Assalamu'alaikum ! welcome to Media Pendidikan.| Contact | Register | Sign In

Ulangan Online MTBG

PETUNJUK MENGERJAKAN:
1. Isikan Nama,Kelas dan Sekolah Anda
2. Untuk memulai mengerjakan Klik Lanjutkan
3. Pilih bulatan didepan option yang merupakan pilihan jawaban anda
4. Untuk mengerjakan nomor berikutnya Klik Lanjutkan
5. Klik kirim untuk mengirimkan hasil Ulangan

Read More »
15 September | 2komentar

Babak Final Lomba Pengembangan dan Pengayaan Sumber Belajar

Babak final lomba pengembangan dan pengayaan sumber belajar

Setelah masa pendaftaran Lomba Pengembangan dan Pengayaan Sumber Belajar ditutup (31/7/2015). Pengumuman peserta lomba yang maju ke babak berikutnya telah diupload di website BPTIKP Jateng
Peserta terdiri dari tiga kategiri lomba yaitu:
1. Lomba MPI (Media Pembelajaran Interaktif)
2. Lomba Blog Guru
3. Lomba Website Sekolah

Dari kategori lomba diatas dibagi dalam 2 jenjang:
1. Jenjang pendidikan dasar (Dikdas)
2. Jenjang pendidikan menengah (Dikmen)

Jadwal Pelaksanaan Lomba adalah sebagai berikut:
No
Lomba
Jenjang
Pelaksanaan
Ket
1
MPI
Dikdas
10 – 11 Agustus 2015



Dikmen
24 – 25 Agustus 2015

2
Blog Guru
Dikdas
12 – 13 Agustus 2015



Dikmen
26 – 27 Agustus 2015

3
Website Sekolah
Dikdas
28 – 29 Agustus 2015



Dikmen
28 – 29 Agustus 2015

Sumber : http://bptikp.pdkjateng.go.id/lomba/ , data diolah

Download Daftar Peserta Lomba yang mengikuti babak Final disini 


Read More »
10 August | 0komentar

Implikasi Nilai-Nilai Religius Dalam Pendidikan Karakter

1400 tahun yang lalu Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa misi utama dalam mendidik manusia adalah menyempurnakan adalah akhlak dan menyempurnakan karakter yang baik.Akhlak dan karakter yang baik jika bersinergi akan menghasilkan insan yang memiliki kecerdasan emosional dan kecerdasan intelektual yang mumpuni.Disinilah ranah pendidikan nasional dibawa untuk membentuk manusia yang bermoral dan berakhlak mulia.
Kita sepakat bahwa nilai-nilai karakter harus diberikan kepada anak pada usia dini. Nilai religius adalah termasuk dalam salah satu nilai dalam pendidikan karakter.Nilai religius menjadi dasar karakter agar tidak berubah terhadap perkembangan/ pengaruh negatif dari lingkungan yang selalu berubah.
Keyakinan agama adalah sebagai upaya pembangunan karakter terhadap nilai-nilai ketuhanan. Bagaimana anak didik mensyukuri nikmat segala yang diberikan Allah SWT. Dalam konteks pendidikan formal nilai religius mengantarkan anak dengan potensi yang dimilikinya menjadi insan-insan yang beriman dan bertaqwa, berakhlak mulia, disiplin, sopan santun dan peduli terhadap lingkungannya. 
Apakah nilai-nilai ini akan dibebankan terhadap guru pendidikan Agama? jawabannya tentu saja tidak. Nilai-nilai rilegius harus dikembangkan oleh semua guru. Untuk membangun manusia yang memiliki nilai-nilai karakter yang agung seperti dirumuskan dalam tujuan pendidikan nasional dibutuhkan sistem pendidikan yang memiliki materi yang lengkap (kaffah), serta ditopang oleh pengelolaan dan pelaksanaan yang benar. Oleh semua elemen pendidik.
Pada pendidikan Islam memiliki tujuan yang seiring dengan tujuan pendidikan nasional. Secara umum pendidikan Islam mengemban misi utama memanusiakan manusia, yakni menjadikan manusia mampu mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya sehingga berfungsi maksimal sesuai dengan aturan-aturan yang digariskan oleh Allah Swt dan Rasulullah saw. yang pada akhirnya akan terwujud manusia yang utuh (insan kamil). 
Pendidikan akhlak (karakter) adalah jiwa pendidikan dalam Islam. Mencapai akhlak yang karimah (karakter mulia) adalah tujuan sebenarnya dari pendidikan Islam. Di samping membutuhkan kekuatan dalam hal jasmani, akal, dan ilmu, peserta didik juga membutuhkan pendidikan budi pekerti, perasaan, kemauan, cita rasa, dan kepribadian (al-Abrasyi, 1987: 1). Sejalan dengan konsep ini maka semua mata pelajaran yang diajarkan kepada peserta didik haruslah mengandung muatan pelajaran akhlak (karakter) dan setiap guru haruslah memerhatikan sikap dan tingkah laku peserta didiknya.
Pengembangan karakter yang ditawarkan oleh para tokoh etika Islam dan para tokoh lain, terlihat jelas perbedaannya. Para tokoh etika Islam mendasari pengembangan karakter manusia dengan fondasi teologis (aqidah) yang benar, meskipun pemahaman teologi mereka berbeda-beda. Dengan fondasi teologis itulah mereka membangun ide bagaimana seharusnya manusia dapat mencapai kesempurnaan agamanya sehingga menjadi orang yang benar-benar berkarakter mulia. Sedang para tokoh lain lebih menekankan para proses apa yang harus ditempuh oleh seseorang dalam rangka mencapai tujuan itu. Proses ini sama sekali mengabaikan landasan teologi (aqidah). Proses inilah yang sekarang banyak dikembangkan di lembaga-lembaga pendidikan baik formal, nonformal, maupun informal, karena hasilnya lebih mudah dan cepat terlihat. Namun, harus diakui ketiadaan fondasi teologis (aqidah) tidak bisa menjamin untuk terwujudnya karakter mulia dalam diri seseorang yang sebenarnya, terutama dalam perspektif Islam.
Referensi:
1. Dr. Marzuki,MAG.Implementasi Pendidikan Karakter berbasis agama.Makalah
2. Hanni Junaniah. Penerapan Nilai-Nilai Religus pada Siswa Kelas V dalam Pendidikan Karakter di MIN Bawu Jepara.Skripsi.


Read More »
08 July | 2komentar

Rasa Empaty Kita, Sudahkah Terasah?

Pernah suatu ketika ada seorang ibu yang sedang naik bus umum sambil menggendong anaknya, karena bus tersebut penuh maka dengan terpaksa ibu berdiri. Melihat hal itu bapak kondektur meminta kesediaan para laki- laki yang duduk untuk bersedia memberikan tempatnya bagi ibu ini. Beberapa kali ditawarkan tetapi tak satupun laki-laki yang bersedia berdiri untuk memberikan kesempatan ibu yang menggendong anak ini duduk. Kesal karena tak ditanggapi, Pak Kondektur mencoba mencolek laki- laki yang memakai seragam sekolah SMA. Apa yang dilakukan anak SMA tersebut, berpura- pura tidur. Tak patah semangat Bapak Kondektur ini menyolek seorang pemuda yang tinggi tegap layaknya seorang militer yang tengah duduk santai dekat seorang wanita, Pemuda ini nampak berang diminta untuk berdiri dengan alasan..” Ah saya lagi capek” demikian bentaknya.
Jika Rakyat sulit berempati kepada sesama mungkin karena tengah berat menanggung tekanan kehidupan sehingga sulit memikirkan kebaikan selain untuk dirinya sendiri, untuk sendiri saja susah, bagaimana mau mikirin orang lain… mungkin kira2 pikiran mereka. 
Demikian juga yang terjadi di negeri tercinta ini para pejabat sulit untuk menunjukan empati kepada rakyatnya, pun bagaimana mungkin kita berharap kepada wakil rakyat untuk berempati kepada rakyat yang diwakili?….jika kebijakan yang diambil jauh dari kepentingan rakyat? Baru beberapa tahun bekerja (belum terlihat hasilnya) yang diributkan hanya kenaikan gaji, dana aspirasi dan pembangunan gedung baru.
Menurut hasil penelitian Prof.Adam Galinsky dari The New York University ternyata menjadi pejabat atau orang yang memiliki kekuasaan dapat menghambat rasa empati. Penelitian dengan sampel para pimpinan perusahaan yang mereka rata- rata berpendidikan tinggi mayoritas didapati sulit mengenal emosi orang lain disekitarnya atau tidak tanggap terhadap lingkungannya.

Read More »
05 July | 1komentar

Guru Menulis? Siapa Takut!

Bersama Mereka Yang Muda,Gupres 2017

Guru mengajar, itu sih mah biasa, bukan berita. Guru menulis, itu baru berita! Guru mengajar dan terus mengajar tidaklah aneh. Guru yang gemar membaca dan terus membaca, kemudian menulis apalagi berganti dari satu buku ke buku lainnya, juara lomba, ini yang luar biasa. Sebab, banyak guru hanya membaca satu-dua buku. Itu pun buku-buku yang menjadi bahan ajarnya. Jarang ia membaca buku selain buku yang menjadi bahan ajarnya. Pada artikel yang terdahulu (Semua Berawal dari Membaca) penulis telah memanjang-lebarkan tentang membaca. Menulis dan membaca bak dua sisi mata uang, yang selalu berdampingan. 
Seharusnya guru sangat kompeten dalam menulis tapi permasalahannya sekarang adalah guru tidak melaksanakan apa yang seharusnya di kerjakan. Seabreg kegiatan dari persiapan mengajar, proses mengajar dan evaluasi.Semua berkaitan dengan tulis menulis dan membaca. Coba kita lihat berapa teman guru kita yang membuat RPP, menyusun jurnal mengajar, merekap nilai, membuat analisis nilai ....mungkin hanya segelintir guru.
Apakah guru malas menulis? Jawabannya pasti bermacam ragam. Namun dalam kenyataannya, memang sangat sedikit guru yang menulis. Jangankan untuk menulis di media massa, jurnal atau yang lainnya, untuk membuat karya tulis yang diajukan dalam pengurusan kenaikan pangkat saja, banyak yang menunda- nundanya. Kronisnya untuk membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran saja banyak yang tidak membuat. Kondisi seperti ini tentu merupakan sesuatu yang memprihatinkan bagi kita. Padahal, guru harus membuat karya tulis; salah satu unsur pengembangan profesi, kalau mau cepat naik pangkat. Jika dijawab betul dan menganggap semua guru malas membaca pastilah tidak benar anggapan tersebut. Semua tidak bisa disamakan.

Kutu Buku?

Ada guru yang betul-betul gemar menulis. Contohnya Om Jay. Penulis buku, aktif menulis di Kompasiana dan seabreg kegiatan yang berkaitan dengan menulis. Guru yang gemar menulis tentu akan gemar membaca, untuk memunculkan ide dan gagasan. Dia membaca semua buku, tak hanya yang menjadi bahan ajarnya. Malah rutin membaca koran (walaupun koran sekolah), sesekali membeli majalah. Untuk membeli buku yang dibacanya pun tak hanya buku baru yang relatif mahal harganya, tapi juga membaca buku yang dibelinya di pasar buku murah. Namun, jarang memang guru yang seperti ini. Jarang sekali. 
Guru senang membaca, kutu buku, atau pelahap buku, bisa dijamin sangatlah sedikit jumlahnya, apalagi yang mau menulis. Tulisan Agus M Irkham dalam artikelnya yang berjudul Menulis Artikel Itu Gampang mengatakan bahwa peserta seminar yang berjumlah 50 orang, semuanya guru Bahasa Indonesia tingkat SLTA, kurang dari 10 persen yang suka menulis dan yang mengirimkan tulisannya untuk dikirim ke media adalah 0 persen, alias tidak ada bin tidak pernah. Ini hal yang sangat ironi, bagaimana dengan guru mapel lain. 
Kelompok guru yang suka menulis tentu akan suka membaca boleh dikatakan pesuka buku, kutu buku. Mereka mau menyisihkan uang gajinya untuk dapat mengurangi rasa kehausan terhadap keinginan meminum segarnya ilmu pengetahuan. Terlebih mereka telah mendapatkan sertifikasi. Disaat sesama guru antri/ inden mobil, dia rela menyisihkan uang serifikasi itu untuk meningkatkan kemampuan mengajarnya.
Banyak kendala yang mengahadang aktivitas menulis di kalangan guru. Pertama, dari sisi guru, mereka banyak yang tidak mempunyai budaya membaca yang baik. Mereka umumnya miskin bahan bacaan atau referensi. Ada ungkapan yang mengatakan, penulis yang baik berawal dari pembaca yang baik. Coba saja amati di sekeliling kita. Berapa banyak guru yang mempunyai perpustakaan pribadi. Berapa banyak guru yang sering mengunjungi perpustakaan umum untuk mencari referensi. Berapa banyak guru yang berlangganan koran atau majalah? Berapa banyak guru yang bisa dan biasa berselancar di internet? Jawaban atas pertanyaan-tertanyaan tersebut dapat mencerminkan apakah guru mempunyai budaya membaca yang baik atau sebaliknya. Kedua, motivasi yang rendah di kalangan guru untuk menulis. Tidak sedikit guru yang walapun telah banyak memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas, namun enggan untuk menulis. Dalam kaitan ini Agus Irkham- penulis artikel kondang yang ratusan tulisannya terserak di Koran Suara Merdeka, Wawasan, Kaltim Pos, Solo Post dan sebagainya, menegaskan bahwa kegagalan seorang untuk menjadi penulis, minimal menulis, justru lebih banyak disebabkan oleh lemahnya motivasi. Termasuk habit atau kebiasaan hidup yang dapat mendukung keprigelan dan tradisi menulis yang kuat. Kendala ketiga, guru yang miskin gagasan. Andaikan para guru di seluruh Indonesia dapat menulis buku untuk para muridnya. Andaikan para guru dapat memperkaya para muridnya dengan cerita-cerita yang mengasyikkan, ditulis oleh mereka di karya-karya tulis mereka. Andaikan artikel-artikel, opini dan celoteh guru banyak mengisi lembaran surat kabar dan majalah. Namun, mengapa tidak banyak guru yang mau menulis. Kurangnya gagasan dalam menulis membuat guru tidak tahu apa yang akan ditulis. Bahkan untuk memulai menulis kata pertama dalam karangannya sering membuatnya berkali-kali membuang kertas Akibat salah memilih kata – kata. 
Juara Blog Guru Tk.Prop.Jawa Tengah
Pertama- tama yang terbayang di benak saya ketika disuruh menulis adalah kalimat apa yang pertama akan saya tulis. Pengalaman pertama menulis ketika saya mengikuti lomba menulis untuk guru yang diadakan oleh Agupena Jawa Tengah dengan Tema Membudayakan menulis di Kalangan Guru, mengirimkan artikel di majalah Infokompetensi yang Insyaallah akan dimuat pada penerbitan edisi terbaru, dan Alhamdulillah dimuat, semakin menambah semangat pada diri saya untuk mencoba dan mencoba, terus kirim artikel ke berbagai media. Alhamdulillah ditayangkan juga masuk pada kolom Opini di koran Satelit Pos Jawa Tengah. Mengirimkan hasil PTK dan ditayangkan di Jurnal Profesionalitas terbitan PGRI. Sampai sekarang masih terus mencoba untuk mengasah kemampuan menulis dan pengembangan diri sebagai guru yang patut ditiru minimal oleh anak kita sendiri lewat menulis, sebagai bentuk merubah cara mengajar agar lebih bermakna, sehingga bermuara pada kebangkitan pendidikan Indonesia.


Read More »
13 May | 6komentar

Semua Berawal Dari Membaca

Perkembangan pendidikan relevan dengan minat baca para pendidik (guru dan dosen). Kemampuan membaca adalah sebagai dasar untuk menguasai berbagai kompetensi, berbagai bidang studi. Membaca sebagai bentuk komunikasi, menajamkan ingatan, ketajaman mata dan melatih ketajaman pemikiran/ pemahaman. Apa relevansinya membaca dengan peningkatan mutu pendidikan?
Pada definisi pendidikan di UU No.20 Tahun 2003 menjelaskan bahwa pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Rentetan yang harus dilalui dari semua itu sebelum sampai pada peningkatan mutu pendidikan adalah budaya belajar. Belajar identik dengan membaca, budaya baca, masyarakat baca atau masyarakat belajar. Masyarakat belajar terbentuk jika memiliki kemampuan dan minat baca yang tinggi (Nurhadi, 1989).
Apakah guru dan dosen malas membaca? Jawabannya pasti bermacam ragam. Namun dalam kenyataannya, memang sangat sedikit guru dan dosen yang membaca apalagi menulis. Jangankan untuk membaca pendalaman materi yang akan disampaikan di depan kelas, persiapan untuk mengajar pun dilakukan semalam. Mengunjungi perpustakaan? Dari laporan perpustakaan pusat IPB tahun 2015 pengunjung perpustakaan dari kategori staf pengajar (dosen) dan staf administrasi hanya 0,25%. Kita lihat sebuah institusi sekelas IPB saja jumlah dosen dan administrasi hanya 0,25%, berarti jumlah dosen yang berkunjung ke perpustakaan kurang dari 20%.
Kronisnya untuk guru, membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran saja banyak yang tidak membuat. Kondisi seperti ini tentu merupakan sesuatu yang memprihatinkan bagi kita. Padahal, guru harus membuat karya tulis; salah satu unsur pengembangan profesi- kalau mau cepat naik pangkat. Jika dijawab betul dan menganggap semua guru/ dosen malas membaca pastilah tidak benar anggapan tersebut. Tak bisa di gebyah uyah. Ada guru/ dosen yang betul-betul gemar membaca. Dia membaca semua buku, tak hanya yang menjadi bahan ajarnya. Malah rutin membaca koran (walaupun koran sekolah), sesekali membeli majalah. Untuk membeli buku yang dibacanya pun tak hanya buku baru yang relatif mahal harganya, tapi juga membaca buku yang dibelinya di pasar buku murah. Namun, jarang memang guru yang seperti ini. Jarang sekali.
Kelompok yang suka membaca boleh dikatakan pesuka buku, kutu buku di atas mau menyisihkan uang gajinya untuk memuaskan rasa dahaga akalnya. Guru/ dosen ini rela memotong gajinya untuk makanan ruhaninya. Selain itu, dia juga berupaya mendapatkan uang halal dari sumber-sumber lain, tak hanya mengandalkan gajinya. Bisa lewat makelar mobil/ motor, membuat kios kecil di rumahnya, atau berkirim artikel ke media massa. Guru/ dosen yang demikian pantaslah menjadi motor masyarakat-baca, minimal sebagai contoh bagi murid-muridnya.
Beberapa penelitian yang dilakukan oleh guru untuk mendapatkan gelar S2 berkaitan dengan minat baca dan peningkatan prestasi belajar, contoh thesis yang ditulis oleh Nur Ma'arif menyatakan bahwa ada korelasi antara minat baca dan prestasi belajar. Desfarini (2008) menyatakan bahwa minat baca akan berpengaruh pada motivasi belajar. Dari dua tesis yang dilakukan guru itu dapat ditarik benang merah bahwa minat baca guru akan berpengaruh pada peningkatan motivasi dalam mengajar dan prestasi guru. Tinggi rendahnya minat baca guru akan berpengaruh pada peningkatan cara mengajar dan peningkatan mutu pembelajaran.Karena banyak membaca maka akan mengetahui metode, media dan trik-trik mengajar. Pada gilirannya akan meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia.


Referensi:
Desfarini.2008.Pengaruh Minat Baca dan Prestasi Belajar Siswa Terhadap Prestasi Belajar di SMAN 1 Sijunjung.Masters thesis, Program Pascasarjana. 

Ma'arif, Nur. 2010. Pengaruh Minat Baca  Terhadap Prestasi Belajar di MA Abadiyah Gabus Pati.      Undergraduate thesis, UIN Sunan Ampel Surabaya

Nurhadi.1989. Bagaimana Meningkatkan Kemampuan Membaca. Bandung : Sinar Baru Algensindo.
.............. 2005. Laporan Tahunan 2005 Perpustakaan.http://eprints.rclis.org
.............. 2003. UU No.20 Tahun 2003

Read More »
12 May | 0komentar

Upload Ulang PTK Media Maket


Upload ulang contoh PTK dengan judul Media Maket


Penelitian tindakan kelas ini menggunakan model siklus, dengan 2 siklus, langkah kegiatannya adalah melakukan studi awal, mengidentifikasi permasalahan pembelajaran, mendiskusikan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) kreatif, pembelajaran kreatif membuat maket, mengobservasi pelaksanaan kegiatan pembelajaran.
Hasil penelitian: Pertama, diperlukan ketersediaan media pembelajaran berupa visual maket. Kedua, peragaan visual maket efektif dapat meningkatkan kualitas kegiatan belajar mengajar. Tercermin dari: (a) pembelajaran berjalan lebih baik, dinamis dan efisien waktunya, (b) aktivitas siswa lebih sungguh-sungguh, aktif secara individu dan kreativitasnya berkembang, Ketiga, peningkatan kompetensi siswa, siklus I (pertama) 15%, siklus II (kedua) menjadi 32%. Keempat, bimbingan yang lebih intensif dari guru untuk penentuan skala maket untuk mendapatkan hasil maket yang sesuai dengan skala.

Silahkan Download File disini

Read More »
28 April | 0komentar

Membuat Block Pada AutoCAD

Untuk mempercepat penggambaran salah satu cara adalah dengan menggunakan gambar yang sama/ sudah ada dengan memasukannya menjadi bentuk BLOCK.
Gambar bentuk block adalah gambar yang telah menjadi satu objeck. Misalnya gambar tentang notasi jendela, pintu, taman, meja, kursi dan perabot lainnya.
Pada kesempatan ini dibahas cara membuat block KOP Gambar.
Langkah-langkahnya:
1. Gambar terlebih dahulu KOP Gambar yang akan dipakai.

2. Gabungkan Kop Gambar tadi dengan cara select all, kecuali judul gambar
3. Ketik B enter


4. Ketik Nama Block pada Name, kemudian klik Select object. Klik Object gambar (Kop Gambar tadi) yang sudah menjadi satu kesatuan. Tekan enter. Maka akan menuju menu berikut.

5. Klik Pick point, Klik pada bagian tertentu dari gambar tadi, misalkan titik A, Klik OK.






Read More »
24 April | 4komentar

Edit Skala With Dimension Style Manajer

Untuk menentukan skala yang digunakan pada penggambaran dengan AutoCAD ada beberapa cara diantaranya dengan penentuan scale factor. Pada kesempatan ini dengan menggunakan cara yang berbeda yaitu dengan Dimension Style Manajer.


Langkah-langkahnya :
1. Ketik d, maka muncul gambar diatas.
2. Ketik New, dan ketik 1-20


3. Klik Continue


4. Pengaturan pada Text, pada area Text hight ketikan angka 4 dan pada Offset from dim line isikan nilai 1/4 dari Text hight yaitu nilai 1, sementara nilai yang lainya diberi nilai 1/2 atau bernilai 2.


Read More »
23 April | 3komentar