Assalamu'alaikum ! welcome to Media Pendidikan.| Contact | Register | Sign In
Showing posts sorted by date for query kebutuhan ruang. Sort by relevance Show all posts
Showing posts sorted by date for query kebutuhan ruang. Sort by relevance Show all posts

Ketika Empati Menguap: Pendidikan Kita Mencetak Manusia atau Robot?

Hari ini, kita menyaksikan sebuah ironi yang menyayat hati. Di tengah gemuruh pembangunan dan kemajuan teknologi, nilai-nilai luhur yang menjadi fondasi bangsa kita seolah menguap begitu saja. Simpati, empati, rasa menghargai, tolong-menolong, gotong royong, bahkan kasih sayang terasa langka, tergantikan oleh ego dan kepentingan pribadi. Penguasa, wakil rakyat, dan masyarakat biasa tampak terperangkap dalam pusaran pragmatisme, membuat bangsa ini terasa seperti tubuh yang tercabik-cabik.
Dalam keadaan getir ini, para pendidik—mereka yang berada di garda terdepan pembentukan karakter—dituntut untuk berkaca. Sudahkah peran kita benar-benar berada di relnya? Atau, jangan-jangan kita juga ikut terseret arus, terjebak dalam mengejar relevansi industri dan hedonisme ekonomi semata? Pertanyaan mendalam ini menuntut jawaban yang jujur. Apakah pendidikan kita masih melahirkan manusia yang memanusiakan manusia, atau justru sekadar mencetak robot-robot cerdas yang kehilangan nilai dasar kemanusiaannya?

Pendidikan: Lebih dari Sekadar Pabrik Tenaga Kerja
Pendidikan seharusnya menjadi kunci untuk membangun peradaban, bukan sekadar pabrik yang mencetak tenaga kerja siap pakai. Kita harus jujur mengakui, sistem pendidikan kita saat ini seringkali terlalu fokus pada aspek kognitif dan keterampilan teknis, mengabaikan pembentukan karakter dan moral. Kurikulum didesain untuk memenuhi kebutuhan pasar, bukan untuk membentuk manusia seutuhnya. Akibatnya, kita melahirkan generasi yang cerdas secara intelektual, tetapi miskin secara spiritual dan emosional. Mereka lihai dalam teori, tetapi gagap dalam memahami penderitaan sesama.

Mendidik dengan Hati: Kunci Membangun Kembali Peradaban: 
Untuk menyelamatkan peradaban bangsa, pendidikan harus kembali ke esensinya: memanusiakan manusia. Ini berarti kita harus menanamkan tidak hanya pengetahuan, tetapi juga nilai-nilai moral, etika, dan spiritualitas. Pendidikan bukan hanya tentang apa yang diajarkan di kelas, tetapi juga tentang bagaimana kita membentuk jiwa dan karakter anak didik. Berikut adalah beberapa pilar pendidikan yang krusial untuk menjaga peradaban:
  • Pendidikan Karakter: Ini adalah fondasi. Kita harus mengajarkan kejujuran, integritas, tanggung jawab, dan saling menghormati. Pendidikan harus menjadi ruang di mana empati ditumbuhkan, di mana anak-anak belajar merasakan penderitaan orang lain.
  • Pendidikan Kritis dan Reflektif: Alih-alih hanya menerima informasi, siswa harus dilatih untuk berpikir kritis. Mereka harus mampu mempertanyakan fenomena sosial dan politik, sehingga tidak mudah terprovokasi dan mampu mencari solusi yang bijaksana.
  • Pendidikan Berbasis Komunitas: Pendidikan tidak boleh berhenti di gerbang sekolah. Kolaborasi antara guru, orang tua, dan masyarakat sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang mendukung tumbuh kembang karakter anak secara holistik.
  • Pendidikan untuk Toleransi dan Kebinekaan: Di tengah perpecahan, pendidikan harus menjadi jembatan yang menyatukan. Kita harus mengajarkan toleransi dan saling menghargai perbedaan suku, agama, dan budaya, menjadikan kebinekaan sebagai kekuatan, bukan ancaman.
Sebagai pendidik, peran kita adalah penjaga peradaban. Di tangan kitalah masa depan bangsa ini berada. Jangan biarkan kita terjebak dalam arus pragmatisme yang hanya mengejar angka dan materi. Mari kita kembali ke rel yang benar: mendidik dengan hati. Hanya dengan cara ini, kita bisa melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berakhlak mulia, yang mampu merajut kembali "tubuh bangsa yang tercabik-cabik" ini.

Read More »
02 September | 0komentar

Terjebak di Zona Nyaman: Ketika Sesama Guru Saling Menghambat Kemajuan

Asesmen
Asesmen
Mentalitas Kepiting: Tembok Tak Kasat Mata di Dunia Pendidikan Pernahkah Anda melihat sekumpulan kepiting di dalam ember? Ketika salah satu kepiting berusaha memanjat keluar, kepiting-kepiting lain dengan cepat menariknya kembali ke bawah. Mereka tidak hanya menariknya sendiri, tetapi juga beramai-ramai. Akhirnya, tidak ada satu pun dari mereka yang berhasil keluar. Mereka semua terjebak di dasar ember—bukan karena tidak bisa keluar, tetapi karena tidak ada yang diizinkan untuk keluar.
Fenomena inilah yang dalam psikologi dikenal sebagai mentalitas kepiting (crab mentality). Sebuah mentalitas yang tidak rela melihat orang lain maju dan berkembang. Selama semua orang berada di tempat yang sama, meskipun itu tidak nyaman, mereka merasa aman. Daripada melihat orang lain berhasil dan membuat diri mereka terlihat malas, lebih baik semua tetap sama-sama di bawah.

Menghadapi Tembok Pengap di Ruang Kelas
Kisah ember kepiting ini sering kali mirip dengan apa yang terjadi di dunia pendidikan. Seorang teman guru saya, seorang pendidik yang progresif, ahli IT, dan gemar berbagi ilmu, pernah curhat. Ia merasa lelah dan sendirian. Setiap kali ia mencoba metode pembelajaran yang berbeda, mengajak murid-murid untuk bereksplorasi, dan menginspirasi guru lain, ia sering dicibir. Ia dianggap aneh, menyalahi aturan, dan dianggap "sok pintar" ketika berbagi dengan guru dari sekolah lain. Ia merasa seperti dikelilingi tembok pengap—ia ingin naik, tetapi selalu ditarik turun.
Sayangnya, cerita teman saya ini bukan satu-satunya. Banyak guru yang saya temui di berbagai daerah menghadapi situasi serupa. Mereka adalah guru-guru yang ingin menyalakan lilin, menumbuhkan cahaya dan kehangatan, tetapi sering dipadamkan oleh tiupan angin ketidakpercayaan dan keraguan.
Kadang, kita membayangkan mengapa para "kepiting" itu menarik orang lain ke bawah. Mungkin mereka berpikir, "Kalau dia keluar, nanti kita akan terlihat malas. Kalau dia kreatif, kita akan terlihat bodoh." Lebih baik semua tetap sama-sama di dalam ember, meski lembap dan pengap. Mereka merasa nyaman dengan rutinitas: mengajar seadanya, memberikan tugas tanpa refleksi, dan terkadang mengabaikan kebutuhan murid.

Read More »
01 September | 0komentar

AI Adalah Partner Anda, Bukan Pengganti

Umroh 2017
Di tengah derasnya arus teknologi, mengajar bukan lagi sekadar menyampaikan materi. Tantangannya semakin kompleks, tetapi kabar baiknya, potensinya juga semakin besar. Jika Anda merasa ingin selalu selangkah lebih maju dan penasaran dengan rahasia guru-guru yang selalu efektif, artikel ini adalah jawabannya.
Kami memahami betapa berharganya setiap detik bagi seorang guru. Waktu adalah aset paling berharga, dan kami tahu Anda ingin bekerja lebih cerdas, bukan lebih keras. Artikel ini akan membongkar strategi rahasia bagaimana para pendidik modern bisa melakukannya, terutama dengan bantuan teknologi kecerdasan buatan (AI).
Mengapa AI Penting bagi Guru?
Artificial Intelligence (AI) bukan lagi sekadar wacana futuristik, melainkan alat praktis yang siap membantu Anda. AI dapat mengambil alih tugas-tugas administratif yang memakan banyak waktu, seperti menyusun materi, membuat soal, atau bahkan memberikan umpan balik awal. Dengan begitu, Anda bisa fokus pada hal yang paling penting: berinteraksi langsung dengan siswa, memahami kebutuhan mereka, dan menciptakan pengalaman belajar yang personal.

Membangun Kekuatan Mengajar Anda dengan AI
Bagaimana AI dapat membantu Anda menjadi guru yang lebih efektif? Berikut beberapa rahasia yang perlu Anda ketahui:
  • Menciptakan Materi Ajar Super Menarik dalam Waktu Singkat: Bayangkan Anda bisa membuat presentasi interaktif, video pendek, atau kuis yang menarik hanya dalam hitungan menit. Alat AI generatif dapat membantu membuat draf materi, menyusun narasi, atau bahkan mengubah format materi yang sudah ada menjadi lebih menarik dan mudah dicerna oleh siswa. 
  • Merancang Soal dan Penilaian yang Tepat Sasaran: Membuat soal yang variatif dan efektif seringkali memakan waktu. Dengan AI, Anda bisa dengan mudah membuat bank soal, merancang penilaian formatif yang personal, dan mendapatkan analisis cepat tentang pemahaman siswa. Ini memungkinkan Anda untuk segera menyesuaikan metode pengajaran agar lebih tepat sasaran. 
  • Menghadirkan Ide-Ide Pembelajaran Inovatif dan Personal: Setiap siswa unik, dan AI dapat membantu Anda memenuhi kebutuhan mereka. Alat-alat AI bisa menganalisis gaya belajar siswa dan menyarankan pendekatan yang berbeda. Anda bisa menciptakan skenario pembelajaran berbasis proyek yang lebih mendalam atau memberikan bimbingan personal yang disesuaikan dengan kemajuan setiap individu. 
  • Memangkas Drastis Waktu Persiapan Mengajar: Bayangkan waktu yang Anda habiskan untuk merencanakan RPP, mencari sumber materi, atau bahkan hanya sekadar menyalin catatan. AI dapat mengambil alih tugas-tugas ini, memberikan Anda lebih banyak ruang untuk berpikir kreatif, merancang aktivitas yang lebih bermakna, dan tentu saja, meluangkan waktu untuk pengembangan diri. 

AI Adalah Partner Anda, Bukan Pengganti
Sangat penting untuk ditekankan bahwa AI tidak akan menggantikan peran guru. Sebaliknya, AI adalah partner Anda, sebuah alat canggih yang dirancang untuk memperkuat kemampuan Anda. Dengan memanfaatkan AI, Anda tidak hanya menjadi guru yang efektif, tetapi juga guru yang visioner, siap menghadapi tantangan masa depan, dan terus menginspirasi siswa dengan cara yang belum pernah ada sebelumnya.
Ini bukan sekadar teori. Saat ini, sudah banyak alat-alat AI yang tersedia dan dapat Anda coba. Masing-masing dirancang untuk mengubah cara Anda berinteraksi dengan kurikulum dan siswa, membuka pintu menuju pengalaman mengajar yang lebih bermakna dan efisien.

Read More »
02 August | 0komentar

Jiwa Resilience Guru: Bersemi Bersama Komunitas yang Saling Menguatkan

Menjadi seorang guru adalah panggilan mulia. Setiap hari, kita berhadapan dengan berbagai tantangan, mulai dari dinamika kelas, tuntutan kurikulum, hingga ekspektasi orang tua dan masyarakat. Tak jarang, tekanan ini bisa menguras energi dan semangat. Di sinilah jiwa resilience atau daya lenting seorang guru menjadi krusial. Namun, resilience bukanlah sesuatu yang tumbuh sendiri; ia bersemi subur ketika kita berada dalam sebuah komunitas yang saling menguatkan.
Kita seringkali melihat guru sebagai sosok tanpa cela, pahlawan tanpa tanda jasa yang selalu kuat dan tak kenal lelah. Namun, guru juga manusia. Kita memiliki batas, merasakan lelah, dan terkadang membutuhkan dukungan. Justru dalam mengakui sisi kemanusiaan inilah kita bisa menemukan kekuatan sejati. Kita tidak harus menghadapi segalanya sendirian.
Mengapa Komunitas Penting untuk Resilience Guru?
  • Komunitas guru, baik yang terbentuk secara formal maupun informal, adalah wadah yang tak ternilai untuk mengembangkan resilience. Di dalamnya, kita bisa: 
  • Berbagi Cerita dan Pengalaman: Seringkali, masalah yang kita hadapi terasa berat karena kita pikir hanya kita yang mengalaminya. Dengan berbagi cerita, kita menyadari bahwa orang lain pun memiliki tantangan serupa. Ini menciptakan rasa empati dan mengurangi beban emosional. Mendapatkan 
  • Dukungan Emosional: Saat semangat mulai redup, ada rekan sejawat yang siap mendengarkan, memberikan kata-kata penyemangat, atau bahkan sekadar kehadiran yang menenangkan. 
  • Dukungan emosional ini sangat vital untuk menjaga kesehatan mental guru. 
  • Belajar dari Pengalaman Orang Lain: Komunitas adalah tempat terbaik untuk berbagi praktik baik (best practices) dan solusi kreatif. Mungkin ada rekan yang sudah menemukan cara efektif menghadapi tantangan yang sedang kita alami, atau sebaliknya, kita bisa membantu rekan lain dengan pengalaman kita. 
  • Merayakan Keberhasilan Bersama: Di tengah kesibukan mengajar, kita sering lupa mengapresiasi pencapaian kecil sekalipun. Komunitas menjadi tempat di mana kita bisa merayakan keberhasilan bersama, sekecil apapun itu, menumbuhkan rasa bangga dan motivasi. 
  • Mengembangkan Diri Secara Berkelanjutan: Komunitas dapat memfasilitasi diskusi, lokakarya, atau pelatihan yang relevan dengan kebutuhan guru. Ini membantu kita terus beradaptasi dengan perubahan, meningkatkan kompetensi, dan merasa relevan dalam profesi. 

Melangkah Lebih Kokoh Bersama
Mari kita mulai membangun atau memperkuat komunitas guru di sekitar kita. Ini bisa berupa kelompok diskusi rutin, forum daring, pertemuan informal, atau bahkan sekadar menjadwalkan minum kopi bersama. Yang terpenting adalah menciptakan ruang yang aman dan mendukung, di mana setiap guru merasa dihargai, didengarkan, dan memiliki tempat untuk bertumbuh.
Ketika kita saling berbagi semangat, saling menguatkan pundak, dan saling menularkan energi positif, maka jiwa resilience dalam diri setiap guru akan tumbuh lebih kokoh. Kita akan mampu melangkah melewati setiap rintangan dengan kepala tegak, bukan hanya sebagai pendidik yang profesional, tetapi juga sebagai manusia yang utuh dan berdaya.
Karena guru juga manusia, dan bersama, kita bisa menghadapi badai, menumbuhkan harapan, dan terus menyalakan obor pendidikan dengan semangat yang tak padam.

Read More »
30 July | 0komentar

MPLS Datang dan Pergi, Maknanya Seringkali Cuma Numpang Lewat

Setiap tahun ajaran baru tiba, suasana sekolah diwarnai dengan kegiatan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS). Bagi banyak siswa, terutama yang baru memasuki jenjang pendidikan baru, MPLS seringkali identik dengan serangkaian kegiatan yang terkadang membingungkan, penuh ketegangan, dan kerap terasa minim makna. Ironisnya, di sisi lain, para guru dan panitia pun disibukkan dengan pencarian rundown dan persiapan teknis, sehingga esensi utama MPLS seringkali menguap begitu saja.
Fenomena ini menjadi pertanyaan besar: mengapa MPLS, yang seharusnya menjadi gerbang awal yang ramah dan bermakna bagi siswa baru, justru sering kehilangan rohnya?
Ketika Rundown Mengalahkan Makna
Salah satu akar masalahnya terletak pada fokus yang terlalu berlebihan pada aspek administratif dan teknis. Panitia MPLS, termasuk para guru, kerap terjebak dalam lingkaran persiapan yang berkutat pada:
Pencarian dan penyesuaian rundown: 
Jadwal kegiatan yang padat, bahkan terkadang terlalu padat, seringkali menjadi prioritas utama. Detail menit per menit disusun, namun terkadang lupa untuk menanyakan apakah setiap sesi benar-benar memberikan nilai tambah bagi siswa.
Pengumpulan data dan kelengkapan: Fokus pada pengumpulan formulir, data siswa, dan atribut MPLS lainnya tak jarang menyita waktu dan energi yang seharusnya bisa dialokasikan untuk interaksi yang lebih mendalam.
Kekhawatiran akan penilaian: Adanya standar atau penilaian terhadap pelaksanaan MPLS bisa membuat panitia cenderung mengikuti "aturan main" yang ada daripada berinovasi dan mencari cara agar MPLS benar-benar efektif.
Akibatnya, interaksi yang seharusnya menjadi jembatan perkenalan antara siswa, guru, dan lingkungan sekolah berubah menjadi formalitas yang kaku. Siswa merasa seperti objek yang harus mengikuti aturan, bukan subjek yang aktif dalam proses perkenalan. Ketegangan Siswa dan Makna yang Menguap
Di sisi siswa, pengalaman MPLS seringkali diwarnai dengan: Ketegangan dan kecemasan: Bagi siswa baru, memasuki lingkungan yang asing dengan banyak orang baru sudah cukup menegangkan. Ditambah lagi dengan aturan yang ketat, tugas yang membingungkan, atau bahkan perlakuan yang kurang ramah dari senior atau panitia, bisa memperburuk kecemasan mereka.

Ketidakpahaman tujuan: 
Banyak siswa yang tidak benar-benar memahami mengapa mereka harus mengikuti serangkaian kegiatan MPLS. Mereka hanya menjalaninya sebagai kewajiban, tanpa menangkap esensi perkenalan dengan budaya sekolah, nilai-nilai, atau bahkan teman-teman baru.
Minimnya ruang interaksi bermakna: Waktu yang dihabiskan untuk mendengarkan ceramah atau mengikuti arahan satu arah seringkali lebih banyak daripada kesempatan untuk berinteraksi, berdiskusi, atau berkolaborasi dengan teman sebaya.
Pada akhirnya, tujuan mulia dari MPLS, yaitu membantu siswa beradaptasi, mengenal lingkungan, dan membangun ikatan sosial, seringkali menguap begitu saja. Yang tertinggal mungkin hanya kenangan tentang atribut aneh, barisan panjang, atau beberapa momen lucu yang tidak benar-benar mewakili proses perkenalan yang utuh.
Mengembalikan Roh MPLS: Lebih dari Sekadar Formalitas
Untuk mengembalikan roh MPLS, dibutuhkan perubahan paradigma dari semua pihak yang terlibat. MPLS harus menjadi pengalaman yang: Berpusat pada siswa: Rancanglah kegiatan yang menarik, interaktif, dan relevan dengan kebutuhan siswa. Beri ruang bagi siswa untuk bertanya, berpendapat, dan berinteraksi secara aktif.

Mengedepankan empati dan keramahan: 
Ciptakan suasana yang hangat, aman, dan inklusif. Guru dan senior harus menjadi contoh teladan dalam menyambut siswa baru dengan senyum dan bimbingan yang tulus, bukan dengan intimidasi.
Fokus pada pengenalan nilai dan budaya sekolah: Daripada hanya menyampaikan peraturan, kenalkanlah nilai-nilai luhur yang dijunjung sekolah, seperti integritas, disiplin, kerja sama, dan rasa hormat. Libatkan siswa dalam kegiatan yang merefleksikan nilai-nilai tersebut.
Memberi ruang bagi interaksi sosial yang otentik: Fasilitasi kegiatan yang memungkinkan siswa baru untuk mengenal satu sama lain secara alami, membangun pertemanan, dan merasakan kebersamaan.

Meminimalkan formalitas yang tidak perlu: 
Evaluasi kembali setiap item dalam rundown. Apakah setiap kegiatan benar-benar memberikan kontribusi positif terhadap tujuan MPLS? Jika tidak, pertimbangkan untuk menghapusnya atau menggantinya dengan yang lebih bermakna.
MPLS seharusnya menjadi momen yang dinanti, bukan ditakuti. Ini adalah kesempatan emas untuk menciptakan kesan pertama yang positif, menanamkan rasa memiliki pada siswa, dan membangun fondasi yang kuat bagi perjalanan pendidikan mereka. Mari kita pastikan bahwa setiap tahun, makna MPLS tidak lagi cuma "numpang lewat", tetapi benar-benar melekat dan berbekas dalam hati setiap siswa baru.



Read More »
09 July | 0komentar

Suara Murid sebagai Pusat Pembelajaran

Pendidikan yang transformatif bukanlah tentang mengisi bejana kosong, melainkan tentang menyalakan api. Dan percayalah, api itu sudah berkobar di dalam diri setiap murid kita. Seringkali, kita, para pendidik dan orang dewasa, cenderung melihat suara murid sebagai pelengkap, hiasan di pinggir panggung utama pembelajaran. Namun, sudah saatnya kita menggeser paradigma itu. Sudah saatnya kita merayakan suara murid (student voice) sebagai jantung dari proses pembelajaran itu sendiri.
Mengapa begitu penting? Karena pendidikan yang bermakna dan mendalam tumbuh dari keberanian murid untuk berbicara dan dari kesediaan kita untuk mendengarkan.

Bukan Sekadar Pelengkap, tapi Fondasi Pembelajaran
Bayangkan sebuah ruang kelas di mana murid tidak hanya diizinkan berbicara, tetapi didorong untuk melakukannya. Ruang di mana ide-ide mereka dihargai, pertanyaan-pertanyaan mereka didalami, dan perspektif mereka membentuk arah diskusi. Inilah esensi dari ruang berbagi yang merayakan suara murid.
Ketika kita memberikan kesempatan bagi murid untuk mengungkapkan pemikiran, perasaan, dan pengalaman mereka, kita tidak hanya memberdayakan mereka; kita juga memperkaya proses pembelajaran itu sendiri. Murid bukan lagi penerima pasif informasi, melainkan agen aktif dalam konstruksi pengetahuan mereka. Mereka menjadi pemilik pembelajaran mereka.

Mengapa Suara Murid Begitu Kuat?
  • Meningkatkan Keterlibatan dan Motivasi: Ketika murid merasa didengar dan dihargai, mereka menjadi lebih terlibat dalam pembelajaran. Rasa memiliki ini memicu motivasi intrinsik yang jauh lebih kuat daripada instruksi satu arah. 
  • Mengembangkan Pemikiran Kritis dan Kreativitas: Dengan mengungkapkan ide-ide mereka, murid dilatih untuk menganalisis, mengevaluasi, dan mensintesis informasi. Ini adalah lahan subur untuk tumbuhnya pemikiran kritis dan kreativitas. 
  • Membangun Keterampilan Berkomunikasi dan Berkolaborasi: Ruang berbagi melatih murid untuk mengartikulasikan pikiran mereka dengan jelas, mendengarkan dengan empati, dan berkolaborasi dengan orang lain, keterampilan yang tak ternilai di dunia nyata. 
  • Menciptakan Lingkungan Belajar yang Inklusif: Suara murid membantu kita memahami keberagaman kebutuhan, minat, dan gaya belajar mereka. Ini memungkinkan kita untuk menciptakan lingkungan belajar yang lebih inklusif dan responsif. 
  • Mengidentifikasi Kebutuhan dan Potensi Tersembunyi: Murid seringkali tahu apa yang mereka butuhkan untuk belajar dengan lebih baik. Dengan mendengarkan mereka, kita dapat menemukan hambatan yang mungkin tidak terlihat dan menggali potensi yang belum tergali. 

Sebuah Ajakan untuk Membuka Telinga dan Hati 
Untuk kita, para pendidik, orang tua, dan semua orang dewasa yang peduli dengan masa depan pendidikan, ini adalah sebuah ajakan. Sebuah ajakan untuk membuka telinga dan hati kita lebar-lebar. 
  • Ciptakan Ruang Aman: Pastikan setiap murid merasa aman untuk berbicara, untuk berpendapat, bahkan untuk membuat kesalahan. Bebaskan mereka dari rasa takut dihakimi. 
  • Dengarkan dengan Aktif: Ini lebih dari sekadar mendengar kata-kata. Ini tentang memahami makna di balik kata-kata, emosi, dan niat. Ajukan pertanyaan yang menggugah, tunjukkan minat yang tulus. 
  • Validasi Perspektif Mereka: Meskipun kita mungkin tidak selalu setuju, penting untuk mengakui dan memvalidasi perspektif mereka. Ini membangun kepercayaan dan rasa hormat. 
  • Berikan Kesempatan Nyata: Libatkan murid dalam perencanaan pelajaran, evaluasi, bahkan dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi pengalaman belajar mereka. 
  • Jadikan Dialog Dua Arah: Pembelajaran adalah sebuah tarian, bukan monolog. Jadikan dialog sebagai inti dari setiap interaksi. 

Mari kita singkirkan anggapan bahwa kita adalah satu-satunya sumber pengetahuan. Mari kita rayakan keberanian murid untuk bersuara, karena dalam setiap suara itu, tersimpan potensi tak terbatas untuk sebuah pendidikan yang lebih hidup, lebih relevan, dan lebih manusiawi. Mari kita bangun ruang berbagi yang menjadikan suara murid sebagai pusat dari segalanya, karena di sanalah masa depan pembelajaran sejati dimulai.

Read More »
03 July | 0komentar

Rahasia di Balik 'Berisik'nya Kelas: Sudahkah Kita Mendengar?

Student Voice
Menggali Suara Siswa untuk Pendidikan yang Lebih Bermakna Sebuah fakta mencengangkan terungkap dalam sebuah forum bertajuk "Voice of Youth": 85% siswa yang ditemui mengaku tidak menyukai kegiatan belajar. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan sebuah alarm keras yang menggugat fondasi pendidikan kita. Apakah selama ini kurikulum, metode pengajaran, dan interaksi di ruang kelas telah benar-benar mendengar suara siswa? Pertanyaan inilah yang menjadi titik awal refleksi mendalam dalam diskusi yang penuh semangat tersebut. 
Lebih jauh, forum ini menyoroti sebuah ironi: anak-anak Indonesia, generasi penerus bangsa, ternyata belum banyak yang mampu mengartikulasikan mimpi masa depan mereka untuk menjadi pemimpin. Dugaan kuat mengarah pada kurangnya pengenalan terhadap potensi diri yang mereka miliki, serta minimnya ruang dialog yang konstruktif antara siswa dan guru. Alia, salah satu peserta forum, membagikan pengalamannya yang kontras saat mengenyam pendidikan di Australia. Di sana, ia merasakan betapa suara siswa dihargai dan didengarkan hingga ke tingkat kebijakan, sebuah praktik yang patut kita cermati dan pelajari. 
Kisah-kisah inspiratif dari panggung dunia turut mewarnai diskusi ini. Nama-nama seperti Malala Yousafzai, Greta Thunberg, dan Melati Wijsen hadir sebagai contoh nyata betapa anak-anak muda mampu memiliki suara yang kuat dan berpengaruh ketika mereka diberi ruang untuk berbicara dan didengarkan dengan sungguh-sungguh. Mereka membuktikan bahwa usia bukanlah penghalang untuk menyuarakan aspirasi dan memperjuangkan keyakinan. 
Dalam sesi tanya jawab yang interaktif, suara-suara dukungan dari para pendidik turut memperkaya diskusi. Bu Ifa, Bu Eva, dan Bu Eli, sebagai representasi guru di lapangan, sepakat bahwa mendengarkan siswa adalah bagian integral dari proses pembelajaran yang bermakna. Mereka menyadari bahwa pemahaman yang mendalam tentang kebutuhan, minat, dan perspektif siswa akan membantu menciptakan lingkungan belajar yang lebih relevan dan engaging. Namun, sebuah pertanyaan kritis dilontarkan oleh Pak Denny Rochman: "Benarkah suara siswa harus selalu didengar?" Ppertanyaan ini memicu diskusi yang lebih nuansif. 
Para peserta sepakat bahwa mendengar tidak berarti serta-merta mengikuti semua keinginan siswa. Esensi dari "student voice" adalah memberikan ruang bagi tumbuhnya kesadaran diri, kemampuan berpikir kritis, dan keberanian untuk mengutarakan pendapat secara konstruktif. Pandangan menarik juga datang dari Pak Ali, seorang Pegiat Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM). Beliau menyebutkan bahwa student voice adalah "suara yang tak tertulis di rapor". Ini adalah dimensi penting yang selama ini seringkali terabaikan karena fokus pendidikan cenderung terpaku pada angka dan nilai. Padahal, pemahaman tentang bagaimana siswa merasakan proses belajar, apa yang mereka butuhkan, dan bagaimana ide-ide mereka dapat diakomodasi, adalah informasi berharga yang dapat meningkatkan kualitas pendidikan secara keseluruhan. 
Suasana diskusi semakin hangat ketika Agnan Rizky, seorang siswa SMK, berbagi keresahannya. Sebagai seorang pelajar yang merasakan langsung dinamika sistem pendidikan, Agnan mengungkapkan kegelisahannya terhadap sistem pendidikan yang seringkali berubah-ubah dan terasa seragam. Ia dengan lugas menyampaikan harapannya agar guru tidak membatasi ide dan kreativitas murid, sehingga potensi unik setiap siswa dapat berkembang secara optimal. Suara Agnan menjadi representasi dari harapan banyak siswa yang ingin merasa didengar, dihargai, dan diberi kebebasan untuk berekspresi dalam proses belajar mereka. Forum "Voice of Youth: Berisik, Bukan Bisik-Bisik" ini menjadi momentum penting untuk merefleksikan kembali arah pendidikan kita. 
Suara siswa bukanlah gangguan yang perlu diredam, melainkan input berharga yang dapat menjadi kompas untuk menciptakan pendidikan yang lebih relevan, inklusif, dan memberdayakan. Mendengarkan "kebisingan" ide dan aspirasi generasi muda adalah langkah awal untuk membangun masa depan pendidikan Indonesia yang lebih cerah dan sesuai dengan kebutuhan zamannya. Sudah saatnya kita membuka telinga lebar-lebar dan mengakui bahwa suara siswa adalah suara perubahan.

Read More »
25 May | 0komentar

Ketika Jari-jemari Lebih Aktif dari Pikiran: Paradoks Literasi Digital

Literasi digital
Di era digital yang serba cepat ini, kita menyaksikan sebuah fenomena yang menarik sekaligus ironis terkait dengan literasi. Di satu sisi, masyarakat kita menunjukkan tingkat partisipasi yang tinggi dalam menyerap informasi digital. Layar ponsel pintar menjadi jendela utama menuju dunia pengetahuan, berita, dan opini. Namun, di sisi lain, kebiasaan membaca yang dominan justru terfragmentasi, dangkal, dan seringkali tidak terstruktur, jauh berbeda dengan esensi literasi yang sesungguhnya. 
Inilah paradoks "literasi" digital: kita aktif "membaca" konten-konten digital baik itu di internet atau di kolom percakapan grup medsos. Namun seringkali mengabaikan kedalaman dan analisis yang ditawarkan oleh bacaan yang lebih substansial seperti buku atau artikel ilmiah. Ironi ini terletak pada definisi "membaca" itu sendiri. Dalam konteks digital, "membaca" seringkali hanya sebatas memindai judul, membaca beberapa kalimat pertama, atau bahkan langsung melompat ke bagian komentar. Interaksi dengan teks menjadi dangkal dan sporadis. 
Kita lebih tertarik pada ringkasan singkat, infografis menarik, atau cuitan padat berisi daripada menyelami argumen yang kompleks atau narasi yang panjang. Kebiasaan membaca komentar online menjadi salah satu manifestasi paling jelas dari paradoks ini. Kolom komentar, yang seharusnya menjadi ruang diskusi dan pertukaran ide, seringkali justru dipenuhi dengan opini instan, reaksi emosional, bahkan ujaran kebencian. 
Masyarakat kita seolah lebih tertarik untuk membaca dan merespons komentar-komentar singkat ini daripada meluangkan waktu untuk memahami konteks dan substansi dari artikel atau berita yang dikomentari. Mengapa fenomena ini bisa terjadi? Beberapa faktor kemungkinan berperan. Pertama, sifat informasi digital yang serba cepat dan berlimpah mendorong kita untuk mencari kepuasan instan. Kita terbiasa dengan notifikasi dan pembaruan yang konstan, sehingga sulit untuk fokus pada satu teks yang panjang dan membutuhkan konsentrasi tinggi. Kedua, algoritma media sosial cenderung memprioritaskan konten yang menarik perhatian dan memicu interaksi cepat, seperti komentar kontroversial atau ringkasan viral. 
Hal ini secara tidak sadar membentuk preferensi membaca kita. Ketiga, tekanan sosial untuk selalu "up-to-date" membuat kita merasa perlu untuk mengonsumsi sebanyak mungkin informasi dalam waktu sesingkat mungkin, meskipun dengan kedalaman yang minim. Dampak dari "literasi" digital yang dangkal ini bisa sangat signifikan. Kemampuan untuk berpikir kritis dan analitis dapat terkikis karena kita jarang melatih diri untuk memahami argumen yang kompleks dan mengevaluasi informasi secara mendalam. Kita menjadi lebih rentan terhadap misinformasi dan disinformasi karena kurangnya kemampuan untuk memverifikasi fakta dan memahami konteks yang lebih luas. 
Diskusi publik pun menjadi lebih polarisasi karena kita cenderung hanya terpapar pada opini yang sesuai dengan pandangan kita dan jarang berinteraksi dengan perspektif yang berbeda secara substansial. Tentu saja, bukan berarti semua interaksi digital bersifat negatif. Internet dan media sosial juga menawarkan potensi besar untuk pendidikan dan penyebaran informasi yang bermanfaat. Namun, penting bagi kita untuk menyadari paradoks "literasi" digital ini dan mengambil langkah-langkah untuk mengatasinya. Beberapa upaya yang bisa dilakukan antara lain: 
  • Meningkatkan kesadaran akan pentingnya membaca mendalam: 
  • Mengedukasi masyarakat tentang manfaat membaca buku, artikel ilmiah, atau laporan yang lebih komprehensif dalam mengembangkan pemikiran kritis dan pemahaman yang mendalam. 
  • Mengembangkan keterampilan literasi digital yang sejati: 
  • Tidak hanya sekadar mampu menggunakan teknologi, tetapi juga mampu mengevaluasi sumber informasi, membedakan fakta dan opini, serta memahami konteks yang lebih luas. 
  • Menciptakan ruang diskusi online yang lebih sehat: 
  • Mendorong interaksi yang lebih konstruktif dan berbasis argumen, bukan hanya reaktif dan emosional. 
  • Mengintegrasikan kegiatan membaca mendalam dalam pendidikan: 
  • Mendorong siswa untuk membaca dan menganalisis teks yang lebih panjang dan kompleks sejak dini. 
  • Bijak dalam mengonsumsi informasi digital: 
  • Meluangkan waktu untuk membaca artikel secara utuh sebelum berkomentar, memverifikasi informasi dari berbagai sumber, dan menghindari terjebak dalam echo chamber media sosial. 

Paradoks "literasi" digital adalah tantangan nyata di era informasi ini. Meskipun kita aktif dalam dunia digital, esensi literasi yang mendalam dan analitis tidak boleh hilang. Dengan meningkatkan kesadaran dan mengambil tindakan yang tepat, kita dapat memanfaatkan potensi positif teknologi sambil tetap menjaga dan mengembangkan kemampuan literasi yang sesungguhnya. Membaca komentar online boleh menjadi bagian dari interaksi digital kita, namun jangan sampai kebiasaan ini menggantikan kebutuhan kita akan bacaan yang lebih substansial dan bermakna.

Read More »
23 May | 0komentar

Ukir Sejarah Dengan Menulis


"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian," Pramoedya Ananta Toer. Kalimat ini seakan menjadi mantra bagi setiap jiwa yang ingin karyanya dikenang sepanjang masa. Menulis bukan sekadar menuangkan kata-kata di atas kertas, melainkan sebuah tindakan untuk mengabadikan pemikiran, perasaan, dan pengalaman hidup. 
 “Menulislah !, Karena tanpa Menulis Engkau akan Hilang dari Sejarah”. Menulislah! Menjadi seorang penulis, memiliki kesempatan untuk membuat sejarah dan memberi kesempatan kepada orang lain untuk mengikuti jejaknya. Dalam dunia ini ada dua jenis kelompok manusia, yakni mereka yang adalah korban sejarah atau pembuat sejarah. Sebagaimana dituliskan oleh P.Ananta Tour diatas. 
 
Niatan awal untuk mengabadikan dengan menulis diblog (www.sarastiana.com) bukan hanya untuk mengukir sejarah seperti yang disamaikan PAT. tetapi lebih agar bermanfaat bagi orang lain yaitu berbagi. Semangat berbagi inilah yang menjadi tajuk dari blog ini. 
Karya lain yang dapat dikenang sebagai mengukir sejarah adalah menerbitkan buku. Menerbitkan buku adalah mewujudkan ide kita agar ada sepanjang masa. Membuat buku dan menerbitkan buku adalah sesuatu yang berbeda. Salah satu hal yang bisa ditinggalkan adalah menulis buku. Yang menjadi masalah adalah bagaimana membuat karya, mengasahnya menjadi sebuah karya yang baik.
Seorang filsuf Prancis yang dikenal sebagai filsuf modern mengatakan membaca buku sama dengan berbicara dengan orang-orang di masa lalu. Menulis buku dan menerbtkan buku adalah dua hal yang berbeda. Karena itu, jauh lebih baik jika seorang penulis bertekun dahulu dalam menulis sampai karyanya berkualitas dan sangat dibutuhkan, maka akibat dari itu adalah menerbitkan buku. 
Hal yang perlu diperhatikan dalam menulis hingga menerbikan buku adalah 4R yaitu: 
1. Renjana (=passion) 
2. Rutin 
3. Review 
4. Ruang 

Renjana 
Renjana adalah sesuatu yang sangat menarik. Mudah dilakukan dan menyenangkan. Karena itu, mulailah dari sesuatu yang dikuasai dengan baik. Cara paling mudah untuk terus menulis adalah merasa sukses untuk melakukan sesuatu. Ibu Farrah memiliki renjana dalam menulis buku anak. Hal tersebut lahir dari kebutuhan dan untuk anak sendiri karena, banyak buku impor, namun sering tidak tepat dengan kondisi sendiri. 

Rutin 
Bukan hanya rutin menulis tapi rutin membaca. Dengan membaca akan otomatis terbingkai untuk menjadi sebuah bahan bacaan. Kosa kata membaca berkaitan dengan kosa kata menulis. Seringlah membaca banyak buku dengan genre masing-masing. Rutin menulis kapanpun dan dimanapun. Penulis hebat selalu menyediakan waktu khusus dan tempat khusus untuk menulis. Sebab, suasana di tempat demikian akan sangat membantu dalam menemukan ide untuk menulis. Saat dalam perjalanan dan tidak bisa menulis, rekamlah peristiwa menggunakan audio recorder untuk membantu merekam tulisan. Lalu, saat mulai menulis gunakanlah rekaman logika, emosi, dan pancaindera. 

Review 
Setelah memiliki kumpulan ide dan tulisan, buatlah review. Sebelum di-review, saat masih dalam model draf tulislah apa adanya. Tak usah mempertimbangkan siapa tokoh, waktu, detail tempat, dan sebagainya. Saat di-review baru dibuat detail semuanya. Misalnya, melihat siapa pasar dari buku yang akan diterbitkan. Siapa audiens dari buku ini. 

Ruang bagi pembaca 
Saat melakukan review berikan ruang bagi pembaca. Artinya, berikan kesempatan bagi pembaca untuk memberikan feedback positif saja, tetapi juga apa yang pembaca merasa sulit untuk mengerti. Misalnya, saat buat buku anak-anak minta anak-anak untuk membaca dulu dan berikan masukan. Bisa juga bagikan di medsos, meminta kolega dan keluarga untuk membaca bukunya. Itu hqal yang baik untuk memberikan motivasi tersendiri dan masukan yang berarti.

Read More »
21 November | 0komentar

Perjalanan Naik Kereta Api: Dari Masa Lalu ke Masa Kini


Perjalanan dengan kereta api telah menjadi bagian penting dari transportasi di banyak negara selama lebih dari satu abad. Dari awal yang sederhana hingga inovasi modern saat ini, perjalanan kereta api mengalami banyak perubahan yang mencerminkan kemajuan teknologi dan kebutuhan masyarakat. 
Perjalanan Kereta Api di Masa Lalu Pada abad ke-19, kereta api pertama kali muncul sebagai terobosan dalam transportasi. Kereta api uap membawa penumpang dan barang dengan kecepatan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Masyarakat saat itu sangat antusias, karena kereta api membuka akses ke daerah-daerah terpencil dan mempercepat pergerakan barang dan orang. 

Pada masa itu, kenyamanan perjalanan masih sangat minim. Gerbong penumpang sederhana, seringkali hanya dilengkapi dengan bangku kayu. Fasilitas seperti toilet dan ruang penyimpanan barang sangat terbatas. Terkait jadwal pemberangkatan yang tidak tepat waktu. Keberangkatan dan kedatangan kereta sering kali tidak dapat diprediksi, tergantung pada cuaca dan kondisi jalur. Penumpang harus bersabar menunggu dan siap menghadapi ketidakpastian. Masih teringat antara penumpang dan pedagang asongan saling berimpit. 



Memasuki abad ke-20, kereta api mengalami transformasi signifikan. Inovasi seperti lokomotif diesel dan elektrifikasi jalur kereta membawa efisiensi dan kecepatan yang lebih baik. Dengan munculnya kereta penumpang yang lebih modern, fasilitas seperti kursi empuk, AC, dan restoran mulai diperkenalkan, meningkatkan pengalaman perjalanan. Perjalanan Lebih Cepat dan Tepat Waktu: Jadwal kereta menjadi lebih teratur berkat pengembangan teknologi dan sistem sinyal yang lebih baik, sehingga penumpang dapat merencanakan perjalanan dengan lebih baik.
Perjalanan Kereta Api Sekarang Di era modern, perjalanan kereta api telah berevolusi menjadi salah satu pilihan transportasi yang paling diminati, terutama di negara-negara dengan infrastruktur yang baik. Teknologi Tinggi: Kereta api cepat, seperti Shinkansen di Jepang dan TGV di Prancis, dapat mencapai kecepatan sangat tinggi, mengubah cara orang berpindah antar kota. Kini, kereta api dilengkapi dengan Wi-Fi, sistem hiburan, dan makanan berkualitas, menjadikannya pilihan yang nyaman untuk perjalanan jarak jauh.
Dengan meningkatnya kesadaran akan isu lingkungan, kereta api menjadi alternatif ramah lingkungan dibandingkan kendaraan pribadi dan pesawat terbang. Emisi karbon yang lebih rendah per penumpang menjadi daya tarik tersendiri.
Perjalanan kereta api telah mengalami perjalanan panjang dari masa lalu hingga saat ini. Dengan inovasi dan perkembangan yang terus berlanjut, kereta api tidak hanya menjadi moda transportasi yang efisien, tetapi juga pilihan yang nyaman dan berkelanjutan. Bagi banyak orang, kereta api sekarang menawarkan pengalaman perjalanan yang menyenangkan, menjelajahi keindahan alam dan budaya di sepanjang jalur yang dilalui.








Read More »
03 November | 0komentar

Refleksi Setelah Lulus Pendidikan Guru Penggerak


Salah satu program unggulan Kementrian Pendidikan saat ini adalah Pendidikan Guru Penggerak (PGP) sebagai upaya menelorkan Pemimpin Pembelajaran yang berpusat pada murid. Melalui modul-modul yang disajikan, pelaksanaan Program Pendidikan Guru Penggerak mengupayakan guru-guru dapat mengembangkan diri, guru lain dan siswa dengan refleksi, berbagi dan kolaborasi. Kemudian, memiliki kematangan moral,emosi dan spiritual untuk berprilaku sesuai kode etik. 
Guru penggerak diharapkan dapat merencanakan, menjalankan, merefleksikan dan mengevaluasi pembelajaran yang berpusat pada murid melalui kolaborasi dengan orang tua dan komunitas untuk mengembangkan sekolah, menumbuhkan kepemimpinan murid, upaya mewujudkan visi sekolah yang berpihak pada murid serta relevan dengan kebutuhan komunitas di sekitar sekolah. (modul 1) 
Sesuai dengan peraturan yang terbaru bahawa Guru Penggerak diharapan mampu menjadi katalis perubahan pendidikan di daerah masing-masing. Guru Penggerak melakukan katalis perubahan melalui menggerakkan komunitas belajar untuk rekan guru di sekolah dan di wilayahnya dan menjadi Pengajar Praktik bagi rekan guru lain terkait pengembangan pembelajaran di sekolah. 
Guru Penggerak diharapkan dapat mendorong peningkatan kepemimpinan murid di sekolah. Peran ini melalui membuka ruang diskusi positif dan ruang kolaborasi antara guru dan pemangku kepentingan di dalam dan di luar sekolah untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, serta menjadi pemimpin pembelajaran yang mendorong Well-Being ekosistem pendidikan di sekolah sehingga dalam menghadapai tantangan dan kemajuan jaman yang semakin ketat dan penuh dengan dinamika perubahan dapat untuk mengadaptasi sesuai dengan filosofi KHD. 
Dalam pendidikan guru penggerak, peserta dilatih dan dididik sesuai dengan perkembangan zaman dan sesuai dengan filosofi pendidikan Indonesia dengan menyelesaikan tiga paket modul, meliputi: paradigma dan visi guru penggerak, seperti refleksi filosofi pendidikan Indonesia Ki Hadjar Dewantara, nilai-nilai dan peran guru penggerak, visi guru penggerak dan membangun budaya positif di sekolah. Modul 2 praktik pembelajaran yang berpihak kepada murid seperti pembelajaran berdiferensiasi. pembelajaran sosial dan emosional, serta coaching. Dan Modul 3 pemimpin pembelajaran dalam pengembangan sekolah, yaitu pengembilan keputusan sebagai pemimpin pembelajaran, pemimpin dalam pengelolaan sumber daya dan pengelolaan program sekolah yang berdampak pada murid. 
Dengan adanya tiga paket modul tadi diharapkan Guru Penggerak tersebut bisa dan mampu mengimplementasikan hasil pelatihan dan Pendidikan, serta adanya kegiatan Lokakarya yang di dalamnya sebagai bentuk saling berbagi sesama teman Guru Penggerak, para Praktik Pengajar dan motivasi yang sangat baik menunjang yang selama ini di jalankan demi perbaikan-perbaikan ke depannya agar lebih baik lagi, untuk di terapkan di sekolahnya. 

Colon Guru penggerak (CGP), atau Pendidikan Guru Penggerak (PGP) membantu dalam menjunjang dan menimplementasikan perubahan-perubahan pendidikan baik di lingkungan sekolah maupun praktisi pendidik akan adanya perubahan secara perlahan-lahan dan berkesinambungan, demi mempersiapkan anak-anak kita dalam menghadapi perkembangan zaman yang semakin cepat dan tak mudah diprediksi oleh kita semua. Dalam pendidkan guru penggerak kita disiapkan untuk memperkokoh dan memperkuat karakter kita sebagai Pemimpin Pembelajaran agar semua pembelajaran kita berpatokan pada Profil Pelajar Pancasila dan Merdeka Belajar, karena ke depannya yang diharapkan adalah tidak mematok murid untuk berbuat sesuai keinginan semua pihak.

Read More »
16 July | 0komentar

Semangat Berbagi dan Berkolaborasi

Pada hari Kamis 25 April 2024, Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Ditjen GTK) menyelenggarakan webinar SAPA GTK. Webinar ini membahas isu-isu terkini terkait program utama maupun pendukung di lingkungan Ditjen GTK. Dengan topik “Semangat Belajar Berbagi dan Berkolaborasi dalam Implementasi Kurikulum Merdeka” dengan narasumber Dr. Yogi Anggraena M.Si., Ketua Tim Kerja Kurikulum BSKAP, Dr. Medira Ferayanti S.S., M.A., Ketua Tim Kerja Pembelajaran Ditjen GTK, dan Ikmal Fauzi, M.Pd., Kepala TK Islam Al Kautsar, Cilodong, Kota Depok. 
Kegiatan ini memberikan informasi dan pemahaman mengenai kebijakan kurikulum, panduan-panduan kurikulum, pentingnya perubahan paradigma guru dan tenaga kependidikan dalam implementasi Kurikulum Merdeka di lingkungan satuan pendidikan. Menampilkan juga praktik baik dalam Implementasi Kurikulum Merdeka serta bagaimana dampaknya terhadap murid. 
Ditjen GTK juga mengajak dan mendorong peserta webinar untuk aktif belajar, berbagi, dan berkolaborasi dalam Implementasi Kurikulum Merdeka. Substansi Kurikulum Merdeka Dalam paparannya, Yogi menjelaskan mengenai pentingnya penyamaan persepsi dalam implementasi Kurikulum Merdeka. 
Telah dirilis Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada PAUD, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah sebagai legitimasi bahwa kurikulum yang diterapkan secara nasional adalah  Kurikulum Merdeka. 
Tentunya implementasi Kurikulum merdeka bagi daerah tertinggal akan di beri waktu sampai tahun ajaran 2026/2027.  Yang mendasari (penetapan Kurikulum Merdeka menjadi kurikulm nasional) adalah bahwa karena Kurikulum Merdeka fokus pada materi esensial dan struktur yang fleksibel, sehingga memudahkan guru melakukan pembelajaran terdiferensiasi, mengasah bakat dan minat, serta menumbuhkan karakter murid secara lebih menyeluruh, tanpa memberikan beban administrasi.
Kemendikbudristek telah menyediakan media untuk guru belajar secara mandiri mengenai Kurikulum Merdeka. Melalui Platform Merdeka Mengajar (PMM). Dalam aplikasi tersebut terdapat 3 (tiga) menu utama untuk mempelajari Kurikulum Merdeka, yakni di menu Info Terkini, Tentang Kurikulum Merdeka, dan Pelatihan Mandiri. 
Pada PMM terdapat contoh capaian pembelajaran (CP), alur tujuan pembelajaran (ATP), dan cerita praktik baik. Guru-guru yang ingin belajar secara luar jaringan karena terkendala jaringan internet, Kemendikbudristek menyediakan aplikasi Awan Penggerak sebagai media belajar. Selain itu, para guru bisa belajar dengan Narasumber Berbagi Praktik Baik (NS BPB) yang terdapat di daerah masing-masing. 
Guru dapat melaksanakan observasi kebutuhan praktik pembelajaran yang dilakukan sebelum mengundang NS BPB. Adapun informasi yang dapat digali tentang pembelajaran berdiferensiasi seputar bagaimana proses, konten dan produknya.
Juga untuk terus dikembangkan komunitas belajar, yang dapat memberikan ruang dan budaya belajar dan berkolaborasi bagi guru untuk meningkatkan kompetensi dan menciptakan pembelajaran berkualitas untuk murid. Komunitas belajar ada yang di dalam sekolah, dan ada juga di tingkat kabupaten/kota dan provinsi. 


Read More »
13 July | 0komentar

Download Instrumen dan Pedoman UKK 2023/2024

 


Pelaksanaan Uji Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan menyebutkan bahwa Standar Kompetensi Lulusan pada satuan pendidikan jenjang pendidikan menengah kejuruan salah satunya difokuskan pada keterampilan untuk meningkatkan kompetensi peserta didik agar dapat hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya. 
Panduan Pembelajaran dan Asesmen pada SMK, terdapat bentuk Asesmen khas yang membedakan dengan jenjang yang lain salah satunya adalah Uji Kompetensi Keahlian (UKK). UKK merupakan bentuk asesmen terhadap pencapaian kualifikasi jenjang 2 (dua) atau 3 (tiga) pada KKNI dan Okupasi yang dilaksanakan di akhir masa studi oleh Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP-P1/LSP-P2/LSP-P3), atau Satuan Pendidikan yang terakreditasi bersama dengan dunia kerja. 
Hasil UKK bagi peserta didik akan menjadi indikator ketercapaian standar kompetensi lulusan. Materi UKK disusun berdasarkan skema Sertifikasi sesuai dengan jenjang Kualifikasi Asesi yang memuat kemampuan melaksanakan pekerjaan spesifik, operasional, dan/atau penjaminan mutu. Soal UKK dapat berbentuk penugasan atau bentuk lain yang dinilai secara individual untuk membuat suatu barang dan/atau jasa sesuai tuntutan standar kompetensi. 

Uji Kompetensi Keahlian (UKK) bertujuan untuk : 
1. Mengukur pencapaian kompetensi peserta didik SMK yang telah menyelesaikan proses pembelajaran sesuai kompetensi/konsentrasi keahlian yang ditempuh dan dibuktikan dengan sertifikat kompetensi; 
2. Mengoptimalkan pelaksanaan sertifikasi kompetensi yang berorientasi pada capaian kompetensi lulusan SMK sesuai Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia; 
3. Mendorong kerja sama SMK dengan dunia kerja dalam rangka pelaksanaan uji kompetensi sesuai kebutuhan dunia kerja.


Sasaran yang akan dicapai dalam Pelaksanaan UKK ini adalah : 
1. Terlaksananya UKK bagi seluruh peserta didik SMK. 
  • a. Untuk SMK program 3 Tahun dilaksanakan pada semester 5 atau semester 6 dan/atau telah menuntaskan materi pembelajaran / capaian pembelajaran melalui serangkaian kegiatan uji kompetensi yang dilaksanakan secara efektif, efisien, dan akuntabel; 
  • b. Untuk SMK program 4 Tahun dilaksanakan pada semester 7 atau semester 8 dan/atau telah menuntaskan materi pembelajaran / capaian pembelajaran melalui serangkaian kegiatan uji kompetensi yang dilaksanakan secara efektif, efisien, dan akuntabel; 
2. Diterbitkannya sertifikat kompetensi bagi seluruh peserta UKK yang dinyatakan kompeten.


Pola Pelaksanaan UKK ditetapkan sebagai berikut : 
1. Pelaksanaan UKK oleh dunia kerja atau Asosiasi Profesi; 
2. Pelaksanaan UKK oleh SMK bersama dengan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP-P1/P2/P3) berlisensi Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) yang diperkenankan untuk menyelenggarakan UKK sesuai dengan ruang lingkup skema sertifikasi yang telah terlisensi oleh BNSP ; 
3. Pelaksanaan UKK Mandiri oleh SMK bersama mitra dunia kerja menggunakan instrumen yang disusun oleh Pemerintah Pusat. Satuan pendidikan bersama mitra dunia kerja diperkenankan untuk mengubah sebagian atau keseluruhan isi instrumen dengan kriteria/spesifikasi yang setara atau lebih tinggi dari instrumen yang disusun oleh Pemerintah Pusat.


DOWNLOAD INSTRUMEN UKK

Read More »
08 January | 0komentar

Prinsip Pembelajaran dan Contoh Pelaksanaannya




Pemerintah tidak mengatur pembelajaran dan asesmen secara detail dan teknis. Namun demikian, untuk memastikan proses pembelajaran dan asesmen berjalan dengan baik, Pemerintah menetapkan Prinsip Pembelajaran dan Asesmen. Prinsip pembelajaran dan prinsip asesmen diharapkan dapat memandu pendidik dalam merencanakan dan melaksanakan pembelajaran yang bermakna agar peserta didik lebih kreatif, berpikir kritis, dan inovatif. Dalam menerapkan prinsip-prinsip pembelajaran, pendidik diharapkan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

A. Prinsip Pembelajaran


1. Pembelajaran dirancang dengan mempertimbangkan tahap perkembangan dan tingkat pencapaian peserta didik saat ini, sesuai dengan kebutuhan belajar, serta mencerminkan karakteristik dan perkembangan peserta didik yang beragam sehingga pembelajaran menjadi bermakna dan menyenangkan. 
  • Pada awal tahun ajaran, pendidik berusaha mencari tahu kesiapan belajar peserta didik dan pencapaian sebelumnya. Misalnya, melalui dialog dengan peserta didik, sesi diskusi kelompok kecil, tanya jawab, pengisian survei/angket, dan/ atau metode lainnya yang sesuai.
  • • Pendidik merancang atau memilih alur tujuan pembelajaran sesuai dengan tahap perkembangan peserta didik, atau pada tahap awal. Pendidik dapat menggunakan atau mengadaptasi contoh tujuan pembelajaran, alur tujuan pembelajaran dan modul ajar yang disediakan oleh Kemendikbudristek. 
  • • Pendidik merancang pembelajaran yang menyenangkan agar peserta didik mengalami proses belajar sebagai pengalaman yang menimbulkan emosi positif

Pembelajaran dirancang dan dilaksanakan untuk membangun kapasitas untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat; Pendidik mendorong peserta didik untuk melakukan refleksi untuk memahami kekuatan diri dan area yang perlu dikembangkan. 
  • Pendidik senantiasa memberikan umpan balik langsung yang mendorong kemampuan peserta didik untuk terus belajar dan mengeksplorasi ilmu pengetahuan. 
  • Pendidik menggunakan pertanyaan terbuka yang menstimulasi pemikiran yang mendalam. 
  • Pendidik memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif agar terbangun sikap pembelajar mandiri.
  • Pendidik memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, kemandirian sesuai bakat, minat, dan perkembangan fisik, serta psikologis peserta didik.
  • Pendidik memberikan tugas atau pekerjaan rumah ditujukan untuk mendorong pembelajaran yang mandiri dan untuk mengeksplorasi ilmu pengetahuan dengan mempertimbangkan beban belajar peserta didik. 
  • Pendidik merancang pembelajaran untuk mendorong peserta didik terus meningkatkan kompetensinya melalui tugas dan aktivitas dengan tingkat kesulitan yang tepat.

Proses pembelajaran mendukung perkembangan kompetensi dan karakter peserta didik secara holistik;Pendidik menggunakan berbagai metode pembelajaran yang bervariasi dan untuk membantu peserta didik mengembangkan kompetensi, misalnya belajar berbasis inkuiri, berbasis projek, berbasis masalah, dan pembelajaran terdiferensiasi. 
  • Pendidik merefleksikan proses dan sikapnya untuk memberi keteladanan dan sumber inspirasi positif bagi peserta didik. 
  • Pendidik merujuk pada profil pelajar Pancasila dalam memberikan umpan balik (apresiasi maupun koreksi)

pembelajaran yang relevan, yaitu pembelajaran yang dirancang sesuai konteks, lingkungan, dan budaya peserta didik, serta melibatkan orang tua dan komunitas sebagai mitra;
  • Pendidik menyelenggarakan pembelajaran sesuai kebutuhan dan dikaitkan dengan dunia nyata, lingkungan, dan budaya yang menarik minat peserta didik. 
  • Pendidik merancang pembelajaran interaktif untuk memfasilitasi interaksi yang terencana, terstruktur, terpadu, dan produktif antara pendidik dengan peserta didik, sesama peserta didik, serta antara peserta didik dan materi belajar. 
  • Pendidik memberdayakan masyarakat sekitar, komunitas, organisasi, ahli dari berbagai profesi sebagai narasumber untuk memperkaya dan mendorong pembelajaran yang relevan.
  • Pendidik melibatkan orang tua dalam proses belajar dengan komunikasi dua arah dan saling memberikan umpan balik. 
  • Pada PAUD, pendidik menggunakan pendekatan multibahasa berbasis bahasa ibu juga dapat digunakan, utamanya bagi peserta didik yang tumbuh di komunitas yang menggunakan bahasa lokal. 
  • Pada SMK, terdapat pembelajaran melalui Praktik Kerja Lapangan (PKL) yang dilaksanakan di dunia kerja atau tempat praktik di lingkungan sekolah yang telah dirancang sesuai dengan standar dunia kerja, menerapkan sistem dan budaya kerja sebagaimana di dunia kerja, dan disupervisi oleh pendidik/instruktur yang ditugaskan atau memiliki pengalaman di dunia kerja yang relevan. 
  • Pada SMK, pendidik dapat menyelenggarakan pembelajaran melalui praktik-praktik kerja bernuansa industri di lingkungan sekolah melalui model pembelajaran industri (teaching factory)

pembelajaran berorientasi pada masa depan yang berkelanjutan.
  • Pendidik berupaya untuk mengintegrasikan kehidupan keberlanjutan (sustainable living) pada berbagai kegiatan pembelajaran dengan mengintegrasikan nilai-nilai dan perilaku yang menunjukkan kepedulian terhadap lingkungan dan masa depan bumi, misalnya menggunakan sumber daya secara bijak (hemat air, listrik, dll.), mengurangi sampah, dsb. 
  • Pendidik memotivasi peserta didik untuk menyadari bahwa masa depan adalah milik mereka dan mereka perlu mengambil peran dan tanggung jawab untuk masa depan mereka.
  • Pendidik melibatkan peserta didik dalam mencari solusisolusi permasalahan di keseharian yang sesuai dengan tahapan belajarnya.
  • Pendidik memanfaatkan projek penguatan profil pelajar Pancasila untuk membangun karakter dan kompetensi peserta didik sebagai warga dunia masa depan

Read More »
19 October | 0komentar

IHT Pembelajaran Guru di Sekolah


Dalam rangka melaksanakan Program SMK Pusat Keunggulan (SMK PK) SMK Negeri 1 Bukateja menyelenggarakan kegiatan optimalisasi penyelenggaran pembelajaran berbasis Dunia Kerja/Industri Salah satu prgram keagiatan adalah IHT (In House Training). Pada IHT ini mengundang narasumber dari Balai Besar Pengembangan Penjaminan Mutu Pendidikan Vokasi (BBPPMPV) Seni dan Budaya. Yogyakarta bersama Bp. Drs. Rahayu Windarto,MM. yang dilaksanakan selama 3 Hari.
Pemerintah telah menetapkan Capaian Pembelajaran yang menjadi rujukan utama dalam pengembangan rancangan pembelajaran, khususnya untuk kegiatan intrakurikuler1. Panduan ini memfasilitasi proses berpikir dalam perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran yang dimulai dari menganalisis capaian pembelajaran , tujuan pembelajaran mengembangkan alur tujuan pembelajaran, modul ajar, serta asesmen pada awal pembelajaran dan pembelajaran terdiferensiasi. Dokumen ini juga memuat perencanaan serta pelaksanaan asesmen yang dimulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengolahan, dan pelaporan hasil penilaian atau asesmen. PPA difokuskan untuk pembelajaran dan asesmen intrakurikuler, sedangkan panduan untuk projek penguatan profil pelajar Pancasila disampaikan dalam dokumen terpisah.
Pembelajaran dapat diawali dengan proses perencanaan asesmen dan perencanaan pembelajaran. Pendidik perlu merancang asesmen yang dilaksanakan pada awal pembelajaran, pada saat pembelajaran, dan pada akhir pembelajaran. Perencanaan asesmen, terutama pada asesmen awal pembelajaran sangat perlu dilakukan karena untuk mengidentifikasi kebutuhan belajar peserta didik, dan hasilnya digunakan untuk merancang pembelajaran yang sesuai dengan tahap capaian peserta didik. Perencanaan pembelajaran meliputi tujuan pembelajaran, langkah-langkah pembelajaran, dan asesmen pembelajaran yang disusun dalam bentuk dokumen yang fleksibel, sederhana, dan kontekstual. 
Tujuan Pembelajaran disusun dari Capaian Pembelajaran dengan mempertimbangkan kekhasan dan karakteristik Satuan Pendidikan. Pendidik juga harus memastikan tujuan pembelajaran sudah sesuai dengan tahapan dan kebutuhan peserta didik. Proses selanjutnya adalah pelaksanaan pembelajaran yang dirancang untuk memberi pengalaman belajar yang berkualitas, interaktif, dan kontekstual. 
Pada siklus ini, pendidik diharapkan dapat menyelenggarakan pembelajaran yang : (1) interaktif; (2) inspiratif; (3) menyenangkan; (4) menantang; (5) memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif; dan (6) memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, kemandirian sesuai bakat, minat dan perkembangan fisik, serta psikologis peserta didik (akan dijelaskan lebih lanjut pada Bab V). Sepanjang proses pembelajaran, pendidik dapat mengadakan asesmen formatif untuk mengetahui sejauh mana tujuan pembelajaran sudah dicapai oleh peserta didik. 
Tahapan selanjutnya adalah proses asesmen pembelajaran. Asesmen pembelajaran diharapkan dapat mengukur aspek yang seharusnya diukur dan bersifat holistik. Asesmen dapat berupa formatif dan sumatif. Asesmen formatif dapat berupa asesmen pada awal pembelajaran dan asesmen pada saat pembelajaran. Asesmen pada awal pembelajaran digunakan mendukung pembelajaran terdiferensiasi sehingga peserta didik dapat memperoleh pembelajaran sesuai dengan yang mereka butuhkan. Sementara, asesmen formatif pada saat pembelajaran dapat dijadikan sebagai dasar dalam melakukan refleksi terhadap keseluruhan proses belajar yang dapat dijadikan acuan untuk perencanaan pembelajaran dan melakukan revisi apabila diperlukan. Apabila peserta didik dirasa telah mencapai tujuan pembelajaran, maka pendidik dapat meneruskan pada tujuan pembelajaran berikutnya. Namun, apabila tujuan pembelajaran belum tercapai, pendidik perlu melakukan penguatan terlebih dahulu. Selanjutnya, pendidik perlu mengadakan asesmen sumatif untuk memastikan ketercapaian dari keseluruhan tujuan pembelajaran. Ketiga tahapan ini akan terus berlangsung dalam bentuk siklus seperti gambar di atas. 
Dalam prosesnya, pendidik dapat melakukan refleksi, baik dilakukan secara pribadi maupun dengan bantuan kolega pendidik, kepala satuan pendidikan, atau pengawas sekolah. Oleh karena itu, proses pembelajaran dan asesmen merupakan satu kesatuan yang bermuara untuk membantu keberhasilan peserta didik di dalam kelas. Pemerintah tidak mengatur pembelajaran dan asesmen secara detail dan teknis. Namun demikian, untuk memastikan proses pembelajaran dan asesmen berjalan dengan baik, Pemerintah menetapkan Prinsip Pembelajaran dan Asesmen. 
Prinsip pembelajaran dan prinsip asesmen diharapkan dapat memandu pendidik dalam merencanakan dan melaksanakan pembelajaran yang bermakna agar peserta didik lebih kreatif, berpikir kritis, dan inovatif. 





Read More »
17 October | 0komentar