Saya yakin, curhatan ini tidak hanya mewakili satu atau dua guru, melainkan ribuan pendidik di seluruh penjuru negeri. Curhatan tentang murid-murid yang "sulit diatur, susah dimotivasi, dan terus-terusan asyik dengan gawai." Perasaan lelah, makan hati, dan marah yang seolah menjadi rutinitas harian.
Ironisnya, saat mendengar curhatan itu, saya sendiri sering berpikir, "Kalau mereka curhat ke saya, saya curhat ke siapa?" Sebab, saya pun mengalami hal yang sama. Bahkan, lebih parah. Ada momen di mana saya kehilangan kontrol diri, membentak, dan menggebrak meja, berharap anak-anak akan patuh karena takut. Namun, alih-alih dihormati, saya justru merasa merendahkan diri. Rasanya seperti mengemis rasa hormat yang sejatinya tak bisa didapat dengan paksaan.
Penyesalan selalu datang setelah amarah mereda. "Kenapa tadi harus bentak? Kenapa tidak bisa mengendalikan emosi?" Padahal, kita selalu menuntut diri untuk menjadi teladan, sabar, dan bijaksana. Tapi ya, kita manusia. Guru juga punya batas kesabaran.
Namun, sebuah pencerahan datang dari teori magic ratio 1:5 milik John Gottman, seorang pakar psikologi hubungan. Menurutnya, satu tindakan negatif yang kita lakukan, seperti bentakan atau sindiran, butuh lima kali lipat tindakan positif untuk bisa memperbaiki hubungan yang rusak. Satu bentakan sama dengan lima kali kebaikan. Satu hardikan sama dengan lima kali senyum, apresiasi, atau ucapan yang membangun kepercayaan. Jika tidak, bentakan itu akan membekas di hati murid, layaknya tato yang sulit dihilangkan.
Saya mencoba menerapkan teori ini. Setiap kali saya lepas kendali, saya tahu saya harus "membayar utang" itu lima kali lipat. Saya mulai dari hal-hal kecil: tersenyum lebih dulu, menyapa, memberikan apresiasi, dan menunjukkan bahwa saya percaya pada mereka. Perlahan, hubungan yang sempat retak kembali membaik. Murid yang tadinya tertutup, akhirnya mulai terbuka.
Tentu saja, kondisi setiap murid dan guru berbeda. Namun, satu hal penting yang saya pelajari adalah: bentakan itu ibarat api, dan anak-anak adalah kertas. Sekali terbakar, kertas tidak akan pernah kembali putih bersih. Dibutuhkan upaya ekstra untuk membuatnya mau kembali menerima kita.
Kita sering lupa, kita menuntut anak-anak untuk menghormati kita, tetapi kadang kita lupa bagaimana rasanya menjadi mereka. Kunci dari rasa hormat bukanlah intimidasi, melainkan dibangun melalui kebaikan, yang jauh lebih banyak dari kesalahan kita.
Mungkin, selama ini kita terlalu bangga saat berhasil membuat kelas hening karena ketakutan. Padahal, esensi dari menjadi guru adalah menciptakan ruang yang aman bagi murid, bukan ruang yang kosong dan sunyi.
Bentakan itu murah, semua orang bisa melakukannya. Tapi membangun kembali kepercayaan setelah marah? Itu adalah investasi lima kali lipat yang akan menentukan bagaimana kita akan dikenang. Apakah sebagai guru yang meninggalkan trauma, atau sebagai guru yang mengajarkan tentang makna kemanusiaan?
Jadi, ketika ada yang bilang, "Anak-anak sekarang susah diatur," mungkin jawaban yang paling jujur bukanlah "iya, mereka susah," melainkan: "Iya, mungkin kita yang belum memberikan lima kali kebaikan setelah satu kali kebablasan."
Sumber : Grup Wa GSM Kab. Purbalingga
Post a Comment