Assalamu'alaikum ! welcome to Media Pendidikan.| Contact | Register | Sign In

Pentingnya Ikatan Emosional Guru dan Murid

Pernahkah Anda merasakan momen ini di kelas? Anda sudah menyiapkan materi dengan sepenuh hati, media pembelajaran yang menarik, bahkan lagu yang sedang viral agar suasana kelas lebih hidup. Namun, saat pelajaran dimulai, bukannya antusiasme yang Anda dapat, melainkan keheningan dan tatapan datar dari deretan "pot bunga" di depan Anda. Rasanya seperti presentasi di depan kursi kosong.
Jika ya, Anda tidak sendiri. Momen tersebut seringkali menjadi titik balik bagi banyak guru, termasuk saya. Saya sadar, mungkin masalahnya bukan pada materi yang kurang seru, atau saya yang kurang atraktif. Justru, inti masalahnya ada pada sesuatu yang lebih mendasar: kita belum terhubung. Belum "klik" dengan para murid. Frekuensi kita belum bertemu.
Pengalaman ini, ditambah dengan pembelajaran dari Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), membuka mata saya pada satu hal krusial: engagement. Sebelum kita bicara soal rumus, teori, kompetensi, atau target kurikulum, hal pertama yang harus dibangun adalah ikatan. Sebuah koneksi emosional yang mungkin tidak terlihat di layar, tapi sungguh terasa di hati.
Seperti yang Profesor Rita Pierson sampaikan dalam TED Talk-nya yang viral, "Kids don't learn from people they don't like." Anak-anak tidak akan belajar dari guru yang tidak mereka sukai. Namun, "suka" di sini bukan berarti guru harus menjadi influencer yang lucu atau populer. Ini tentang guru yang hadir secara emosional, yang tulus, dan yang membuat anak merasa: "Di kelas ini, aku aman untuk salah."
Membangun Fondasi Kepercayaan dan Rasa Aman
Maka, jangan heran jika di minggu pertama sekolah, saya memilih untuk tidak langsung memulai pelajaran formal. Tidak ada salahnya kok, jika waktu itu kita gunakan untuk benar-benar berkenalan. Bukan cuma menanyakan nama dan cita-cita, tapi lebih dalam: "Apa yang membuatmu semangat datang ke sekolah?", "Apa hal kecil yang membuatmu takut di kelas?", atau "Kapan terakhir kali kamu merasa diterima apa adanya?".
Bagaimana mungkin anak-anak bisa merasa nyaman belajar jika mereka belum merasa aman menjadi diri mereka sendiri? Bagaimana mereka bisa berani berpikir kritis jika setiap kesalahan langsung ditertawakan, dicoret, atau disalahkan? Ini seperti adegan di kompetisi memasak yang penuh tekanan. Di kelas saya, saya ingin mereka tahu: salah itu tidak apa-apa. Salah adalah tanda bahwa kamu sedang belajar. Tidak perlu takut. Di sini, kamu diterima, bahkan dengan segala kekuranganmu yang justru membuatmu menjadi manusia seutuhnya.
Oleh karena itu, di awal-awal masuk kelas, saya lebih banyak mengobrol, bermain, melempar pertanyaan-pertanyaan ringan, atau bahkan mengajak mereka menulis harapan di kertas warna-warni bersama-sama. Saya percaya, pembelajaran itu bukan soal seberapa cepat Anda menyampaikan materi, tapi seberapa dalam anak-anak mau menerima. Dan penerimaan itu hanya bisa terjadi jika ada rasa percaya.
Guru: Lebih dari Sekadar Robot Kurikulum
Kita ini guru, bukan robot kurikulum. Kita adalah manusia yang tugasnya bukan hanya mengajar, tetapi juga menuntun dan menemani mereka bertumbuh. Dan proses menuntun itu membutuhkan kedekatan, membutuhkan hati. Jadi, untuk rekan-rekan guru yang sedang bersemangat menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) atau Rencana Pelaksanaan Mengajar (RPM), menulis Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) atau Lembar Kerja Murid (LKM), dan mengutak-atik Canva untuk media ajar yang memukau, saya sangat salut! Semangat Anda luar biasa.
Namun, di tengah kesibukan itu, jangan lupa untuk menyiapkan waktu sekadar mendengar. Duduk bersama, mengobrol dari hati ke hati, dan membangun bonding. Karena kadang, anak-anak lebih membutuhkan itu daripada PowerPoint 20 slide dengan font kekinian dan animasi tingkat tinggi. Percayalah, begitu kita berhasil "mengklik" hati mereka, barulah kita bisa "mengklik" slide dengan penuh keyakinan. Karena pendidikan yang bermakna dimulai dari hubungan yang tulus.
Share this article now on :

Post a Comment