Assalamu'alaikum ! welcome to Media Pendidikan.| Contact | Register | Sign In

"Laundry Karakter ?"

Praktik Pembelajaran Mendalam (PM)
Orang tua mengharapkan kepada sekolah seperti nyuci di loundry saja, rapih itu barang (Rapi, pintar, sopan dan lainnya, berkarakter). Dalam prosesnya jika ada kotaran yang membandel pokoknya taunya wangi itu pakaian. Kalau sampai ada treamen lain meski membandel (baca: merokok disekolah) tidak boleh diapa-apakan. Sekolah. Dulu, ia adalah taman. Tempat menumbuhkan budi. Hari ini, bagi sebagian besar orang tua, sekolah seperti telah bertransformasi menjadi "Mesin Cuci Karakter Premium."
Anak-anak masuk, ditaruh, kemudian harapan besarnya: keluar harus kinclong. Rapi, pintar, sopan, hafal Pancasila, bisa mengaji, nilai sempurna, dan—yang paling penting—"laku" di dunia kerja. Wah, kayak mesin cuci premium sing bisa nyalonin anak sekalian, biar nyenengke kalo dilihat.
Benar, sekolah seolah diposisikan sebagai "laundry" di mana kita cukup memasukkan kotoran (karakter yang belum matang) dan mengambilnya kembali dalam keadaan bersih total, wangi, dan terlipat rapi.

Padahal, mari kita jujur: sekolah itu ya bukan tempat nyuci karakter.

Karakter Digodok di Rumah, Bukan di Sekolah
Karakter, moral, dan budi pekerti itu adalah masakan rumahan. Ia:
Digodok soko rumah (dimasak dari rumah).
Direbus karo teladan (direbus dengan keteladanan).
Dikukus karo kasih sayang (dikukus dengan kasih sayang).
Digoreng karo obrolan setiap malam sebelum tidur (digoreng dengan obrolan intim setiap malam).

Namun, berapa banyak orang tua hari ini yang berpikir: "Pokoknya anakku tak sekolahkan di tempat paling mahal, paling bagus, paling modern... beres!"
Lalu, bagaimana peran orang tua? Kita seperti menyerahkan motor rusak ke bengkel terus ditinggal dolan (diserahkan ke bengkel lalu ditinggal bermain). Motor mungkin bisa diservis, tapi anak? Anak itu jiwa, Mas. Bukan sparepart!
Sikap ini adalah bentuk delegasi tanggung jawab yang paling berbahaya. Kita berharap institusi pendidikan menambal lubang yang kita ciptakan di rumah.

Yang Kudu Sekolah , Ya Kita Kabeh
Terus terang jujur saja, yang sesungguhnya kudu sekolah ki ya kita kabeh kita semua. Orang tua perlu menempuh sekolah kehidupan yang tiada akhir. Sekolah termahal bagi anak adalah perilaku orang tuanya. Anak belajar bukan dari teori, tapi dari cara kita hidup.

Kita harus belajar menerima keunikan anak, bukan cuma menuntut kesempurnaan.
Kita harus belajar sabar, bukan cuma menuntut kecepatan hasil.
Kita harus belajar jadi teladan, belajar ngomong sing empuk (berbicara dengan lembut), bukan cuma nyuruh dan ngomel.
Jika kita ingin anak saleh, ya kita yang harus menjadi teladan kesalehan. Jika kita ingin anak jujur, ya kita yang harus jujur dalam segala hal, bahkan dalam hal-hal kecil.

Guru: Bukan Sekadar Penggugur Tugas
Pesan ini juga berlaku bagi para pendidik di sekolah. Jangan pernah puas hanya menjadi "penggugur tugas." Datang–mengajar-pulang–setor nilai. Yo wes, kayak barang-barang pajangan (Ya sudah, seperti barang pajangan).
Guru sejati hadir ketika ia merasakan dirinya juga sebagai orang tua (meskipun bukan biologis). Ketika itulah guru hadir bukan sebagai birokrat pendidikan, melainkan sebagai cahaya.
Mengutip perkataan bijak, esensi mendidik yang terpenting justru adalah mentransfer rasa, cinta, dan makna. Makna tentang kehidupan yang jujur, tentang perjuangan, dan tentang kemanusiaan.

Sekolah: Taman, Bukan Pabrik Produk
Ki Hajar Dewantara (KHD) sudah lama mengingatkan kita. Sekolah seharusnya menjadi Taman Siswa, bukan pabrik, dan bukan pula laundry.
Sekolah harusnya menjadi tempat anak tumbuh, bukan dibentuk. Anak adalah benih yang harus disiram, bukan adonan yang harus dicetak.
Tempat anak mencari jati diri, bukan dipaksa seragam, baik seragam penampilan maupun seragam pemikiran.
Anak kita itu bukan semacam produk. Jika cacat (gagal ujian) lantas dibuang. Bukan juga obyek proyek yang harus sempurna dalam deadline nilai. Mereka adalah proses tumbuh yang panjang, kadang mbulet (berliku), tapi penuh harapan.
Share this article now on :

Post a Comment