Assalamu'alaikum ! welcome to Media Pendidikan.| Contact | Register | Sign In
Showing posts with label Sekolah menyenangkan. Show all posts
Showing posts with label Sekolah menyenangkan. Show all posts

Pentingnya Ikatan Emosional Guru dan Murid

Pernahkah Anda merasakan momen ini di kelas? Anda sudah menyiapkan materi dengan sepenuh hati, media pembelajaran yang menarik, bahkan lagu yang sedang viral agar suasana kelas lebih hidup. Namun, saat pelajaran dimulai, bukannya antusiasme yang Anda dapat, melainkan keheningan dan tatapan datar dari deretan "pot bunga" di depan Anda. Rasanya seperti presentasi di depan kursi kosong.
Jika ya, Anda tidak sendiri. Momen tersebut seringkali menjadi titik balik bagi banyak guru, termasuk saya. Saya sadar, mungkin masalahnya bukan pada materi yang kurang seru, atau saya yang kurang atraktif. Justru, inti masalahnya ada pada sesuatu yang lebih mendasar: kita belum terhubung. Belum "klik" dengan para murid. Frekuensi kita belum bertemu.
Pengalaman ini, ditambah dengan pembelajaran dari Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), membuka mata saya pada satu hal krusial: engagement. Sebelum kita bicara soal rumus, teori, kompetensi, atau target kurikulum, hal pertama yang harus dibangun adalah ikatan. Sebuah koneksi emosional yang mungkin tidak terlihat di layar, tapi sungguh terasa di hati.
Seperti yang Profesor Rita Pierson sampaikan dalam TED Talk-nya yang viral, "Kids don't learn from people they don't like." Anak-anak tidak akan belajar dari guru yang tidak mereka sukai. Namun, "suka" di sini bukan berarti guru harus menjadi influencer yang lucu atau populer. Ini tentang guru yang hadir secara emosional, yang tulus, dan yang membuat anak merasa: "Di kelas ini, aku aman untuk salah."
Membangun Fondasi Kepercayaan dan Rasa Aman
Maka, jangan heran jika di minggu pertama sekolah, saya memilih untuk tidak langsung memulai pelajaran formal. Tidak ada salahnya kok, jika waktu itu kita gunakan untuk benar-benar berkenalan. Bukan cuma menanyakan nama dan cita-cita, tapi lebih dalam: "Apa yang membuatmu semangat datang ke sekolah?", "Apa hal kecil yang membuatmu takut di kelas?", atau "Kapan terakhir kali kamu merasa diterima apa adanya?".
Bagaimana mungkin anak-anak bisa merasa nyaman belajar jika mereka belum merasa aman menjadi diri mereka sendiri? Bagaimana mereka bisa berani berpikir kritis jika setiap kesalahan langsung ditertawakan, dicoret, atau disalahkan? Ini seperti adegan di kompetisi memasak yang penuh tekanan. Di kelas saya, saya ingin mereka tahu: salah itu tidak apa-apa. Salah adalah tanda bahwa kamu sedang belajar. Tidak perlu takut. Di sini, kamu diterima, bahkan dengan segala kekuranganmu yang justru membuatmu menjadi manusia seutuhnya.
Oleh karena itu, di awal-awal masuk kelas, saya lebih banyak mengobrol, bermain, melempar pertanyaan-pertanyaan ringan, atau bahkan mengajak mereka menulis harapan di kertas warna-warni bersama-sama. Saya percaya, pembelajaran itu bukan soal seberapa cepat Anda menyampaikan materi, tapi seberapa dalam anak-anak mau menerima. Dan penerimaan itu hanya bisa terjadi jika ada rasa percaya.
Guru: Lebih dari Sekadar Robot Kurikulum
Kita ini guru, bukan robot kurikulum. Kita adalah manusia yang tugasnya bukan hanya mengajar, tetapi juga menuntun dan menemani mereka bertumbuh. Dan proses menuntun itu membutuhkan kedekatan, membutuhkan hati. Jadi, untuk rekan-rekan guru yang sedang bersemangat menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) atau Rencana Pelaksanaan Mengajar (RPM), menulis Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) atau Lembar Kerja Murid (LKM), dan mengutak-atik Canva untuk media ajar yang memukau, saya sangat salut! Semangat Anda luar biasa.
Namun, di tengah kesibukan itu, jangan lupa untuk menyiapkan waktu sekadar mendengar. Duduk bersama, mengobrol dari hati ke hati, dan membangun bonding. Karena kadang, anak-anak lebih membutuhkan itu daripada PowerPoint 20 slide dengan font kekinian dan animasi tingkat tinggi. Percayalah, begitu kita berhasil "mengklik" hati mereka, barulah kita bisa "mengklik" slide dengan penuh keyakinan. Karena pendidikan yang bermakna dimulai dari hubungan yang tulus.

Read More »
17 July | 0komentar

Suara Murid sebagai Pusat Pembelajaran

Pendidikan yang transformatif bukanlah tentang mengisi bejana kosong, melainkan tentang menyalakan api. Dan percayalah, api itu sudah berkobar di dalam diri setiap murid kita. Seringkali, kita, para pendidik dan orang dewasa, cenderung melihat suara murid sebagai pelengkap, hiasan di pinggir panggung utama pembelajaran. Namun, sudah saatnya kita menggeser paradigma itu. Sudah saatnya kita merayakan suara murid (student voice) sebagai jantung dari proses pembelajaran itu sendiri.
Mengapa begitu penting? Karena pendidikan yang bermakna dan mendalam tumbuh dari keberanian murid untuk berbicara dan dari kesediaan kita untuk mendengarkan.

Bukan Sekadar Pelengkap, tapi Fondasi Pembelajaran
Bayangkan sebuah ruang kelas di mana murid tidak hanya diizinkan berbicara, tetapi didorong untuk melakukannya. Ruang di mana ide-ide mereka dihargai, pertanyaan-pertanyaan mereka didalami, dan perspektif mereka membentuk arah diskusi. Inilah esensi dari ruang berbagi yang merayakan suara murid.
Ketika kita memberikan kesempatan bagi murid untuk mengungkapkan pemikiran, perasaan, dan pengalaman mereka, kita tidak hanya memberdayakan mereka; kita juga memperkaya proses pembelajaran itu sendiri. Murid bukan lagi penerima pasif informasi, melainkan agen aktif dalam konstruksi pengetahuan mereka. Mereka menjadi pemilik pembelajaran mereka.

Mengapa Suara Murid Begitu Kuat?
  • Meningkatkan Keterlibatan dan Motivasi: Ketika murid merasa didengar dan dihargai, mereka menjadi lebih terlibat dalam pembelajaran. Rasa memiliki ini memicu motivasi intrinsik yang jauh lebih kuat daripada instruksi satu arah. 
  • Mengembangkan Pemikiran Kritis dan Kreativitas: Dengan mengungkapkan ide-ide mereka, murid dilatih untuk menganalisis, mengevaluasi, dan mensintesis informasi. Ini adalah lahan subur untuk tumbuhnya pemikiran kritis dan kreativitas. 
  • Membangun Keterampilan Berkomunikasi dan Berkolaborasi: Ruang berbagi melatih murid untuk mengartikulasikan pikiran mereka dengan jelas, mendengarkan dengan empati, dan berkolaborasi dengan orang lain, keterampilan yang tak ternilai di dunia nyata. 
  • Menciptakan Lingkungan Belajar yang Inklusif: Suara murid membantu kita memahami keberagaman kebutuhan, minat, dan gaya belajar mereka. Ini memungkinkan kita untuk menciptakan lingkungan belajar yang lebih inklusif dan responsif. 
  • Mengidentifikasi Kebutuhan dan Potensi Tersembunyi: Murid seringkali tahu apa yang mereka butuhkan untuk belajar dengan lebih baik. Dengan mendengarkan mereka, kita dapat menemukan hambatan yang mungkin tidak terlihat dan menggali potensi yang belum tergali. 

Sebuah Ajakan untuk Membuka Telinga dan Hati 
Untuk kita, para pendidik, orang tua, dan semua orang dewasa yang peduli dengan masa depan pendidikan, ini adalah sebuah ajakan. Sebuah ajakan untuk membuka telinga dan hati kita lebar-lebar. 
  • Ciptakan Ruang Aman: Pastikan setiap murid merasa aman untuk berbicara, untuk berpendapat, bahkan untuk membuat kesalahan. Bebaskan mereka dari rasa takut dihakimi. 
  • Dengarkan dengan Aktif: Ini lebih dari sekadar mendengar kata-kata. Ini tentang memahami makna di balik kata-kata, emosi, dan niat. Ajukan pertanyaan yang menggugah, tunjukkan minat yang tulus. 
  • Validasi Perspektif Mereka: Meskipun kita mungkin tidak selalu setuju, penting untuk mengakui dan memvalidasi perspektif mereka. Ini membangun kepercayaan dan rasa hormat. 
  • Berikan Kesempatan Nyata: Libatkan murid dalam perencanaan pelajaran, evaluasi, bahkan dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi pengalaman belajar mereka. 
  • Jadikan Dialog Dua Arah: Pembelajaran adalah sebuah tarian, bukan monolog. Jadikan dialog sebagai inti dari setiap interaksi. 

Mari kita singkirkan anggapan bahwa kita adalah satu-satunya sumber pengetahuan. Mari kita rayakan keberanian murid untuk bersuara, karena dalam setiap suara itu, tersimpan potensi tak terbatas untuk sebuah pendidikan yang lebih hidup, lebih relevan, dan lebih manusiawi. Mari kita bangun ruang berbagi yang menjadikan suara murid sebagai pusat dari segalanya, karena di sanalah masa depan pembelajaran sejati dimulai.

Read More »
03 July | 0komentar

Saat Tidur Jadi Metafora

Tidur Adalah Usaha Termudah Menghargai Waktu Libur: Sebuah Renungan tentang Pendidikan dan Apresiasi Judul di atas mungkin terdengar kontradiktif, bahkan mungkin mengundang senyum. Bagaimana bisa tidur dianggap sebagai bentuk apresiasi terhadap waktu libur? Bukankah seharusnya waktu luang diisi dengan aktivitas produktif, pengembangan diri, atau petualangan seru? Namun, di balik judul yang sekilas nyeleneh ini, tersembunyi sebuah refleksi mendalam tentang nilai sesungguhnya dari waktu istirahat dan, yang lebih penting lagi, bagaimana kita sebagai masyarakat dan institusi memberikan apresiasi terhadap keberhasilan. 
Meskipun secara harfiah saya tidak akan membahas detail tidur di hari libur kali ini, frasa "tidur adalah usaha termudah menghargai waktu libur" justru menjadi metafora sempurna untuk mengajak kita merenungkan: apakah kita sudah cukup menghargai proses dan beragam bentuk keberhasilan, ataukah kita terlalu sibuk mengejar validasi eksternal yang seragam dan bersifat permukaan? Pendidikan: Mencetak Manusia atau Portofolio? 
Pertanyaan yang terus bergelora dalam benak kita adalah: "Sebenarnya sekolah ini tempat mendidik manusia… atau mendidik portofolio?" Pertanyaan ini bukan tanpa alasan. Setiap musim penerimaan siswa baru, pemandangan yang lazim kita jumpai adalah semaraknya spanduk-spanduk besar di depan sekolah. "Selamat kepada Ananda Budi, diterima di UGM. Terima kasih telah mengharumkan nama sekolah." Begitu bunyi salah satu contohnya, lengkap dengan foto siswa yang tersenyum bangga mengenakan jaket almamater kampus impian. 
Ucapan selamat bertebaran di media sosial, kepala sekolah ikut mengunggah, dan alumni pun turut bangga. Tentu saja, kebahagiaan ini patut dirayakan. Siapa yang tidak bangga melihat muridnya sukses menembus perguruan tinggi top? Namun, di tengah euforia itu, kerap kali ada ganjalan yang mengusik: bagaimana dengan "Siti"? Siti, mungkin, diterima di STIE Tri Dharma, sebuah universitas swasta yang lokasinya agak masuk gang, tidak sepopuler UGM. Ia mendaftar sendiri, menyiapkan berkas di sela-sela membantu orang tuanya menjaga warung. 
Tidak ada spanduk untuk Siti. Tidak ada ucapan "terima kasih telah mengharumkan nama sekolah." Keberhasilannya seolah lenyap dalam bayang-bayang prestasi yang "layak dipajang." Ini memicu pertanyaan krusial: jangan-jangan selama ini yang kita apresiasi itu bukan perjuangan, tapi branding? Bahkan, ironisnya, fenomena ini semakin tervalidasi dengan maraknya seminar tentang branding sekolah. Seolah-olah, nilai sebuah institusi pendidikan diukur dari seberapa banyak "produk unggulan" yang bisa dipamerkan di katalog prestasinya. 
Ketika Apresiasi Hanya untuk yang Terpilih Maka, kembali kita merenung: Apakah kita benar-benar sedang mendidik manusia sesuai versi terbaik dirinya? Atau kita sedang mencetak ‘produk unggulan’ buat katalog prestasi institusi? Prestasi memang penting, itu tidak bisa dimungkiri. Namun, apakah hanya mereka yang diterima di perguruan tinggi negeri favorit yang disebut "berhasil"? 
Bagaimana dengan mereka yang melanjutkan ke politeknik kecil, atau bahkan memilih untuk bekerja terlebih dahulu demi bisa melanjutkan kuliah tahun depan? Apakah perjuangan mereka tidak layak disebut sebagai hasil pendidikan juga? Apakah ketekunan dan kerja keras mereka dalam menghadapi realitas hidup tidak pantas mendapatkan apresiasi? 
Seringkali, tanpa disadari, kita sedang diam-diam ikut menyaring manusia dengan standar yang kita anggap ‘layak ditampilkan di spanduk’. Seolah-olah, ada kriteria tidak tertulis tentang "alumni sukses" yang hanya mencakup mereka dengan label-label bergengsi. Yang lainnya? Ya, mereka memang alumni juga, tapi "bukan yang itu lho… yang itu…" Sebuah pengabaian halus yang dapat melukai semangat dan memupus rasa bangga. 
Pendidikan Sejati Melampaui Baliho Penulis artikel ini teringat pengalamannya sendiri: masuk universitas dengan jurusan Pendidikan Teknik Mesin yang kala itu tidak termasuk kategori favorit. Namun, dari sana ia tetap bisa tumbuh, belajar, dan menjadi manusia yang utuh. Ia kemudian menjadi seorang guru, dan dari sanalah ia menyadari: jangan-jangan sekolah memang lupa, bahwa menjadi manusia itu bukan perlombaan banner. 
Menjadi manusia berarti tumbuh, berkembang, dan memberikan kontribusi dalam berbagai bentuk, terlepas dari label institusi atau popularitas. Pendidikan sejati seharusnya tentang memfasilitasi setiap individu untuk mencapai potensi terbaiknya, bukan sekadar mencetak daftar prestasi yang seragam. Kamu Sudah Masuk Hati Kami Maka, melalui artikel ini, sebuah pesan penting ingin disampaikan: Untuk kamu yang diterima di mana pun – baik di perguruan tinggi negeri, swasta, akademi, bahkan "sekolah kehidupan" itu sendiri – ketahuilah, kamu juga bagian dari perjuangan kami. 
Perjuanganmu, usahamu, dan semua tetes keringatmu dalam meraih mimpi adalah bagian tak terpisahkan dari misi pendidikan. Jika sekolah ini benar-benar mendidik manusia, maka tak satupun perjuanganmu akan luput dari apresiasi. Mungkin namamu tidak terpampang di baliho besar di pinggir jalan, namun percayalah, kamu sudah masuk hati kami. 
Yang terpenting dari segalanya adalah: teruslah bertumbuh. Teruslah belajar, beradaptasi, dan berkembang, dengan atau tanpa spanduk ucapan selamat. Karena pada akhirnya, nilai sejati seorang manusia tidak diukur dari seberapa megah pengakuan eksternal yang ia dapatkan, melainkan dari seberapa besar ia mampu menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri, dan seberapa besar dampaknya bagi dunia di sekitarnya.
Sumber : Grup WA GSM Kab. Purbalingga.

Read More »
29 June | 0komentar

Bawah Tumpukan Dokumen Kurikulum

Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum
Semester telah usai. Pembagian raport akan dibagikan esok Pagi (20/6/2025). Buku catatan penuh kejadian, rekap nilai rapi, dan lembar asesmen otentik tersusun lengkap dengan bukti-bukti foto siswa yang berproyek, mengenakan baju adat, menanam pohon, atau berdiskusi layaknya anak-anak Google. Namun, di tengah hiruk pikuk akhir tahun ajaran, sebuah pertanyaan mengganjal di benak: sebenarnya yang belajar itu siapa sih? 
Konon, negeri ini memiliki peta jalan pendidikan. Tetapi, rasanya kita ini seperti orang yang memegang Google Maps, namun tetap saja bertanya arah pada ibu-ibu yang sedang menyapu halaman rumahnya. Peta ada, tapi kita bingung. Dan lucunya, saat kebingungan melanda, yang paling sering diubah adalah kurikulum. Dalihnya, ini hanya pendekatan. Tapi kenapa pendekatannya selalu menyeret gerbong yang berisi seluruh "persilatan"? Pendekatan berubah, namun guru dan murid justru semakin pontang-panting mengejar istilah baru yang sejatinya hanya ganti baju dari istilah lama. 
Di lapangan, yang terjadi adalah guru sibuk mencari waktu untuk membuat dokumen, bukan untuk memikirkan muridnya. Pendekatan katanya berpusat pada murid dan mendalam. Tapi murid mana yang ditanya keinginannya? Yang terjadi justru guru dipasung dengan format yang bahkan kepala sekolahnya pun kadang kebingungan membacanya. Inovasi, katanya. Tapi mengapa guru dan murid selalu yang ketinggalan kereta? Coba saja, para pembuat kebijakan itu, pernahkah menginap semalam saja di desa yang listriknya masih seperti suasana Senin pagi: naik-turun tak menentu? Pernahkah merasakan sinyal hanya bisa didapat jika memanjat pohon jambu? Pernahkah melihat anak-anak tanpa alas kaki berjalan puluhan kilometer menuju sekolahnya? 
Namun, begitu melihat konten TikTok sekolah yang digelontorkan miliaran, mereka puas dan tersenyum bangga. Sementara itu, anak-anak di desa diminta membuat proyek Pancasila yang nilai-nilai silanya pun mereka tak pahami. Yang penting ramai, yang penting terlihat kreatif. Artefak dikumpulkan, tapi jiwanya kosong. Kolaborasi, katanya. Namun yang terjadi? Anak-anak dibariskan dalam kasta akademik, bahkan akan ada kasta sekolah. Kompetisi dibungkus kolaborasi, seperti bakso isi cabai rawit; terlihat adem, tapi membuat hati panas. 
Kurikulum Merdeka katanya tidak diganti, namun terasa seperti gerbong yang berganti, dan kita semua disuruh ikut arusnya. Saya mulai curiga, yang doyan eksperimen ini siapa? Murid dan guru yang belajar, atau pembuat kebijakan yang lagi hobi mencoba-coba teori pendidikan yang paling jitu? Pendidikan seharusnya membuat manusia berpikir. Tetapi sistemnya justru sibuk membuat manusia yang bisa dikontrol. 
Di kelas, anak-anak mengerjakan tugas dengan tatapan kosong. Hafal rumus, iya. Tapi arah hidup? Mereka tidak tahu. Mereka sibuk menata resume sekolah dan "muka" pendidikan, namun semakin jauh dari jati dirinya. Sumatif? Ya, anak-anak tetap dipaksa ikut tes. Dan nilai akhirnya membuat wali murid tersenyum lebar, padahal mereka tak tahu isi kepala anaknya. Karakter? Ah, itu seperti bumbu penyedap di mi instan; disebut-sebut, tapi tak terasa. Sementara gurunya? Masih harus memikirkan biaya sekolah anaknya dan cicilan yang tersenyum lebar di awal bulan, sambil memutar otak bagaimana membuat murid-murid "terinspirasi". 
Lah, siapa yang memberi inspirasi untuk guru? Ini bukan ironi. Ini luka. Luka yang dirayakan setiap hari agar terlihat normal. Saya bermimpi… ya, masih berani bermimpi, bahwa pendidikan suatu hari kembali menjadi taman berpikir. Bukan ruang penuh soal pilihan ganda, bukan panggung lomba yang dipoles untuk postingan pamer pembuat kebijakan, bukan tempat uji coba kurikulum yang tak sempat matang. Taman itu, seharusnya menjadi tempat manusia tumbuh, saling memahami, menemukan dirinya, dan mencintai proses berpikir sebagai proses menjadi manusia utuh. Untuk siapa pendidikan Indonesia ini? Untuk siapa kita mengajar? Kalau jawabannya hanya untuk melanggengkan sistem, maka sungguh, kita sudah gagal… bahkan sebelum lonceng pulang berbunyi. 
Dan saya... saya hanya ingin besok pagi masuk kelas tanpa merasa sedang ikut lomba siapa paling patuh pada edaran tentang kurikulum pendekatan terbaru. Saya hanya ingin menjadi guru yang menemani anak-anak menjadi manusia. Tidak lebih, tapi semoga itu cukup.
Sumber: Gurp WA GSM Kab. Purbalingga

Read More »
19 June | 0komentar

Ketika Guru Pun Harus Belajar Mengakui


Maaf Ya, Nak... Pak Guru Juga Masih Belajar "Maaf ya, Nak..."
 
Seringkali kalimat itu terucap dalam hati para guru, namun tak jarang sulit untuk dilafalkan secara langsung. Kepada kalian, murid-muridku, yang setiap Senin pagi berbaris rapi di lapangan untuk upacara Hari Pancasila—meskipun dalam benak kecil kalian mungkin bertanya-tanya, "Pancasilanya mana, ya? Yang ada cuma gambar Garuda dan teksnya." Kalian berdiri tegak dan rapi, padahal jujur saja, Pak Guru terkadang datang terlambat ke tengah lapangan bersama kalian. Kalian yang hormat pada bendera sambil khidmat mendengar lagu kebangsaan "Indonesia Raya," tahukah kalian bahwa Pak Guru sendiri masih sering terjajah oleh ambisi pribadi akan pengakuan? Ambisi untuk terlihat sempurna, terlihat menguasai segalanya.

Ketika Amarah Menguasai "Maaf ya, Nak..." 
Kadang, saat kalian riuh sebentar saja Pak Guru keluar kelas, kalian langsung kena marah. Bentakan meluncur, dan cap "anak-anak yang susah diatur" langsung tersemat. Padahal, bisa jadi yang gagal mengatur itu ya... Pak Guru sendiri. Gagal memahami, gagal mendekati, gagal mengelola emosi.

Mencari Makna di Balik Kebosanan
"Maaf ya, Nak..."
Kalau ada hari ketika kalian hanya bermain, kelas ramai, ada yang duduk diam, bahkan ketiduran, itu bukan karena kalian malas. Mungkin kalian lelah, mungkin bosan, atau tidak tahu lagi harus berbuat apa. Mengapa? Karena Pak Guru belum mengajak kalian mengobrol, belum mengajak berdiskusi, belum benar-benar mengajak belajar bersama. Pak Guru ini kadang lebih sibuk jadi penyampai materi daripada jadi pendengar cerita. Lebih semangat memberi tugas daripada memberi kepercayaan. Lebih rajin membuat soal ujian daripada membuat kalian nyaman. Terkadang, Pak Guru merasa sedang bekerja di "pabrik sekolah," bukan membersamai manusia-manusia kecil yang sedang tumbuh mencari jati diri. Dan lucunya, Nak... setiap tahun murid-murid Pak Guru berubah, tapi pendekatan Pak Guru tetap... begitu-gitu saja. Ibarat unduhan modul ajar versi lama yang tak pernah diperbarui, kadang cuma menanyakan teman, "Sudah jadi belum aku kopi?" Atau seperti meme Bapak-bapak yang dipaksakan lucu padahal sudah tidak relevan.

Luka yang Tak Sengaja Terukir
Pak Guru juga tahu, kadang kalian belajar sambil menangis. Bukan karena pelajarannya susah, tapi karena sikap Pak Guru yang keras, yang tanpa sadar lebih sering menyakiti daripada membimbing. Yang berkata, "Masa gitu aja nggak bisa sih?" padahal belum pernah benar-benar menjelaskan dengan baik. "Maaf ya, Nak..." 
Kalau selama ini Pak Guru menganggap kalian hanya objek pekerjaan, bukan subjek kehidupan yang punya rasa, punya cerita, punya impian. Pak Guru sadar, bahwa sebetulnya yang paling harus belajar di kelas ini... ya Pak Guru sendiri. Belajar untuk tidak lagi menjadi guru yang hanya ingin diakui, tapi jadi guru yang bisa mengakui, bahwa mendidik itu bukan sekadar memberi nilai angka, tapi memberi ruang. Dan mungkin, ruang yang paling dibutuhkan sekarang adalah ruang untuk meminta maaf. 
Jadi, maaf ya, Nak... Jika selama satu tahun ini bersama Pak Guru ada luka yang belum tersembuhkan, ada dendam diam-diam dalam hatimu pada Pak Guru, ada tangis yang kamu tahan saat dimarahi di depan kelas, ada semangat yang padam karena merasa tidak dianggap. 
Pak Guru tidak sedang mencari pembenaran. Pak Guru hanya sedang belajar... jadi manusia. Dan semoga, besok-besok, Pak Guru tak cuma datang ke kelas membawa absensi dan modul ajar, tapi juga membawa hati... yang siap belajar dari kalian. 
#kembalimendidikmanusia #gurumeraki #terbebasmentalterjajah #mandiriberdayaberdampak #gerakansekolahmenyenangkan

Read More »
06 June | 0komentar

Menuju Pendidikan yang Membebaskan dan Berdaya Sejarah

Maindfull
Pendidikan di banyak negara, termasuk Indonesia, tak bisa dilepaskan dari bayang-bayang kolonialisme dan feodalisme. Dua kekuatan ini, yang secara inheren mengedepankan kontrol dan hierarki, telah menancapkan akar kuat dalam sistem pendidikan kita, menghasilkan warisan yang kompleks dan seringkali menghambat. Penjajahan pendidikan ini bukan hanya tentang kurikulum yang dipaksakan atau bahasa pengantar yang diganti, melainkan juga tentang pembentukan mental inferior, menciptakan perasaan tertekan, takut salah melangkah, dan secara fundamental mengkerdilkan potensi manusia untuk mewujudkan mimpi besar kodrat dirinya. 
Mentalitas yang terbentuk dari penjajahan ini sering termanifestasi dalam pola pikir yang enggan berinovasi, terlalu bergantung pada otoritas, serta kurangnya inisiatif dan keberanian untuk mengambil risiko. Sistem yang rigid, evaluasi yang cenderung menghakimi, dan penekanan pada hafalan daripada pemahaman mendalam, semuanya berkontribusi pada penciptaan lingkungan belajar yang jauh dari ideal. Anak didik tumbuh dengan keyakinan bahwa kesalahan adalah kegagalan mutlak, bukan bagian dari proses belajar. Namun, zaman telah berubah, dan kesadaran akan pentingnya pendidikan yang membebaskan semakin menguat. 
Di tengah upaya kolektif untuk memerdekakan diri dari belenggu masa lalu, Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) Kebumen hadir dengan sebuah ajakan yang revolusioner: "Bebaskan Diri dari Mental Terjajah, Ciptakan Lingkungan Belajar yang Joyful, Mindful, Meaningful, dan Powerful." Memutus Rantai Mental Inferior Ajakan GSM Kebumen ini adalah sebuah seruan untuk merombak paradigma. Ini bukan hanya tentang mengubah metode pengajaran, tetapi tentang merevolusi cara kita memandang pendidikan dan peran setiap individu di dalamnya. 
Joyful (Menyenangkan): Lingkungan belajar yang menyenangkan adalah antitesis dari tekanan dan ketakutan. Ketika belajar menjadi kegiatan yang dinikmati, bukan beban, potensi anak-anak akan mekar secara alami. Ini berarti menciptakan suasana kelas yang hidup, interaktif, penuh tawa, dan memungkinkan eksplorasi tanpa batas. Kegembiraan adalah bahan bakar untuk rasa ingin tahu dan kreativitas. 
Mindful (Penuh Kesadaran): Pendidikan yang mindful mengajak setiap individu—guru dan murid—untuk hadir sepenuhnya dalam setiap momen. Ini berarti melatih kesadaran diri, memahami emosi, dan belajar mengelola pikiran yang seringkali riuh. Dalam konteks kelas, mindfulness membantu menciptakan fokus, mengurangi stres, dan memungkinkan proses belajar yang lebih mendalam, di mana murid benar-benar menyerap dan meresapi materi, bukan hanya menghafal. 
Meaningful (Bermakna): Salah satu dampak terbesar dari pendidikan terjajah adalah hilangnya makna. Materi pelajaran terasa asing, tidak relevan dengan kehidupan nyata, dan hanya menjadi deretan fakta yang harus dihafal. Pendidikan yang meaningful mengembalikan relevansi ini. Ini berarti menghubungkan materi pelajaran dengan pengalaman hidup murid, tujuan mereka, dan isu-isu yang relevan di sekitar mereka. Ketika belajar memiliki makna, motivasi intrinsik akan tumbuh dan pengetahuan akan melekat lebih lama. 
Powerful (Berdaya): Tujuan akhir dari membebaskan diri dari mental terjajah adalah memberdayakan individu. Lingkungan belajar yang powerful adalah tempat di mana setiap suara didengar, setiap ide dihargai, dan setiap murid merasa memiliki agensi atas pembelajarannya sendiri. Ini mendorong pemikiran kritis, kemampuan memecahkan masalah, dan keberanian untuk berinovasi. 
Pendidikan yang berdaya melahirkan individu yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga memiliki kepercayaan diri, resiliensi, dan kesiapan untuk menjadi agen perubahan di masyarakat. Jalan Menuju Pendidikan yang Memerdekakan Gerakan seperti yang diusung GSM Kebumen ini adalah langkah krusial. Ini adalah upaya kolektif untuk membongkar struktur dan mentalitas lama yang membelenggu, dan menggantinya dengan pendekatan yang memanusiakan dan memberdayakan. 
Guru, sebagai garda terdepan pendidikan, memegang peran sentral dalam transformasi ini. Dengan membebaskan diri mereka sendiri dari mental terjajah, mereka dapat menjadi fasilitator bagi kebebasan belajar murid-muridnya. Transformasi ini membutuhkan keberanian—keberanian untuk mempertanyakan status quo, keberanian untuk mencoba hal baru, dan keberanian untuk menerima bahwa proses belajar adalah perjalanan yang penuh penemuan, bukan sekadar perlombaan mencapai nilai tertinggi. 
Ketika kita berhasil menciptakan lingkungan belajar yang Joyful, Mindful, Meaningful, dan Powerful, kita tidak hanya mendidik generasi baru, tetapi kita juga turut menulis ulang sejarah pendidikan di Indonesia, membebaskannya dari bayang-bayang masa lalu, dan mengarahkannya menuju masa depan yang cerah, di mana setiap potensi manusia dapat berkembang tanpa batas. Apakah Anda siap menjadi bagian dari gerakan yang membebaskan ini?

Read More »
29 May | 0komentar

Ketika Bengong Menjadi Gerbang Fokus

Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM)
Pernahkah Bapak dan Ibu mengalami momen ketika niat hati ingin menyelesaikan pekerjaan—entah itu laporan, modul ajar, atau tugas lainnya—namun tiba-tiba pikiran melayang entah ke mana? Layar laptop menyala, kursor berkedip-kedip, tapi tangan enggan bergerak. Seolah pikiran kita adalah layangan putus yang terbawa angin terlalu kencang. Orang mungkin akan berteriak, "Woy! Fokus dong!" 
Tapi, siapa sangka, justru di momen "bengong" itulah fokus sejati bisa ditemukan. Semalam, saya berkesempatan mengikuti bedah buku "Stolen Focus" karya Johann Hari bersama Bu Novi. Antusiasme pesertanya luar biasa, memenuhi kuota Zoom. Dan dari sana, saya menyadari satu hal penting: kita ini bukan kekurangan waktu atau semangat, melainkan fokus kita yang sedang dicuri. 
Dari paparan Bu Novi, saya mencoba mengaitkan sisi kecil, atau fokus kecil, pada tindakan melamun yang sering kita anggap sepele. Mengapa? Melamun: Pintu Masuk Menuju Kreativitas Ternyata, salah satu cara untuk merebut kembali fokus yang telah dicuri itu adalah dengan melamun. Terdengar kontradiktif, bukan? Kegiatan yang dulu dicap sebagai tanda kemalasan atau pemborosan waktu, kini justru terbukti menjadi pintu masuk menuju kreativitas. Para profesor dan filsuf sering mengatakan bahwa melamun itu seperti jalan kecil yang mengarah ke hutan ide. 
Di sanalah, momen "AHA!" biasanya muncul tanpa diundang, datang di saat kita tenang, bagaikan sebuah pencerahan yang tak terduga. Saya pribadi sering mengalaminya. Sepulang kerja, saya suka berkeliling kampung dengan motor, bukan mencari kopi atau membuat konten, melainkan sekadar "muter" saja. Menatap sawah, mendengar suara ayam. Atau, sesekali berjalan kaki menyusuri desa. Dan di sanalah, ide-ide pembelajaran baru seringkali muncul, tiba-tiba saja terlintas ide tantangan menarik untuk anak-anak didik. Tenang Itu Kekuatan, 
Refleksi Itu Pelita Bapak dan Ibu, kita hidup di zaman yang bising. Bising dengan notifikasi yang tak henti-henti, bising dengan tuntutan pencapaian, dan bising dengan orang-orang yang terus berlari kencang tanpa tahu arah tujuan. Maka tak heran jika kini "slow living" menjadi tren. Ini bukan berarti kita lemah, melainkan sebuah kesadaran bahwa ketenangan adalah kekuatan, dan refleksi adalah pelita. Filosofi ini juga yang sejak lama digaungkan oleh Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM): "Biasakan refleksi." Mengapa? Karena ketika guru merasa tenang, murid juga akan tumbuh. Ketika guru melamun, bisa jadi mereka sedang merancang petualangan belajar yang inovatif. Dan ketika guru berani berhenti sejenak, di situlah makna hadir, bukan sekadar mengejar target semata. 
Kita ini bukan pelatih sirkus yang menyuruh anak-anak terus melompat melewati lingkaran api. Kita adalah penjaga lentera pertumbuhan. Dan lentera itu, kadang kala, perlu ditiup pelan, ditenangkan, dan dibiarkan berpendar dalam hening. Tujuannya agar anak-anak tahu bahwa hidup itu bukan lomba, melainkan sebuah perjalanan. Tugas kita adalah menemani langkah kecil mereka, bukan memburu ranking, tetapi membimbing mereka menemukan irama diri. Jadi, jika hari ini ada yang berkata, "Eh, jangan melamun!", saya akan dengan santai menjawab, "Maaf, saya sedang menciptakan dunia baru di kepala saya." Ya, ternyata di sanalah, fokus sejati kita sedang kembali ke rumahnya.

Read More »
29 May | 0komentar

Berpikir Jernih di Tengah Badai Informasi

Di era digital yang serba cepat, arus informasi mengalir deras tanpa henti. Kemudahan mengakses berbagai sumber informasi seharusnya menjadi modal berharga untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat. Namun, di balik kemudahan ini, tersembunyi sebuah ancaman serius: erosi pemikiran kritis dan literasi informasi akibat kecenderungan konsumsi informasi yang dangkal dan terfragmentasi. Fenomena ini, jika dibiarkan berlarut-larut, dapat membawa dampak jangka panjang yang merugikan bagi individu, masyarakat, dan bahkan tatanan demokrasi. 
Ancaman Nyata Erosi Pemikiran Kritis Salah satu dampak paling mengkhawatirkan dari konsumsi informasi yang dangkal adalah terkikisnya kemampuan berpikir kritis. Ketika individu terbiasa menerima informasi secara instan melalui headline menarik, cuitan singkat, atau unggahan media sosial tanpa melakukan verifikasi atau analisis mendalam, kemampuan mereka untuk mengevaluasi informasi secara objektif menjadi tumpul. 
Mereka cenderung menerima informasi apa adanya tanpa mempertanyakan sumber, validitas, atau potensi bias yang terkandung di dalamnya. Keterbiasaan ini melahirkan generasi yang kurang mampu membedakan antara fakta dan opini, antara informasi yang kredibel dan yang tidak. Mereka menjadi lebih rentan terhadap disinformasi, berita palsu (hoax), dan propaganda yang dirancang untuk memanipulasi opini publik. Kemampuan untuk mengidentifikasi asumsi yang mendasari suatu klaim, mengevaluasi argumen, dan menarik kesimpulan yang logis menjadi semakin tergerus. 
Literasi Informasi yang Terabaikan Erosi pemikiran kritis berjalan beriringan dengan rendahnya literasi informasi. Literasi informasi bukan hanya sekadar kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga mencakup kemampuan untuk mencari, mengevaluasi, menggunakan, dan mengkomunikasikan informasi secara efektif dan etis. Di era banjir informasi ini, literasi informasi menjadi semakin krusial. Individu perlu memiliki keterampilan untuk: 
  • Mengidentifikasi kebutuhan informasi: Mampu merumuskan pertanyaan yang jelas dan menentukan jenis informasi yang dibutuhkan. 
  • Menemukan informasi: Mahir menggunakan berbagai sumber informasi secara efektif dan efisien, termasuk mesin pencari, basis data, dan perpustakaan digital. 
  • Mengevaluasi informasi: Mampu menilai kredibilitas, akurasi, relevansi, dan bias dari berbagai sumber informasi. 
  • Mengorganisir dan mensintesis informasi: Mampu mengolah informasi yang diperoleh dari berbagai sumber dan merangkainya menjadi pemahaman yang komprehensif. 
  • Menggunakan informasi secara etis: Memahami isu-isu hak cipta, privasi, dan plagiarisme, serta mampu menggunakan informasi secara bertanggung jawab. 
Ketika konsumsi informasi didominasi oleh konten yang dangkal dan terfragmentasi, proses pengembangan keterampilan literasi informasi ini terhambat. Individu tidak terdorong untuk mencari informasi dari berbagai sumber, melakukan analisis mendalam, atau mempertimbangkan perspektif yang berbeda. Akibatnya, mereka terjebak dalam echo chamber atau filter bubble, di mana mereka hanya terpapar pada informasi yang sesuai dengan keyakinan mereka sendiri, memperkuat bias yang sudah ada. 
Dampak Jangka Panjang yang Merugikan Erosi pemikiran kritis dan rendahnya literasi informasi memiliki konsekuensi jangka panjang yang merugikan di berbagai aspek kehidupan: 
Rentan terhadap Manipulasi: 
Masyarakat yang tidak memiliki kemampuan berpikir kritis dan literasi informasi yang memadai menjadi sasaran empuk bagi pihak-pihak yang ingin menyebarkan disinformasi atau propaganda untuk kepentingan tertentu. Hal ini dapat mengancam stabilitas sosial dan politik. 
Keputusan yang Tidak Tepat: Dalam kehidupan sehari-hari, individu dihadapkan pada berbagai pilihan dan keputusan. Tanpa kemampuan untuk mengevaluasi informasi secara kritis, mereka cenderung membuat keputusan yang kurang tepat berdasarkan informasi yang salah atau menyesatkan, baik dalam hal keuangan, kesehatan, maupun pilihan politik. 
Polarisasi dan Konflik Sosial: Paparan terhadap informasi yang terfragmentasi dan kurangnya kemampuan untuk memahami perspektif yang berbeda dapat memperdalam polarisasi di masyarakat. Echo chamber dan filter bubble memperkuat keyakinan yang sudah ada dan mempersulit terjadinya dialog yang konstruktif. 
Menghambat Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Inovasi: Pemikiran kritis adalah fondasi dari perkembangan ilmu pengetahuan dan inovasi. Masyarakat yang kurang memiliki kemampuan ini akan sulit untuk menerima ide-ide baru, mempertanyakan asumsi yang ada, dan mendorong kemajuan. Erosi Kepercayaan terhadap Institusi: Ketika masyarakat kesulitan membedakan antara informasi yang benar dan salah, kepercayaan terhadap media, pemerintah, dan lembaga-lembaga publik lainnya dapat terkikis. Hal ini dapat melemahkan tatanan sosial dan demokrasi. 
Upaya Mengatasi Erosi Pemikiran Kritis dan Meningkatkan Literasi Informasi Mengatasi erosi pemikiran kritis dan meningkatkan literasi informasi membutuhkan upaya kolektif dari berbagai pihak: 
  • Pendidikan: Sistem pendidikan harus dirancang untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan literasi informasi sejak dini. Kurikulum perlu memasukkan pembelajaran tentang evaluasi sumber informasi, analisis argumen, dan identifikasi bias. 
  • Keluarga: Orang tua memiliki peran penting dalam menanamkan kebiasaan membaca, berdiskusi, dan mempertanyakan informasi kepada anak-anak mereka. Media Massa: Media massa memiliki tanggung jawab untuk menyajikan informasi yang akurat, berimbang, dan mendalam, serta memberikan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya literasi informasi. 
  • Platform Digital: Platform media sosial dan penyedia informasi daring perlu mengambil langkah-langkah proaktif untuk memerangi penyebaran disinformasi dan mempromosikan konten yang berkualitas. Algoritma yang digunakan perlu mempertimbangkan aspek kredibilitas dan akurasi informasi. 
  • Masyarakat Sipil: Organisasi masyarakat sipil dapat berperan dalam mengedukasi masyarakat tentang literasi informasi melalui berbagai program dan kegiatan. Individu: Setiap individu memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan literasi informasi secara mandiri. 
Hal ini dapat dilakukan dengan membiasakan diri untuk mencari informasi dari berbagai sumber yang kredibel, melakukan verifikasi sebelum mempercayai dan menyebarkan informasi, serta terbuka terhadap perspektif yang berbeda. 
Erosi pemikiran kritis dan rendahnya literasi informasi merupakan ancaman nyata di era digital ini. Kecenderungan mengonsumsi informasi secara dangkal dan terfragmentasi memiliki dampak jangka panjang yang merugikan bagi individu, masyarakat, dan demokrasi. Oleh karena itu, upaya kolektif dan berkelanjutan dari berbagai pihak sangat dibutuhkan untuk membekali masyarakat dengan kemampuan berpikir kritis dan literasi informasi yang memadai. Dengan masyarakat yang cerdas dan mampu memilah informasi, kita dapat membangun masa depan yang lebih baik dan terhindar dari bahaya manipulasi dan disinformasi.

Read More »
25 May | 0komentar

Bismillah: Inspirasi di Tengah Rutinitas Pondok

Universitas Gadjah Mada, UGM

Mungkid, Magelang - Hari Ahad, 13 April 2025 menjadi hari yang istimewa di tengah rutinitas bulanan penjengukan di Pondok Pesantren SMAIT Ihsanul Fikri Mungkid. Selain bertemu dan berbagi cerita dengan anak, kunjungan kali ini memiliki agenda yang lebih menarik: mengajak serta buah hati tercinta untuk sejenak menikmati suasana Yogyakarta dan melakukan survei awal tempat kuliah impiannya. 
Penjengukan bulanan di SMAIT Ihsanul Fikri Mungkid memang selalu dinanti. Momen ini menjadi pelepas rindu bagi orang tua dan para santri, tempat bertukar kabar dan memberikan semangat. Namun, kunjungan pada hari Ahad ini terasa berbeda. Setelah bersilaturahmi dan memastikan kondisi putri tercinta baik-baik saja di pondok, sebuah rencana menarik telah disiapkan: perjalanan singkat menuju Yogyakarta. 
Yogyakarta, kota pelajar yang kaya akan budaya dan sejarah, dipilih sebagai destinasi kali ini. Tujuan utamanya adalah mengenalkan atmosfer perkuliahan kepada sang anak, yang sebentar lagi akan menamatkan pendidikan di tingkat SMA. Universitas Gadjah Mada (UGM), salah satu perguruan tinggi negeri terkemuka di Indonesia, menjadi fokus utama kunjungan ini. 
Di Yogyakarta, semangat dan antusiasme terpancar dari wajah anak. Menginjakkan kaki di lingkungan kampus UGM yang luas dan hijau memberikan kesan tersendiri. Bersama, kami menyusuri berbagai fakultas, melihat bangunan-bangunan megah, dan merasakan denyut kehidupan mahasiswa. Kunjungan ini bukan sekadar jalan-jalan biasa. 
Sembari menikmati suasana kampus, diskusi santai mengenai program studi yang diminati pun tak terhindarkan. Informasi mengenai fakultas, jurusan, fasilitas, hingga kegiatan mahasiswa menjadi topik perbincangan yang menarik. Melihat langsung lingkungan belajar dan berinteraksi dengan atmosfer akademik diharapkan dapat memberikan gambaran nyata dan memotivasi anak dalam menentukan pilihan studinya kelak. 
Meskipun waktu yang tersedia tidak banyak, kunjungan singkat ke UGM ini memberikan pengalaman berharga. Melihat langsung salah satu universitas terbaik di Indonesia memberikan inspirasi dan membuka wawasan tentang dunia perkuliahan. Selain itu, momen kebersamaan di luar rutinitas pondok juga semakin mempererat tali kasih antara orang tua dan anak. 
Perjalanan kembali ke Mungkid di sore hari diwarnai dengan obrolan ringan dan harapan-harapan baik untuk masa depan. Kunjungan ke Yogyakarta kali ini, yang bertepatan dengan penjengukan rutin, menjadi kenangan manis dan langkah awal yang positif dalam mempersiapkan jenjang pendidikan tinggi bagi anak. Semoga pengalaman ini menjadi motivasi dan memberikan arah yang jelas dalam meraih cita-citanya. Alloh SWT selalu Bersama kita.













Universitas Gadjah Mada, UGM


Universitas Gadjah Mada UGM



Read More »
12 May | 0komentar

Well-being: Investasi Terbaik untuk Diri Sendiri

Memasuki tahun ajaran baru 2025/2026 ada salah satu istilah yang ramai dierbincangkan dalam topik, seminar, webinar, simosium pndidikan dan sebagainya, "well-being".Lebih dari sekadar ketiadaan penyakit atau perasaan bahagia sesaat, well-being adalah konsep holistik yang mencakup berbagai aspek kehidupan manusia. Memahami dan mengupayakan well-being menjadi semakin penting sebagai fondasi untuk hidup yang memuaskan, produktif, dan bermakna. 
Secara sederhana, well-being dapat diartikan sebagai keadaan sejahtera secara fisik, mental, dan sosial. Ini melibatkan perasaan positif, kemampuan untuk berfungsi secara efektif, dan keyakinan bahwa hidup memiliki tujuan dan makna. Berbeda dengan kebahagiaan yang seringkali bersifat emosional dan sementara, well-being adalah kondisi yang lebih stabil dan berkelanjutan.
Lebih dari Sekadar Bahagia: Dimensi-Dimensi Well-being
Para ahli psikologi positif telah mengembangkan berbagai model untuk memahami dimensi-dimensi well-being. Salah satu model yang paling dikenal adalah Model PERMA yang dikembangkan oleh Martin Seligman: 
Positive Emotion (Emosi Positif): 
Merasakan kebahagiaan, kegembiraan, harapan, minat, dan cinta. Ini bukan berarti menghindari emosi negatif, tetapi lebih kepada menumbuhkan dan mengalami emosi positif secara reguler. 
Engagement (Keterlibatan): 
Merasa sepenuhnya terserap dan fokus dalam aktivitas yang dilakukan. Ini seringkali terjadi ketika kita menggunakan kekuatan dan bakat kita dalam pekerjaan atau hobi yang menantang namun sesuai dengan kemampuan. 
Relationships (Hubungan Positif): 
Memiliki hubungan yang hangat, saling mendukung, dan bermakna dengan orang lain. Koneksi sosial yang kuat adalah pilar penting dalam well-being. 
Meaning (Makna): 
Merasakan adanya tujuan hidup yang lebih besar dari diri sendiri. Ini bisa ditemukan dalam pekerjaan, keluarga, komunitas, atau keyakinan spiritual. 
Accomplishment (Pencapaian): 
Merasa memiliki rasa kompetensi dan berhasil mencapai tujuan yang ditetapkan. Ini memberikan rasa bangga dan motivasi. 

Selain model PERMA, terdapat juga dimensi well-being lainnya yang seringkali dipertimbangkan, seperti: 
Physical Well-being (Kesejahteraan Fisik): Kesehatan tubuh yang optimal melalui nutrisi yang baik, olahraga teratur, tidur yang cukup, dan menghindari kebiasaan buruk. 
Mental Well-being (Kesejahteraan Mental): Kondisi pikiran yang sehat, kemampuan mengelola stres, memiliki pandangan positif, dan resilien dalam menghadapi tantangan. 
Social Well-being (Kesejahteraan Sosial): Merasa terhubung dengan orang lain, memiliki dukungan sosial yang kuat, dan berkontribusi pada komunitas. 
Environmental Well-being (Kesejahteraan Lingkungan): Merasakan koneksi dan harmoni dengan lingkungan sekitar. 
Financial Well-being (Kesejahteraan Finansial): Merasa aman dan memiliki kendali atas kondisi keuangan. 

Mengapa Well-being Itu Penting?
Mengupayakan well-being bukan hanya membuat kita merasa lebih baik, tetapi juga memiliki dampak positif yang luas dalam berbagai aspek kehidupan: 
  • Kesehatan Fisik: Well-being yang tinggi dikaitkan dengan sistem kekebalan tubuh yang lebih kuat, risiko penyakit kronis yang lebih rendah, dan umur yang lebih panjang. 
  • Kesehatan Mental: Individu dengan well-being yang baik lebih mampu mengelola stres, kecemasan, dan depresi. Mereka juga memiliki tingkat resiliensi yang lebih tinggi. 
  • Produktivitas dan Kreativitas: Ketika merasa sejahtera, kita cenderung lebih fokus, termotivasi, dan kreatif dalam bekerja maupun belajar. 
  • Hubungan Sosial: Well-being yang baik mempermudah kita membangun dan memelihara hubungan yang positif dan suportif. 
  • Kepuasan Hidup: Secara keseluruhan, well-being yang tinggi berkorelasi dengan tingkat kepuasan hidup yang lebih besar dan perasaan bahagia yang lebih berkelanjutan. 
  • Kontribusi Sosial: Individu yang sejahtera cenderung lebih terlibat dalam kegiatan sosial dan memberikan kontribusi positif kepada komunitas. 

Strategi dan Teknik Meningkatkan Well-being
Kabar baiknya, well-being bukanlah sesuatu yang statis atau hanya dimiliki oleh segelintir orang. Ada berbagai strategi dan teknik yang dapat kita terapkan untuk meningkatkan well-being dalam kehidupan sehari-hari: 
Mempraktikkan Rasa Syukur: Secara rutin menyadari dan menghargai hal-hal positif dalam hidup. 
Melakukan Tindakan Kebaikan: Berbuat baik kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan. Menjaga 
Hubungan Sosial: Investasi waktu dan energi dalam membangun dan memelihara koneksi dengan orang lain. 
Berlatih Mindfulness dan Meditasi: Meningkatkan kesadaran diri dan fokus pada saat ini. 
Bergerak Aktif: Melakukan aktivitas fisik secara teratur. 
Makan dengan Sehat: Mengonsumsi makanan bergizi seimbang. 
Tidur yang Cukup: Memastikan kualitas dan kuantitas tidur yang optimal. 
Menetapkan Tujuan yang Bermakna: 
Mengidentifikasi dan mengejar tujuan yang selaras dengan nilai-nilai pribadi. 
Mengembangkan Kekuatan Karakter: 
Mengenali dan menggunakan kekuatan unik yang dimiliki. 
Belajar Mengelola Stres: 
Mengembangkan strategi koping yang sehat untuk menghadapi tekanan. 
Mencari Makna dalam Hidup: 
Merenungkan nilai-nilai dan tujuan hidup. 
Menikmati Momen: Meluangkan waktu untuk benar-benar menghayati pengalaman positif. 
Belajar Memaafkan: Melepaskan dendam dan kekecewaan. 
Mencari Bantuan Profesional: Jika merasa kesulitan dalam mengelola emosi atau menghadapi masalah kesehatan mental, jangan ragu untuk mencari dukungan dari psikolog atau terapis. 

Well-being adalah perjalanan yang berkelanjutan, bukan tujuan akhir. Dengan memahami berbagai dimensinya dan secara aktif menerapkan strategi yang sesuai, kita dapat merajut kehidupan yang lebih bermakna, bahagia, dan memuaskan. Menginvestasikan waktu dan upaya dalam meningkatkan well-being adalah investasi terbaik untuk diri sendiri dan kualitas hidup secara keseluruhan. Mari jadikan well-being sebagai prioritas dalam kehidupan kita.

Read More »
06 May | 0komentar

Ngkaji bukan sekadar forum

Pernahkah teman² merasa bertemu seseorang untuk pertama kali, tapi hatimu berkata, "Aku mengenalnya sejak lama."? Pernahkah kita dipeluk seseorang yg baru saja dijumpai, tapi rasanya seperti pulang ke rumah? Aku telah melihat itu. Aku telah merasakannya. Dan aku menemukannya dalam sebuah rumah pergerakan. Rumah yg tidak bertembok. Rumah yg dindingnya adalah hati² yg saling terbuka, dan atapnya adalah mimpi² yg melangit. 
Namanya Komunitas Gerakan Sekolah Menyenangkan. Di dalamnya, aku menyaksikan orang² yg berangkat dari tempat-tempat yg jauh, menembus batas daerah, suku, bahkan agama, semata karena mereka tahu, di ujung perjalanan itu, ada saudara yg telah menunggu. Aku melihat serombongan dari Palembang yg tak ragu terbang ke Jogja. Aku mendengar kisah rombongan dari Kalimantan yang menjejak tanah Jawa hanya untuk duduk bersama, bertukar rasa. Aku juga bertemu kafilah dari jawa barat menuju Surabaya bukan karena ingin menjejakan daerah yang belum pernah di datangi. Atau sebaliknya saudara² dari Jawa Tengah berbondong ke Sumedang. Bahkan dulu ada yg hampir terbang ke Kalimantan, hanya karena ingin ikut mengKaji, ingin menyimak, dan ingin terlibat dalam pusaran rasa Ngkaji Pendidikan. Lalu aku bertanya dalam diam… Apa yang membuat mereka rela datang sejauh ini? Apa istimewanya Ngkaji Pendidikan, yg bahkan hanya sebuah pertemuan, tanpa imbalan, tanpa kemewahan, tanpa panggung besar? Apa yg menjadikannya magnet begitu kuat, sehingga orang² rela mengorbankan waktu, tenaga, biaya, dan pikirannya hanya untuk duduk di lingkaran, mendengarkan, berdiskusi, dan merasa diperjalankan? Aku menemukan jawabannya dalam suasana batin yg menyelimuti pertemuan ini. 
Ngkaji bukan sekadar forum. Ia adalah perjalanan batin seorang pendidik. Ia adalah momen ketika seorang pendidik bukan hanya menemukan materi baru, tapi menemukan dirinya sendiri. Ia adalah ruang di mana seorang pendidik menyadari bahwa mendidik bukan hanya tentang mengajar, tapi tentang menjadi manusia yg lebih utuh. Ia adalah pertemuan di mana kita tak sekadar berbagi gagasan, tetapi berbagi hati. Di sini, guru2 tidak hanya hadir, mereka diperjalankan. Di sini, pelukan bukan basa-basi, tapi penuh kasih. Di sini, kita tidak sekadar berbicara tentang pendidikan, kita menjadikannya napas & kehidupan. Dan aku sadar, inilah sebabnya. Kita datang bukan hanya untuk mendengar. Kita datang karena di sini, kita pulang. Maka aku bertanya kepada teman²… Bukankah ini yang kita cari? Bukankah ini yang kita rindukan? Kalau iya, maka mari terus berjalan. Kita adalah saudara dalam pergerakan. Dan rumah ini akan selalu terbuka untuk siapa saja yang merindukan kebermaknaan dan kebahagiaan. 
 #gurumeraki #ngkajipendidikan #kembalimendidikmanusia #gerakansekolahmenyenangkan
disadur dari Grup wa GSM Purbalingga

Read More »
05 May | 0komentar

Sekolah Unggul untuk Siapa, Sekolah Rakyat untuk Apa?

Belum terang benderang pelaksanaan Deep Learning pada pendidikan kita, akhir-akhir di dunia pendidikan terdengar sayup-sayup memperbincangkan berkaitan dengan sekolah unggulan dan sekolah rakyat. Dua istilah atau nama itu yaitu Sekolah unggul, sekolah rakyat nama yang terlihat begitu sakral unggul dan rakyat. Yang satu menjanjikan: prestasi, keunggulan, masa depan gemilang. Satunya lagi membawa harapan, kesempatan, dan keberpihakan bagi yg terpinggir dan tersisihkan siapa lagi kalau bukan rakyat. 
Dua wajah dari sebuah cita-cita pendidikan?
Tapi… benarkah demikian?” Mengapa ada sekolah rakyat? Bukankah setiap sekolah seharusnya menjadi tempat bagi seluruh rakyat? Bukankah pendidikan adalah hak semua orang, bukan sesuatu yang perlu 'dikategorikan'? Ah… tetapi, mungkin ini memang kenyataan yg harus diterima. 
Sekolah unggul untuk mereka yg ‘terpilih’, sekolah rakyat untuk mereka yang ‘tersisih’. Seperti dua jalur yg berpisah, masing-masing menentukan nasib penghuninya. Yang satu untuk melahirkan pemimpin unggul, yg lain melahirkan kesempatan bisa bekerja memperbaiki nasib. Yang satu berorientasi pada inovasi, yang lain berjuang memberi peluang untuk mengenyam pendidikan dan bisa bertahan hidup. 
Bukankah ini yang terjadi? Lalu di mana Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia? Bukankah para pendahulu kita memperjuangkan dan mengajarkan tentang kesetaraan, tentang kemerdekaan, tentang hak yg sama bagi semua anak bangsa? Ataukah kita telah kembali ke masa lalu, di mana pendidikan adalah hak segelintir orang, sementara yg lain cukup puas dengan serpihan² kesempatan? 
Ki Hadjar Dewantara mendirikan Taman Siswa bukan untuk menciptakan sekolah bagi orang kaya, bukan untuk menciptakan sekolah yg membedakan kasta sosial. Ia mendirikan sekolah untuk membebaskan jiwa-jiwa tertindas dari kebodohan. Ia ingin agar pendidikan bukan lagi menjadi hak istimewa, melainkan cahaya bagi semua rakyat. 
Jadi, apa yang kita butuhkan sebenarnya? Sekolah unggul yg benar² menciptakan pemimpin yg unggul tapi juga merakyat. Bukan sekolah yg membangun tembok tinggi untuk mereka yg berduit. Kita butuh sekolah yg tidak hanya memberi ‘akses’, tapi benar² menjamin pemerataan, djmana masih ada sekolah negeri atau swasta yang berlantai tanah, atapnya bocor, yg jendelanya sudah hilang, bahkan tidak bertembok. 
Kita butuh pemimpin yg tidak hanya cerdas, tapi juga berpihak pada rakyat. Kita butuh perubahan… bukan sekadar slogan. Maka pertanyaannya adalah… apakah kita akan terus membiarkan pendidikan ini menjadi alat pembeda? Atau kita akan mengembalikan esensi pendidikan sebagai alat perjuangan bagi semua? Kita berharap dua program tersebut bukan memperbanyak paradoks dalam dunia pendidikan apalagi sekadar menjalankan program tanpa keberlanjutan. Sebab sekolah seharusnya bukan tentang ‘unggul’ atau ‘rakyat’… tapi tentang bagaimana menciptakan manusia yg benar² menjadi manusia dan merdeka. 
 #kembalimendidikmanusia #kesempatansetara #gerakansekolahmenyenangkan
Sumber : Grup WA GSM Kab. Purbalingga 

Read More »
19 April | 0komentar

7 Pembiasaan Anak Hebat: Bangun Pagi




Bangun pagi merupakan kebiasaan bangun di pagi hari yang apabila dilakukan setiap hari akan memberikan manfaat diantaranya melatih kedisiplinan, meningkatkan kemampuan mengelola waktu, meningkatkan kemampuan mengendalikan diri, meningkatkan keseimbangan jiwa dan raga yang dapat berkontribusi pada kesuksesan seseorang.
a. Meningkatkan Kedisiplinan 
Kebiasaan bangun pagi setiap hari dapat meningkatkan kedisiplinan untuk mematuhi waktu yang telah ditentukan, dilakukan dengan rasa tanggung jawab, dan berkelanjutan tanpa bergantung pada orang tua. 
b. Meningkatkan Kemampuan 
Mengelola Waktu Bangun pagi setiap hari mengajarkan anak untuk menghargai waktu yang terbatas dalam hidup, membentuk kebiasaan yang teratur, dan meningkatkan kemampuan mengelola waktu untuk melakukan hal-hal penting dan memberi ruang untuk melakukan evaluasi diri. 
c. Meningkatkan Kemampuan Mengendalikan 
Diri Bangun pagi setiap hari menunjukkan kemampuan mengendalikan diri dan melawan godaan untuk bermalas-malasan. 
d. Meningkatkan Keseimbangan Jiwa dan Raga 
Bangun pagi setiap hari dapat dimanfaatkan untuk melakukan berbagai aktivitas yang dapat meningkatkan keseimbangan jiwa dan raga sehingga tubuh dan pikiran menjadi segar. 
e. Mendukung Kesuksesan 
Salah satu kunci kesuksesan tokoh besar dan pemimpin terkenal, seperti Presiden Soekarno, Buya Hamka, Ki Hajar Dewantara, BJ Habibie, dan tokoh lainnya adalah terbiasa bangun pagi setiap hari

Read More »
11 January | 0komentar

Sekolah menyenangkan

GSM
GSM lahir dari perjalanan spiritual dan pengalaman perubahan yang dialami oleh pendirinya, Muhammad Nur Rizal, dan sang istri, Novi Poespita Candra. Pengalaman ini didapatkan ketika Rizal dan Novi tinggal di Melbourne, Australia untuk menempuh studi doktoral. Mereka menemukan inspirasi dari ketiga buah hatinya yang sangat mencintai sekolahnya. Dari situ, mereka melihat pendidikan Australia yang berbeda jauh dengan pendidikan Indonesia. Bahkan bisa dibilang bahwa pendidikan Indonesia tertinggal 128 tahun dari Australia. 
Pendidikan Australia unggul dari segi kurikulum yang lebih bagus, lebih menyenangkan, dan disesuaikan dengan kelebihan tiap anak. Bahkan, anak-anak mereka justru rindu pergi ke sekolah saat liburan. Inspirasi ini dikembangkan saat mereka pulang ke Indonesia dengan membangun GSM pada tahun 2016. Perjalanan menyoal fenomena pengalaman terbaik bersekolah di Australia yang ingin disebarluaskan agar bisa dirasakan oleh seluruh murid di Indonesia tanpa terkecuali. Rizal dan Novi merasa prihatin dengan pendidikan Indonesia yang masih mematok nilai dan ujian, padahal sebetulnya anak-anak bisa belajar dengan metode yang lebih menyenangkan. 
Dalam praktiknya, GSM merangkul sekolah-sekolah pinggiran yang tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah. Tujuannya agar kualitas sekolah pinggiran juga bisa terangkat dan para murid dapat merasakan iklim belajar seperti sekolah di Australia. GSM memiliki filosofi dan nilai sebagai narasi yang menginspirasi melalui ketokohan yang dapat dipercaya dengan melakukan upaya pergeseran paradigma lama ke pola pikir baru, dan dari budaya lama ke budaya baru dalam pendidikan melalui komunitas. 

Mengapa komunitas? 
Karena komunitas dipercayai dapat membuat pendistribusian nilai-nilai pendidikan menjadi lebih gencar dan masif. Peningkatan profesionalisme guru juga lebih mudah dan cepat karena dilakukan melalui pertukaran praktik baik, pengetahuan, dan pengalaman di antara mereka. Komunitas memungkinkan semangat kolektif-kolegial dan kolaborasi itu terjadi. Menyelenggarakan pendidikan berkualitas bagi semua anak di Indonesia melalui:Penciptaan budaya dan lingkungan belajar positif dan menyenangkan melalui perubahan pola pikir, penciptaan budaya profesionalisme guru, dan penerapan strategi kurikulum di sekolah.
Pengembangan dan perluasan komunitas guru melalui pelatihan, pendampingan, dan berbagai kegiatan akar rumput termasuk pertukaran praktik mengajar, kolaborasi pengajaran lintas guru, dan pengembangan diri.

Read More »
25 December | 0komentar