Assalamu'alaikum ! welcome to Media Pendidikan.| Contact | Register | Sign In

Antara Ujian Dunia dan Janji Surga

Masjid Al Aqso
Pembahasan tentang takdir tak bisa dilepaskan dari ketetapan yang telah Allah tentukan untuk hamba-Nya. Para ulama membagi ketentuan Allah menjadi dua jenis: ketentuan syariat (Al-Amrus Syar'i) dan ketentuan takdir (Al-Amrul Kauni). Kedua hal ini adalah ujian bagi kita.
Ujian syariat berbentuk perintah, larangan, dan berbagai aturan. Contohnya adalah cara salat yang benar, ketentuan ibadah yang sah, perintah puasa, dan larangan minum khamr atau berzina. Sebagai mukmin, ibadah kita terhadap syariat adalah dengan menjalankan perintah, menjauhi larangan, dan mengikuti aturan yang berlaku.
Sementara itu, ujian takdir adalah segala sesuatu yang Allah ciptakan dan terjadi di alam semesta, baik di masa lalu, sekarang, maupun masa depan. Takdir ini dapat dilihat dari sudut pandang makhluk yang menerimanya. Sesuatu yang sesuai harapan manusia disebut takdir baik, sedangkan yang tidak sesuai harapan disebut takdir buruk.

Memahami Takdir Baik dan Buruk
Sesuai sabda Nabi SAW, istilah takdir baik dan buruk itu benar adanya, karena beliau sendiri yang menggunakannya dalam hadis tentang rukun iman, yaitu "...engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk."
Namun, penting untuk dipahami bahwa jika dilihat dari perbuatan Allah SWT, semua perbuatan-Nya adalah baik. Nabi SAW bersabda, “Kebaikan ada di tangan-Mu, dan keburukan tidak boleh dikembalikan kepada-Mu.” Jadi, takdir baik dan buruk ini dilihat dari sudut pandang makhluk yang merasakannya. Contohnya, kaya adalah takdir baik, sedangkan miskin adalah takdir buruk. Sehat adalah takdir baik, sedangkan sakit adalah takdir buruk.
Setiap manusia pasti akan mengalami keduanya, takdir baik dan takdir buruk, karena keduanya selalu berpasangan. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang hidup tanpa pernah tertimpa musibah. Hidup di dunia ini tidak hanya berisi nikmat atau musibah saja, melainkan gabungan keduanya. Imam Hasan Al-Bashri pernah berkata, “Sesungguhnya kenikmatan dunia itu bercampur dengan musibah.” Allah tidak mengizinkan hamba-Nya merasakan kenikmatan dunia seperti kenikmatan di akhirat.

Dunia sebagai Penjara bagi Mukmin Nabi Muhammad SAW bersabda, “Dunia adalah penjara bagi mukmin dan surga bagi orang kafir.” (HR. Muslim). Mengapa dunia disebut penjara bagi mukmin?
Kenikmatan yang Terbatas: Kenikmatan dunia tidak sebanding dengan kenikmatan di surga. Kenikmatan apa pun di dunia pasti ada batasnya dan bercampur dengan potensi bahaya atau musibah.
Dibatasi Aturan: Seorang mukmin dibatasi oleh aturan syariat, seperti larangan riba, haram, atau maksiat lainnya. Keterbatasan ini membuat mukmin merasa seolah-olah hidup dalam penjara.
Namun, penjara ini tidak selamanya. Ujian di dunia ini sifatnya terbatas, dan akan berakhir dengan kematian. Setelah itu, kita akan memasuki kehidupan abadi di akhirat, di mana kita akan dihisab dan mendapatkan balasan. Dengan memahami hal ini, seorang mukmin akan bersabar dalam menghadapi cobaan. Kita rela merasakan tidak enak sesaat agar bisa mendapatkan kenikmatan abadi di akhirat kelak.

Hikmah dari Ujian dan Musibah
Bagi seorang mukmin, tak ada takdir yang buruk. Mengikuti syariat Allah akan mendatangkan pahala. Begitu pula dengan musibah yang menimpa. Kelelahan atau rasa sakit yang dialami tidak akan sia-sia. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur'an, “Jika kalian merasakan sakit, maka sesungguhnya mereka (orang kafir) pun merasakan sakit. Dan kalian memiliki harapan di sisi Allah yang tidak mereka miliki.” (QS. An-Nisa: 104).
Seorang mukmin yang sakit dan bersabar, sakitnya akan menjadi penghapus dosa dan pengangkat derajatnya di surga. Tidak ada ruginya bagi seorang mukmin yang mengalami kondisi tidak nyaman di dunia, selama ia rida dengan ketetapan Allah. Nabi SAW bersabda, “Tidaklah seorang muslim ditimpa rasa sakit, capek, bingung, sedih, atau resah, sampai duri yang menusuk badannya, melainkan Allah akan jadikan semua itu sebagai kafarah (penghapus) dosa-dosanya.”
Oleh karena itu, bersabarlah dalam menghadapi ujian. Apa pun yang kita alami di dunia ini, sepanjang kita rida dengan ketetapan Allah, maka itulah yang terbaik bagi kita.

Read More »
15 September | 0komentar

Pernikahan: Tanggung Jawab Sosial yang Terlupakan

Sering kali kita menganggap pernikahan sebagai urusan pribadi antara dua individu yang saling mencintai. Namun, dalam ajaran Islam, pernikahan memiliki dimensi yang jauh lebih luas ia adalah sebuah tanggung jawab sosial.
Bukan hanya mereka yang belum menikah yang bertanggung jawab atas status lajang mereka, tetapi seluruh masyarakat juga memiliki peran penting. Al-Qur'an secara tegas memerintahkan umatnya: 

"Dan nikahkanlah orang-orang yang masih sendiri (belum menikah) di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba sahayamu yang laki-laki maupun perempuan." (QS. An-Nur: 32).

Ayat ini menunjukkan bahwa perintah untuk menikahkan bukanlah ditujukan hanya kepada mereka yang belum menikah, tetapi kepada seluruh anggota masyarakat. Ini adalah panggilan untuk bertindak, bukan sekadar menunggu. Pernikahan menjadi sebuah program sosial yang harus dijalankan bersama.

Mengapa Pernikahan Adalah Tanggung Jawab Kita Bersama?
Membantu Mencari Jodoh: Daripada sekadar bertanya "Kapan nikah?", cobalah berperan aktif. Jika Anda mengenal seseorang yang belum menikah, baik itu saudara, teman, atau tetangga, bantulah mereka mencari pasangan. Carikan jodoh yang cocok, kenalkan mereka dengan orang-orang yang potensial.
Hentikan Perundungan (Bullying): Sering kali, status lajang seseorang menjadi bahan lelucon atau ejekan. Perilaku ini, yang dikenal sebagai "bully jomblo", sangatlah tidak Islami dan menyakitkan. Alih-alih merundung, bantulah mereka. Ingat, doa orang yang terzalimi itu mustajab. Sakit hati karena ejekan bisa membuat mereka berdoa hal yang tidak baik bagi Anda.
Pernikahan adalah fondasi masyarakat yang sehat. Dengan membantu mewujudkannya, kita tidak hanya menolong satu atau dua individu, tetapi juga berkontribusi pada kebaikan dan ketahanan komunitas secara keseluruhan. Jadi, mari kita ubah paradigma. Pernikahan bukan hanya urusan pribadi, melainkan tanggung jawab kita bersama.

Read More »
12 September | 0komentar

Antara Antrean Panjang, Riba, dan Judi Ibadah

Ibadah haji adalah salah satu rukun Islam yang memiliki kedudukan mulia. Namun, dalam konteks saat ini, banyak Muslim dihadapkan pada berbagai kendala dan kerumitan yang patut untuk dicermati secara syariat. Tulisan ini akan membahas perspektif seputar kewajiban haji di tengah antrean panjang, masalah dana talangan, dan alternatif ibadah yang disarankan.

Kewajiban Haji dan Realitas Antrean Panjang
Allah SWT berfirman: "Walillahi 'ala an-nasi hijjul baiti manis tatho'a ilaihi sabila" (Kewajiban manusia terhadap Allah adalah menunaikan haji bagi siapa saja yang mampu mengadakan perjalanan ke sana).
Ayat ini menegaskan bahwa haji adalah kewajiban bagi yang mampu. Namun, apa artinya "mampu" di era antrean haji yang bisa mencapai puluhan tahun? Jika seseorang mendaftar haji sekarang di Indonesia dan baru bisa berangkat 50 tahun lagi, atau bahkan tidak mendapatkan antrean sama sekali, apakah kewajiban haji masih melekat padanya?
Beberapa ulama dan konsultan syariah, seperti Dr. Almad Haji (konsultan syariah di Bank Ar-Rajhi), berpendapat bahwa dalam kondisi seperti ini, kewajiban haji gugur bagi mereka yang mendaftar hari ini dengan masa tunggu yang tidak masuk akal. Ini karena ketidakmampuan untuk segera menunaikan haji, meskipun secara finansial ia memiliki dana. Mereka yang "terhalangi" untuk berangkat karena sistem antrean yang panjang dianggap memiliki uzur (halangan syar'i).

Kerusakan Sistemik Akibat Dana Talangan Haji dan Riba
Permasalahan semakin pelik dengan munculnya sistem dana talangan haji yang banyak ditawarkan oleh bank-bank syariah. Konsep ini, menurut beberapa pandangan syariah, murni riba. Mengapa? Karena pinjaman yang diberikan oleh bank bertambah dengan "jasa" atau keuntungan yang diambil, yang sejatinya adalah bunga atau riba.
Riba memiliki dampak kerusakan sistemik yang sangat besar. Contoh paling jelas adalah kemacetan di Indonesia yang tidak kunjung usai. Kemudahan kredit kendaraan bermotor dengan sistem riba menyebabkan jumlah kendaraan meledak tanpa diimbangi infrastruktur jalan. Ketika riba "dipindahkan" ke sistem haji melalui dana talangan, maka sistem haji pun ikut hancur.
Sebelum ada dana talangan haji, proses keberangkatan lebih sederhana. Seseorang mendaftar, menunggu beberapa waktu, melunasi pembayaran secara tunai, lalu berangkat. Namun, setelah sistem dana talangan merajalela, antrean menjadi sangat panjang karena semua orang, bahkan yang belum mampu secara finansial, bisa "memesan" kuota haji dengan berhutang riba. Ini menciptakan kehancuran sistemik yang merugikan banyak pihak.

Haji Furoda dan Visa Mukim: Perjudian dalam Ibadah?
Selain haji reguler dengan antrean panjang, muncul juga tawaran haji furoda atau menggunakan visa mukim. Haji furoda menjanjikan keberangkatan lebih cepat, namun seringkali dengan biaya yang sangat tinggi dan ketidakpastian yang besar. Tingkat kemungkinan keberangkatan bisa 50-50, bahkan banyak kasus jemaah yang sudah berada di Jeddah harus dipulangkan. Ini diibaratkan seperti perjudian, di mana seseorang mempertaruhkan uangnya tanpa jaminan pasti akan beribadah.
Demikian pula dengan penggunaan visa mukim tanpa benar-benar mukim (tinggal) di sana, hanya untuk mendapatkan kuota haji mukimin. Praktik semacam ini dianggap sebagai penipuan, dan melakukan ibadah dengan cara menipu atau berjudi akan merusak esensi ibadah itu sendiri. Allah tidak menerima ibadah yang dilakukan dengan cara-cara yang dilarang-Nya.

Alternatif dan Solusi: Kembali kepada Keredaan Allah
Jika seseorang dihadapkan pada sistem haji yang bermasalah, baik karena antrean panjang, riba dalam dana talangan, atau perjudian dalam furoda, apa yang harus dilakukan?
  1. Gugurnya Kewajiban Haji: Bagi mereka yang mendaftar sekarang dan menghadapi antrean puluhan tahun, kewajiban haji bisa gugur karena uzur. Daripada terlibat riba atau judi, lebih baik tetap di rumah, berdoa kepada Allah dengan cara yang halal dan benar.
  2. Umrah Ramadan sebagai Alternatif: Rasulullah SAW bersabda, "Umrah di bulan Ramadan setara dengan haji bersamaku." Ini adalah alternatif yang sangat mulia bagi mereka yang tidak bisa berhaji. Memilih paket umrah Ramadan yang aman dari unsur riba dan judi, dengan akad yang jelas, jauh lebih baik dan berpahala besar.
  3. Memperbaiki Akad dan Sistem: Bagi para penyelenggara perjalanan (travel) dan pihak-pihak terkait, nasihatnya adalah untuk berhati-hati agar tidak ikut serta dalam dosa. Membantu umat Islam beribadah haruslah dengan cara yang benar dan sesuai syariat, bukan dengan melibatkan mereka dalam riba atau garar (ketidakjelasan/perjudian). Akad yang batil harus diperbaiki.
  4. Menarik Kembali Dana Haji: Bagi yang sudah mendaftar haji dan menyadari adanya masalah dalam sistem atau akad, disarankan untuk menarik kembali dananya, terutama jika masa tunggunya sangat panjang atau terdapat unsur riba. Meskipun prosesnya mungkin rumit, ini adalah langkah untuk menyelamatkan diri dari dosa.
Pada akhirnya, tujuan ibadah adalah mencari keridaan Allah, bukan menambah kesusahan atau terjerumus dalam dosa. Allah Maha Melihat dan Maha Mengetahui niat hamba-Nya. Mencari keridaan-Nya bisa dengan cara yang halal, bahkan dengan duduk di rumah dan berdoa, daripada melakukan perbuatan dosa seperti riba dan judi demi sebuah ibadah.

Referensi dari : Youtube 

Read More »
12 September | 0komentar

Saat Ketaatan Dicap Mabuk Agama: " Sok Suci"

Dalam Al-Qur'an, surat An-Nas ayat 4-6, Allah SWT menjelaskan tentang 'alladzi yuwaswisu fi sudurinnas,' yaitu setan yang membisikkan kejahatan dalam hati manusia, baik dari golongan jin maupun manusia itu sendiri. Fenomena ini bukanlah hal baru. Jauh sebelum kita, para nabi dan rasul juga menghadapi musuh serupa.

Allah berfirman dalam surat Al-An'am ayat 112:
"Dan demikianlah Kami jadikan bagi setiap nabi itu musuh, yaitu setan dari jenis manusia dan jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah untuk menipu manusia." (QS. Al-An'am: 112)
Ayat ini secara jelas menyebutkan bahwa musuh para nabi terdiri dari dua golongan: setan dari kalangan jin dan setan dari kalangan manusia. Mereka bekerja sama, saling membisikkan "zukhrufal qawl" (perkataan yang indah) yang tujuannya adalah "ghurur" (menipu dan menyesatkan).
Buzzer Maksiat dan Anti-Ketaatan
Jika kita amati realitas hari ini, pola yang sama terulang kembali. Kita melihat fenomena yang disebut "buzzer maksiat" atau "buzzer anti-taat". Mereka menyebarkan kalimat-kalimat yang terkesan menarik dan logis, namun tujuannya adalah melemahkan orang-orang dalam berbuat ketaatan.
Beberapa contoh kalimat yang sering kita dengar, misalnya:
"Sudahlah, jangan jadi orang yang mabuk agama." 
 "Jilbabi dulu hatimu, sebelum kau jilbabi kepalamu." 
 "Enggak usah sok suci."
Kalimat-kalimat ini terdengar seperti nasihat, padahal sejatinya adalah bisikan yang melemahkan. Bisikan ini menyerang semangat ketaatan dan mengajak manusia untuk menunda atau bahkan meninggalkan perbuatan baik.
Fenomena "Sok Suci" dari Masa ke Masa
Label "sok suci" adalah salah satu senjata andalan yang digunakan oleh setan dari golongan manusia. Kisah seorang pensiunan ASN yang diceritakan di atas adalah contoh nyata. Saat ia berusaha untuk jujur dan menolak korupsi, teman-temannya justru mencapnya "sok suci." Seolah-olah, berbuat baik dan menolak kejahatan adalah hal yang patut dicemooh.
Label ini bukan hal baru. Ia telah ada sejak zaman para nabi. Umat Nabi Luth 'alaihissalam, saat mereka diingatkan tentang perbuatan maksiat mereka, tidak dapat memberikan jawaban logis. Mereka lalu menggunakan serangan pribadi untuk membungkam Nabi Luth. 

 "Usirlah Lut dan keluarganya dari negerimu; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang menganggap dirinya suci." (QS. An-Naml: 56)
Bisikan dari setan manusia ini membuat seseorang yang benar menjadi disalahkan. Nabi Luth yang mengajak kepada kebaikan justru dicap "sok suci" oleh kaumnya sendiri yang melakukan kemaksiatan. Sama halnya dengan orang yang memilih jalan taat dan jujur hari ini, mereka sering kali dicap "sok suci" oleh orang-orang yang merasa nyaman dengan kemaksiatan.
Dengan memahami ayat-ayat ini, kita bisa lebih waspada terhadap bisikan dari jin maupun manusia. Jangan biarkan kalimat-kalimat yang terkesan indah itu melemahkan kita. Jika ada yang mencap Anda "sok suci" karena memilih jalan ketaatan, maka berbahagialah. Itu pertanda Anda berada di jalan yang sama dengan para nabi.

Read More »
11 September | 0komentar

Mendalami Makna Qurrata A'yun untuk Keluarga

Mendalami Makna Qurrata A'yun
Alhamdulillah,Sdh daftar Haji semua
Dalam kehidupan berkeluarga, hubungan batin yang kuat adalah anugerah tak ternilai. Untuk mengokohkan hubungan ini, salah satu ikhtiar terbaik yang bisa kita lakukan adalah memperbanyak doa. Di antara sekian banyak doa, ada satu doa yang sangat indah dan mendalam, yang Allah Swt. sebutkan sebagai doanya Ibadurrahman (hamba-hamba Allah Yang Maha Pengasih) dalam Surah Al-Furqan ayat 74. Doa ini adalah doa yang sangat paripurna dan penuh makna, sehingga rasanya tak pantas jika kita melewatkan satu hari tanpa membacanya.
Doa tersebut berbunyi:

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ 

Rabbana hablana min azwajina wa dzurriyatina qurrata a'yun...
(Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyejuk mata [kami]...)

Doa ini memiliki nilai rasa yang jauh lebih dalam dibanding doa-doa lain yang maknanya serupa. Jika kita membandingkannya dengan ungkapan yang lebih sederhana seperti "wa ashlih li fi dzurriyati" (dan perbaikilah untukku keturunanku), doa qurrata a'yun terasa jauh lebih halus dan indah. Ungkapan "penyejuk mata" (qurratu a'yun) tidak hanya berarti perbaikan fisik, tetapi mencakup kesempurnaan batin.
Ketika kita memohon agar pasangan dan keturunan kita menjadi penyejuk mata, itu berarti kita mengharapkan mereka memiliki: 
  • Keimanan dan ketakwaan yang murni di dalam hati. 
  • Amal saleh dan ketaatan yang tercermin dalam perbuatan sehari-hari.
  • Akhlak mulia yang menjadi cerminan diri.
Doa qurrata a'yun mencakup semua aspek kebaikan ini secara ringkas namun mendalam. Seperti halnya ucapan "sholatlah yang khusyuk" yang berarti sholat harus memenuhi semua syarat, rukun, dan sunah dari awal hingga akhir, termasuk kesempurnaan wudhu, doa ini juga memohon kesempurnaan yang paripurna bagi keluarga kita.
Menurut K.H. Muhammad Zarkasy, pernah berkata saat melihat santri yang nakal, "Salahmu, salah Bapakmu." Kalimat ini mengingatkan bahwa kebaikan atau kenakalan anak tidak lepas dari peran orang tua. Oleh karena itu, sudah seharusnya kita sebagai orang tua tidak hanya berikhtiar secara fisik, tetapi juga memperbanyak doa, khususnya doa Ibadurrahman, untuk memohon keberkahan dan kesejukan dalam keluarga.

Read More »
06 September | 0komentar

Menelaah Fatwa Akad Haji dari Dua Sudut Pandang

Ibadah Umroh
Kontroversi Fatwa Haji: Memahami Perbedaan Pendapat tentang Akad Haji di Indonesia Belakangan ini, jagat media sosial diramaikan dengan perdebatan mengenai status akad haji di Indonesia. Hal ini bermula dari fatwa yang dikeluarkan oleh Ustaz Dr. Erwandi yang menyatakan bahwa akad haji yang dilakukan di Indonesia adalah batil. Pernyataan ini sontak memicu beragam reaksi dan perbedaan pendapat di kalangan para ustaz dan masyarakat. Untuk memahami duduk perkara ini, kita perlu menelusuri akar permasalahan dari sisi ilmiah dan fikih.
Ustaz Dr. Erwandi berpendapat bahwa akad haji di Indonesia, baik haji reguler, plus, maupun furoda, termasuk dalam kategori Ijarah Mausuf fi Zimmah (IMFD), yaitu akad sewa-menyewa jasa yang objeknya (jasa) belum dimiliki oleh pemberi jasa saat akad dilakukan, tetapi hanya disifati (dijelaskan kriterianya). Dalam konteks haji, ini berarti travel atau pemerintah menjual paket haji (jasa) seperti akomodasi hotel, tiket pesawat, dan transportasi, padahal semua fasilitas tersebut belum mereka miliki secara pasti saat pendaftaran. Menurut jumhur (mayoritas) ulama, akad IMFD hanya sah jika dilakukan secara tunai di muka. Jika pembayaran tidak dilakukan secara tunai, maka akad tersebut menjadi batil.

Praktik Pembayaran Haji di Indonesia

Praktik pembayaran haji di Indonesia, terutama untuk haji reguler dan plus, tidak dilakukan secara tunai. Calon jemaah hanya membayar sejumlah uang muka (sekitar 25 juta rupiah untuk haji reguler) saat pendaftaran, sementara sisa pembayaran dilakukan beberapa tahun kemudian, menjelang keberangkatan.
Berdasarkan pendapat jumhur ulama, praktik ini menjadikan akad haji tidak sah atau batil. Inilah yang menjadi dasar Ustadz Dr. Erwandi untuk meminta jemaah yang sudah mendaftar untuk menarik dananya, karena akadnya dianggap bermasalah secara syariah. 

Adanya Pendapat yang Berbeda (Khilafiyah)
Namun, ada pandangan lain yang perlu dipertimbangkan. Majma Fikih Islami di bawah Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), sebuah lembaga fikih internasional, mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa akad IMFD boleh dilakukan tidak secara tunai. Keputusan ini didasarkan pada pertimbangan terhadap praktik modern, seperti dalam transaksi sukuk.
Dengan adanya fatwa dari Majma Fikih Islami ini, status akad haji yang tidak tunai menjadi tidak batil. Oleh karena itu, bagi mereka yang berpegang pada fatwa ini, jemaah tidak perlu menarik dananya dan dapat mempertahankan pendaftarannya.
Perbedaan pendapat ini bukan hanya soal benar atau salah, melainkan didasarkan pada landasan ilmiah dan fikih yang berbeda. Pendapat pertama, yang dianut oleh Ustaz Dr. Erwandi, berpegang pada pendapat jumhur ulama yang mensyaratkan akad IMFD harus tunai. Dengan demikian, akad haji di Indonesia dianggap batil, dan dana pendaftaran harus ditarik. 

Pendapat kedua, yang berlandaskan fatwa Majma Fikih Islami, membolehkan akad IMFD tidak tunai. Berdasarkan pandangan ini, akad haji di Indonesia tidak batil, dan jemaah boleh melanjutkan pendaftarannya. Dengan memahami latar belakang ilmiah dari kedua pandangan ini, kita dapat bersikap lebih bijak dan saling menghormati. 
Setiap individu memiliki hak untuk memilih pendapat mana yang lebih meyakinkan bagi mereka, sambil terus berusaha menambah ilmu dan tidak terprovokasi oleh perdebatan di media sosial yang seringkali dangkal.

Sumber : Youtube https://youtu.be/V8EgruXFvfE?si=z2yjgXe5VA2naMtc

Read More »
06 September | 0komentar