Assalamu'alaikum ! welcome to Media Pendidikan.| Contact | Register | Sign In

Mencegah Bangsa Menjadi Surface Learner

deep drilling
Deep Learning atau Deep Drilling? Saat Pendidikan Terjebak dalam Paradoks Beberapa tahun belakangan, istilah deep learning menjadi perbincangan hangat di dunia pendidikan. Dari seminar mewah hingga workshop di hotel berbintang, konsep ini dielu-elukan sebagai napas baru yang akan merevolusi cara belajar. Namun, di tengah gemerlapnya jargon dan kutipan ilmiah, muncul pertanyaan menggelitik: benarkah kita sedang menerapkan deep learning? Atau jangan-jangan, yang kita lakukan hanya deep drilling?

Membedah Konsep: Surface vs. Deep Learning
Secara teoritis, perbedaannya sangat jelas. Menurut Marton dan Saljo (1976), surface learner adalah pembelajar yang berorientasi pada motivasi eksternal. Mereka belajar hanya untuk mendapatkan nilai tinggi, lulus ujian, atau sekadar memenuhi tuntutan administrasi. Strategi yang mereka gunakan pun cenderung dangkal: menghafal, mencatat, dan mengulang-ulang materi tanpa pemahaman mendalam.
Sebaliknya, deep learner digambarkan sebagai pembelajar yang motivasinya berasal dari dalam diri. Mereka mencari makna, menghubungkan ide-ide, dan mengajukan pertanyaan filosofis seperti, "Bagaimana pengetahuan ini relevan dengan kehidupan nyata saya?" Tentu saja, pendekatan ini dianggap lebih berkelas, lebih bermakna, dan menjanjikan hasil jangka panjang yang lebih baik.

Mencegah Bangsa Menjadi Surface Learner
Pertanyaan besarnya adalah: apakah kita sekarang sedang menjadi bangsa surface learner yang dikemas sebagai deep learner, atau kita memang deep learner yang terpaksa menjadi surface demi laporan administrasi?
Jawabannya mungkin ada pada kejujuran kita. Mari kita akui, untuk sementara ini, kita berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, ada semangat dan gagasan revolusioner dari deep learning. Di sisi lain, ada tuntutan sistem yang masih berorientasi pada angka dan formalitas.
Tantangan kita bukan lagi memahami teori, melainkan berani melawan arus. Berani memprioritaskan pemahaman di atas nilai, eksplorasi di atas hafalan, dan relevansi di atas tuntutan administrasi. Karena pada akhirnya, pendidikan yang sesungguhnya bukanlah tentang berapa banyak angka yang dicetak, melainkan seberapa dalam makna yang tertanam dalam diri setiap pembelajar.
Share this article now on :

Post a Comment