Assalamu'alaikum ! welcome to Media Pendidikan.| Contact | Register | Sign In

Harga Mahal dari Satu Bentakan

Bagi sebagian guru, mungkin ada masanya kita merasa lelah, jengkel, dan frustrasi. Kita melihat anak-anak yang sulit diatur, tak termotivasi, dan lebih asyik dengan gawainya. Hati terasa panas, dan kadang tanpa sadar, satu bentakan meluncur dari mulut kita.
Kita teriak. Kita gebrak meja. Tujuannya? Agar mereka takut, agar mereka tahu siapa yang berkuasa di kelas. Anehnya, setelah melampiaskan emosi itu, seringkali bukannya lega, kita malah merasa menyesal. Rasa bersalah itu datang menghampiri. "Kenapa tadi harus membentak? Bukannya guru harus jadi teladan?" Kita tahu guru juga manusia biasa, bukan malaikat. Tapi, tetap saja, ada rasa malu karena merasa telah gagal mengendalikan diri.

Rasio Ajaib 1:5 
Ternyata, perasaan bersalah itu bukan sekadar halusinasi. Ada landasan ilmiahnya. John Gottman, seorang pakar psikologi hubungan, menemukan sebuah konsep yang dikenal sebagai rasio ajaib 1:5. Teori ini menyatakan bahwa untuk setiap interaksi negatif—seperti bentakan, sindiran, atau perlakuan kasar—diperlukan lima kali interaksi positif untuk mengembalikan hubungan ke titik semula.

Satu bentakan = lima kebaikan
Satu hardikan = lima kali harus tersenyum, menyapa, mengapresiasi, memberikan kepercayaan, atau sekadar berbisik, "Kamu bisa, aku percaya sama kamu." Bayangkan, jika kita membentak seorang anak, luka emosional yang tercipta itu seperti tato di hati mereka. Tidak mudah hilang. Hubungan yang tadinya utuh bisa retak. Dan untuk merekatkan kembali, kita perlu usaha ekstra yang besarnya lima kali lipat. Jika tidak, anak-anak akan terus mengingat luka itu. Mereka mungkin diam, tapi bukan karena hormat. Mereka diam karena takut.

Membayar Utang Emosional
Mungkin selama ini kita, para guru, sering lupa. Kita ingin anak-anak menghormati kita, tetapi terkadang kita sendiri lupa bagaimana rasanya menjadi mereka. Dan ternyata, kunci dari rasa hormat itu bukan berasal dari rasa takut, melainkan dibangun melalui kebaikan—kebaikan yang lima kali lipat lebih banyak dari kesalahan kita.
Membentak itu mudah dan murah. Siapa pun bisa melakukannya. Tapi, membangun ulang kepercayaan setelah marah? Itu adalah investasi lima kali lipat. Investasi inilah yang akan menentukan bagaimana kita akan dikenang oleh murid-murid kita. Apakah kita akan diingat sebagai guru yang menciptakan trauma, atau sebagai guru yang mengajarkan mereka tentang arti manusia dan kemanusiaan?
Jadi, jika ada yang bertanya, "Kenapa anak-anak sekarang sulit diatur?" Mungkin jawaban yang paling jujur bukanlah "mereka memang susah." Melainkan, "Mungkin kita saja yang kurang lima kali kebaikan, setelah satu kali kebablasan."
Share this article now on :

Post a Comment