salah… karena tidak selalu mendampingi kamu. Maafkan Pak Ali, ya." Tanpa kata-kata lagi, Pak Ali memeluknya. Di detik itu, tangis mereka pecah. Tangis yang bukan sekadar air mata, melainkan luapan beban, rasa bersalah, dan kerinduan untuk dimengerti. Sebuah pelukan yang lebih bermakna dari ribuan kata.

Pendidikan Sejati Berawal dari Hati yang Mau Memeluk
Momen itu menjadi pengingat bagi Pak Ali, dan bagi kita semua, bahwa menjadi guru jauh lebih dari sekadar mengajar. Ini tentang keberanian untuk hadir, untuk tidak pergi saat seorang anak merasa paling sendirian. Ini tentang menyalakan kembali keyakinan bahwa setiap anak layak diberi kesempatan, bukan vonis.
Pelukan itu bukanlah sekadar maaf antara guru dan murid. Ia adalah jembatan yang menghubungkan dua hati, mengingatkan betapa besarnya kuasa kasih dan kehadiran. Hari itu, Pak Ali pulang dengan hati yang baru. Ia menyadari, pendidikan sejati dimulai dari hati yang mau memeluk, bahkan sebelum kata-kata sempat terucap.
Sumber: Grup WA GSM Kab. Purbalingga

Read More »
20 September | 0komentar

Semua Siswa Adalah Rangking 1

Pembelajaran berbasis projek

Berawal dari membaca topik menarik dari grup wa GSM Purbalingga, postingan Diyarko.
Padahal kenyataan setiap anak itu unik dan punya cara belajar berbeda pula. Sumber daya dan kemampuan siswa dalam belajar pun berbeda. Sangatlah tidak adil jika memukul rata kemampuan siswa. Begitu pula bagi anak yang “langganan” juara kelas atau sering disebut seorang bintang kelas akan merasa terbebani secara psikologis, karena dituntut harus selalu menjadi rangking satu. Tuntutan ini bisa jadi dari permintaan orang tuanya, maupun internal dirinya sendiri yang selalu ingin dipandang sebagai orang cerdas. Sudah barang tentu akan timbul rasa malu, minder dan sebagai jika peringkatnya turun meski hanya satu tingkat.
Itulah yang dapat memicu terjadinya tindakan negatif. Model pola pikir yang masih sangat belia pada diri anak, memberinya peluang melakukan berbagai cara demi meraih ranking teratas. Mencontek, mencari bocoran soal, timbul tidak suka atau dendam pada teman yang “merebut” posisi rankingnya, adalah beberapa contoh diantara dampak-dampak buruk akibat dari sistem ini. 
Dikutip dari www.aswajadewata.com disampaikan, Dr. Adi Gunawan bahwa hal itu memunculkan fenomena saat ini yakni makin banyak orang pandai, tetapi kejujuran justru menurun. Fakta ini membuktikan bahwa kepandaian yang tidak diimbangi tingkat spiritualitas yang baik dan kecerdasan emosional yang stabil cenderung merugikan orang lain maupun diri anak sendiri. 
Bagi yang bisa ikut les bermacam pelajaran dan tercukupi gizinya, berbeda dengan siswa yang kurang memiliki waktu belajar. Karena, misalnya, siswa tersebut harus membantu pekerjaan orang tuanya.
Adanya perangkingan di kelas secara psikologis memberikan beban terhadap murid-murid kita. Setiap murid memiliki keunikannya masing-masing, namun sekolah memaksakan dengan perangkingan dengan standar yang sama. Apakah itu adil? Sebenarnya sekolah harus mampu memberikan kemerdekaan kepada murid. 
Merdeka berasal dari kata Mahardika atau nomor 1, sehingga murid itu sebenarnya semua murid itu ranking 1 sesuai dengan versinya masing-masing. Ada yang ranking 1 bidang sain, bidang seni tari, musik, lukis dan sebagainya. Terasa indah ketika sekolah mampu mengoptimalkan potensi yang dimiliki murid hingga mencapai versi terbaiknya masing-masing. 
Howard Gardner, profesor pendidik dan peneliti dari Harvard University, Amerika Serikat mengungkapkan, ada 9 aspek kecerdasan dari seorang anak, yang kerap disebut multiple intelligences. Yaitu kecerdasan musikal, intrapersonal, interpersonal, visual spasial, naturalis, kinestetik, moral, verbal linguistik, dan logika matematika. 
Seorang anak bisa jadi memiliki satu jenis kecerdasan yang dominan, atau bahkan memiliki beberapa jenis kecerdasan sekaligus (kecerdasan majemuk). Oleh karena itu, setiap anak memiliki cara belajar sendiri sesuai dengan jenis kecerdasan yang dominan pada dirinya. Anak dengan kecerdasan musikal bisa depresi, jika dituntut harus mendapat skor 100 pada pelajaran sains. Anak dengan kecerdasan kinestetik akan frustasi, jika dipaksa mengikuti sistem pendidikan yang mengharuskannya duduk mencatat selama 8 jam sehari. 
Bukankah akan sangat tidak bijak, jika kita menuntut seorang anak harus meraih nilai sempurna dalam semua mata pelajaran? Tak mungkin pula seekor burung mengalahkan ikan dalam hal berenang? Dan manalah pula ikan mengalahkan burung dalam hal terbang?
Menjadi pertanyaan lanjutan, "Bagaimana denga siswa SMK yang pada masing mapel memiliki CP,capaian pembelajaran yg telah ditetapkan?" Siswa mampu untuk bla bla bla..... 

"Sumber: Grup WA GSM Purbalingga dan dari berbagai Sumber"

Read More »
12 July | 0komentar

Deep Learning atau Deep Drilling? Sebuah Pertanyaan Menggelitik

Ada pertanyaan yang terus mengusik dari ruang-ruang diskusi para pendidik: "Ini deep learning atau deep feeling, sih? Kok tiap ada workshop baru, saya malah bingung, yang dalam itu otaknya atau anggarannya?"
Pertanyaan ini muncul bukan tanpa alasan. Sebelum Kurikulum Merdeka digaungkan, komunitas-komunitas seperti Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) sudah lama menerapkan nilai-nilai yang serupa. Mereka belajar, berdiskusi, dan berbagi praktik baik secara mandiri, bermodalkan kopi saset dan obrolan di warung kopi. Bukan di seminar megah dengan spanduk "narasumber internasional".

Membedah Konsep: Surface vs. Deep Learner
Dalam berbagai bimbingan teknis (bimtek) dan workshop, konsep surface learner dan deep learner selalu diulang-ulang. Surface learner didorong oleh motivasi eksternal. Mereka belajar untuk mendapatkan nilai bagus, lulus ujian, atau sekadar menunjukkan hasil berupa angka. Strategi yang digunakan pun cenderung pada hafalan, mencatat, menyalin, dan mengulang-ulang.
Deep learner sebaliknya, memiliki motivasi dari dalam. Mereka menganalisis, menghubungkan ide, dan mengajukan pertanyaan filosofis seperti, "Kenapa materi ini relevan dengan hidup saya?"
Marton & Saljo (1976) menguatkan perbedaan ini dengan mengatakan, "A surface approach to learning is characterized by memorization and focus on assessment, while a deep approach emphasizes understanding, meaning, and integration of knowledge." Konsepnya jelas, sejelas perbedaan antara mi instan dan ramen Jepang, meski sama-sama mie, kualitasnya berbeda.

Ketika Teori Bertabrakan dengan Realitas
Sayangnya, meski konsep deep learning terdengar indah, praktik di lapangan sering kali menunjukkan hal sebaliknya. Guru-guru disibukkan dengan berbagai persiapan yang justru mendorong budaya surface learning:
  • Membagikan buku-buku Tes Kemampuan Akademik (TKA) yang katanya tidak wajib, tapi seolah menjadi kewajiban.
  • Repot menyiapkan lab komputer hanya untuk ujian satu kali. 
  • Latihan soal setiap hari demi nilai TKA yang tinggi. 
  • Berlomba mencari kisi-kisi dan tips sukses TKA. 

Maka tak heran, muncul pertanyaan, "Ini deep learning atau deep drilling?"
Ada ironi yang mencolok. Vibes yang digaungkan dalam seminar adalah deeper learner, tetapi perilaku di lapangan justru kembali ke budaya ujian standar. TKA disebut sebagai "kenapa"-nya, alasannya adalah laporan hasil akademik. Namun, pertanyaan yang paling jujur adalah: laporan itu penting untuk siapa? Murid? Guru? Atau pihak yang butuh angka-angka bagus untuk presentasi di kementerian?

Paradoks yang Membingungkan
Kita seolah-olah menjadi bangsa surface learner yang dikemas seolah-olah deeper learner. Atau, sebaliknya, kita sudah menjadi deeper learner tetapi terpaksa kembali menjadi surface learner demi tuntutan administrasi? Paradoks ini menunjukkan adanya ketidakselarasan antara narasi besar dan praktik di lapangan. 
Konsep deep learning mengajak kita untuk berpikir kritis, menganalisis, dan mencari relevansi, tetapi perilaku kita masih terjebak pada hafalan dan hasil instan. Mungkin, saatnya kita, para pendidik, bertanya pada diri sendiri dan pembuat kebijakan: apakah kita benar-benar ingin membangun pemelajar yang mendalam, atau hanya ingin membangun citra pendidikan yang terlihat cemerlang di atas kertas?
Sumber: Grup WA GSM Kab. Purbalingga

Read More »
26 August | 0komentar

Guru Lebih dari Sekedar Agen Program

Menyeruput kopi hitam di pagi yang tenang, pikiran ini kembali berkelana pada potret pendidikan di negeri kita. Rasanya memang seperti tersesat di sebuah labirin raksasa, bukan labirin biasa, melainkan labirin ajaib yang tembok-temboknya gemar sekali bermain petak umpet. Baru saja kita merasa menemukan alur yang pas, eh, tiba-tiba jalur itu lenyap, berganti nama, atau bahkan dihapus begitu saja. Ada semacam siklus lima tahunan yang ironis. Setiap pergantian tampuk kekuasaan, seolah kita mendapatkan "mainan" baru di dunia pendidikan. 
Kurikulum berganti rupa, program-program anyar bermunculan, seringkali dengan dalih penyegaran dan inovasi. Namun, tak jarang kita mendengar bisikan-bisikan di warung kopi, termasuk mungkin di kedai kopi Mbok Yem di Jepara, yang mempertanyakan kontinuitas dan efektivitas perubahan yang terkesan terburu-buru. Benar adanya apa yang diungkapkan oleh para pemerhati pendidikan dunia, seperti John Hattie dengan konsep visible learning-nya. Pengaruh terbesar pada hasil belajar siswa bukanlah semata-mata kurikulum atau program, melainkan kualitas guru itu sendiri. 
Hal senada juga digaungkan oleh Pak Rizal dari GSM dalam berbagai kesempatan. Namun, kenyataannya, suara riset dan kajian mendalam seringkali teredam oleh riuhnya "rapat kepentingan". Alhasil, energi dan fokus kita terkadang lebih tersedot pada implementasi perubahan yang datang silih berganti, ketimbang pada penguatan fondasi utama: pengembangan profesional guru. Belum lagi kerumitan birokrasi yang dihadapi para pendidik. Seorang guru, dalam kesehariannya, harus "melayani" berbagai "majikan" dengan aturan main yang berbeda-beda. 
Urusan seragam bisa jadi ranahnya Kemendagri, penilaian kinerja oleh BKN, gaji melalui Kemenkeu, sementara regulasi dan pengembangan berada di bawah Kemendikbud. Ibarat memiliki empat orang tua dengan instruksi yang tak jarang saling bertentangan, guru pun akhirnya dituntut menjadi sosok multitasking yang luar biasa. Harus tetap waras di tengah perubahan yang konstan, menjaga semangat meski peta pendidikan terus bergeser, dan tetap fokus mendidik di tengah gempuran slogan-slogan perubahan. Srutup kopi lagi... lalu, di tengah labirin yang terus bermetamorfosis ini, bekal apa saja yang seharusnya dimiliki seorang guru zaman sekarang? 
Pertama, mental petualang yang berani berinovasi. Jangan biarkan rasa takut tersesat menghalangi langkah untuk mencoba hal baru. Labirin ini memang penuh kejutan, namun di setiap sudutnya bisa jadi tersimpan potensi pembelajaran yang tak terduga. 
Kedua, kompas batin yang kuat. Pegang teguh tujuan utama kita: mendidik dan menumbuhkan manusia seutuhnya, bukan sekadar menuntaskan materi atau mengejar proyek sesaat. Fokus pada dampak jangka panjang bagi anak didik kita. 
Ketiga, keberanian berpikir kritis. Jangan telan mentah-mentah setiap arus perubahan program. Sebagai pendidik, kita punya tanggung jawab untuk menganalisis, mengevaluasi, dan berani menyuarakan pendapat, meskipun terkadang terasa sepi di tengah arus yang dominan. 
Keempat, kesabaran tingkat dewa, lengkap dengan dosis humor yang tinggi. Menavigasi labirin yang terus berubah membutuhkan ketahanan mental yang luar biasa. Humor bisa menjadi oase di tengah kelelahan dan frustrasi. 
Dan yang terpenting dari semuanya adalah keyakinan yang tak tergoyahkan bahwa meskipun jalan ini tampak berputar-putar tanpa akhir, anak-anak kita membutuhkan guru-guru yang tetap tegak berdiri, membawa cinta, ketulusan hati, dan kreativitas dalam membersamai perjalanan belajar mereka. Kita mungkin tidak bisa menghentikan perubahan peta di labirin ini. Namun, kita bisa memilih untuk tidak menjadi guru yang hanya sibuk membenarkan peta yang salah. 
Kita bisa menjadi guru merdeka yang berani menciptakan jalan sendiri, yang berani keluar dari kotak dan merancang pengalaman belajar yang relevan dan bermakna bagi siswa. Karena, jika kita tidak mampu menemukan pintu keluar dari labirin yang terus bergeser ini, setidaknya kita bisa mengajarkan anak-anak kita... cara membuat pintu mereka sendiri. 
Bagaimana dengan Bapak dan Ibu guru? Adakah pengalaman menarik saat Anda merasa "membuat pintu sendiri" dalam mendidik anak-anak kita di tengah dinamika perubahan pendidikan ini? Mari berbagi cerita sambil kita menghabiskan secangkir kopi hitam ini.

Disarikan dari Grup WA GSM Kab. Purbalingga

Read More »
27 April | 0komentar

"Deep Learning Sejati: Momen Saat Empati Mengalahkan Semua Teori dan RPP."

Pagi itu, udara di kelas terasa berbeda, dipenuhi getaran antisipasi yang manis dan sedikit melankolis. Agenda kami, praktik dari GSM yang kami namai "Deep Intro with Photo Story," bertepatan dengan Hari Ibu. Sehari sebelumnya, saya meminta setiap murid membawa satu foto paling istimewa bersama ibu mereka sebuah kenangan yang terbingkai dalam kertas.
Di layar proyektor, foto-foto mulai tayang, dikirimkan melalui WA Web. Foto masa kecil yang menggemaskan, foto liburan saat sudah remaja, atau potret sederhana di teras rumah. Saya memanggil tiga nama untuk hari itu. Tiga cerita, tiga hati yang akan terbuka.
Murid pertama maju, tawanya renyah saat ia menceritakan perjalanan panjang dengan mobil yang membuat ibunya harus menyetir berjam-jam. Anak kedua menceritakan momen kelulusan TK-nya, saat ibunya merangkul erat. Hangat, ceria, dan penuh syukur.
Lalu tiba giliran anak ketiga. Foto di layar menampilkan pesta ulang tahunnya saat masih kecil. Ada kue warna-warni, lilin yang menyala terang, dan yang paling memukau, senyum ibunya yang begitu hangat, terpantul cerah di wajah mungilnya.
Dengan suara yang awalnya penuh semangat, ia memulai kisahnya. Ia bercerita tentang kebaikan ibunya, tentang bagaimana ibunya selalu menyiapkan sarapan favoritnya, dan tentang cinta tak bersyarat yang ia rasakan dalam pelukan itu, seingatnya saat masih kecil dulu. Mata anak itu berbinar, seolah ia sedang benar-benar kembali ke momen bahagia di foto itu.

Namun, tiba-tiba, perubahan itu datang.
Di ujung cerita, suaranya berubah lirih. Ia menundukkan kepala, pandangannya tertuju pada lantai. Keheningan yang tiba-tiba membuat kami semua menahan napas. Dengan berat, ia mengucapkan kata-kata yang menusuk hati itu, di hadapan semua teman dan gurunya.
“Sekarang… saya rindu ibu saya. Sudah sepuluh tahun saya tidak berjumpa. Ibu bekerja… dan tidak pernah pulang. Saya hanya hidup berdua dengan ayah saya.”
Kelas seketika hening total. Saya, sang guru yang seharusnya membimbing, tercekat. Saya tidak punya kata-kata yang tepat. Tidak ada petunjuk di RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) yang mengajarkan bagaimana menanggapi pengakuan tulus tentang sepuluh tahun kerinduan.

Pendidikan yang Sesungguhnya
Namun, apa yang terjadi selanjutnya adalah di luar dugaan.
Seakan-akan ada tali tak kasat mata yang terentang, menghubungkan hati mereka. Beberapa temannya berdiri, bergerak secara spontan. Mereka maju ke depan.
Ada yang dengan lembut menepuk pundak anak itu. Ada yang mendekat dan menggenggam tangannya dengan erat. Ada pula yang hanya berdiri tegak di sampingnya, seolah barisan pelindung yang ingin berkata tanpa suara: "Kamu tidak sendiri. Kami di sini." Tidak ada yang berbicara, namun ruangan itu dipenuhi suara empati yang paling keras. Saya hanya bisa berdiri terdiam. Speechless.

Pemandangan itu tidak ada dalam skenario RPP terbaik yang saya susun. Momen itu tidak tercantum dalam diktat pelatihan yang didesain berhari-hari oleh para ahli. Tidak perlu ada teori rumit atau format kaku untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi.
Itulah pembelajaran bermakna, itulah deep learning, itulah interaksi yang mendalam (deep interaction) yang sesungguhnya. Anak-anak tidak sedang mencari nilai di mata pelajaran, mereka sedang belajar menjadi manusia. Mereka belajar empati, tumbuh bersama, saling menguatkan, dan berkesadaran.
Hari itu, realisasi itu menghantam saya dengan kesadaran penuh: Sekolah bukan hanya tempat anak-anak mencari nilai. Sekolah adalah tempat mereka belajar menjadi manusia seutuhnya.
Momen itu membuat saya percaya, melebihi teori apapun: RPP bisa saja baik, teori bisa saja hebat, tapi ketika hati anak-anak bergerak dan terhubung—itulah pendidikan yang sesungguhnya.
Sumber: Grup WA GSM Kab.Purbalingga

Read More »
04 October | 0komentar

"Barak Kemanusiaan" untuk Generasi Anti Kekerasan

Bullying, tawuran, dan kekerasan bagaikan tiga serangkai momok yang terus menghantui dunia pendidikan dan sosial kita. Reaksi instan yang seringkali muncul adalah penegakan disiplin yang lebih ketat, bahkan tak jarang muncul wacana solusi ala "barak militer" di lingkungan sekolah. Namun, anggapan bahwa masalah kompleks ini dapat diselesaikan hanya dengan memperkuat disiplin adalah sebuah simplifikasi yang berbahaya. Akar permasalahan bullying, tawuran, dan kekerasan jauh lebih dalam dan melibatkan jalinan berbagai faktor, mulai dari dinamika keluarga, pengaruh lingkungan sosial, hingga sistem pendidikan yang ada. 
Jika demikian, solusi jangka panjang yang lebih konstruktif dan berkelanjutan adalah membangun sebuah ekosistem empati dan pemahaman melalui sebuah gagasan transformatif: Barak Kemanusiaan. 
Mengurai Benang Kusut Faktor Penyebab: Kita tidak bisa menutup mata terhadap kompleksitas penyebab munculnya perilaku agresif dan merugikan ini. Beberapa faktor krusial yang saling terkait meliputi: 
Keluarga sebagai Fondasi: Keluarga adalah sekolah pertama bagi seorang individu. Pola asuh yang otoriter atau permisif, kurangnya komunikasi yang efektif, adanya kekerasan dalam rumah tangga, atau bahkan ketidakpedulian orang tua terhadap perkembangan emosi anak dapat menjadi bibit perilaku agresif dan kurangnya empati. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan seperti ini berpotensi meniru perilaku negatif atau melampiaskan frustrasi melalui bullying atau kekerasan di luar rumah. 
Pengaruh Lingkungan Sosial: Lingkungan pergaulan, baik di sekolah maupun di masyarakat, memiliki peran signifikan. Tekanan teman sebaya, budaya kekerasan yang dianggap "keren" atau sebagai cara menyelesaikan masalah, pengaruh media yang tidak sehat, serta kurangnya ruang aman untuk berinteraksi secara positif dapat memicu perilaku agresif dan tawuran. Sekolah yang tidak memiliki mekanisme pencegahan dan penanganan bullying yang efektif juga turut memperparah masalah. 
Sistem Pendidikan yang Belum Optimal: Sistem pendidikan yang terlalu fokus pada aspek kognitif dan kurang memperhatikan pengembangan karakter, empati, dan keterampilan sosial emosional (EQ) dapat menjadi lahan subur bagi munculnya perilaku negatif. Kurangnya pemahaman tentang keberagaman, toleransi, dan penyelesaian konflik secara damai juga menjadi kontributor. Selain itu, tekanan akademik yang berlebihan dan kurangnya ruang ekspresi diri yang positif dapat menimbulkan stres dan frustrasi yang berujung pada pelampiasan negatif. 
Faktor Individu: Karakteristik individu seperti kurangnya rasa percaya diri, kesulitan mengelola emosi, atau adanya riwayat menjadi korban kekerasan juga dapat berkontribusi pada perilaku bullying atau terlibat dalam tawuran. 
Peran Masyarakat dan Budaya: Norma-norma sosial dan budaya yang permisif terhadap kekerasan atau meremehkan isu bullying juga turut melanggengkan masalah ini. Kurangnya kepedulian dan tindakan nyata dari masyarakat terhadap fenomena ini membuat pelaku merasa aman dan korban merasa tidak berdaya. 
Mengapa "Barak Militer" Bukan Solusi Jangka Panjang: 
Meskipun disiplin memiliki peran penting dalam membentuk perilaku, pendekatan "barak militer" yang menekankan hukuman fisik dan pengekangan seringkali bersifat represif dan tidak menyentuh akar permasalahan. Pendekatan ini dapat menimbulkan rasa takut dan kepatuhan semu, namun tidak menumbuhkan pemahaman, empati, atau perubahan perilaku yang mendasar. Bahkan, dalam beberapa kasus, pendekatan represif dapat memicu trauma dan dendam, yang justru berpotensi melahirkan masalah baru di kemudian hari. "Barak Kemanusiaan": Investasi Jangka Panjang untuk Perubahan Mindset dan Karakter: 
Sebagai alternatif yang lebih konstruktif dan berkelanjutan, gagasan "Barak Kemanusiaan" hadir sebagai sebuah ruang transformatif untuk membentuk pola pikir, mengasah empati, mempertajam pemahaman, dan memperkuat karakter seluruh elemen masyarakat. Ini bukan sekadar tempat pelatihan fisik, melainkan sebuah pusat pembelajaran holistik yang berfokus pada pengembangan dimensi kemanusiaan. Siapa yang Akan Masuk ke Barak Kemanusiaan? Konsep "Barak Kemanusiaan" bersifat inklusif dan melibatkan seluruh lapisan masyarakat, menyadari bahwa perubahan yang signifikan memerlukan partisipasi kolektif: 
  • Pejabat dan Pembuat Kebijakan: Mereka perlu memahami akar permasalahan secara mendalam dan merumuskan kebijakan yang mendukung pembentukan karakter, pencegahan kekerasan, dan penguatan nilai-nilai kemanusiaan dalam sistem pendidikan dan masyarakat. 
  • Guru dan Tenaga Pendidik: Mereka adalah garda terdepan dalam membentuk karakter siswa. Barak Kemanusiaan dapat menjadi wadah untuk melatih keterampilan komunikasi efektif, manajemen konflik, pemahaman psikologi perkembangan anak, dan strategi pencegahan serta penanganan bullying. 
  • Orang Tua: Peran orang tua sangat krusial. Barak Kemanusiaan dapat memberikan edukasi tentang pola asuh positif, komunikasi yang sehat, pentingnya membangun empati pada anak, serta cara mendeteksi dan mengatasi masalah bullying dan kekerasan. 
  • Siswa: Sebagai subjek utama, siswa akan mendapatkan ruang untuk mengembangkan kecerdasan emosional, keterampilan sosial, pemahaman tentang keberagaman, kemampuan menyelesaikan konflik secara damai, serta menumbuhkan rasa saling menghormati dan peduli. 
  • Masyarakat Umum: Keterlibatan masyarakat luas penting untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi tumbuh kembang karakter positif. 
Barak Kemanusiaan dapat menjadi pusat edukasi publik tentang isu bullying, tawuran, dan kekerasan, serta mendorong partisipasi aktif dalam upaya pencegahan dan penanggulangan. Apa yang Akan Dilakukan di Barak Kemanusiaan? Barak Kemanusiaan akan menjadi pusat kegiatan yang beragam dan interaktif, meliputi: 
  • Pelatihan dan Workshop: Berbagai pelatihan dan workshop tentang pengembangan empati, komunikasi efektif, manajemen emosi, resolusi konflik, pemahaman keberagaman, hak asasi manusia, dan pencegahan kekerasan. 
  • Diskusi dan Forum: Ruang diskusi terbuka untuk membahas isu-isu terkait bullying, tawuran, dan kekerasan dari berbagai perspektif, mencari solusi bersama, dan membangun pemahaman yang lebih mendalam. 
  • Simulasi dan Role-Playing: Kegiatan simulasi dan bermain peran untuk melatih keterampilan sosial, empati, dan kemampuan menghadapi situasi konflik secara konstruktif. 
  • Kegiatan Sosial dan Komunitas: Program-program yang melibatkan interaksi antar berbagai kelompok masyarakat untuk menumbuhkan rasa kebersamaan, solidaritas, dan kepedulian sosial. 
  • Pendampingan dan Konseling: Menyediakan layanan pendampingan dan konseling bagi individu yang menjadi korban atau pelaku bullying dan kekerasan, serta bagi keluarga yang membutuhkan dukungan. 
  • Kampanye dan Edukasi Publik: Mengembangkan kampanye kreatif dan program edukasi publik untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang dampak negatif bullying, tawuran, dan kekerasan, serta mendorong perubahan perilaku yang positif. 
Menuju Masyarakat yang Lebih Beradab: Gagasan "Barak Kemanusiaan" bukan solusi instan, melainkan sebuah investasi jangka panjang dalam membangun masyarakat yang lebih beradab, penuh empati, dan bebas dari kekerasan. Dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat dalam proses pembelajaran dan transformasi karakter, kita dapat secara bertahap mengikis akar permasalahan bullying, tawuran, dan kekerasan. Ini adalah tentang membangun fondasi kemanusiaan yang kuat, di mana setiap individu merasa dihargai, aman, dan memiliki pemahaman yang mendalam tentang pentingnya hidup berdampingan secara damai dan harmonis. Bukan barak militer yang kita butuhkan, melainkan ruang inklusif di mana kemanusiaan menjadi panglima. Sumber: GSM

Read More »
25 May | 0komentar

Bawah Tumpukan Dokumen Kurikulum

Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum
Semester telah usai. Pembagian raport akan dibagikan esok Pagi (20/6/2025). Buku catatan penuh kejadian, rekap nilai rapi, dan lembar asesmen otentik tersusun lengkap dengan bukti-bukti foto siswa yang berproyek, mengenakan baju adat, menanam pohon, atau berdiskusi layaknya anak-anak Google. Namun, di tengah hiruk pikuk akhir tahun ajaran, sebuah pertanyaan mengganjal di benak: sebenarnya yang belajar itu siapa sih? 
Konon, negeri ini memiliki peta jalan pendidikan. Tetapi, rasanya kita ini seperti orang yang memegang Google Maps, namun tetap saja bertanya arah pada ibu-ibu yang sedang menyapu halaman rumahnya. Peta ada, tapi kita bingung. Dan lucunya, saat kebingungan melanda, yang paling sering diubah adalah kurikulum. Dalihnya, ini hanya pendekatan. Tapi kenapa pendekatannya selalu menyeret gerbong yang berisi seluruh "persilatan"? Pendekatan berubah, namun guru dan murid justru semakin pontang-panting mengejar istilah baru yang sejatinya hanya ganti baju dari istilah lama. 
Di lapangan, yang terjadi adalah guru sibuk mencari waktu untuk membuat dokumen, bukan untuk memikirkan muridnya. Pendekatan katanya berpusat pada murid dan mendalam. Tapi murid mana yang ditanya keinginannya? Yang terjadi justru guru dipasung dengan format yang bahkan kepala sekolahnya pun kadang kebingungan membacanya. Inovasi, katanya. Tapi mengapa guru dan murid selalu yang ketinggalan kereta? Coba saja, para pembuat kebijakan itu, pernahkah menginap semalam saja di desa yang listriknya masih seperti suasana Senin pagi: naik-turun tak menentu? Pernahkah merasakan sinyal hanya bisa didapat jika memanjat pohon jambu? Pernahkah melihat anak-anak tanpa alas kaki berjalan puluhan kilometer menuju sekolahnya? 
Namun, begitu melihat konten TikTok sekolah yang digelontorkan miliaran, mereka puas dan tersenyum bangga. Sementara itu, anak-anak di desa diminta membuat proyek Pancasila yang nilai-nilai silanya pun mereka tak pahami. Yang penting ramai, yang penting terlihat kreatif. Artefak dikumpulkan, tapi jiwanya kosong. Kolaborasi, katanya. Namun yang terjadi? Anak-anak dibariskan dalam kasta akademik, bahkan akan ada kasta sekolah. Kompetisi dibungkus kolaborasi, seperti bakso isi cabai rawit; terlihat adem, tapi membuat hati panas. 
Kurikulum Merdeka katanya tidak diganti, namun terasa seperti gerbong yang berganti, dan kita semua disuruh ikut arusnya. Saya mulai curiga, yang doyan eksperimen ini siapa? Murid dan guru yang belajar, atau pembuat kebijakan yang lagi hobi mencoba-coba teori pendidikan yang paling jitu? Pendidikan seharusnya membuat manusia berpikir. Tetapi sistemnya justru sibuk membuat manusia yang bisa dikontrol. 
Di kelas, anak-anak mengerjakan tugas dengan tatapan kosong. Hafal rumus, iya. Tapi arah hidup? Mereka tidak tahu. Mereka sibuk menata resume sekolah dan "muka" pendidikan, namun semakin jauh dari jati dirinya. Sumatif? Ya, anak-anak tetap dipaksa ikut tes. Dan nilai akhirnya membuat wali murid tersenyum lebar, padahal mereka tak tahu isi kepala anaknya. Karakter? Ah, itu seperti bumbu penyedap di mi instan; disebut-sebut, tapi tak terasa. Sementara gurunya? Masih harus memikirkan biaya sekolah anaknya dan cicilan yang tersenyum lebar di awal bulan, sambil memutar otak bagaimana membuat murid-murid "terinspirasi". 
Lah, siapa yang memberi inspirasi untuk guru? Ini bukan ironi. Ini luka. Luka yang dirayakan setiap hari agar terlihat normal. Saya bermimpi… ya, masih berani bermimpi, bahwa pendidikan suatu hari kembali menjadi taman berpikir. Bukan ruang penuh soal pilihan ganda, bukan panggung lomba yang dipoles untuk postingan pamer pembuat kebijakan, bukan tempat uji coba kurikulum yang tak sempat matang. Taman itu, seharusnya menjadi tempat manusia tumbuh, saling memahami, menemukan dirinya, dan mencintai proses berpikir sebagai proses menjadi manusia utuh. Untuk siapa pendidikan Indonesia ini? Untuk siapa kita mengajar? Kalau jawabannya hanya untuk melanggengkan sistem, maka sungguh, kita sudah gagal… bahkan sebelum lonceng pulang berbunyi. 
Dan saya... saya hanya ingin besok pagi masuk kelas tanpa merasa sedang ikut lomba siapa paling patuh pada edaran tentang kurikulum pendekatan terbaru. Saya hanya ingin menjadi guru yang menemani anak-anak menjadi manusia. Tidak lebih, tapi semoga itu cukup.
Sumber: Gurp WA GSM Kab. Purbalingga

Read More »
19 June | 0komentar

Guru Otentik, Bukan Sekadar Juru Bicara Kurikulum

Menjadi Titik balik saat mengikuti sebuah kajian pendidikan bertema "Pendidikan dari Masa Depan". Salah seorang pembicara menyebut istilah "ketaatan buta". Rasanya seperti tersentil. Menyadari bahwa selama ini kita sebagai guru tidak sekadar patuh, tapi juga padam. Saya ikut arus, namun arus tersebut adalah sebuah treadmill: lelah, berkeringat, tetapi tidak pernah sampai ke mana-mana, hanya berputar di tempat.
Keresahan itu pun mulai muncul, awalnya sebagai suara kecil yang menusuk: "Apakah kau mendidik atau hanya menggugurkan kewajiban? Apakah anak-anak ini manusia atau hanya target capaian? Mengapa setiap ganti menteri dan kurikulum, aturan juga ikut berganti?" Keresahan ini menjadi hal yang sangat penting. Ini adalah awal dari sebuah dialog batin yang jujur. Sehingga mulailah mengunyah setiap aturan, merabanya, mengendusnya, dan bertanya, "Apakah ini bermanfaat atau hanya hiasan semata? Apakah aturan ini menumbuhkan nalar anak atau hanya dibuat agar presentasi terlihat sibuk?"

Berani Memerdekakan Diri dengan Bertanggung Jawab
Perlahan, memberanikan untuk memerdekakan diri. Ini bukanlah kebebasan yang semena-mena, melainkan kebebasan yang bertanggung jawab, bebas untuk memilih apa yang memiliki pijakan nalar, data, dan moral yang jelas. Mulai menyaring instruksi: mana yang benar-benar menumbuhkan dan mana yang hanya menambah tumpukan pekerjaan. Sepertinya tidak lagi mengejar semua hal, tetapi hanya fokus pada yang paling penting.
Target tetap ada, tetapi sisipkan ruang untuk bertanya, mencoba, dan berbuat salah. Menciptakan ruang aman di mana kesalahan tidak menimbulkan gelombang tsunami yang menghancurkan.
Belajar menjadi pribadi yang otentik. Tetap menghormati sistem, namun tidak lagi menerima kebijakan dengan mata tertutup. Di dalam kelas, hadir bukan sebagai juru bicara kurikulum, melainkan sebagai seorang manusia yang menemani manusia lain. Tugas utama guru bukan lagi "menghabiskan bab/ materi" melainkan "menyalakan rasa ingin tahu". Dan hal yang menarik, ketika berhenti berpura-pura tahu segalanya, para siswa justru lebih berani menjadi diri mereka sendiri. Ternyata, kejujuran itu adalah hal yang menular.

Guru yang Melek: Fondasi Peradaban
Jadi, wahai rekan-rekan pendidik, di mana posisi kita sekarang? Apakah masih magang di "pabrik ketaatan buta" yang rapi, patuh, tetapi beku? Atau sudah berani memasuki dialog batin, merasa gelisah, dan hidup? Ataukah kita sudah berani belajar menjadi otentik, patuh yang berpikir, tunduk pada nilai, bukan sekadar pada naskah? Jika jawaban Anda masih "yang penting aman," ingatlah satu hal: robot juga aman. Namun, peradaban tidak pernah lahir dari robot. Peradaban lahir dari guru yang melek mata, nalar, perilaku, dan nuraninya.
Referensi : Grup WA GSM Kab.Purbalingga

Read More »
15 September | 0komentar

Ngkaji bukan sekadar forum

Pernahkah teman² merasa bertemu seseorang untuk pertama kali, tapi hatimu berkata, "Aku mengenalnya sejak lama."? Pernahkah kita dipeluk seseorang yg baru saja dijumpai, tapi rasanya seperti pulang ke rumah? Aku telah melihat itu. Aku telah merasakannya. Dan aku menemukannya dalam sebuah rumah pergerakan. Rumah yg tidak bertembok. Rumah yg dindingnya adalah hati² yg saling terbuka, dan atapnya adalah mimpi² yg melangit. 
Namanya Komunitas Gerakan Sekolah Menyenangkan. Di dalamnya, aku menyaksikan orang² yg berangkat dari tempat-tempat yg jauh, menembus batas daerah, suku, bahkan agama, semata karena mereka tahu, di ujung perjalanan itu, ada saudara yg telah menunggu. Aku melihat serombongan dari Palembang yg tak ragu terbang ke Jogja. Aku mendengar kisah rombongan dari Kalimantan yang menjejak tanah Jawa hanya untuk duduk bersama, bertukar rasa. Aku juga bertemu kafilah dari jawa barat menuju Surabaya bukan karena ingin menjejakan daerah yang belum pernah di datangi. Atau sebaliknya saudara² dari Jawa Tengah berbondong ke Sumedang. Bahkan dulu ada yg hampir terbang ke Kalimantan, hanya karena ingin ikut mengKaji, ingin menyimak, dan ingin terlibat dalam pusaran rasa Ngkaji Pendidikan. Lalu aku bertanya dalam diam… Apa yang membuat mereka rela datang sejauh ini? Apa istimewanya Ngkaji Pendidikan, yg bahkan hanya sebuah pertemuan, tanpa imbalan, tanpa kemewahan, tanpa panggung besar? Apa yg menjadikannya magnet begitu kuat, sehingga orang² rela mengorbankan waktu, tenaga, biaya, dan pikirannya hanya untuk duduk di lingkaran, mendengarkan, berdiskusi, dan merasa diperjalankan? Aku menemukan jawabannya dalam suasana batin yg menyelimuti pertemuan ini. 
Ngkaji bukan sekadar forum. Ia adalah perjalanan batin seorang pendidik. Ia adalah momen ketika seorang pendidik bukan hanya menemukan materi baru, tapi menemukan dirinya sendiri. Ia adalah ruang di mana seorang pendidik menyadari bahwa mendidik bukan hanya tentang mengajar, tapi tentang menjadi manusia yg lebih utuh. Ia adalah pertemuan di mana kita tak sekadar berbagi gagasan, tetapi berbagi hati. Di sini, guru2 tidak hanya hadir, mereka diperjalankan. Di sini, pelukan bukan basa-basi, tapi penuh kasih. Di sini, kita tidak sekadar berbicara tentang pendidikan, kita menjadikannya napas & kehidupan. Dan aku sadar, inilah sebabnya. Kita datang bukan hanya untuk mendengar. Kita datang karena di sini, kita pulang. Maka aku bertanya kepada teman²… Bukankah ini yang kita cari? Bukankah ini yang kita rindukan? Kalau iya, maka mari terus berjalan. Kita adalah saudara dalam pergerakan. Dan rumah ini akan selalu terbuka untuk siapa saja yang merindukan kebermaknaan dan kebahagiaan. 
 #gurumeraki #ngkajipendidikan #kembalimendidikmanusia #gerakansekolahmenyenangkan
disadur dari Grup wa GSM Purbalingga

Read More »
05 May | 0komentar

Mengapa Anak Kita Dicetak Seragam, Bukan Dibiarkan Tumbuh Utuh?


“Pendidikan sudah mati…”
Kalimat itu, yang pernah dilontarkan oleh kritikus media dan budayawan legendaris, Neil Postman, kini terasa bukan lagi sekadar pernyataan pesimis. Ia menjelma menjadi sebuah kabar duka yang pura-pura tak terdengar, terbungkus rapi dalam formalitas dan keriuhan sistem.
Apa yang kita saksikan hari ini di institusi bernama sekolah, adalah sebuah kematian perlahan. Jiwanya telah hilang, menyisakan kerangka kaku yang masih tegak berdiri—megah, tetapi hampa.

Sekolah, alih-alih menjadi taman tempat benih-benih kemanusiaan disemai, kini menyerupai pabrik. Sebuah tempat di mana anak-anak dicetak seragam, diseragamkan pikirannya, dipacu oleh waktu, dan diburu oleh angka. Nilai seorang anak tidak lagi diukur dari "cahaya dalam dirinya" dari rasa ingin tahu, empati, atau kebijaksanaan melainkan dari seberapa tinggi angkanya di lembar ujian.

Lihatlah kontrasnya: 
Gedungnya masih berdiri kokoh, mungkin dengan arsitektur modern. Spanduk programnya berderet indah, menjanjikan masa depan gemilang. Laporannya tersusun rapi dengan angka miliaran dana dan tanda tangan basah para petinggi.

Namun, di mana jiwanya?
Ia hilang. Terselip di balik tumpukan Surat Pertanggungjawaban (SPJ) yang siap diintai pemeriksa, di antara rapat-rapat sibuk yang sibuk memoles angka capaian. Kebisingan yang mendominasi bukan lagi tawa bahagia anak-anak yang belajar dengan hati, melainkan suara program, proyek, dan formalitas yang kini seakan menjadi dewa baru.

Hilangnya Tujuan Transenden
Sekolah seharusnya memiliki tujuan transenden: memanusiakan manusia, membimbing ke arah kebijaksanaan, dan mengajarkan makna hidup yang lebih dalam. Tanpa tujuan itu, sekolah hanya menjadi rumah tahanan yang berpagar kurikulum. Manusia tumbuh di dalamnya tanpa arah, dan kebijaksanaan mati pelan-pelan di ruang guru yang dingin.

Dampak dari matinya jiwa ini merasuk hingga ke akar budaya sekolah:
  • Hubungan Guru-Murid: Sikap saling dukung dan memihak kini berubah menjadi saling hujat, bahkan kekerasan menjadi hal yang bisa dimaklumi seolah itu cara cepat untuk menertibkan. 
  • Penghakiman Siswa: Anak yang "bodoh" atau "tak beradab" tak lagi kita peluk dengan sabar dan tuntunan. Kita melabeli mereka, menyingkirkannya, seolah kegagalan itu sepenuhnya milik mereka, bukan karena sistem yang kehilangan makna dan gagal memberi arti. 

Kita lupa bahwa tugas pendidikan bukanlah menyingkirkan yang lemah, tetapi membimbing semua menuju potensi terbaik mereka. Di tengah hiruk pikuk formalitas itu, kita bisa melihatnya:
Wajah-wajah guru yang lelah, terbebani oleh administrasi dan target capaian semu. Anak-anak yang matanya kehilangan cahaya, semangat belajarnya dipadamkan oleh tekanan angka. Kepala sekolah yang bingung harus menyelamatkan apa dulu: rasa kemanusiaan, atau sistem birokrasi?
Kita haus, haus akan nilai, akan kasih, akan makna yang dulu menjadi alasan suci kita datang ke sekolah. Kini, angin yang lewat di wajah kita tak lagi sejuk, ia hanya menyapu debu kelelahan, meninggalkan rasa panas dan kering.
Sekolah belum hilang secara fisik, tetapi jiwanya sedang sekarat. Ia adalah sistem yang terlalu sibuk—sibuk dengan laporan, sibuk dengan proyek, sibuk dengan pembenaran—hingga lupa dengan inti tugasnya: mengajar manusia cara menjadi manusia yang utuh.
Jika kita diam saja, membiarkan jiwa pendidikan ini meredup, bisa jadi esok yang tersisa hanyalah bangkai sistem yang berisik, dan manusia-manusia yang lupa caranya menjadi manusia sejati. Inilah saatnya menghentikan irama pabrik, dan mulai mencari kembali cahaya yang hilang di ruang-ruang kelas.
Sumber: WA Grup GSM Kab. Purbalingga

Read More »
23 October | 0komentar

Pentingnya Ikatan Emosional Guru dan Murid

Pernahkah Anda merasakan momen ini di kelas? Anda sudah menyiapkan materi dengan sepenuh hati, media pembelajaran yang menarik, bahkan lagu yang sedang viral agar suasana kelas lebih hidup. Namun, saat pelajaran dimulai, bukannya antusiasme yang Anda dapat, melainkan keheningan dan tatapan datar dari deretan "pot bunga" di depan Anda. Rasanya seperti presentasi di depan kursi kosong.
Jika ya, Anda tidak sendiri. Momen tersebut seringkali menjadi titik balik bagi banyak guru, termasuk saya. Saya sadar, mungkin masalahnya bukan pada materi yang kurang seru, atau saya yang kurang atraktif. Justru, inti masalahnya ada pada sesuatu yang lebih mendasar: kita belum terhubung. Belum "klik" dengan para murid. Frekuensi kita belum bertemu.
Pengalaman ini, ditambah dengan pembelajaran dari Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), membuka mata saya pada satu hal krusial: engagement. Sebelum kita bicara soal rumus, teori, kompetensi, atau target kurikulum, hal pertama yang harus dibangun adalah ikatan. Sebuah koneksi emosional yang mungkin tidak terlihat di layar, tapi sungguh terasa di hati.
Seperti yang Profesor Rita Pierson sampaikan dalam TED Talk-nya yang viral, "Kids don't learn from people they don't like." Anak-anak tidak akan belajar dari guru yang tidak mereka sukai. Namun, "suka" di sini bukan berarti guru harus menjadi influencer yang lucu atau populer. Ini tentang guru yang hadir secara emosional, yang tulus, dan yang membuat anak merasa: "Di kelas ini, aku aman untuk salah."
Membangun Fondasi Kepercayaan dan Rasa Aman
Maka, jangan heran jika di minggu pertama sekolah, saya memilih untuk tidak langsung memulai pelajaran formal. Tidak ada salahnya kok, jika waktu itu kita gunakan untuk benar-benar berkenalan. Bukan cuma menanyakan nama dan cita-cita, tapi lebih dalam: "Apa yang membuatmu semangat datang ke sekolah?", "Apa hal kecil yang membuatmu takut di kelas?", atau "Kapan terakhir kali kamu merasa diterima apa adanya?".
Bagaimana mungkin anak-anak bisa merasa nyaman belajar jika mereka belum merasa aman menjadi diri mereka sendiri? Bagaimana mereka bisa berani berpikir kritis jika setiap kesalahan langsung ditertawakan, dicoret, atau disalahkan? Ini seperti adegan di kompetisi memasak yang penuh tekanan. Di kelas saya, saya ingin mereka tahu: salah itu tidak apa-apa. Salah adalah tanda bahwa kamu sedang belajar. Tidak perlu takut. Di sini, kamu diterima, bahkan dengan segala kekuranganmu yang justru membuatmu menjadi manusia seutuhnya.
Oleh karena itu, di awal-awal masuk kelas, saya lebih banyak mengobrol, bermain, melempar pertanyaan-pertanyaan ringan, atau bahkan mengajak mereka menulis harapan di kertas warna-warni bersama-sama. Saya percaya, pembelajaran itu bukan soal seberapa cepat Anda menyampaikan materi, tapi seberapa dalam anak-anak mau menerima. Dan penerimaan itu hanya bisa terjadi jika ada rasa percaya.
Guru: Lebih dari Sekadar Robot Kurikulum
Kita ini guru, bukan robot kurikulum. Kita adalah manusia yang tugasnya bukan hanya mengajar, tetapi juga menuntun dan menemani mereka bertumbuh. Dan proses menuntun itu membutuhkan kedekatan, membutuhkan hati. Jadi, untuk rekan-rekan guru yang sedang bersemangat menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) atau Rencana Pelaksanaan Mengajar (RPM), menulis Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) atau Lembar Kerja Murid (LKM), dan mengutak-atik Canva untuk media ajar yang memukau, saya sangat salut! Semangat Anda luar biasa.
Namun, di tengah kesibukan itu, jangan lupa untuk menyiapkan waktu sekadar mendengar. Duduk bersama, mengobrol dari hati ke hati, dan membangun bonding. Karena kadang, anak-anak lebih membutuhkan itu daripada PowerPoint 20 slide dengan font kekinian dan animasi tingkat tinggi. Percayalah, begitu kita berhasil "mengklik" hati mereka, barulah kita bisa "mengklik" slide dengan penuh keyakinan. Karena pendidikan yang bermakna dimulai dari hubungan yang tulus.

Read More »
17 July | 0komentar

Saat Tidur Jadi Metafora

Tidur Adalah Usaha Termudah Menghargai Waktu Libur: Sebuah Renungan tentang Pendidikan dan Apresiasi Judul di atas mungkin terdengar kontradiktif, bahkan mungkin mengundang senyum. Bagaimana bisa tidur dianggap sebagai bentuk apresiasi terhadap waktu libur? Bukankah seharusnya waktu luang diisi dengan aktivitas produktif, pengembangan diri, atau petualangan seru? Namun, di balik judul yang sekilas nyeleneh ini, tersembunyi sebuah refleksi mendalam tentang nilai sesungguhnya dari waktu istirahat dan, yang lebih penting lagi, bagaimana kita sebagai masyarakat dan institusi memberikan apresiasi terhadap keberhasilan. 
Meskipun secara harfiah saya tidak akan membahas detail tidur di hari libur kali ini, frasa "tidur adalah usaha termudah menghargai waktu libur" justru menjadi metafora sempurna untuk mengajak kita merenungkan: apakah kita sudah cukup menghargai proses dan beragam bentuk keberhasilan, ataukah kita terlalu sibuk mengejar validasi eksternal yang seragam dan bersifat permukaan? Pendidikan: Mencetak Manusia atau Portofolio? 
Pertanyaan yang terus bergelora dalam benak kita adalah: "Sebenarnya sekolah ini tempat mendidik manusia… atau mendidik portofolio?" Pertanyaan ini bukan tanpa alasan. Setiap musim penerimaan siswa baru, pemandangan yang lazim kita jumpai adalah semaraknya spanduk-spanduk besar di depan sekolah. "Selamat kepada Ananda Budi, diterima di UGM. Terima kasih telah mengharumkan nama sekolah." Begitu bunyi salah satu contohnya, lengkap dengan foto siswa yang tersenyum bangga mengenakan jaket almamater kampus impian. 
Ucapan selamat bertebaran di media sosial, kepala sekolah ikut mengunggah, dan alumni pun turut bangga. Tentu saja, kebahagiaan ini patut dirayakan. Siapa yang tidak bangga melihat muridnya sukses menembus perguruan tinggi top? Namun, di tengah euforia itu, kerap kali ada ganjalan yang mengusik: bagaimana dengan "Siti"? Siti, mungkin, diterima di STIE Tri Dharma, sebuah universitas swasta yang lokasinya agak masuk gang, tidak sepopuler UGM. Ia mendaftar sendiri, menyiapkan berkas di sela-sela membantu orang tuanya menjaga warung. 
Tidak ada spanduk untuk Siti. Tidak ada ucapan "terima kasih telah mengharumkan nama sekolah." Keberhasilannya seolah lenyap dalam bayang-bayang prestasi yang "layak dipajang." Ini memicu pertanyaan krusial: jangan-jangan selama ini yang kita apresiasi itu bukan perjuangan, tapi branding? Bahkan, ironisnya, fenomena ini semakin tervalidasi dengan maraknya seminar tentang branding sekolah. Seolah-olah, nilai sebuah institusi pendidikan diukur dari seberapa banyak "produk unggulan" yang bisa dipamerkan di katalog prestasinya. 
Ketika Apresiasi Hanya untuk yang Terpilih Maka, kembali kita merenung: Apakah kita benar-benar sedang mendidik manusia sesuai versi terbaik dirinya? Atau kita sedang mencetak ‘produk unggulan’ buat katalog prestasi institusi? Prestasi memang penting, itu tidak bisa dimungkiri. Namun, apakah hanya mereka yang diterima di perguruan tinggi negeri favorit yang disebut "berhasil"? 
Bagaimana dengan mereka yang melanjutkan ke politeknik kecil, atau bahkan memilih untuk bekerja terlebih dahulu demi bisa melanjutkan kuliah tahun depan? Apakah perjuangan mereka tidak layak disebut sebagai hasil pendidikan juga? Apakah ketekunan dan kerja keras mereka dalam menghadapi realitas hidup tidak pantas mendapatkan apresiasi? 
Seringkali, tanpa disadari, kita sedang diam-diam ikut menyaring manusia dengan standar yang kita anggap ‘layak ditampilkan di spanduk’. Seolah-olah, ada kriteria tidak tertulis tentang "alumni sukses" yang hanya mencakup mereka dengan label-label bergengsi. Yang lainnya? Ya, mereka memang alumni juga, tapi "bukan yang itu lho… yang itu…" Sebuah pengabaian halus yang dapat melukai semangat dan memupus rasa bangga. 
Pendidikan Sejati Melampaui Baliho Penulis artikel ini teringat pengalamannya sendiri: masuk universitas dengan jurusan Pendidikan Teknik Mesin yang kala itu tidak termasuk kategori favorit. Namun, dari sana ia tetap bisa tumbuh, belajar, dan menjadi manusia yang utuh. Ia kemudian menjadi seorang guru, dan dari sanalah ia menyadari: jangan-jangan sekolah memang lupa, bahwa menjadi manusia itu bukan perlombaan banner. 
Menjadi manusia berarti tumbuh, berkembang, dan memberikan kontribusi dalam berbagai bentuk, terlepas dari label institusi atau popularitas. Pendidikan sejati seharusnya tentang memfasilitasi setiap individu untuk mencapai potensi terbaiknya, bukan sekadar mencetak daftar prestasi yang seragam. Kamu Sudah Masuk Hati Kami Maka, melalui artikel ini, sebuah pesan penting ingin disampaikan: Untuk kamu yang diterima di mana pun – baik di perguruan tinggi negeri, swasta, akademi, bahkan "sekolah kehidupan" itu sendiri – ketahuilah, kamu juga bagian dari perjuangan kami. 
Perjuanganmu, usahamu, dan semua tetes keringatmu dalam meraih mimpi adalah bagian tak terpisahkan dari misi pendidikan. Jika sekolah ini benar-benar mendidik manusia, maka tak satupun perjuanganmu akan luput dari apresiasi. Mungkin namamu tidak terpampang di baliho besar di pinggir jalan, namun percayalah, kamu sudah masuk hati kami. 
Yang terpenting dari segalanya adalah: teruslah bertumbuh. Teruslah belajar, beradaptasi, dan berkembang, dengan atau tanpa spanduk ucapan selamat. Karena pada akhirnya, nilai sejati seorang manusia tidak diukur dari seberapa megah pengakuan eksternal yang ia dapatkan, melainkan dari seberapa besar ia mampu menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri, dan seberapa besar dampaknya bagi dunia di sekitarnya.
Sumber : Grup WA GSM Kab. Purbalingga.

Read More »
29 June | 0komentar

Aksi Nyata Bukan Aksi Abu-abu

Bapak Ibu Guru selamat berakhir pekan, dalam falsafah Jawa, terdapat pepatah yg berbunyi "ilmu iku kelakone kanthi laku" yg bermakna bahwa ilmu didapatkan melalui praktik. Pepatah ini sangat sejalan dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang "3 Nga" yaitu Ngerti, Ngrasa, dan Nglakoni. Ngerti berarti memahami suatu konsep atau pengetahuan, Ngrasa adalah kemampuan untuk merasakan / menyadari esensi dari pengetahuan tersebut, dan Nglakoni adalah melakukan atau mempraktikkan apa yg telah dipahami & dirasakan. 
Ki Hajar Dewantara menekankan bahwa pendidikan yg efektif tidak hanya berhenti pada tahap menghapal atau memahami teori, tetapi harus dilanjutkan dengan pengalaman nyata yang memberikan pemahaman lebih mendalam & bermakna. Pembelajaran yg baik adalah pembelajaran yg melibatkan siswa secara aktif dalam proses belajar-mengajar. 
Guru tidak hanya berperan sebagai pemberi materi, tetapi juga sebagai fasilitator yg membantu anak didiknya untuk mengalami dan mengaplikasikan pengetahuan yg mereka peroleh. Dengan demikian, siswa dapat mengembangkan kemampuan untuk menjadi solusi bagi diri mereka sendiri dan lingkungan sekitar. Oleh karena itu, kita sebagai guru diharapkan tidak hanya fokus pada transfer pengetahuan secara verbal atau tekstual, tetapi juga menciptakan pengalaman belajar yang bermakna bagi siswa.
Pembelajaran berbasis pengalaman ini memungkinkan siswa untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis, memecahkan masalah, dan berinovasi. Dengan cara ini, mereka dapat tumbuh menjadi individu yg bermanfaat bagi masyarakat dan mampu mencapai potensi terbaik mereka. Falsafah "ilmu iku kelakone kanthi laku" mengajarkan kita bahwa ilmu sejati adalah ilmu yang diwujudkan dalam tindakan nyata (aksi nyata bukan aksi ghoib). Dalam konteks pendidikan, ini berarti bahwa proses pembelajaran harus melibatkan 3-si (aksi, refleksi, dan aplikasi). 
Melalui pendekatan ini, anak kita tidak hanya menjadi pengetahuan pasif, tetapi juga aktif yang mampu membuat perubahan positif dalam kehidupan mereka & komunitasnya. Mereka menjadi manusia yang bisa bermanfaat bagi sesama. Itulah salah satu puncak kebahagiaan karena menjadi versi terbaik manusia.
Dari : Grup WA GSM Purbalingga

Read More »
28 July | 0komentar