Pagi itu, udara di kelas terasa berbeda, dipenuhi getaran antisipasi yang manis dan sedikit melankolis. Agenda kami, praktik dari GSM yang kami namai "Deep Intro with Photo Story," bertepatan dengan Hari Ibu. Sehari sebelumnya, saya meminta setiap murid membawa satu foto paling istimewa bersama ibu mereka sebuah kenangan yang terbingkai dalam kertas.
Di layar proyektor, foto-foto mulai tayang, dikirimkan melalui WA Web. Foto masa kecil yang menggemaskan, foto liburan saat sudah remaja, atau potret sederhana di teras rumah. Saya memanggil tiga nama untuk hari itu. Tiga cerita, tiga hati yang akan terbuka.
Murid pertama maju, tawanya renyah saat ia menceritakan perjalanan panjang dengan mobil yang membuat ibunya harus menyetir berjam-jam. Anak kedua menceritakan momen kelulusan TK-nya, saat ibunya merangkul erat. Hangat, ceria, dan penuh syukur.
Lalu tiba giliran anak ketiga. Foto di layar menampilkan pesta ulang tahunnya saat masih kecil. Ada kue warna-warni, lilin yang menyala terang, dan yang paling memukau, senyum ibunya yang begitu hangat, terpantul cerah di wajah mungilnya.
Dengan suara yang awalnya penuh semangat, ia memulai kisahnya. Ia bercerita tentang kebaikan ibunya, tentang bagaimana ibunya selalu menyiapkan sarapan favoritnya, dan tentang cinta tak bersyarat yang ia rasakan dalam pelukan itu, seingatnya saat masih kecil dulu. Mata anak itu berbinar, seolah ia sedang benar-benar kembali ke momen bahagia di foto itu.
Namun, tiba-tiba, perubahan itu datang.
Di ujung cerita, suaranya berubah lirih. Ia menundukkan kepala, pandangannya tertuju pada lantai. Keheningan yang tiba-tiba membuat kami semua menahan napas. Dengan berat, ia mengucapkan kata-kata yang menusuk hati itu, di hadapan semua teman dan gurunya.
“Sekarang… saya rindu ibu saya. Sudah sepuluh tahun saya tidak berjumpa. Ibu bekerja… dan tidak pernah pulang. Saya hanya hidup berdua dengan ayah saya.”
Kelas seketika hening total. Saya, sang guru yang seharusnya membimbing, tercekat. Saya tidak punya kata-kata yang tepat. Tidak ada petunjuk di RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) yang mengajarkan bagaimana menanggapi pengakuan tulus tentang sepuluh tahun kerinduan.
Pendidikan yang Sesungguhnya
Namun, apa yang terjadi selanjutnya adalah di luar dugaan.
Seakan-akan ada tali tak kasat mata yang terentang, menghubungkan hati mereka. Beberapa temannya berdiri, bergerak secara spontan. Mereka maju ke depan.
Ada yang dengan lembut menepuk pundak anak itu. Ada yang mendekat dan menggenggam tangannya dengan erat. Ada pula yang hanya berdiri tegak di sampingnya, seolah barisan pelindung yang ingin berkata tanpa suara: "Kamu tidak sendiri. Kami di sini." Tidak ada yang berbicara, namun ruangan itu dipenuhi suara empati yang paling keras. Saya hanya bisa berdiri terdiam. Speechless.
Pemandangan itu tidak ada dalam skenario RPP terbaik yang saya susun. Momen itu tidak tercantum dalam diktat pelatihan yang didesain berhari-hari oleh para ahli. Tidak perlu ada teori rumit atau format kaku untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi.
Itulah pembelajaran bermakna, itulah deep learning, itulah interaksi yang mendalam (deep interaction) yang sesungguhnya. Anak-anak tidak sedang mencari nilai di mata pelajaran, mereka sedang belajar menjadi manusia. Mereka belajar empati, tumbuh bersama, saling menguatkan, dan berkesadaran.
Hari itu, realisasi itu menghantam saya dengan kesadaran penuh: Sekolah bukan hanya tempat anak-anak mencari nilai. Sekolah adalah tempat mereka belajar menjadi manusia seutuhnya.
Momen itu membuat saya percaya, melebihi teori apapun: RPP bisa saja baik, teori bisa saja hebat, tapi ketika hati anak-anak bergerak dan terhubung—itulah pendidikan yang sesungguhnya.
Sumber: Grup WA GSM Kab.Purbalingga
Post a Comment