Assalamu'alaikum ! welcome to Media Pendidikan.| Contact | Register | Sign In

Mengapa Kita Tak Layak Mengeluh

Gunung Bromo
Banyak kenikmatan besar yang Allah berikan kepada kita setiap hari dalam menjalani hidup, kita sering kali lupa. Kita sibuk mengeluhkan masalah-masalah kecil hingga luput mensyukuri anugrah luar biasa yang sebenarnya selalu kita terima.
Ada tiga hal utama yang seharusnya membuat kita tidak pantas mengeluh. Mengenali dan mensyukuri ketiganya akan mengubah cara pandang kita terhadap hidup dan membuat hati kita lebih tentram.

1. Bangun Tidur dalam Kondisi Aman 

Nikmat pertama yang sering kita lupakan adalah rasa aman saat bangun tidur. Kita membuka mata di pagi hari tanpa rasa tertekan, terancam, atau dikejar-kejar. Kita bisa melangkahkan kaki dari rumah dengan tenang, bahkan untuk menjalankan shalat Subuh berjamaah, tanpa kekhawatiran akan bahaya.
Coba bayangkan saudara-saudara kita yang hidup di daerah konflik, di mana bunyi bom atau tembakan adalah hal biasa. Mereka tidak pernah tahu apakah esok pagi mereka masih bisa melihat dunia atau apakah rumah mereka akan hancur lebur. Rasa aman yang kita miliki setiap hari adalah kenikmatan yang sangat besar, bahkan lebih berharga dari harta benda.
Maka, saat membuka mata, ucapkanlah, “Alhamdulillahilladzi ahyana ba’da ma amatana wa ilaihin nusyur”. Ya Allah, terima kasih Engkau telah menghidupkan aku setelah Engkau ‘matikan’ (tidur). Ini adalah pengakuan bahwa kita diberi kesempatan hidup lagi untuk berbekal, beramal, dan beristighfar.

2. Kondisi Badan yang Sehat dan Bugar

Nikmat besar kedua yang wajib kita syukuri adalah kesehatan. Tubuh kita memiliki 360 persendian yang berfungsi dengan baik. Jika satu saja persendian bermasalah, hidup kita akan terasa sulit. Bayangkan jika lutut sakit, mata rabun, atau telinga tidak bisa mendengar—semua aktivitas akan terganggu.
Udara Subuh, yang merupakan udara paling bersih karena belum tercampur dengan nafas orang-orang kafir dan munafik yang tidak bangun pagi, adalah karunia yang luar biasa. Menghirup udara bersih ini menyehatkan paru-paru dan memberi asupan terbaik untuk tubuh kita. Orang-orang yang berjuang melawan kantuk, dingin, dan rasa malas untuk shalat atau menuntut ilmu di waktu Subuh pantas mendapatkan gelar Mujahidin Fajar, pejuang di waktu Subuh.
Sebagai wujud rasa syukur atas nikmat sehat, Rasulullah menganjurkan kita untuk mengerjakan shalat Dhuha. Minimal dua rakaat, shalat ini adalah cara kita membayar ‘hak’ dari 360 persendian di tubuh kita. Shalat Dhuha adalah ibadah tingkat tinggi, yang merupakan perwujudan syukur kita kepada Allah dengan bersujud di waktu Dhuha.

3. Masih Memiliki Bahan Makanan untuk Hari Ini

Kenikmatan ketiga adalah saat kita masih memiliki makanan untuk dikonsumsi hari ini. Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang bangun tidur dalam keadaan aman, sehat badannya, dan ia memiliki bahan makanan untuk satu hari itu, maka seakan-akan ia telah memiliki seluruh dunia.”
Ini adalah pengingat bahwa kita sering mengeluh hanya karena masalah kecil, seperti kurangnya uang atau keinginan yang belum tercapai, padahal tiga kenikmatan besar ini—keamanan, kesehatan, dan ketersediaan makanan—sudah kita miliki.
Sering kali kita tidak sadar akan besarnya nikmat ini. Kita bahkan khawatir nikmat tersebut akan dicabut oleh Allah, karena Allah telah berfirman, “Jika kalian tidak bersyukur atas nikmat-Ku, sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”

Definisi Syukur yang Sesungguhnya
Syukur bukanlah sekadar ucapan “terima kasih”, tetapi sebuah tindakan. Definisi syukur yang paling tepat adalah menggunakan nikmat Allah untuk taat kepada-Nya.
Jika kita memiliki kesehatan, gunakan untuk beribadah dan beramal shaleh. Jika kita memiliki waktu luang, gunakan untuk menuntut ilmu. Seorang pensiunan yang dulu sibuk bekerja kini bisa menggunakan waktu luangnya untuk mencari ‘jalan pulang’ ke hadirat Allah. Ia menggunakan waktu luangnya untuk mendatangi majelis ilmu dan berbekal untuk perjalanan panjang menuju akhirat.
Mari kita renungkan tiga nikmat besar ini setiap hari. Dengan begitu, kita akan merasa lebih damai dan menyadari betapa melimpahnya karunia Allah, sehingga tidak ada lagi alasan untuk mengeluh.

Read More »
04 September | 0komentar

Fenomena "Crab Mentality"

Pernahkah Anda melihat sekumpulan kepiting dalam satu ember? Ketika salah satu kepiting mencoba memanjat dan keluar, kepiting-kepiting lain akan menariknya kembali ke bawah. Mereka tidak akan membiarkan satu pun keluar, meskipun itu berarti tidak ada yang bisa melarikan diri. Inilah gambaran nyata dari mentalitas kepiting atau crab mentality. Sebuah fenomena psikologis di mana seseorang tidak rela melihat orang lain berhasil, dan justru berusaha menarik mereka kembali ke posisi yang sama.
Mentalitas ini muncul dari rasa iri, cemburu, dan rasa tidak aman. Daripada berusaha memanjat keluar dari "ember" sendiri, orang dengan mentalitas kepiting lebih memilih untuk memastikan semua orang tetap berada di bawah, bersama-sama dalam ketidaknyamanan. Mereka merasa aman dalam kesamaan, meskipun kesamaan itu adalah kesamaan dalam kegagalan

Mengapa "Crab Mentality" Terjadi?
Ada beberapa faktor yang memicu munculnya mentalitas ini:
Rasa Tidak Aman dan Harga Diri Rendah: Ketika seseorang merasa tidak mampu atau tidak cukup baik, kesuksesan orang lain menjadi cerminan dari kegagalan mereka sendiri. Melihat orang lain berhasil membuat mereka merasa lebih inferior, sehingga mereka berusaha menyingkirkannya. Ketakutan akan Perubahan: Mentalitas kepiting seringkali berasal dari ketakutan akan perubahan. Jika ada satu orang yang berhasil, itu berarti standar baru telah ditetapkan. Ini menuntut semua orang untuk beradaptasi dan bekerja lebih keras, sesuatu yang tidak semua orang mau lakukan. Lingkungan yang Kompetitif Secara Tidak Sehat: Di lingkungan yang terlalu kompetitif, di mana satu orang harus gagal agar yang lain berhasil, mentalitas kepiting menjadi hal yang lazim. Ali-alih saling mendukung, orang-orang saling menjatuhkan untuk bertahan.

Dampak Negatif "Crab Mentality"
Dampak dari mentalitas kepiting sangat merusak, baik bagi individu maupun kelompok:
Menghambat Kemajuan: Mentalitas ini membunuh inovasi dan kreativitas. Tidak ada yang berani mencoba hal baru atau mengambil risiko karena takut dijatuhkan oleh orang lain. Merusak Hubungan: Hubungan interpersonal menjadi tegang dan penuh kecurigaan. Saling menjatuhkan menciptakan lingkungan kerja atau pertemanan yang tidak sehat. Siklus Negatif: Orang yang dijatuhkan bisa jadi akan mengadopsi mentalitas yang sama di kemudian hari, menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus.

Cara Mengatasi "Crab Mentality" Mengatasi mentalitas kepiting tidaklah mudah, tetapi bukan berarti tidak mungkin. Berikut beberapa langkah yang bisa diambil: Fokus pada Diri Sendiri: Alihkan energi dari mengawasi orang lain ke pengembangan diri. Daripada membandingkan diri dengan orang lain, fokuslah pada kemajuan pribadi Anda. Membangun Lingkungan Positif: Carilah orang-orang yang saling mendukung dan merayakan keberhasilan satu sama lain. Jauhi lingkungan yang penuh dengan gosip dan energi negatif. Mengubah Pola Pikir: Sadari bahwa kesuksesan orang lain tidak mengurangi nilai diri Anda. Jadikan keberhasilan mereka sebagai inspirasi, bukan ancaman. Rayakan Keberhasilan Orang Lain: Belajarlah untuk tulus dalam merayakan keberhasilan orang lain. Memberikan apresiasi yang tulus tidak hanya membuat orang lain senang, tetapi juga menciptakan ikatan yang lebih kuat.
Mentalitas kepiting adalah racun yang bisa merusak potensi individu dan kemajuan sebuah kelompok. Dengan mengubah pola pikir dan membangun lingkungan yang suportif, kita bisa keluar dari "ember" itu dan menciptakan masa depan di mana semua orang bisa meraih kesuksesan.

Read More »
04 September | 0komentar

Saat Guru Berhenti Jadi "Mesin Fotokopi"

Pendidikan di Indonesia sering kali terasa seperti rutinitas tanpa akhir. Penuh dengan tuntutan administratif, jadwal mengajar yang padat, dan kurikulum yang menuntut. Guru-guru seolah-olah menjadi "mesin fotokopi" yang terus mengulang proses yang sama—masuk kelas, mengisi absen, mengajar, lalu pulang, dan kembali lagi esok harinya. Siklus ini bisa membuat siapa pun merasa lelah dan kehilangan makna.
Namun, di tengah semua kelelahan itu, ada sebuah panggilan yang datang. Sebuah bisikan yang mengajak para guru untuk pulang, bukan ke rumah fisik, melainkan ke rumah kesadaran. Ini adalah momen di mana seorang guru menyadari bahwa tugasnya bukan sekadar mentransfer materi pelajaran atau memenuhi tuntutan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) agar lolos penilaian pengawas. Tugas ini jauh lebih dalam.
Pergeseran Paradigma: Dari 'Apa yang Saya Dapat' Menjadi 'Apa yang Bisa Saya Beri'
Pendidikan sejati bukanlah tentang apa yang bisa guru dapatkan, seperti pengakuan, promosi, atau tunjangan. Sebaliknya, pendidikan sejati adalah tentang apa yang bisa guru berikan kepada murid-muridnya. Ini adalah pergeseran paradigma yang fundamental. Guru yang efektif tidak lagi berfokus pada kelengkapan administrasi, tetapi pada esensi pengajaran.
Tentu saja, administrasi itu penting. Tapi, ketika semua fokus hanya tertuju pada teknis seperti RPP, Kriteria Ketercapaian Tujuan Pembelajaran (KKTP), atau aplikasi-aplikasi canggih, kita bisa kehilangan esensi pendidikan itu sendiri. Guru seharusnya merasa merdeka dalam mengajar, bukan terbelenggu oleh aturan yang terlalu kaku.

Langkah Kecil Penuh Makna
Lalu, dari mana kita harus memulai perubahan ini? Jawabannya sederhana: mulai dari diri sendiri. Setiap langkah kecil yang kita ambil, sekecil apa pun, memiliki makna besar. Sebuah refleksi diri, sebuah percakapan mendalam dengan murid, atau bahkan hanya senyum yang tulus, bisa menciptakan jejak yang berarti bagi masa depan mereka.
Pendidikan tidak selalu ideal. Dunia ini penuh dengan tantangan dan ketidaksempurnaan. Namun, dengan merenung dan berefleksi bersama, kita bisa menemukan jalan pulang. Jalan yang membawa kita kembali ke tujuan awal: mendidik manusia, bukan sekadar mengisi kepala mereka dengan informasi.

Pertanyaan yang Harus Kita Jawab
Setelah menyadari semua ini, ada satu pertanyaan tajam yang harus kita hadapi: setelah ini, apa yang berani kita lakukan untuk pendidikan Indonesia? Pendidikan bukan lagi sekadar pekerjaan, tetapi sebuah pergerakan. Ini adalah pergerakan untuk memanusiakan manusia, untuk memerdekakan pikiran, dan untuk menciptakan masa depan yang lebih baik. Mari kita sambut masa depan Indonesia yang baru, yang dibangun di atas fondasi kesadaran, refleksi, dan keberanian untuk bertindak.
Selamat datang di rumah pergerakan, tempat di mana pendidikan bukan sekadar mengajar, tapi memanusiakan dan memerdekakan.

Read More »
04 September | 0komentar

Deep Learning dan Ironi di Lapangan

deep learning
Di satu sisi, seminar dan workshop gencar menyuarakan pentingnya deep learning, sebuah konsep yang menjanjikan pembelajaran bermakna dan relevan. Namun, ketika kita menengok praktik di lapangan, kita disuguhkan sebuah pemandangan ironis. Perilaku di sekolah justru kembali ke budaya lama yang sangat berorientasi pada ujian standar.
Kita melihat para guru sibuk menyiapkan siswa untuk TKA (Tes Kemampuan Akademik). Siswa dijejali dengan latihan soal, buku-buku TKA yang katanya tidak wajib justru menjadi barang yang harus dimiliki, dan lab komputer hanya ramai saat ada jadwal ujian. Seluruh ekosistem pendidikan seolah bergerak cepat hanya demi mendapatkan angka yang bagus, seolah angka-angka itulah tujuan akhir dari proses belajar.
Ini adalah sebuah paradoks. Kita mengampanyekan deep learning, pendekatan yang menekankan pada pemahaman internal dan relevansi, tetapi pada saat yang sama, kita mendorong praktik yang sangat surface learner: motivasi eksternal, hafalan, dan hasil instan. Hasilnya? Pendidikan kita seperti terjebak dalam disonansi kognitif, di mana narasi di atas panggung tidak sinkron dengan realitas di ruang kelas.
Laporan akademik yang sering dijadikan pembenaran, sebetulnya penting bagi siapa? Bagi siswa, yang membutuhkan pemahaman hidup? Bagi guru, yang ingin melihat siswa berkembang? Atau bagi pihak-pihak yang membutuhkan grafik dan data yang mentereng untuk laporan tahunan?
Pada akhirnya, kita harus jujur. Apakah kita sedang menjadi bangsa surface learner yang dikemas sebagai deep learner, atau kita memang deep learner yang terpaksa menjadi surface demi laporan administrasi?

Read More »
04 September | 0komentar

Mencegah Bangsa Menjadi Surface Learner

deep drilling
Deep Learning atau Deep Drilling? Saat Pendidikan Terjebak dalam Paradoks Beberapa tahun belakangan, istilah deep learning menjadi perbincangan hangat di dunia pendidikan. Dari seminar mewah hingga workshop di hotel berbintang, konsep ini dielu-elukan sebagai napas baru yang akan merevolusi cara belajar. Namun, di tengah gemerlapnya jargon dan kutipan ilmiah, muncul pertanyaan menggelitik: benarkah kita sedang menerapkan deep learning? Atau jangan-jangan, yang kita lakukan hanya deep drilling?

Membedah Konsep: Surface vs. Deep Learning
Secara teoritis, perbedaannya sangat jelas. Menurut Marton dan Saljo (1976), surface learner adalah pembelajar yang berorientasi pada motivasi eksternal. Mereka belajar hanya untuk mendapatkan nilai tinggi, lulus ujian, atau sekadar memenuhi tuntutan administrasi. Strategi yang mereka gunakan pun cenderung dangkal: menghafal, mencatat, dan mengulang-ulang materi tanpa pemahaman mendalam.
Sebaliknya, deep learner digambarkan sebagai pembelajar yang motivasinya berasal dari dalam diri. Mereka mencari makna, menghubungkan ide-ide, dan mengajukan pertanyaan filosofis seperti, "Bagaimana pengetahuan ini relevan dengan kehidupan nyata saya?" Tentu saja, pendekatan ini dianggap lebih berkelas, lebih bermakna, dan menjanjikan hasil jangka panjang yang lebih baik.

Mencegah Bangsa Menjadi Surface Learner
Pertanyaan besarnya adalah: apakah kita sekarang sedang menjadi bangsa surface learner yang dikemas sebagai deep learner, atau kita memang deep learner yang terpaksa menjadi surface demi laporan administrasi?
Jawabannya mungkin ada pada kejujuran kita. Mari kita akui, untuk sementara ini, kita berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, ada semangat dan gagasan revolusioner dari deep learning. Di sisi lain, ada tuntutan sistem yang masih berorientasi pada angka dan formalitas.
Tantangan kita bukan lagi memahami teori, melainkan berani melawan arus. Berani memprioritaskan pemahaman di atas nilai, eksplorasi di atas hafalan, dan relevansi di atas tuntutan administrasi. Karena pada akhirnya, pendidikan yang sesungguhnya bukanlah tentang berapa banyak angka yang dicetak, melainkan seberapa dalam makna yang tertanam dalam diri setiap pembelajar.

Read More »
03 September | 0komentar

Ketika Empati Menguap: Pendidikan Kita Mencetak Manusia atau Robot?

Hari ini, kita menyaksikan sebuah ironi yang menyayat hati. Di tengah gemuruh pembangunan dan kemajuan teknologi, nilai-nilai luhur yang menjadi fondasi bangsa kita seolah menguap begitu saja. Simpati, empati, rasa menghargai, tolong-menolong, gotong royong, bahkan kasih sayang terasa langka, tergantikan oleh ego dan kepentingan pribadi. Penguasa, wakil rakyat, dan masyarakat biasa tampak terperangkap dalam pusaran pragmatisme, membuat bangsa ini terasa seperti tubuh yang tercabik-cabik.
Dalam keadaan getir ini, para pendidik—mereka yang berada di garda terdepan pembentukan karakter—dituntut untuk berkaca. Sudahkah peran kita benar-benar berada di relnya? Atau, jangan-jangan kita juga ikut terseret arus, terjebak dalam mengejar relevansi industri dan hedonisme ekonomi semata? Pertanyaan mendalam ini menuntut jawaban yang jujur. Apakah pendidikan kita masih melahirkan manusia yang memanusiakan manusia, atau justru sekadar mencetak robot-robot cerdas yang kehilangan nilai dasar kemanusiaannya?

Pendidikan: Lebih dari Sekadar Pabrik Tenaga Kerja
Pendidikan seharusnya menjadi kunci untuk membangun peradaban, bukan sekadar pabrik yang mencetak tenaga kerja siap pakai. Kita harus jujur mengakui, sistem pendidikan kita saat ini seringkali terlalu fokus pada aspek kognitif dan keterampilan teknis, mengabaikan pembentukan karakter dan moral. Kurikulum didesain untuk memenuhi kebutuhan pasar, bukan untuk membentuk manusia seutuhnya. Akibatnya, kita melahirkan generasi yang cerdas secara intelektual, tetapi miskin secara spiritual dan emosional. Mereka lihai dalam teori, tetapi gagap dalam memahami penderitaan sesama.

Mendidik dengan Hati: Kunci Membangun Kembali Peradaban: 
Untuk menyelamatkan peradaban bangsa, pendidikan harus kembali ke esensinya: memanusiakan manusia. Ini berarti kita harus menanamkan tidak hanya pengetahuan, tetapi juga nilai-nilai moral, etika, dan spiritualitas. Pendidikan bukan hanya tentang apa yang diajarkan di kelas, tetapi juga tentang bagaimana kita membentuk jiwa dan karakter anak didik. Berikut adalah beberapa pilar pendidikan yang krusial untuk menjaga peradaban:
  • Pendidikan Karakter: Ini adalah fondasi. Kita harus mengajarkan kejujuran, integritas, tanggung jawab, dan saling menghormati. Pendidikan harus menjadi ruang di mana empati ditumbuhkan, di mana anak-anak belajar merasakan penderitaan orang lain.
  • Pendidikan Kritis dan Reflektif: Alih-alih hanya menerima informasi, siswa harus dilatih untuk berpikir kritis. Mereka harus mampu mempertanyakan fenomena sosial dan politik, sehingga tidak mudah terprovokasi dan mampu mencari solusi yang bijaksana.
  • Pendidikan Berbasis Komunitas: Pendidikan tidak boleh berhenti di gerbang sekolah. Kolaborasi antara guru, orang tua, dan masyarakat sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang mendukung tumbuh kembang karakter anak secara holistik.
  • Pendidikan untuk Toleransi dan Kebinekaan: Di tengah perpecahan, pendidikan harus menjadi jembatan yang menyatukan. Kita harus mengajarkan toleransi dan saling menghargai perbedaan suku, agama, dan budaya, menjadikan kebinekaan sebagai kekuatan, bukan ancaman.
Sebagai pendidik, peran kita adalah penjaga peradaban. Di tangan kitalah masa depan bangsa ini berada. Jangan biarkan kita terjebak dalam arus pragmatisme yang hanya mengejar angka dan materi. Mari kita kembali ke rel yang benar: mendidik dengan hati. Hanya dengan cara ini, kita bisa melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berakhlak mulia, yang mampu merajut kembali "tubuh bangsa yang tercabik-cabik" ini.

Read More »
02 September | 0komentar