Assalamu'alaikum ! welcome to Media Pendidikan.| Contact | Register | Sign In

Mengapa Anak Kita Dicetak Seragam, Bukan Dibiarkan Tumbuh Utuh?


“Pendidikan sudah mati…”
Kalimat itu, yang pernah dilontarkan oleh kritikus media dan budayawan legendaris, Neil Postman, kini terasa bukan lagi sekadar pernyataan pesimis. Ia menjelma menjadi sebuah kabar duka yang pura-pura tak terdengar, terbungkus rapi dalam formalitas dan keriuhan sistem.
Apa yang kita saksikan hari ini di institusi bernama sekolah, adalah sebuah kematian perlahan. Jiwanya telah hilang, menyisakan kerangka kaku yang masih tegak berdiri—megah, tetapi hampa.

Sekolah, alih-alih menjadi taman tempat benih-benih kemanusiaan disemai, kini menyerupai pabrik. Sebuah tempat di mana anak-anak dicetak seragam, diseragamkan pikirannya, dipacu oleh waktu, dan diburu oleh angka. Nilai seorang anak tidak lagi diukur dari "cahaya dalam dirinya" dari rasa ingin tahu, empati, atau kebijaksanaan melainkan dari seberapa tinggi angkanya di lembar ujian.

Lihatlah kontrasnya: 
Gedungnya masih berdiri kokoh, mungkin dengan arsitektur modern. Spanduk programnya berderet indah, menjanjikan masa depan gemilang. Laporannya tersusun rapi dengan angka miliaran dana dan tanda tangan basah para petinggi.

Namun, di mana jiwanya?
Ia hilang. Terselip di balik tumpukan Surat Pertanggungjawaban (SPJ) yang siap diintai pemeriksa, di antara rapat-rapat sibuk yang sibuk memoles angka capaian. Kebisingan yang mendominasi bukan lagi tawa bahagia anak-anak yang belajar dengan hati, melainkan suara program, proyek, dan formalitas yang kini seakan menjadi dewa baru.

Hilangnya Tujuan Transenden
Sekolah seharusnya memiliki tujuan transenden: memanusiakan manusia, membimbing ke arah kebijaksanaan, dan mengajarkan makna hidup yang lebih dalam. Tanpa tujuan itu, sekolah hanya menjadi rumah tahanan yang berpagar kurikulum. Manusia tumbuh di dalamnya tanpa arah, dan kebijaksanaan mati pelan-pelan di ruang guru yang dingin.

Dampak dari matinya jiwa ini merasuk hingga ke akar budaya sekolah:
  • Hubungan Guru-Murid: Sikap saling dukung dan memihak kini berubah menjadi saling hujat, bahkan kekerasan menjadi hal yang bisa dimaklumi seolah itu cara cepat untuk menertibkan. 
  • Penghakiman Siswa: Anak yang "bodoh" atau "tak beradab" tak lagi kita peluk dengan sabar dan tuntunan. Kita melabeli mereka, menyingkirkannya, seolah kegagalan itu sepenuhnya milik mereka, bukan karena sistem yang kehilangan makna dan gagal memberi arti. 

Kita lupa bahwa tugas pendidikan bukanlah menyingkirkan yang lemah, tetapi membimbing semua menuju potensi terbaik mereka. Di tengah hiruk pikuk formalitas itu, kita bisa melihatnya:
Wajah-wajah guru yang lelah, terbebani oleh administrasi dan target capaian semu. Anak-anak yang matanya kehilangan cahaya, semangat belajarnya dipadamkan oleh tekanan angka. Kepala sekolah yang bingung harus menyelamatkan apa dulu: rasa kemanusiaan, atau sistem birokrasi?
Kita haus, haus akan nilai, akan kasih, akan makna yang dulu menjadi alasan suci kita datang ke sekolah. Kini, angin yang lewat di wajah kita tak lagi sejuk, ia hanya menyapu debu kelelahan, meninggalkan rasa panas dan kering.
Sekolah belum hilang secara fisik, tetapi jiwanya sedang sekarat. Ia adalah sistem yang terlalu sibuk—sibuk dengan laporan, sibuk dengan proyek, sibuk dengan pembenaran—hingga lupa dengan inti tugasnya: mengajar manusia cara menjadi manusia yang utuh.
Jika kita diam saja, membiarkan jiwa pendidikan ini meredup, bisa jadi esok yang tersisa hanyalah bangkai sistem yang berisik, dan manusia-manusia yang lupa caranya menjadi manusia sejati. Inilah saatnya menghentikan irama pabrik, dan mulai mencari kembali cahaya yang hilang di ruang-ruang kelas.
Sumber: WA Grup GSM Kab. Purbalingga
Share this article now on :

Post a Comment