Assalamu'alaikum ! welcome to Media Pendidikan.| Contact | Register | Sign In
Showing posts with label Literasi Numerasi. Show all posts
Showing posts with label Literasi Numerasi. Show all posts

Jejak Pikiran yang Tak Lekang Oleh Zaman: Menulis!


"Menulislah! Karena tanpa menulis engkau akan hilang dari sejarah." Kutipan monumental dari Pramoedya Ananta Toer ini bukan sekadar ajakan, melainkan sebuah seruan yang menggema, sebuah peringatan keras tentang pentingnya mendokumentasikan keberadaan, pemikiran, dan pengalaman kita. Dalam setiap tarikan pena atau ketukan di keyboard, kita tidak hanya menyusun kata, tetapi juga sedang mengukir jejak abadi yang melampaui batas waktu. 
Setiap tulisan adalah kepingan mozaik yang merekam realitas, merangkum gagasan, dan membingkai peristiwa. Dengan menulis, kita memberikan perspektif unik, menyumbangkan pemikiran yang mungkin akan menginspirasi, dan bahkan membuka jalan bagi orang lain untuk mengikuti jejak yang kita rintis. 
Korban Sejarah atau Pembuat Sejarah
Pramoedya Ananta Toer juga menggarisbawahi sebuah dikotomi fundamental dalam kehidupan: ada dua jenis kelompok manusia di dunia ini, yaitu mereka yang adalah korban sejarah dan mereka yang adalah pembuat sejarah. Korban sejarah adalah mereka yang pasif, yang membiarkan arus peristiwa menyeret mereka tanpa jejak, tanpa suara yang tercatat. Pemikiran mereka, perjuangan mereka, kebahagiaan dan kesedihan mereka, semua itu lenyap ditelan waktu, seolah tidak pernah ada. Kisah mereka hanya hidup sesaat dalam ingatan orang-orang terdekat, lalu memudar seiring generasi berganti. 
Tanpa tulisan, keberadaan mereka mungkin hanya menjadi catatan kaki yang dilupakan, atau bahkan tidak tercatat sama sekali. Sebaliknya, pembuat sejarah adalah mereka yang aktif, yang berani mengintervensi narasi kehidupan dengan pena mereka. Mereka bukan hanya hidup dalam sejarah, melainkan juga menuliskannya. Mereka meninggalkan warisan intelektual, emosional, dan spiritual yang dapat dipelajari, direnungkan, dan dijadikan pijakan oleh generasi selanjutnya. Pembuat sejarah adalah mercusuar yang memandu, suara yang tak lekang oleh zaman, dan inspirasi yang tak pernah padam. 
Menulis misalnya di Blog adalah cara terbaik untuk mengorganisir dan mengabadikan pemikiran. Ide-ide cemerlang bisa melayang pergi jika tidak segera dicatat. Dengan menulis, kita memberi bentuk pada gagasan yang abstrak, membuatnya kokoh dan bisa diakses kapan saja bisa sharing kepada siaapun. Pengetahuan dan pengalaman pribadi seringkali begitu berharga. Melalui tulisan, kita dapat berbagi pelajaran hidup, keahlian, dan wawasan yang telah kita kumpulkan. Ini memungkinkan orang lain belajar dari kesalahan kita, mengadopsi keberhasilan kita, dan mengembangkan diri mereka sendiri tanpa harus mengulang dari nol.Ada yang menyamaikan bahwa sepele bagi anda mungkin bermanfaat bagi orang lain. Proses menulis juga merupakan bentuk refleksi diri. Saat menulis, kita sering kali menemukan diri kita sendiri, memahami nilai-nilai, keyakinan, dan tujuan hidup kita dengan lebih jelas. Tulisan menjadi cermin jiwa yang merekam perjalanan pribadi. 
Tulisan memiliki kekuatan untuk menggerakkan hati, mengubah pandangan, dan bahkan memicu revolusi. Dari deklarasi kemerdekaan hingga manifesto ilmiah, tulisan telah menjadi agen perubahan sosial yang paling ampuh sepanjang sejarah. Manusia fana, tetapi gagasan dan cerita yang dituliskan dapat hidup selamanya. Blog, Buku, jurnal, artikel, dan karya tulis lainnya media cetak atau online adalah medium yang memungkinkan kita berbicara dari masa lalu kepada masa kini, bahkan kepada masa depan yang belum terbayangkan. 
Di era digital ini, kesempatan untuk menulis semakin terbuka lebar. Setiap orang dengan akses internet dapat menjadi penulis, menerbitkan pemikiran mereka, dan berpotensi menjangkau audiens global. Blog, media sosial, jurnal daring, atau bahkan sekadar catatan pribadi—semua adalah wadah untuk memulai. Jangan biarkan rasa takut atau keraguan menghentikan Anda. 
Tidak perlu menjadi seorang Pramoedya Ananta Toer untuk memulai. Cukup mulailah dengan apa yang Anda rasakan, apa yang Anda pikirkan, atau apa yang Anda alami. Tulislah tentang pekerjaan Anda, hobi Anda, impian Anda, atau bahkan hanya refleksi harian. Setiap kata yang Anda tulis adalah sebuah batu bata yang membangun monumen keberadaan Anda dalam sejarah. Jadi, ambillah pena, buka laptop Anda, dan menulislah! Jangan biarkan diri Anda hilang dari sejarah. Jadilah pembuat sejarah itu sendiri, dan berikan kesempatan bagi dunia untuk mendengar, belajar, dan tumbuh dari jejak abadi yang Anda tinggalkan. Penulis telah merangkai mozaik kata di www.sarastiana.com

Read More »
30 May | 0komentar

Kelas Maya Bukan Kelas "Mayeng-Mayeng"

Artikel ini pernah saya tulis sebelum kurikulum merdeka saya tulis tahun 2018. Saat itu sedang trennya istilah "Kelas Maya". Berlaku kurikulum 13 yang salah satunya muncul mata pelajaran Simulasi Digital (Simdig). Ketika Kelas Mendadak Kosong: Memahami Pembelajaran Kelas Maya dan Peran Petugas Piket Pemandangan yang mungkin menimbulkan keheranan, bahkan teguran, di lingkungan sekolah adalah ketika kelas yang tadinya tenang tiba-tiba berhamburan keluar, bukan karena jam istirahat, melainkan untuk mencari sinyal internet. Padahal hasil pembelajaran ini dapat dipantau secara baik. Terbukti dari hasil analisa pada pembelajaran ini.
Fenomena ini bisa memicu berbagai pertanyaan dan bahkan kesalahpahaman, terutama bagi guru lain, petugas piket, hingga kepala sekolah. Namun, di balik "kekacauan" sesaat ini, tersembunyi sebuah metode pembelajaran yang mungkin belum sepenuhnya dipahami: pemanfaatan Kelas Maya. Konteks ini menjadi penting untuk dipahami seiring dengan rekomendasi penggunaan Kelas Maya sebagai salah satu pendekatan pembelajaran di Indonesia, yang bahkan digaungkan bersamaan dengan lahirnya Kurikulum 2013. 
Seorang guru yang menerapkan metode ini tentu memiliki alasan pedagogis yang kuat, yaitu menyampaikan materi pelajaran melalui platform daring yang interaktif dan berpotensi meningkatkan keterlibatan siswa. Dalam era digital ini, Kelas Maya menawarkan fleksibilitas, akses ke berbagai sumber belajar, dan kesempatan untuk berkolaborasi secara virtual. Namun, implementasi Kelas Maya di lapangan seringkali menemui kendala, salah satunya adalah keterbatasan akses internet yang stabil dan merata. Inilah yang kemungkinan besar menjadi penyebab mengapa siswa terpaksa "mayeng-mayeng" atau berkeliaran di sekitar sekolah untuk mencari titik koneksi yang memadai. 
Mereka tidak sedang bolos atau menghindari pelajaran, melainkan berusaha untuk berpartisipasi aktif dalam pembelajaran yang dirancang oleh guru mereka. Dalam situasi seperti ini, pemakluman dari seluruh elemen sekolah menjadi krusial. Guru lain perlu memahami bahwa rekan sejawat mereka sedang mencoba mengimplementasikan metode pembelajaran yang inovatif dan sesuai dengan perkembangan zaman. Petugas piket, yang biasanya bertugas menjaga ketertiban dan keamanan sekolah, perlu memahami konteks situasional ini dan tidak serta-merta menganggap siswa yang berada di luar kelas sebagai pelanggar aturan. 
Kepala sekolah, sebagai pemimpin institusi, memiliki peran penting dalam mensosialisasikan dan mendukung implementasi metode pembelajaran berbasis teknologi ini, termasuk mencari solusi untuk kendala infrastruktur seperti ketersediaan internet. Lantas, muncul pertanyaan menarik: apakah mengevaluasi metode yang digunakan guru merupakan tupoksi seorang petugas piket? Jawabannya, secara umum, tidak. 
Tupoksi utama petugas piket biasanya berkisar pada: Memastikan keamanan dan ketertiban lingkungan sekolah selama jam pelajaran. Mencatat kehadiran dan keterlambatan siswa. Menangani perizinan siswa yang keluar masuk sekolah. Menjadi penghubung informasi antara siswa, guru, dan pihak sekolah. Merespon kejadian insidental atau darurat. Evaluasi metode pembelajaran adalah ranah profesional guru dan kepala sekolah, atau tim khusus yang ditunjuk untuk pengembangan kurikulum dan inovasi pembelajaran. Guru memiliki otonomi dalam memilih dan menerapkan metode pembelajaran yang dianggap paling efektif untuk mencapai tujuan pembelajaran, tentu dengan mempertimbangkan karakteristik siswa dan materi ajar. 
Kepala sekolah bertanggung jawab untuk memantau dan mengevaluasi kualitas pembelajaran secara keseluruhan, memberikan dukungan dan umpan balik kepada guru, serta memastikan bahwa metode yang digunakan selaras dengan visi dan misi sekolah. Dalam konteks siswa yang keluar kelas untuk mencari sinyal internet, peran petugas piket yang lebih tepat adalah: Mencatat siswa yang keluar kelas dengan tujuan mencari koneksi internet (jika diperlukan untuk pendataan). Memastikan siswa tetap berada di area sekolah dan tidak menyalahgunakan waktu di luar kelas. Mengarahkan siswa ke area yang memiliki sinyal internet lebih baik (jika diketahui). 
Berkoordinasi dengan guru yang bersangkutan jika ada siswa yang terlalu lama berada di luar kelas atau menimbulkan potensi masalah. Kesalahpahaman terjadi ketika kita melihat fenomena ini dari sudut pandang aturan dan ketertiban konvensional tanpa memahami konteks pedagogis di baliknya. Pembelajaran Kelas Maya, meskipun menjanjikan, memerlukan dukungan infrastruktur dan pemahaman dari seluruh komunitas sekolah. Alih-alih langsung menghakimi, dialog dan koordinasi antar guru, petugas piket, kepala sekolah, dan bahkan siswa menjadi kunci untuk mengatasi kendala dan mengoptimalkan implementasi metode pembelajaran inovatif ini. 
Pada akhirnya, tujuan utama kita adalah menciptakan lingkungan belajar yang kondusif dan efektif bagi siswa. Jika pemanfaatan Kelas Maya adalah salah satu cara untuk mencapai tujuan tersebut, maka seluruh elemen sekolah perlu berkolaborasi dan saling memahami demi kelancaran proses pembelajaran, meskipun terkadang terlihat "berantakan" di permukaan. Memahami konteks dan berkomunikasi secara efektif adalah langkah awal untuk menghindari kesalahpahaman dan mendukung inovasi dalam dunia pendidikan.

Read More »
25 May | 0komentar

Rahasia di Balik 'Berisik'nya Kelas: Sudahkah Kita Mendengar?

Student Voice
Menggali Suara Siswa untuk Pendidikan yang Lebih Bermakna Sebuah fakta mencengangkan terungkap dalam sebuah forum bertajuk "Voice of Youth": 85% siswa yang ditemui mengaku tidak menyukai kegiatan belajar. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan sebuah alarm keras yang menggugat fondasi pendidikan kita. Apakah selama ini kurikulum, metode pengajaran, dan interaksi di ruang kelas telah benar-benar mendengar suara siswa? Pertanyaan inilah yang menjadi titik awal refleksi mendalam dalam diskusi yang penuh semangat tersebut. 
Lebih jauh, forum ini menyoroti sebuah ironi: anak-anak Indonesia, generasi penerus bangsa, ternyata belum banyak yang mampu mengartikulasikan mimpi masa depan mereka untuk menjadi pemimpin. Dugaan kuat mengarah pada kurangnya pengenalan terhadap potensi diri yang mereka miliki, serta minimnya ruang dialog yang konstruktif antara siswa dan guru. Alia, salah satu peserta forum, membagikan pengalamannya yang kontras saat mengenyam pendidikan di Australia. Di sana, ia merasakan betapa suara siswa dihargai dan didengarkan hingga ke tingkat kebijakan, sebuah praktik yang patut kita cermati dan pelajari. 
Kisah-kisah inspiratif dari panggung dunia turut mewarnai diskusi ini. Nama-nama seperti Malala Yousafzai, Greta Thunberg, dan Melati Wijsen hadir sebagai contoh nyata betapa anak-anak muda mampu memiliki suara yang kuat dan berpengaruh ketika mereka diberi ruang untuk berbicara dan didengarkan dengan sungguh-sungguh. Mereka membuktikan bahwa usia bukanlah penghalang untuk menyuarakan aspirasi dan memperjuangkan keyakinan. 
Dalam sesi tanya jawab yang interaktif, suara-suara dukungan dari para pendidik turut memperkaya diskusi. Bu Ifa, Bu Eva, dan Bu Eli, sebagai representasi guru di lapangan, sepakat bahwa mendengarkan siswa adalah bagian integral dari proses pembelajaran yang bermakna. Mereka menyadari bahwa pemahaman yang mendalam tentang kebutuhan, minat, dan perspektif siswa akan membantu menciptakan lingkungan belajar yang lebih relevan dan engaging. Namun, sebuah pertanyaan kritis dilontarkan oleh Pak Denny Rochman: "Benarkah suara siswa harus selalu didengar?" Ppertanyaan ini memicu diskusi yang lebih nuansif. 
Para peserta sepakat bahwa mendengar tidak berarti serta-merta mengikuti semua keinginan siswa. Esensi dari "student voice" adalah memberikan ruang bagi tumbuhnya kesadaran diri, kemampuan berpikir kritis, dan keberanian untuk mengutarakan pendapat secara konstruktif. Pandangan menarik juga datang dari Pak Ali, seorang Pegiat Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM). Beliau menyebutkan bahwa student voice adalah "suara yang tak tertulis di rapor". Ini adalah dimensi penting yang selama ini seringkali terabaikan karena fokus pendidikan cenderung terpaku pada angka dan nilai. Padahal, pemahaman tentang bagaimana siswa merasakan proses belajar, apa yang mereka butuhkan, dan bagaimana ide-ide mereka dapat diakomodasi, adalah informasi berharga yang dapat meningkatkan kualitas pendidikan secara keseluruhan. 
Suasana diskusi semakin hangat ketika Agnan Rizky, seorang siswa SMK, berbagi keresahannya. Sebagai seorang pelajar yang merasakan langsung dinamika sistem pendidikan, Agnan mengungkapkan kegelisahannya terhadap sistem pendidikan yang seringkali berubah-ubah dan terasa seragam. Ia dengan lugas menyampaikan harapannya agar guru tidak membatasi ide dan kreativitas murid, sehingga potensi unik setiap siswa dapat berkembang secara optimal. Suara Agnan menjadi representasi dari harapan banyak siswa yang ingin merasa didengar, dihargai, dan diberi kebebasan untuk berekspresi dalam proses belajar mereka. Forum "Voice of Youth: Berisik, Bukan Bisik-Bisik" ini menjadi momentum penting untuk merefleksikan kembali arah pendidikan kita. 
Suara siswa bukanlah gangguan yang perlu diredam, melainkan input berharga yang dapat menjadi kompas untuk menciptakan pendidikan yang lebih relevan, inklusif, dan memberdayakan. Mendengarkan "kebisingan" ide dan aspirasi generasi muda adalah langkah awal untuk membangun masa depan pendidikan Indonesia yang lebih cerah dan sesuai dengan kebutuhan zamannya. Sudah saatnya kita membuka telinga lebar-lebar dan mengakui bahwa suara siswa adalah suara perubahan.

Read More »
25 May | 0komentar

Mengapa Literasi Kita Sekadar Scrolling?

Budaya membaca di indonesia yang rendah dan akar permasalahan rendahnya literasi di Indonesia banyak faktor yang mempengaruhi. Kultur di lingkungan siswa dan sekolah sering tidak mendukungnya. Budaya membaca muncul dengan menciptakan lingkungan yang menyenangkan seputar kegiatan membaca. Anda secara tepat menyoroti bahwa persoalannya tidak sesederhana jumlah buku yang dibaca, melainkan menyentuh aspek yang lebih mendasar dalam sistem pendidikan dan budaya kita. Paradoks "Literasi" Digital: Poin tentang kebiasaan membaca komentar online memang ironis. Di satu sisi, masyarakat kita aktif dalam menyerap informasi digital. Namun, aktivitas ini seringkali bersifat fragmentaris, dangkal, dan tidak terstruktur, jauh berbeda dengan proses membaca buku atau artikel yang mendalam dan analitis. "Membaca" dalam konteks ini lebih kepada konsumsi informasi instan, bukan penguasaan pengetahuan yang komprehensif. 

Berawal dari Membaca dan Menulis
Dari pembiasaan membaca dan menulis
Membunuh Keberanian Bertanya: Analisis Anda mengenai bagaimana sistem pendidikan kita cenderung menghargai jawaban cepat dan menghukum pertanyaan adalah inti dari masalah ini. Budaya kelas yang demikian menciptakan iklim di mana: 
Bertanya dianggap aib: Murid yang bertanya seringkali dicap kurang pintar atau lambat memahami. Rasa malu dan takut dihakimi menghambat keinginan untuk bertanya. 

Jawaban adalah tujuan utama: 
Fokus pada hafalan dan reproduksi jawaban yang benar dalam ujian menggeser esensi pembelajaran yang seharusnya berpusat pada pemahaman dan eksplorasi. Kritis dianggap resisten: Sikap mempertanyakan atau mencari sudut pandang lain seringkali disalahartikan sebagai ketidakpatuhan atau bahkan pemberontakan. Akibatnya, generasi yang tumbuh dalam sistem ini kehilangan rasa ingin tahu alami mereka. Mereka terbiasa menjadi penerima pasif informasi, bukan pencari aktif pengetahuan. 
Kemampuan untuk berpikir kritis, menganalisis informasi secara mendalam, dan merumuskan pertanyaan yang relevan menjadi terhambat. Pergeseran Paradigma yang Dibutuhkan: Gagasan Pak Rizal tentang "revolusi kultural" sangat relevan. Perubahan struktural dalam kurikulum atau fasilitas pendidikan saja tidak akan cukup jika tidak diiringi dengan perubahan mendasar dalam cara kita memandang proses belajar dan mengajar. Beberapa poin penting yang perlu dipertimbangkan: Merayakan pertanyaan: Sekolah dan lingkungan belajar harus menciptakan ruang aman dan inklusif di mana pertanyaan dihargai sebagai wujud keingintahuan dan langkah awal menuju pemahaman yang lebih baik. 
Guru perlu memfasilitasi diskusi yang mendorong siswa untuk bertanya dan mengeksplorasi berbagai perspektif. Fokus pada proses, bukan hanya hasil: Penilaian tidak seharusnya hanya berorientasi pada jawaban yang benar, tetapi juga pada kemampuan siswa dalam merumuskan pertanyaan yang baik, melakukan riset, menganalisis informasi, dan mengkomunikasikan pemikiran mereka secara efektif. Ide Anda tentang ujian yang berfokus pada pembuatan pertanyaan sangat menarik dan patut dipertimbangkan. Menumbuhkan budaya membaca yang menyenangkan: Membaca seharusnya tidak menjadi beban atau kewajiban, tetapi sebuah kegiatan yang menyenangkan dan bermanfaat. Menyediakan akses ke buku yang beragam dan menarik, serta menciptakan kegiatan yang mempromosikan kecintaan membaca sejak dini, sangatlah penting. 
Contoh di Inggris di mana anak-anak membaca karena ingin tahu, bukan karena disuruh, adalah cerminan dari budaya membaca yang kuat. Mendorong pembelajaran sepanjang hayat (Learn, Unlearn, Relearn): Konsep ini menekankan pentingnya fleksibilitas dan adaptabilitas dalam belajar. Kita perlu terus belajar, melepaskan pemahaman lama yang tidak lagi relevan, dan belajar kembali dengan perspektif yang lebih segar. Ini membutuhkan keberanian untuk mengakui ketidaktahuan dan terus mencari pemahaman yang lebih mendalam. 
Rendahnya literasi di Indonesia bukan semata-mata persoalan kurangnya minat membaca buku. Akar masalahnya lebih dalam, terkait dengan sistem pendidikan dan budaya yang kurang menghargai pertanyaan, terlalu fokus pada jawaban, dan belum sepenuhnya menumbuhkan budaya membaca yang didasari oleh rasa ingin tahu. Literasi yang sesungguhnya adalah kemampuan untuk berpikir kritis, memahami informasi secara mendalam, dan memiliki keberanian untuk terus bertanya. Untuk meningkatkan literasi, kita perlu melakukan revolusi kultural dalam cara kita melihat belajar dan menumbuhkan generasi yang tidak hanya rajin menjawab, tetapi juga gemar bertanya dan memahami.

Read More »
23 May | 0komentar

Membangun Budaya Referensi Melalui Literasi Sejak Usia Dini

Budaya membaca di Keluarga
Membangun Bangsa Berpengetahuan: Budaya Membaca dan Penggunaan Referensi Sejak Dini Di negara-negara dengan tingkat literasi yang tinggi, budaya membaca bukan sekadar hobi, melainkan fondasi kuat yang berdampak signifikan pada cara individu berpikir dan berinteraksi. Kebiasaan membaca yang ditanamkan sejak usia dini membentuk pola pikir yang kritis, analitis, dan berbasis bukti, di mana penggunaan referensi menjadi bagian tak terpisahkan dari setiap pemikiran dan argumen. Pendidikan literasi di negara-negara ini dimulai dengan menumbuhkan kecintaan dan keingintahuan terhadap buku sejak kelas rendah. 
Kultur sekolah dengan sengaja menciptakan lingkungan yang menyenangkan seputar kegiatan membaca. Dongeng yang memikat, sesi bertukar cerita yang interaktif, hingga tantangan membuat narasi baru menjadi metode yang umum diterapkan. Tujuannya sederhana namun mendasar: menanamkan pesan bahwa membaca adalah aktivitas yang menyenangkan dan membuka jendela dunia. 
Memasuki jenjang Sekolah Dasar kelas 3 hingga 6, tujuan literasi bergeser menuju pengembangan kemampuan untuk menjawab pertanyaan dan memahami suatu konsep berdasarkan data dan pengetahuan yang diperoleh dari buku. Ambil contoh sederhana tentang cokelat. Alih-alih hanya sekadar menyukai rasanya, anak-anak didorong untuk mencari literatur yang relevan. Mereka mungkin menemukan fakta bahwa 80 persen penduduk dunia menyukai cokelat atau bahwa komoditas ini banyak diproduksi di wilayah tertentu. 
Melalui tugas-tugas riset sederhana dengan beragam sumber literatur, tertanamlah pemahaman kultural bahwa membaca adalah kunci untuk memahami suatu hal, bahkan yang tampak sederhana sekalipun. Transisi ke kelas 6 hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP) membawa tantangan literasi yang lebih kompleks. Di tahap ini, siswa dilatih untuk berdebat dan berargumen mengenai berbagai peristiwa atau keputusan, mulai dari kebijakan negara, tindakan seorang pemimpin, hingga isu-isu sosial lainnya. Diskusi dan perdebatan yang konstruktif menjadi bagian rutin di dalam kelas, sebuah kultur yang sejajar dengan praktik di negara-negara maju, seperti halnya diskusi kebijakan KDM yang sering kita jumpai. Namun, dalam mengembangkan kemampuan berdebat, guru menanamkan prinsip-prinsip fundamental. Prinsip pertama adalah fokus pada perilaku kebijakan secara spesifik. 
Diskusi terarah pada substansi kebijakan, seperti kebijakan mengenai barak militer, program makan siang gratis, atau bantuan imigrasi, tanpa terjebak pada penilaian karakter pribadi individu yang terlibat. Hal ini bertujuan untuk menghindari bias subjektif dalam berargumen. Prinsip kedua yang tak kalah penting adalah keharusan mendasarkan setiap argumen pada literature review yang kredibel. Ketika membahas dampak positif program makan siang gratis, misalnya, siswa dituntut untuk menyajikan data dan penelitian terpercaya yang mendukung klaim tersebut, begitu pula sebaliknya. Prinsip ini menjadi pagar pembatas dari perdebatan tanpa dasar atau sekadar adu opini tanpa fakta, seperti yang seringkali disaksikan di media. 

Literasi di keluarga
Pada akhirnya, melalui paparan beragam literatur, individu maupun kelompok didorong untuk membuat pilihan atau keberpihakan berdasarkan pemahaman yang mendalam terhadap perilaku kebijakan tertentu, bukan karena preferensi personal terhadap sosok pembuat kebijakan. Dari proses inilah, generasi muda di negara-negara maju memahami bahwa membaca bukan hanya menambah wawasan, tetapi juga menjadi alat esensial untuk membangun argumen yang kuat dan memahami argumen orang lain secara objektif. 
Perjalanan literasi memang panjang, namun kita dapat memulainya dari diri sendiri dengan membiasakan diri untuk selalu merujuk pada apa yang telah kita baca setiap kali berargumen. Kebiasaan ini secara berkelanjutan akan membantu kita berpikir, bertutur kata, dan bersikap dengan memberdayakan prefrontal cortex – pusat penalaran dan pengambilan keputusan – dan meredam respons emosional atau instingtif.

Read More »
22 May | 0komentar

Ukir Sejarah Dengan Menulis


"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian," Pramoedya Ananta Toer. Kalimat ini seakan menjadi mantra bagi setiap jiwa yang ingin karyanya dikenang sepanjang masa. Menulis bukan sekadar menuangkan kata-kata di atas kertas, melainkan sebuah tindakan untuk mengabadikan pemikiran, perasaan, dan pengalaman hidup. 
 “Menulislah !, Karena tanpa Menulis Engkau akan Hilang dari Sejarah”. Menulislah! Menjadi seorang penulis, memiliki kesempatan untuk membuat sejarah dan memberi kesempatan kepada orang lain untuk mengikuti jejaknya. Dalam dunia ini ada dua jenis kelompok manusia, yakni mereka yang adalah korban sejarah atau pembuat sejarah. Sebagaimana dituliskan oleh P.Ananta Tour diatas. 
 
Niatan awal untuk mengabadikan dengan menulis diblog (www.sarastiana.com) bukan hanya untuk mengukir sejarah seperti yang disamaikan PAT. tetapi lebih agar bermanfaat bagi orang lain yaitu berbagi. Semangat berbagi inilah yang menjadi tajuk dari blog ini. 
Karya lain yang dapat dikenang sebagai mengukir sejarah adalah menerbitkan buku. Menerbitkan buku adalah mewujudkan ide kita agar ada sepanjang masa. Membuat buku dan menerbitkan buku adalah sesuatu yang berbeda. Salah satu hal yang bisa ditinggalkan adalah menulis buku. Yang menjadi masalah adalah bagaimana membuat karya, mengasahnya menjadi sebuah karya yang baik.
Seorang filsuf Prancis yang dikenal sebagai filsuf modern mengatakan membaca buku sama dengan berbicara dengan orang-orang di masa lalu. Menulis buku dan menerbtkan buku adalah dua hal yang berbeda. Karena itu, jauh lebih baik jika seorang penulis bertekun dahulu dalam menulis sampai karyanya berkualitas dan sangat dibutuhkan, maka akibat dari itu adalah menerbitkan buku. 
Hal yang perlu diperhatikan dalam menulis hingga menerbikan buku adalah 4R yaitu: 
1. Renjana (=passion) 
2. Rutin 
3. Review 
4. Ruang 

Renjana 
Renjana adalah sesuatu yang sangat menarik. Mudah dilakukan dan menyenangkan. Karena itu, mulailah dari sesuatu yang dikuasai dengan baik. Cara paling mudah untuk terus menulis adalah merasa sukses untuk melakukan sesuatu. Ibu Farrah memiliki renjana dalam menulis buku anak. Hal tersebut lahir dari kebutuhan dan untuk anak sendiri karena, banyak buku impor, namun sering tidak tepat dengan kondisi sendiri. 

Rutin 
Bukan hanya rutin menulis tapi rutin membaca. Dengan membaca akan otomatis terbingkai untuk menjadi sebuah bahan bacaan. Kosa kata membaca berkaitan dengan kosa kata menulis. Seringlah membaca banyak buku dengan genre masing-masing. Rutin menulis kapanpun dan dimanapun. Penulis hebat selalu menyediakan waktu khusus dan tempat khusus untuk menulis. Sebab, suasana di tempat demikian akan sangat membantu dalam menemukan ide untuk menulis. Saat dalam perjalanan dan tidak bisa menulis, rekamlah peristiwa menggunakan audio recorder untuk membantu merekam tulisan. Lalu, saat mulai menulis gunakanlah rekaman logika, emosi, dan pancaindera. 

Review 
Setelah memiliki kumpulan ide dan tulisan, buatlah review. Sebelum di-review, saat masih dalam model draf tulislah apa adanya. Tak usah mempertimbangkan siapa tokoh, waktu, detail tempat, dan sebagainya. Saat di-review baru dibuat detail semuanya. Misalnya, melihat siapa pasar dari buku yang akan diterbitkan. Siapa audiens dari buku ini. 

Ruang bagi pembaca 
Saat melakukan review berikan ruang bagi pembaca. Artinya, berikan kesempatan bagi pembaca untuk memberikan feedback positif saja, tetapi juga apa yang pembaca merasa sulit untuk mengerti. Misalnya, saat buat buku anak-anak minta anak-anak untuk membaca dulu dan berikan masukan. Bisa juga bagikan di medsos, meminta kolega dan keluarga untuk membaca bukunya. Itu hqal yang baik untuk memberikan motivasi tersendiri dan masukan yang berarti.

Read More »
21 November | 0komentar

Gaya Belajar Generasi Z

Generasi Z kerap disebut sebagai generasi internet yang lahir pada rentang tahun 1997-2012, dimana generasi ini lahir pada zaman teknologi dan informasi yang sudah berkembang dan modern, perkembangan teknologi digital berupa smartphone canggih yang dapat memudahkan masyarakat dalam memperoleh berbagai macam informasi melalui internet dengan mudah dan cepat. Di dalam dunia Pendidikan telah menerapkan pembelajaran berbasis digital dengan memadukan konten pembelajaran berupa suara dan visualisasi gambar yang disajikan oleh guru dan dapat diakses melalui website oleh peserta didik, dengan adanya perubahan cara belajar tentu memengaruhi gaya belajar seorang peserta didik. 
Pada hakikatnya gaya belajar setiap individu tentu berbeda dengan yang dimiliki oleh individu lain. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gaya belajar yang ideal khususnya untuk generasi Z yang berdampingan dengan pembelajaran berbasis media digital. Berdasarkan penelitian oleh data yang sudah ada dengan merujuk kepada satu sumber artikel, Gaya belajar yang dianggap ideal pada zaman serba digital adalah gaya belajar audio visual dimana perpaduan antara suara dengan visualisasi gambar seperti simulasi video yang dapat memudahkan peserta didik dalam memahami suatu konten materi dalam pembelajaran.
Cara tercepat dan optimal bagi setiap individu dalam menerima, menyerap, mengatur, dan memproses informasi yang diterimanya disebut sebagai gaya belajar. De Porter dan Hernacki mengklasifikasikan gaya belajar secara umum menjadi tiga kelompok, yakni gaya belajar visual, auditorial, dan kinestetik. Gaya belajar ini memiliki peran yang signifikan dalam konteks pendidikan, khususnya dalam dinamika proses kegiatan belajar mengajar. 
Menurut Barbara Prashnig, kesesuaian gaya belajar siswa dengan cara mereka belajar dapat membawa dampak positif, termasuk peningkatan prestasi belajar. Beliau juga menyoroti peran penting guru dalam memengaruhi kesuksesan siswa dalam proses belajar. Gaya belajar menjadi elemen kritis yang perlu diperhatikan oleh guru dan siswa karena menjadi kunci bagi keberhasilan pembelajaran siswa. Penting bagi guru untuk memahami variasi gaya belajar yang dimiliki setiap siswa guna memungkinkan siswa belajar secara aktif dan efisien. 
Kesuksesan seorang guru dapat diukur dari kemampuannya memahami kebutuhan individu siswa, termasuk pemahaman akan gaya belajar mereka. Oleh karena itu, guru perlu mengidentifikasi gaya belajar khusus yang dimiliki siswa yang diajarkan, guna mengetahui preferensi belajar mereka. Dengan pemahaman akan kecenderungan gaya belajar siswa, seorang guru dapat merancang pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan mereka, sehingga proses pembelajaran menjadi efektif dan menghasilkan pencapaian hasil belajar yang lebih optimal.

Read More »
24 August | 0komentar

Penguatan Literasi dan Numerasi

Rendahnya tingkat kemampuan literasi dan numerasi Indonesia memang sangat mengkhawatirkan. Survei PISA (Programme for International Student Assessment) pada tahun 2015 dan 2018 lalu menunjukkan kemampuan literasi dan numerasi siswa Sekolah Menengah usia 15 tahun di Indonesia berada di peringkat yang memprihatinkan. 
Dari survei tahun 2015, kompetensi literasi siswa Indonesia berada di peringkat 63 dari 69 negara yang disurvei (OECD, 2016). Sementara, survei tahun 2018 menunjukkan kemampuan literasi siswa Indonesia berada di peringkat 72 dari 77 negara yang disurvei, kemampuan numerasi berada di peringkat 72 dari 78 negara, sedangkan kemampuan sains berada di peringkat 70 dari 78 negara (OECD, 2019).Dari penelitian Miller ini juga ditemukan bahwa lamanya siswa menuntaskan masa wajib belajar ternyata tidak berhubungan erat dengan nilai akhir mereka. Diasumsikan bahwa keberhasilan siswa di sekolah tidak berbanding lurus dengan lamanya mereka sekolah. Ada hal lain yang cukup signifikan yang membuat mereka berhasil dalam belajar, yaitu kemampuan literasi. Negara-negara yang dianggap berhasil dalam pendidikan nasional mereka seperti Finlandia, Norwegia, Islandia, Denmark, dan Swedia memiliki budaya membaca yang sangat kuat. Budaya membaca yang kuat merupakan salah satu strategi terbaik dalam pengembangan kemampuan literasi
Secara umum, pemahaman literasi dan numerasi di sekolah kita masih sangat dasar, yaitu kemampuan membaca, menulis, dan berhitung saja. Tidaklah mengherankan jika pembelajaran literasi dan numerasi dalam sistem pendidikan kita masih bertumpu hanya pada pelajaran bahasa dan matematika. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman tentang literasi dan numerasi sendiri masih belum menyeluruh, khususnya di antara para guru sebagai pihak yang semestinya mengajarkan kemampuan tersebut. Masih ada guru yang masih beranggapan bahwa literasi hanya diajarkan dalam pelajaran bahasa, dan numerasi hanya diajarkan dalam pelajaran matematika. Dengan demikian guru-guru mata pelajaran selain bahasa dan matematika memiliki anggapan yang salah bahwa pembelajaran literasi dan numerasi bukan tanggung jawab mereka, dan tidak ada kaitannya dengan mata pelajaran yang mereka ajar.

Read More »
14 August | 0komentar

Numerasi = Matematika ?

Kemendikbud (2020) mendefinisikan numerasi sebagai kemampuan berpikir menggunakan konsep, prosedur, fakta, dan alat matematika untuk memecahkan masalah kontekstual pada kehidupan sehari-hari yang sesuai untuk individu sebagai warga yang baik. Kemampuan ini sangat penting untuk menjadi modal bagi siswa dalam menguasai mata pelajaran lainnya. Seseorang disebut memiliki literasi numerasi ketika ia memiliki pengetahuan dan kecakapan untuk mendapat, menafsirkan, menggunakan, dan mengomunikasikan angka dan simbol matematika dalam pemecahan berbagai masalah praktis dalam berbagai konteks kehidupan. 
Selain itu, ia mampu menganalisis berbagai bentuk informasi untuk mengambil keputusan. Kemampuan numerasi berkaitan dengan kemampuan mengaplikasikan pengetahuan dasar yang dimiliki, prinsip serta proses matematika ke dalam permasalahan dalam kehidupan sehari–hari misalnya memahami masalah yang disajikan dalam tabel atau diagram, perdagangan dan lain–lain
Cakupan numerasi ,tidak hanya dalam mata pelajaran matematika, meskipun matematika dan numerasi berlandaskan pada pengetahuan dan keterampilan yang sama(Berhitung/hitungan).  Namun cakupan numerasi sangatlah luas meliputi keterampilan mengaplikasikan konsep,fakta, prosedur dalam situasi nyata dalam kehidupan sehari - hari. Keterampilan numerasi bisa ditemukan pada masalah yang tidak terstruktur dan  memiliki banyak cara penyelesaiannya baik yang berhubungan dengan faktor matematis maupun non matematis. 
Matematika adalah suatu pengetahuan dan keterampilan yang abstrak dan kebenarannya absolut, sedangkan numerasi berhubungan dengan sesuatu yang kontekstual dan konkret yang menawarkan pemecahan terhadap suatu masalah yang rill dalam kehidupan. Untuk diketahui jika pembelajaran matematika yang sudah diimplementasikan dalam kehidupan nyata berarti sudah termasuk pembelajaran numerasi. Namun jika pembelajaran hanya murni dan sebatas konsep abstrak dan bersifat teoritis, maka belum bisa dikatakan pembelajaran numerasi. 

Read More »
11 August | 0komentar

Kemampuan Interpersonal dan Literasi


Manfaat literasi yang paling signifikan dirasakan seseorang ialah dalam kemampuannya berbahasa, bukan hanya dalam hal membaca dan menulis, namun juga dalam mendengar dan berbicara. siswa yang menerapkan kemampuan literasi dalam proses belajarnya dapat memahami materi yang diajarkan secara menyeluruh dan mendalam. Kebiasaan membaca dan menyimak berbagai informasi yang disajikan akan menambah, bahkan memperkaya kosa kata, gaya penulisan atau gaya bicara yang akan berdampak baik bagi kemampuan menulis dan berbicara seseorang. Penulis dan pembicara yang mumpuni adalah pembaca dan pendengar yang kuat. 
Semakin banyak membaca dan menyimak, semakin kaya ide, kosa kata, dan gaya penulisan seseorang, sehingga dapat merangkai kalimat-kalimat yang bermakna kuat baik itu dalam bentuk ceramah yang menginspirasi maupun karya tulis yang berkualitas. Bukan hanya memproduksi ceramah dan karya tulis berkualitas, kemampuan literasi membuat seseorang bersikap kritis terhadap apa yang dibaca dan didengar, maupun terhadap keadaan atau situasi yang dihadapinya atau dunia sekitarnya. Dalam hal ini, seorang yang literat tidak mudah menelan informasi yang diterima mentah- mentah. Ia akan menggunakan nalarnya dalam mencerna informasi tersebut sehingga tidak mudah termakan isu kebohongan atau penipuan. 
Seorang yang literat akan selalu mencari kebenaran sejati dari sumber yang kredibel dan bisa dipertanggungjawabkan baik secara moral maupun secara saintifik. Sikap kritis yang dikembangkan melalui literasi ini pun menumbuhkan kebiasaan untuk berani menyampaikan pendapat dengan akurat dan santun, serta menerima pendapat orang, sekalipun pendapat itu berbeda dengan pendapatnya. Tidak hanya berani mengemukakan pendapat, seorang yang literat akan menyampaikan pendapat yang bermakna atau berbobot yang relevan dengan dunia sekitarnya.
Literasi juga mengembangkan kemampuan verbal seseorang sehingga ia mampu memberi respon yang tepat dalam situasi yang berbeda. Dalam hal inilah literasi pun bermanfaat meningkatkan kemampuan interpersonal seseorang dalam berinteraksi atau bekerjasama dengan individu lain atau dalam kelompok. Jika sekolah telah membangun budaya literasi, maka guru dan siswa akan terbiasa mengkonsumsi beraneka ragam bacaan yang akan memberi mereka berbagai manfaat (Thanh, 2018)

Read More »
08 August | 0komentar

Pengembangan Literasi


Seseorang yang literat mampu menggunakan dan mengembangkan bahasa untuk berbagai tujuan dalam berbagai konteks. Kemampuan literasi tingkat lanjut dicapai setelah seseorang mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan watak dalam menggunakan bahasa dengan fasih untuk keperluan belajar atau bekerja dan berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu literasi melibatkan kegiatan reseptif, seperti membaca, mendengar, menyimak, dan kegiatan ekspresif, seperti menulis, berbicara, dan memproduksi teks dalam berbagai bentuk: cetak, ujaran, visual, maupun digital (Australian Curriculum, Assessment, and Reporting Authority, 2010).
Kemampuan literasi yang banyak dipahami sebagai bagian dari pelajaran bahasa saja ternyata sangat relevan untuk diterapkan dalam pembelajaran mata pelajaran lainnya. Sejatinya, pembelajaran apapun pasti melibatkan penggunaan bahasa dalam prosesnya. Oleh sebab itu literasi sangat berperan penting dalam proses belajar mengajar. Manfaat literasi tidak terbatas hanya dalam area membaca dan menulis, tetapi juga akan sangat membantu seorang siswa untuk belajar berbagai mata pelajaran dengan maksimal. Pengembangan kecakapan literasi seharusnya dilakukan setiap waktu di segala mata pelajaran, bukan hanya dalam pelajaran bahasasemata (Thanh, 2018). 
Literasi dapat meningkatkan pemahaman seseorang dalam mengambil intisari dari suatu bacaan sehingga ia mengetahui poin- poin penting dari pelajaran yang diserap. Urgensi pengembangan kemampuan literasi saat ini tidak lepas dari tuntutan global di dunia kerja dan harus mulai diterapkan dalam institusi pendidikan. Kini pengembangan kemampuan multiliterasi dalam dunia pendidikan tidak terlepas dari konsep berbasis kecerdasan majemuk, berbagai cara belajar, dan seni yang telah terbukti mengembangkan kreativitas murid, pengembangan keterampilan dalam bidang teknologi dan komunikasi, serta memahami perbedaan sosial budaya. 
Pengembangan kemampuan-kemampuan tersebut dimulai dari kemampuan pemahaman membaca yang tinggi, kemampuan menulis yang baik, keterampilan berbicara, dan keterampilan dalam berbagai media digital. Dalam pandangan ini, multiliterasi merupakan pendekatan belajar yang dikembangkan berdasarkan kesadaran dan pengakuan atas keberagaman dan kompleksitas perspektif budaya murid, serta keragaman gaya belajar yang dimilikinya. Oleh sebab itu, pendidikan multiliterasi diyakini mampu menjembatani siswa untuk belajar dan berkarya pada abad-21 (Nopilda & Kristiawan, 2018, 218). Dari sini kita melihat bahwa kemampuan literasi tidak hanya dikembangkan dalam pelajaran bahasa. Kemampuan literasi dasar memang mulai dikembangkan dalam pelajaran bahasa, namun kemampuan literasi tingkat lanjut perlu dikembangkan dalam segala aspek kehidupan pembelajar, bukan hanya dalam mata pelajaran lain, tapi juga dalam berbagai kegiatan sehari-hari.

Tiga tujuan utama belajar dan mengajar literasi lintas kurikulum 
  • Untuk memperluas dan mendorong penggunaan keterampilan literasi siswa dengan menyediakan beraneka ragam konteks untuk menggunakan dan mempraktekkan keterampilan tersebut. 
  • Untuk mengidentifikasi keterampilan literasi yang dibutuhkan masing-masing mata pelajaran untuk mendukung proses belajar siswa.
  • Untuk meningkatkan pembelajaran mata pelajaran yang bersangkutan serta sikap siswa terhadap pembelajaran mereka

Read More »
08 August | 0komentar

Kemampuan Literasi Yang Perlu Dikembangkan di Sekolah

Secara spesifik literasi bermakna pengetahuan atau kecakapan dalam bidang atau aktivitas tertentu. Ada banyak jenis literasi yang perlu dikembangkan dalam rangka memiliki kecakapan hidup. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan enam jenis literasi dalam gerakan literasi nasional (gln. kemdikbud.go.id) yang menjadi fokus untuk dikembangkan di sekolah. Keenam jenis literasi tersebut adalah:

1. Literasi Baca Tulis: Pengetahuan dan kecakapan untuk membaca, menulis, mencari, menelusuri, mengolah, dan memahami informasi untuk menganalisis, menanggapi, dan menggunakan teks tertulis untuk mencapai suatu tujuan, mengembangkan pemahaman dan potensi, serta untuk berpartisipasi dalam lingkungan sosial.
2. Literasi Numerasi: Pengetahuan dan kecakapan untuk memperoleh, menginterpretasikan, menggunakan, dan mengomunikasikan berbagai macam angka dan simbol matematika untuk memecahkan masalah praktis dalam berbagai macam konteks kehidupan sehari-hari; lalu menganalisis informasi yang ditampilkan dalam berbagai bentuk (grafik, tabel, bagan, dsb.) untuk mengambil keputusan.
3. Literasi Sains: Pengetahuan dan kecakapan ilmiah untuk mengidentifikasi pertanyaan, memperoleh pengetahuan baru, menjelaskan fenomena ilmiah, serta mengambil simpulan berdasarkan fakta, memahami karakteristik sains, membangun kesadaran bagaimana sains dan teknologi membentuk lingkungan alam, intelektual dan budaya, serta meningkatkan kemauan untuk terlibat dan peduli dalam isu-isu yang terkait sains
4. Literasi Digital: Pengetahuan dan kecakapan untuk menggunakan media digital, alat-alat komunikasi, atau jaringan dalam menemukan, mengevaluasi, menggunakan, membuat informasi, dan memanfaatkannya secara sehat, bijak, cerdas, cermat, tepat, dan patuh hukum dalam rangka membina komunikasi dan interaksi dalam kehidupan sehari-hari.
5. Literasi Finansial: Pengetahuan dan kecakapan untuk mengaplikasikan pemahaman tentang konsep dan risiko, keterampilan, dan motivasi agar dapat membuat keputusan yang efektif dalam konteks finansial. Seseorang yang melek finansial akan dapat mengatur dan menggunakan uang dengan bijaksana sehingga terlepas dari kekuatiran dan hutang sehingga memiliki kualitas hidup yang sejahtera di masa depan.
6. Literasi Budaya dan Kewarganegaraan: Pengetahuan dan kecakapan dalam memahami dan bersikap terhadap kebudayaan Indonesia sebagai identitas bangsa. Sementara itu, literasi kewargaan adalah pengetahuan dan kecakapan dalam memahami hak dan kewajiban sebagai warga masyarakat.
Mengembangkan kemampuan literasi tidak hanya tentang pengetahuan dan keterampilan secara spesifik seperti disebut di atas, tetapi sikap dan watak yang dikembangkan dari kemampuan literasi akan membantu seseorang untuk belajar dengan maksimal dan menggunakan kemampuan literasinya secara luas dalam kehidupan sehari-hari. Jika telah terbiasa menerapkan kemampuan literasi ini dalam rutinitas sehari-hari, maka seseorang akan lebih mudah untuk mengelola hidupnya dan menjadi pribadi yang bertanggung jawab. Tanggung jawab ini yang membuat seorang dengan kemampuan literasi yang baik dapat bekerjasama dengan orang lain karena memiliki keterbukaan terhadap beragam ide, pendapat, maupun teks dari beraneka latar belakang budaya.

Read More »
06 August | 0komentar

Perluas Wawasan Dengan Literasi


Terkait dengan literasi dasar sebagai kemampuan yang dimiliki seseorang yang telah mengenali dan menggunakan bahasa dalam bentuk tulisan. Kemampuan dikembangkan sehingga akan mendapatkan manfaat yang lebih maksimal dalam penerapan sehari-hari. Apakah hanya dengan membaca tanpa memahami lebih dalam tentang apa yang dibaca, apalagi jika tidak dapat mengaitkannya dengan dunia sekitar beserta kebutuhannya? 
Kompetensi literasi yang perlu dikembangkan seseorang dalam kehidupannya adalah kemampuan dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup (Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2016-2020). Literasi tidak hanya terkait dengan kegiatan membaca dan menulis, tetapi lebih dalam lagi dapat memahami dan memaknai informasi yang diperoleh dan merefleksikan kembali pengetahuan tersebut sehingga dapat berguna untuk memenuhi berbagai kebutuhan dirinya dan dunia sekitarnya. 
Kemampuan dan kecakapan literasi tingkat lanjut mencakup pengetahuan dan kecakapan seseorang dalam mengakses, memahami, dan mengevaluasi informasi, untuk kemudian memaknai informasi tersebut dengan cara mengaitkannya dengan berbagai kebutuhan diri dan dunia sekitarnya. Lalu informasi yang telah diolah itu disampaikan atau diekspresikan dalam berbagai bentuk (lisan maupun tulisan) yang bermanfaat untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan di tengah masyarakat.
Literasi memperluas wawasan dan memperkuat kepribadian seseorang. Kebiasaan membaca sangat berperan memperluas wawasan seseorang karena terbiasa dengan paparan berbagai ide, pemikiran, ilmu, dan sudut pandang. Bukan hanya segi pengetahuan yang bertambah, seseorang akan memiliki pikiran yang terbuka untuk menerima perbedaan. Dengan demikian menumbuhkan toleransi terhadap berbagai perbedaan yang terdapat dalam masyarakat. Seseorang dapat menumbuhkan empatiterhadap sesamanya, dan memandang perbedaan sebagai hal yang normal dan bahkan baik bagi masyarakat.

Read More »
06 August | 0komentar

Membangun Pemahaman Literasi dan Numerasi


Meningkatkan kemampuan literasi dan numerasi murid-siswa kita tidak cukup hanya dengan program-program pembelajaran terkini. Guru yang memiliki kemampuan literasi dan numerasi tahap lanjut pasti memahami pentingnya tujuan dan manfaat memiliki kemampuan literasi dan numerasi dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu mereka akan menerapkan kedua kemampuan tersebut dalam metode pengajarannya.
Guru dapat belajar apa itu literasi, numerasi, literasi dan numerasi serta prinsip pengembangannya di sekolah. Pentingnya memiliki dan mengembangkan kedua kemampuan tersebut baik dalam proses belajar mengajar, maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan pemahaman yang benar, diharapkan guru mata pelajaran apapun dapat menerapkan dan mengembangkan kemampuan literasi dan numerasi, lalu mengajarkannya pada murid-siswa mereka.
Pemahaman tentang cara berpikir yang runtut, sistematis dan logis dapat dikembangkan dengan menggunakan alat bantu berupa bagan kerangka berpikir (graphic organizers). Alat bantu ini dapat digunakan guru bukan hanya dalam proses mengajar di kelas, namun dapat dimulai dari keseharian para guru, sehingga kemampuan literasi dan numerasi menjadi bagian dari gaya hidup guru. 
Dengan memulai dari keseharian mereka, diharapkan kemampuan literasi dan numerasi dapat terbangun dalam pikiran para guru sehingga dapat terintegrasi dalam rencana pembelajaran yang disusun mereka. Kemampuan yang dibangun dari keseharian juga membuat para guru lebih fasih menerapkan kemampuan tersebut. 
Dengan demikian diharapkan dalam proses pembelajaran di kelas dengan sendirinya guru akan membangun kebiasaan literasi dan numerasi dalam proses belajar siswa.Selain alat bantu untuk pengembangan cara berpikir, contoh dan ide bagaimana kemampuan literasi dan numerasi dapat diterapkan dalam rencana dan proses pembelajaran mata pelajaran yang berbeda-beda. Guru diharapkan dapat mengambil contoh dan mengembangkan ide dalam rencana dan proses pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan literasi dan numerasi dalam mata pelajaran mereka.

Workshop Penguatan Literasi-Numerasi



Read More »
06 August | 0komentar