Assalamu'alaikum ! welcome to Media Pendidikan.| Contact | Register | Sign In

Guru Otentik, Bukan Sekadar Juru Bicara Kurikulum

Menjadi Titik balik saat mengikuti sebuah kajian pendidikan bertema "Pendidikan dari Masa Depan". Salah seorang pembicara menyebut istilah "ketaatan buta". Rasanya seperti tersentil. Menyadari bahwa selama ini kita sebagai guru tidak sekadar patuh, tapi juga padam. Saya ikut arus, namun arus tersebut adalah sebuah treadmill: lelah, berkeringat, tetapi tidak pernah sampai ke mana-mana, hanya berputar di tempat.
Keresahan itu pun mulai muncul, awalnya sebagai suara kecil yang menusuk: "Apakah kau mendidik atau hanya menggugurkan kewajiban? Apakah anak-anak ini manusia atau hanya target capaian? Mengapa setiap ganti menteri dan kurikulum, aturan juga ikut berganti?" Keresahan ini menjadi hal yang sangat penting. Ini adalah awal dari sebuah dialog batin yang jujur. Sehingga mulailah mengunyah setiap aturan, merabanya, mengendusnya, dan bertanya, "Apakah ini bermanfaat atau hanya hiasan semata? Apakah aturan ini menumbuhkan nalar anak atau hanya dibuat agar presentasi terlihat sibuk?"

Berani Memerdekakan Diri dengan Bertanggung Jawab
Perlahan, memberanikan untuk memerdekakan diri. Ini bukanlah kebebasan yang semena-mena, melainkan kebebasan yang bertanggung jawab, bebas untuk memilih apa yang memiliki pijakan nalar, data, dan moral yang jelas. Mulai menyaring instruksi: mana yang benar-benar menumbuhkan dan mana yang hanya menambah tumpukan pekerjaan. Sepertinya tidak lagi mengejar semua hal, tetapi hanya fokus pada yang paling penting.
Target tetap ada, tetapi sisipkan ruang untuk bertanya, mencoba, dan berbuat salah. Menciptakan ruang aman di mana kesalahan tidak menimbulkan gelombang tsunami yang menghancurkan.
Belajar menjadi pribadi yang otentik. Tetap menghormati sistem, namun tidak lagi menerima kebijakan dengan mata tertutup. Di dalam kelas, hadir bukan sebagai juru bicara kurikulum, melainkan sebagai seorang manusia yang menemani manusia lain. Tugas utama guru bukan lagi "menghabiskan bab/ materi" melainkan "menyalakan rasa ingin tahu". Dan hal yang menarik, ketika berhenti berpura-pura tahu segalanya, para siswa justru lebih berani menjadi diri mereka sendiri. Ternyata, kejujuran itu adalah hal yang menular.

Guru yang Melek: Fondasi Peradaban
Jadi, wahai rekan-rekan pendidik, di mana posisi kita sekarang? Apakah masih magang di "pabrik ketaatan buta" yang rapi, patuh, tetapi beku? Atau sudah berani memasuki dialog batin, merasa gelisah, dan hidup? Ataukah kita sudah berani belajar menjadi otentik, patuh yang berpikir, tunduk pada nilai, bukan sekadar pada naskah? Jika jawaban Anda masih "yang penting aman," ingatlah satu hal: robot juga aman. Namun, peradaban tidak pernah lahir dari robot. Peradaban lahir dari guru yang melek mata, nalar, perilaku, dan nuraninya.
Referensi : Grup WA GSM Kab.Purbalingga
Share this article now on :

Post a Comment