Di tengah hiruk pikuk modern, sebuah monster senyap mengintai: Ketidakberpikiran. Ini adalah kondisi saat manusia terjebak dalam pusaran rutinitas tanpa jeda untuk refleksi mendalam, sekadar menjadi pengikut setia alur birokrasi dan algoritma digital. Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) melalui Pendirinya, Muhammad Nur Rizal, secara lantang memperingatkan bahwa fenomena ini adalah ancaman nyata bagi nalar, moral, dan kesejatian diri bangsa.
🕰️ Waktu yang Tersita dan Nalar yang Tumpul
Rizal menyoroti bagaimana waktu yang seharusnya dialokasikan untuk pengembangan diri justru tersedot habis oleh hal-hal administratif dan digital.
“Waktu kita banyak tersita oleh algoritma, oleh rutinitas administratif, tetapi justru sedikit sekali untuk perkara yang penting, yakni, berpikir, berdialog dengan nurani, dan memelihara imajinasi,” ungkap Muhammad Nur Rizal.
Konsekuensinya fatal: nalar kritis tumpul, imajinasi moral terkikis, dan manusia makin jauh dari esensi dirinya. Kita bergerak, tapi tanpa makna; berinteraksi, tapi tanpa kedalaman; dan menjalankan tugas, tapi tanpa jiwa.
📉 Manifestasi Ketidakberpikiran dalam Realitas Sosial-Politik
Ketidakberpikiran bukan hanya masalah individu atau ruang kelas, tetapi telah meresap ke dalam sendi-sendi kehidupan sosial dan politik, menciptakan krisis peradaban.
Kesenjangan yang Menganga: Sulitnya lapangan kerja, kenaikan harga kebutuhan pokok, dan akses pendidikan yang timpang adalah indikasi bahwa negara ini menghadapi tantangan serius yang tak tersentuh oleh solusi berbasis nalar kritis.
Krisis Etika Publik: Perilaku para wakil rakyat yang mengusulkan kenaikan tunjangan dan pajak di tengah kesulitan rakyat, korupsi yang merajalela, serta sikap arogan kelas atas yang melukai nurani, adalah cerminan dari hilangnya empati dan imajinasi moral. Bahkan, aksi aparat yang represif hingga menimbulkan kematian menunjukkan bahwa tindakan-tindakan diambil tanpa refleksi mendalam terhadap rasa keadilan.
Semua gejala ini adalah produk dari pikiran yang beku, yang gagal melihat di luar kepentingan diri sendiri dan rutinitas kekuasaan. Mereka adalah bukti nyata betapa berbahayanya hidup tanpa jeda untuk mempertimbangkan dampak moral dan sosial dari setiap tindakan.
🏛️ Pendidikan: Benteng Terakhir Peradaban
Menghadapi situasi ini, GSM mengingatkan bahwa Pendidikan harus menjadi benteng peradaban, bukan sekadar pabrik penghasil tenaga kerja teknis.
Tujuan utama pendidikan sejati haruslah melahirkan manusia yang mampu berpikir merdeka, berimajinasi moral, dan bertindak autentik. Ini adalah antidote terhadap racun ketidakberpikiran.
Jika di sekolah guru hanya fokus pada buku teks dan kurikulum, serta melarang murid untuk bertanya kritis karena dianggap mengganggu alur pelajaran, maka yang lahir hanyalah generasi:
- Pengikut (Followers), bukan pencipta.
- Pelaksana, bukan visioner.
Rizal menekankan, “Padahal bangsa ini membutuhkan generasi yang autentik, berani, dan visioner.”
💡 Jalan Keluar:
Menghidupkan Kembali Ruang Refleksi
Tantangan bagi seluruh pemangku kepentingan pendidik, orang tua, dan pemimpin adalah merebut kembali waktu yang tersita dari algoritma dan birokrasi, lalu mengalihkannya untuk perkara penting: berpikir.
Ini membutuhkan perubahan radikal dalam paradigma pendidikan:
- Prioritaskan Nalar Kritis: Jadikan ruang kelas sebagai arena dialog, perdebatan ide, dan mempertanyakan status quo, bukan sekadar transfer informasi.
- Kembangkan Imajinasi Moral: Ajarkan anak didik untuk merasakan dan membayangkan dampak tindakan mereka terhadap orang lain, membangun empati sebagai fondasi etika.
- Dorong Keotentikan: Beri ruang bagi siswa untuk mengekspresikan diri secara jujur dan berani, menumbuhkan jiwa pencipta, bukan peniru.
Hanya dengan menjadikan pendidikan sebagai rumah bagi pikiran merdeka dan hati nurani yang hidup, kita bisa membentengi diri dari monster ketidakberpikiran dan membangun kembali peradaban yang didasari oleh keadilan, kemanusiaan, dan kesejatian diri.
Sumber : https://sekolahmenyenangkan.or.id/





Post a Comment