Ki Hadjar menjelaskan bahwa tujuan pendidikan yaitu: menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Oleh sebab itu, pendidik itu hanya dapat menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya kekuatan kodrat anak”
1. Arti dan Maksud Pendidikan
Kata ‘Pendidikan’ dan ‘Pengajaran’ itu seringkali dipakai bersama-sama. Sebenarnya
gabungan kedua kata itu dapat mengeruhkan pengertiannya yang asli. Ketahuilah,
pembaca yang terhormat, bahwa sebenarnya yang dinamakan ‘pengajaran’ (onderwijs)
itu merupakan salah satu bagian dari pendidikan. Maksudnya, pengajaran itu tidak lain
adalah pendidikan dengan cara memberi ilmu atau berfaedah buat hidup anak-anak,
baik lahir maupun batin.
Sekarang saya akan menerangkan arti dan maksud pendidikan (opvoeding) pada
umumnya. Dengan sengaja saya memakai keterangan ‘pada umumnya’, karena dalam
arti khususnya, pendidikan mempunyai beragam jenis pengertian. Bisa dikatakan bahwa
tiap-tiap aliran hidup, baik aliran agama maupun aliran kemasyarakatan mempunyai
maksud yang berbeda. Tidak hanya maksud dan tujuannya yang berbeda-beda, cara
mendidiknya juga tidak sama. Mengenai keadaan yang penting ini, saya kan
menerangkan secara lebih luas.
Walaupun bermacam-macam maksud, tujuan, cara, bentuk, syarat-syarat dan alat-alat
dalam soal pendidikan, pendidikan yang berhubungan dengan aliran-aliran hidup yang
beragam itu memiliki dasar-dasar atau garis-garis yang sama.
Menurut pengertian umum, berdasarkan apa yang dapat kita saksikan dalam beragam
jenis pendidikan itu, pendidikan diartikan sebagai ‘tuntunan dalam hidup tumbuhnya
anak-anak’. Maksud Pendidikan yaitu: menuntun segala kodrat yang ada pada anakanak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggitingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat.
Pertama kali harus diingat, bahwa pendidikan itu hanya suatu ‘tuntunan’ di dalam hidup
tumbuhnya anak-anak kita. Artinya, bahwa hidup tumbuhnya anak itu terletak di luar kecakapan atau kehendak kita kaum pendidik. Anak-anak itu sebagai makhluk, manusia,
dan benda hidup, sehingga mereka hidup dan tumbuh menurut kodratnya sendiri.
Seperti penjelasan sebelumnya, bahwa ‘kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu’
tiada lain ialah segala kekuatan yang ada dalam hidup batin dan hidup lahir dari anakanak itu karena kekuasaan kodrat. Kita kaum pendidik hanya dapat menuntun tumbuh
atau hidupnya kekuatan-kekuatan itu, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan
dasarnya) hidup dan tumbuhnya itu.
Uraian tersebut akan lebih jelas jika kita ambil contoh perbandingannya dengan hidup
tumbuh-tumbuhan seorang petani (dalam hakikatnya sama kewajibannya dengan
seorang pendidik) yang menanam padi misalnya, hanya dapat menuntun tumbuhnya
padi, ia dapat memperbaiki kondisi tanah, memelihara tanaman padi, memberi pupuk
dan air, membasmi ulat-ulat atau jamur-jamur yang mengganggu hidup tanaman padi
dan lain sebagainya. Meskipun pertumbuhan tanaman pada dapat diperbaiki, tetapi ia
tidak dapat mengganti kodrat-iradatnya padi. Misalnya ia tak akan dapat menjadikan
padi yang ditanamnya itu tumbuh sebagai jagung. Selain itu, ia juga tidak dapat
memelihara tanaman padi tersebut seperti hanya cara memelihara tanaman kedelai
atau tanaman lainnya. Memang benar, ia dapat memperbaiki keadaan padi yang
ditanam, bahkan ia dapat juga menghasilkan tanaman padi itu lebih besar daripada
tanaman yang tidak dipelihara, tetapi mengganti kodrat padi itu tetap mustahil. Demikianlah pendidikan itu, walaupun hanya dapat ‘menuntun’, akan tetapi faedahnya
bagi hidup tumbuhnya anak-anak sangatlah besar.
3. Perlukah Tuntunan Pendidikan itu?
Meskipun pendidikan itu hanya ‘tuntunan’ saja di dalam hidup tumbuhnya anak-anak,
tetapi perlu juga pendidikan itu berhubungan dengan kodrat keadaan dan keadaannya
setiap anak. Andaikata anak tidak baik dasarnya, tentu anak tersebut perlu
mendapatkan tuntunan agar semakin baik budi pekertinya. Anak yang dasar jiwanya
tidak baik dan juga tidak mendapat tuntunan pendidikan, tentu akan mudah menjadi
orang jahat. Anak yang sudah baik dasarnya juga masih memerlukan tuntunan. Tidak saja dengan tuntunan itu ia akan mendapatkan kecerdasan yang lebih tinggi dan luas,
akan tetapi dengan adanya tuntunan itu ia dapat terlepas dari segala macam pengaruh
jahat.
Tidak sedikit anak-anak yang baik dasarnya, tetapi karena pengaruh-pengaruh
keadaan yang buruk, kemudian menjadi orang-orang jahat.
Pengaruh-pengaruh yang dimaksudkan itu ialah pengaruh yang muncul dari beragam
jenis keadaan anak. Anak yang satu mungkin hidup dalam keluarga yang serba
kekurangan, sehingga ditemui beragam jenis kesukaran yang menghambat kecerdasan
budi anak. Bisa juga dalam keluarga itu tidak ditemui kemiskinan keduniawian, akan
tetapi amat kekurangan budi luhur atau kesucian, sehingga anak-anak mudah terkena
pengaruh-pengaruh yang jahat.
Menurut ilmu pendidikan, hubungan antara dasar dan keadaan itu terdapat adanya
‘konvergensi’. Artinya, keduanya saling mempengaruhi, hingga garis dasar dan garis
keadaan itu selalu tarik-menarik dan akhirnya menjadi satu.
Mengenai perlu tidaknya tuntunan dalam kehidupan manusia, sama artinya dengan soal
perlu tidaknya pemeliharaan pada tumbuh-kembangnya tanaman. Misalnya, kalau
sebutir jagung yang baik dasarnya jatuh pada tanah yang baik, banyak air, dan
mendapatkan sinar matahari yang cukup, maka pemeliharaan dari bapak tani tentu akan
menambah baiknya keadaan tanaman. Kalau tidak ada pemeliharaan, sedangkan
keadaan tanahnya tidak baik, atau tempat jatuhnya biji jagung itu tidak mendapat sinar
matahari atau kekurangan air, maka biji jagung itu (walaupun dasarnya baik), tidak akan
dapat tumbuh baik karena pengaruh keadaan. Sebaliknya kalau sebutir jagung tidak baik
dasarnya, akan tetapi ditanam dengan pemeliharaan yang sebaik-baiknya oleh bapak
tani, maka biji itu akan dapat tumbuh lebih baik daripada biji lainnya yang juga tidak baik
dasarnya.
4. Dasar Jiwa Anak dan Kekuasaan Pendidikan
Yang dimaksud dengan istilah ‘dasar-jiwa’ yaitu keadaan jiwa yang asli menurut
kodratnya sendiri dan belum dipengaruhi oleh keadaan di luar diri. Dengan kata lain,
keadaan jiwa yang dibawa oleh anak ketika lahir di dunia. Mengenai dasar jiwa yang
dimiliki anak-anak itu, terdapat tiga aliran yang berhubungan dengan soal daya Pertama, yaitu anak yang lahir di dunia itu diumpamakan seperti sehelai
kertas yang belum ditulis, sehingga kaum pendidik boleh mengisi kertas yang kosong itu
menurut kehendaknya. Artinya, si pendidik berkuasa sepenuhnya untuk membentuk
watak atau budi seperti yang diinginkan. Teori ini dinamakan teori rasa (lapisan lilin yang
masih dapat dicoret-coret oleh si pendidik). Namun, aliran ini merupakan aliran lama
yang sekarang hampir tidak diakui kebenarannya di kalangan kaum cendikiawan.
Kedua, ialah aliran negatif, yang berpendapat, bahwa anak itu lahir sebagai sehelai
kertas yang sudah ditulisi sepenuhnya, sehingga pendidikan dari siapapun tidak mungkin
dapat mengubah karakter anak. Pendidikan hanya dapat mengawasi dan mengamati
supaya pengaruh-pengaruh yang jahat tidak mendekati diri anak. Jadi, aliran negatif
menganggap bahwa pendidikan hanya dapat menolak pengaruh-pengaruh dari luar,
sedangkan budi pekerti yang tidak nampak ada di dalam jiwa anak tak akan diwujudkan.
Ketiga, ialah aliran yang terkenal dengan nama convergentie-theorie.
Teori ini
mengajarkan, bahwa anak yang dilahirkan itu diumpamakan sehelai kertas yang sudah
ditulisi penuh, tetapi semua tulisan-tulisan itu suram. Lebih lanjut menurut aliran ini,
pendidikan itu berkewajiban dan berkuasa menebalkan segala tulisan yang suram dan
yang berisi baik, agar kelak nampak sebagai budi pekerti yang baik. Segala tulisan yang
mengandung arti jahat hendaknya dibiarkan, agar jangan sampai menjadi tebal, bahkan
makin suram.
5. Tabiat yang Dapat dan yang Tidak Dapat Berubah
Menurut convergentie-theorie, watak manusia itu dibagi menjadi dua bagian. Pertama,
dinamakan bagian yang intelligible, yakni bagian yang berhubungan dengan kecerdasan
angan-angan atau pikiran (intelek) serta dapat berubah menurut pengaruh pendidikan
atau keadaan. Kedua, dinamakan bagian yang biologis, yakni bagian yang berhubungan
dengan dasar hidup manusia (bios = hidup) dan yang dikatakan tidak dapat berubah lagi
selama hidup.
Yang disebut intelligible yang dapat berubah karena pengaruh misalnya kelemahan
pikiran, kebodohan, kurang baiknya pemandangan, kurang cepatnya berpikir dan
sebagainya.
Dengan kata lain, keadaan pikiran, serta kecakapan untuk menimbang-nimbang dan kuat-lemahnya kemauan. Bagian yang disebut ‘biologis’ yang tak dapat
berubah ialah bagian-bagian jiwa mengenai ‘perasaan’ yang berjenis-jenis di dalam jiwa
manusia. Misalnya, rasa takut, ras malu, rasa kecewa, rasa iri, rasa egoisme, rasa sosial,
rasa agama, rasa berani, dan sebagainya. Rasa-rasa itu tetap pada di dalam jiwa
manusia, mulai anak masih kecil hingga menjadi orang dewasa.
Seringkali anak yang penakut, sesudah mendapatkan didikan yang baik akan segera
hilang rasa takut tersebut.
Sebenarnya anak itu bukan berubah menjadi orang yang
berwatak pemberani, hanya saja rasa takutnya itu tidak nampak karena sudah
mendapatkan kecerdasan pikiran. Akibatnya, anak tersebut mulai pandai menimbang
dan memikir sesuatu sehingga dapat memperkuat kemauannya untuk tidak takut. Hal
inilah yang dapat menutup rasa takut yang asli dimiliki anak tersebut. Karena
ketakutannya itu hanya ‘tertutup’ saja oleh pikirannya, maka anak tersebut terkadang
diserang rasa takut dengan tiba-tiba. Keadaan ini terjadi jika pikirannya sedang tak
bergerak. Kalau pikirannya tak bergerak seberat saja, maka ia seketika akan takut lagi
menurut dasar biologisnya sendiri.
Demikian pula orang yang bertabiat pemalu, belas-kasihan, bengis, murka, pemarah dan
sebagainya, selama ia sempat memikirkan segala keadaannya, maka ia dapat menahan
nafsunya yang asli. Namun, jika pikirannya tidak sempat bergerak (dalam keadaan yang
tiba-tiba datangnya), tentulah tabiat-tabiatnya yang asli itu akan muncul dengan sendiri.
6. Perlunya Menguasai Diri dalam Pendidikan Budi Pekerti
Watak biologis dan tidak dapat lenyap dari jiwa manusia sangat banyak contohnya. Kita
juga dapat melihat dalam kehidupan setiap manusia. Misalnya, orang yang karena
pendidikannya, keadaan dan pengaruh lainnya, seharunya berbudi dermawan. Namun
demikian, jika ia memang mempunyai dasar watak kikir atau pelit, maka ia kan selalu
kelihatan kikir, walaupun orang tersebut tahu akan kewajibannya sebagai dermawan
terhadap fakir miskin (ini pengaruh pendidikannya yang baik).
Semasa ia tidak sempat
berpikir, tentulah tabiat kikir orang tersebut itu akan selalu kelihatan. Setidak-tidaknya
kedermawanan orang itu akan berbeda dengan orang yang memang berdasar watak
dermawan. Janganlah pendidik itu berputus asa karena menganggap tabiat-tabiat yang biologis
(hidup perasaan) itu tidak dapat dilenyapkan sama sekali. Memang benar kecerdasan
intelligible (hidup angan-angan) hanya dapat menutupi tabiat-tabiat perasaan yang
tidak baik, akan tetapi harus diingat bahwa dengan menguasai diri (zelfbeheersching)
secara tetap dan kuat, ia akan dapat melenyapkan atau mengalahkan tabiat-tabiat
biologis yang tidak baik itu. Jadi, kalau kecerdasan budi yang dimiliki orang tersebut
sungguh baik, yaitu dapat mengadakan budi pekerti yang baik dan kokoh sehingga dapat
mewujudkan kepribadian (persoonlikjkheid) dan karakter (jiwa yang berasas hukum
kebatinan), maka ia akan selalu dapat mengalahkan nafsu dan tabiat-tabiatnya yang asli
dan biologis tadi.
Oleh karena itu, menguasai diri (zelfbeheersching) merupakan tujuan pendidikan dan
maksud keadaban. ‘Beschaving is zelfbeheersching’ (adab itu berarti dapat menguasai
diri), demikian menurut pengajaran adat atau etika.
Kita sekarang sampai pada pembahasan ‘budi pekerti’ atau ‘watak’ diartikan sebagai
bulatnya jiwa manusia. Dalam bahasa asing, disebut sebagai ‘karakter’, yaitu jiwa yang
berasas hukum kebatinan. Orang yang mempunyai kecerdasan budi pekerti akan
senantiasa memikirkan dan merasakan serta memakai ukuran, timbangan dan dasardasar yang pasti dan tetap. Watak atau budi pekerti bersifat tetap dan pasti pada setiap
manusia,sehingga kita dapat dengan mudah membedakan orang yang satu dengan yang
lainnya.
Budi pekerti, watak, atau karakter merupakan hasil dari bersatunya gerak pikiran,
perasaan, dan kehendak atau kemauan sehingga menimbulkan tenaga. Perlu diketahui
bahwa budi berarti pikiran-perasaan-kemauan, sedangkan pekerti artinya ‘tenaga’. Jadi
budi pekerti merupakan sifat jiwa manusia, mulai angan-angan hingga menjelma
sebagai tenaga.
Dengan adanya budi pekerti, setiap manusia berdiri sebagai manusia, dengan dasardasar yang jahat dan memang dapat dihilangkan, maupun dalam arti neutraliseeren
(menutup, mengurangi) tabiat-tabiat jahat yang biologis atau yang tak dapat lenyap
sama sekali karena sudah Bersatu dengan jiwa.
Disadur dari Lampiran 1 Modul 1.1. Guru Penggerak
No comments:
Post a Comment