Assalamu'alaikum ! welcome to Media Pendidikan.| Contact | Register | Sign In

Deep Learning dan Ironi di Lapangan

deep learning
Di satu sisi, seminar dan workshop gencar menyuarakan pentingnya deep learning, sebuah konsep yang menjanjikan pembelajaran bermakna dan relevan. Namun, ketika kita menengok praktik di lapangan, kita disuguhkan sebuah pemandangan ironis. Perilaku di sekolah justru kembali ke budaya lama yang sangat berorientasi pada ujian standar.
Kita melihat para guru sibuk menyiapkan siswa untuk TKA (Tes Kemampuan Akademik). Siswa dijejali dengan latihan soal, buku-buku TKA yang katanya tidak wajib justru menjadi barang yang harus dimiliki, dan lab komputer hanya ramai saat ada jadwal ujian. Seluruh ekosistem pendidikan seolah bergerak cepat hanya demi mendapatkan angka yang bagus, seolah angka-angka itulah tujuan akhir dari proses belajar.
Ini adalah sebuah paradoks. Kita mengampanyekan deep learning, pendekatan yang menekankan pada pemahaman internal dan relevansi, tetapi pada saat yang sama, kita mendorong praktik yang sangat surface learner: motivasi eksternal, hafalan, dan hasil instan. Hasilnya? Pendidikan kita seperti terjebak dalam disonansi kognitif, di mana narasi di atas panggung tidak sinkron dengan realitas di ruang kelas.
Laporan akademik yang sering dijadikan pembenaran, sebetulnya penting bagi siapa? Bagi siswa, yang membutuhkan pemahaman hidup? Bagi guru, yang ingin melihat siswa berkembang? Atau bagi pihak-pihak yang membutuhkan grafik dan data yang mentereng untuk laporan tahunan?
Pada akhirnya, kita harus jujur. Apakah kita sedang menjadi bangsa surface learner yang dikemas sebagai deep learner, atau kita memang deep learner yang terpaksa menjadi surface demi laporan administrasi?
Share this article now on :

Post a Comment