Assalamu'alaikum ! welcome to Media Pendidikan.| Contact | Register | Sign In

Guru Menulis? Siapa Takut!

Bersama Mereka Yang Muda,Gupres 2017

Guru mengajar, itu sih mah biasa, bukan berita. Guru menulis, itu baru berita! Guru mengajar dan terus mengajar tidaklah aneh. Guru yang gemar membaca dan terus membaca, kemudian menulis apalagi berganti dari satu buku ke buku lainnya, juara lomba, ini yang luar biasa. Sebab, banyak guru hanya membaca satu-dua buku. Itu pun buku-buku yang menjadi bahan ajarnya. Jarang ia membaca buku selain buku yang menjadi bahan ajarnya. Pada artikel yang terdahulu (Semua Berawal dari Membaca) penulis telah memanjang-lebarkan tentang membaca. Menulis dan membaca bak dua sisi mata uang, yang selalu berdampingan. 
Seharusnya guru sangat kompeten dalam menulis tapi permasalahannya sekarang adalah guru tidak melaksanakan apa yang seharusnya di kerjakan. Seabreg kegiatan dari persiapan mengajar, proses mengajar dan evaluasi.Semua berkaitan dengan tulis menulis dan membaca. Coba kita lihat berapa teman guru kita yang membuat RPP, menyusun jurnal mengajar, merekap nilai, membuat analisis nilai ....mungkin hanya segelintir guru.
Apakah guru malas menulis? Jawabannya pasti bermacam ragam. Namun dalam kenyataannya, memang sangat sedikit guru yang menulis. Jangankan untuk menulis di media massa, jurnal atau yang lainnya, untuk membuat karya tulis yang diajukan dalam pengurusan kenaikan pangkat saja, banyak yang menunda- nundanya. Kronisnya untuk membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran saja banyak yang tidak membuat. Kondisi seperti ini tentu merupakan sesuatu yang memprihatinkan bagi kita. Padahal, guru harus membuat karya tulis; salah satu unsur pengembangan profesi, kalau mau cepat naik pangkat. Jika dijawab betul dan menganggap semua guru malas membaca pastilah tidak benar anggapan tersebut. Semua tidak bisa disamakan.

Kutu Buku?

Ada guru yang betul-betul gemar menulis. Contohnya Om Jay. Penulis buku, aktif menulis di Kompasiana dan seabreg kegiatan yang berkaitan dengan menulis. Guru yang gemar menulis tentu akan gemar membaca, untuk memunculkan ide dan gagasan. Dia membaca semua buku, tak hanya yang menjadi bahan ajarnya. Malah rutin membaca koran (walaupun koran sekolah), sesekali membeli majalah. Untuk membeli buku yang dibacanya pun tak hanya buku baru yang relatif mahal harganya, tapi juga membaca buku yang dibelinya di pasar buku murah. Namun, jarang memang guru yang seperti ini. Jarang sekali. 
Guru senang membaca, kutu buku, atau pelahap buku, bisa dijamin sangatlah sedikit jumlahnya, apalagi yang mau menulis. Tulisan Agus M Irkham dalam artikelnya yang berjudul Menulis Artikel Itu Gampang mengatakan bahwa peserta seminar yang berjumlah 50 orang, semuanya guru Bahasa Indonesia tingkat SLTA, kurang dari 10 persen yang suka menulis dan yang mengirimkan tulisannya untuk dikirim ke media adalah 0 persen, alias tidak ada bin tidak pernah. Ini hal yang sangat ironi, bagaimana dengan guru mapel lain. 
Kelompok guru yang suka menulis tentu akan suka membaca boleh dikatakan pesuka buku, kutu buku. Mereka mau menyisihkan uang gajinya untuk dapat mengurangi rasa kehausan terhadap keinginan meminum segarnya ilmu pengetahuan. Terlebih mereka telah mendapatkan sertifikasi. Disaat sesama guru antri/ inden mobil, dia rela menyisihkan uang serifikasi itu untuk meningkatkan kemampuan mengajarnya.
Banyak kendala yang mengahadang aktivitas menulis di kalangan guru. Pertama, dari sisi guru, mereka banyak yang tidak mempunyai budaya membaca yang baik. Mereka umumnya miskin bahan bacaan atau referensi. Ada ungkapan yang mengatakan, penulis yang baik berawal dari pembaca yang baik. Coba saja amati di sekeliling kita. Berapa banyak guru yang mempunyai perpustakaan pribadi. Berapa banyak guru yang sering mengunjungi perpustakaan umum untuk mencari referensi. Berapa banyak guru yang berlangganan koran atau majalah? Berapa banyak guru yang bisa dan biasa berselancar di internet? Jawaban atas pertanyaan-tertanyaan tersebut dapat mencerminkan apakah guru mempunyai budaya membaca yang baik atau sebaliknya. Kedua, motivasi yang rendah di kalangan guru untuk menulis. Tidak sedikit guru yang walapun telah banyak memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas, namun enggan untuk menulis. Dalam kaitan ini Agus Irkham- penulis artikel kondang yang ratusan tulisannya terserak di Koran Suara Merdeka, Wawasan, Kaltim Pos, Solo Post dan sebagainya, menegaskan bahwa kegagalan seorang untuk menjadi penulis, minimal menulis, justru lebih banyak disebabkan oleh lemahnya motivasi. Termasuk habit atau kebiasaan hidup yang dapat mendukung keprigelan dan tradisi menulis yang kuat. Kendala ketiga, guru yang miskin gagasan. Andaikan para guru di seluruh Indonesia dapat menulis buku untuk para muridnya. Andaikan para guru dapat memperkaya para muridnya dengan cerita-cerita yang mengasyikkan, ditulis oleh mereka di karya-karya tulis mereka. Andaikan artikel-artikel, opini dan celoteh guru banyak mengisi lembaran surat kabar dan majalah. Namun, mengapa tidak banyak guru yang mau menulis. Kurangnya gagasan dalam menulis membuat guru tidak tahu apa yang akan ditulis. Bahkan untuk memulai menulis kata pertama dalam karangannya sering membuatnya berkali-kali membuang kertas Akibat salah memilih kata – kata. 
Juara Blog Guru Tk.Prop.Jawa Tengah
Pertama- tama yang terbayang di benak saya ketika disuruh menulis adalah kalimat apa yang pertama akan saya tulis. Pengalaman pertama menulis ketika saya mengikuti lomba menulis untuk guru yang diadakan oleh Agupena Jawa Tengah dengan Tema Membudayakan menulis di Kalangan Guru, mengirimkan artikel di majalah Infokompetensi yang Insyaallah akan dimuat pada penerbitan edisi terbaru, dan Alhamdulillah dimuat, semakin menambah semangat pada diri saya untuk mencoba dan mencoba, terus kirim artikel ke berbagai media. Alhamdulillah ditayangkan juga masuk pada kolom Opini di koran Satelit Pos Jawa Tengah. Mengirimkan hasil PTK dan ditayangkan di Jurnal Profesionalitas terbitan PGRI. Sampai sekarang masih terus mencoba untuk mengasah kemampuan menulis dan pengembangan diri sebagai guru yang patut ditiru minimal oleh anak kita sendiri lewat menulis, sebagai bentuk merubah cara mengajar agar lebih bermakna, sehingga bermuara pada kebangkitan pendidikan Indonesia.

Share this article now on :

6 comments: