Assalamu'alaikum ! welcome to Media Pendidikan.| Contact | Register | Sign In

Pembelajaran Beraksentuasi Industri


Di tengah tuntutan pendidikan vokasi yang semakin ketat untuk menghasilkan lulusan siap kerja, Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) ditantang untuk merevolusi proses pembelajarannya. SMKN 1 Bukateja, sebagai salah satu sekolah unggulan yang mengedepankan model Teaching Factory (TeFa), mengambil langkah berani dan strategis: menyatukan ruang guru kejuruan dan guru mata pelajaran umum (normatif/adaptif) dalam satu ruangan terpusat per jurusan.
Keputusan ini bukanlah sekadar penataan ulang furnitur, melainkan sebuah transformasi kultural yang bertujuan mendobrak sekat-sekat tradisional antara disiplin ilmu, demi mencapai satu tujuan utama: menciptakan kolaborasi pembelajaran yang utuh dan terintegrasi, terutama dalam mendukung TeFa dan Asesmen Berbasis Proyek.
Memecah sekat ruang kerja guru kejuruan dan umum dalam satu konsentrasi keahlian/jurusan adalah investasi strategis untuk:

1. Mempermudah Koordinasi Real-Time dan Spontan
Sebelumnya, pertemuan antara guru kejuruan (Produktif) dan guru umum (seperti Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Sejarah, Olahraga, dan lain-lain) sering kali harus dijadwalkan secara formal, memakan waktu dan birokrasi. 
✅ Dengan ruang guru terpusat, koordinasi menjadi spontan dan organik. Guru Bahasa Inggris dapat langsung mendekati guru Produktif Busana untuk mendiskusikan kosa kata teknis yang relevan dengan industri garmen yang akan digunakan siswa dalam presentasi produk TeFa mereka. Guru Sejarah dapat berdiskusi cepat mengenai latar belakang budaya suatu desain yang sedang dikerjakan di proyek Busana.

2. Menguatkan Intervensi Mata Pelajaran Umum dalam TeFa
Prinsip TeFa adalah pembelajaran berbasis produksi/jasa yang meniru suasana industri. Dalam industri nyata, seorang teknisi juga harus mampu berkomunikasi, membuat laporan, dan bernegosiasi.
Dengan kolaborasi yang terjalin erat, guru mata pelajaran umum didorong untuk:
Integrasi Konten: Guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris merancang tugas yang relevan dengan proyek TeFa (misalnya, membuat business plan, menyusun Standard Operating Procedure/SOP, atau presentasi produk dalam Bahasa Inggris).
Asesmen Terpadu: Mereka berkontribusi dalam penilaian keterampilan non-teknis siswa yang esensial dalam proyek, seperti komunikasi tim, etika kerja (Pendidikan Karakter), dan pemecahan masalah (Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam).

3. Sukses Asesmen Berbasis Proyek yang Holistik
Asesmen berbasis proyek dan Teaching Factory menuntut penilaian yang holistik, tidak hanya menguji kemampuan teknis (hard skill), tetapi juga keterampilan lunak (soft skill).
Melalui ruang guru bersama, guru dari berbagai bidang dapat:
  • Perencanaan Kolaboratif: Secara rutin, guru-guru dalam satu jurusan (misalnya, Teknik Otomotif) dapat duduk bersama membuat perencanaan yang kolaboratif. Guru Produktif menentukan output proyek, sementara guru umum merancang intervensi dan penilaian terhadap aspek literasi, numerasi, hingga sejarah perkembangan teknologi yang terkait.
  • Standarisasi Penilaian: Menyepakati kriteria penilaian (rubrik) yang komprehensif, di mana guru kejuruan menilai kualitas produk, dan guru umum menilai kualitas laporan, presentasi, dan kerja sama tim.
📈 Menciptakan Ekosistem Pembelajaran yang Relevan
Penataan ruang guru SMKN 1 Bukateja ini bukan hanya tentang efisiensi ruang, melainkan tentang efisiensi pikiran dan sinergi pedagogis. Ia menciptakan budaya kerja yang "tidak ada guru umum dan guru kejuruan, yang ada adalah tim guru untuk satu konsentrasi keahlian."
Langkah ini menunjukkan komitmen sekolah vokasi untuk:
  • Memperkuat Konteks: Memastikan bahwa mata pelajaran umum tidak lagi terasa terpisah dari realitas dunia kerja, melainkan menjadi alat pendukung vital bagi keberhasilan siswa di industri.
  • Mewujudkan Link and Match Internal: Mencerminkan semangat link and match dengan industri, di mana kolaborasi lintas disiplin adalah kunci sukses tim kerja di dunia nyata.
Dengan ruang guru yang kini menyatu, SMKN 1 Bukateja telah meletakkan fondasi yang kokoh untuk memastikan bahwa Teaching Factory dan Asesmen Berbasis Proyek yang mereka jalankan bukan hanya menghasilkan produk, tetapi juga lulusan yang terintegrasi, terampil, dan mampu bersinergi di dunia kerja yang sesungguhnya.

Read More »
06 November | 0komentar

Ribuan Ujian Sejak SD: Apakah Hanya Melahirkan Penghafal, Bukan Pemikir Kritis?

Pernahkah kita menghitung sejak hari pertama masuk SD hingga kelulusan SMA/SMK, bahkan saat kuliah sudah berapa banyak ujian dan ulangan yang kita tempuh?
Angkanya mungkin mengejutkan. Bayangkan saja: Ujian Harian/Ulangan Harian, Ulangan Tengah Semester, Ujian Akhir Semester, Ujian Sekolah/USBN, hingga Ujian Nasional (di masa lalu), dan mungkin juga try out yang tak terhitung jumlahnya. Setiap jenjang (SD 6 tahun, SMP 3 tahun, SMA/SMK 3 tahun) dipenuhi siklus ujian yang berulang, minimal 4-5 kali ujian besar setiap tahun (UTS, UAS, US/UN).
Jika dihitung kasar, kita telah melalui ratusan, bahkan mungkin ribuan kali duduk di kursi dengan selembar kertas soal, pena, dan detak jantung yang berpacu.
Namun, yang jauh lebih penting dari angka itu adalah: Apa yang sebenarnya diwariskan dari rentetan ujian tersebut?

🧐 Ujian: Sekadar Menguji Ingatan, atau Membentuk Keahlian Abad 21?
Pertanyaan besar muncul: Apakah semua ujian dan ulangan selama belasan tahun itu benar-benar mampu menjawab kebutuhan dunia kerja dan kehidupan saat ini yang sangat menuntut keahlian seperti:
  • Berpikir Kritis (Critical Thinking) 
  • Kreatif (Creativity) 
  • Memecahkan Masalah (Problem Solving) 
  • Kolaborasi (Collaboration) 
Jawabannya adalah: Tergantung pada jenis ujiannya.

🌟 Sisi Positif dari "Tekanan" Ujian
Ujian, pada dasarnya, adalah sebuah simulasi tekanan dan batas waktu. Ini adalah "arena tempur" kecil di mana kita diasah untuk:
Disiplin dan Manajemen Waktu: Belajar membagi waktu antara persiapan materi yang banyak dalam waktu yang terbatas.

Ketahanan Mental: Mengatasi rasa takut, kecemasan, dan kegagalan—kemampuan yang sangat dibutuhkan di dunia kerja.

Penguasaan Konsep Dasar: Memastikan kita setidaknya menguasai fondasi ilmu yang akan menjadi pijakan untuk pemikiran yang lebih kompleks.

🚀 Transformasi: Dari Ujian Ingatan Menuju Ujian Kompetensi
Ujian tradisional yang hanya menguji hafalan (misalnya, pilihan ganda definisi) memang tidak secara langsung mengembangkan kemampuan 4C (Kritis, Kreatif, Kolaborasi, Komunikasi/Problem Solving).
Namun, terjadi pergeseran besar dalam pendidikan:

Ujian Berbasis Proyek (Project-Based Assessment): Model ujian berbasis proyek (seperti yang banyak diterapkan pada Kurikulum Merdeka) secara eksplisit menuntut keahlian 4C. Ketika siswa harus membuat produk, presentasi, atau karya inovatif, mereka dipaksa untuk:
Berpikir Kritis: Menganalisis masalah, mengevaluasi sumber, dan mempertanyakan asumsi. 
Kreatif: Merancang solusi unik atau menghasilkan karya baru. 
Kolaborasi: Bekerja dalam tim, membagi tugas, dan menyatukan ide. 
Problem Solving: Mengatasi kendala di tengah proses proyek.

Soal Berpikir Tingkat Tinggi (HOTS): 
Jenis soal yang tidak hanya menanyakan "apa" tetapi juga "mengapa" dan "bagaimana" suatu konsep diterapkan. Ini melatih kita untuk menghubungkan berbagai informasi dan membuat kesimpulan yang logis.
Intinya: Jumlah ujian yang banyak adalah sebuah fakta, tetapi nilai sejatinya terletak pada bagaimana kita menyikapi dan memaknai proses ujian tersebut. Bukan skor yang dihitung, melainkan pertumbuhan diri di balik setiap angka.

🌈 Pelajaran Paling Berharga yang Kita Dapatkan
Mungkin nilai mata pelajaran tertentu telah kita lupakan, namun ada "harta karun" lain yang kita bawa hingga dewasa, yang merupakan hasil dari "latihan" menghadapi ujian:
Kemampuan Coping dengan Kegagalan: Setiap kali nilai tidak sesuai harapan, kita belajar bahwa kegagalan adalah guru. Kita belajar bangkit, merefleksi, dan mencoba lagi di kesempatan berikutnya.
Keterampilan Mengelola Informasi: Kita dilatih untuk memilah mana materi esensial dan mana yang hanya detail, sebuah keahlian penting di era banjir informasi saat ini.
Resiliensi (Ketangguhan): Belasan tahun menghadapi tantangan akademik membuat kita menjadi pribadi yang tangguh, siap menghadapi tantangan hidup yang jauh lebih besar.
Jadi, ketika kita melihat kembali rentetan ujian itu, jangan hanya melihatnya sebagai tumpukan kertas soal. Lihatlah sebagai tangga yang telah kita daki—setiap anak tangganya, yang disebut "ujian," telah membentuk fondasi intelektual dan mental kita untuk menjadi pemecah masalah, pemikir kritis, dan kolaborator ulung di masa depan.

Read More »
05 November | 0komentar

Ringkasan Regulasi Baru : Permendikdasmen Nomor 13 Tahun 2025

Pembina Upacara 
Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) telah menetapkan Peraturan Menteri Nomor 13 Tahun 2025 sebagai perubahan atas Permendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024. Perubahan ini merupakan bentuk penyesuaian administratif dan penguatan kebijakan dalam rangka mengoptimalkan implementasi kurikulum yang telah berlaku. Tujuan utama dari regulasi ini adalah untuk menjawab tantangan zaman sekaligus memperkuat kualitas pembelajaran tanpa melakukan perubahan substansial terhadap struktur kurikulum yang sudah ada.


Tidak Ada Perubahan Kurikulum
Permendikdasmen Nomor 13 Tahun 2025 menegaskan bahwa tidak ada pergantian kurikulum nasional. Satuan pendidikan pada tahun ajaran 2025/2026 tetap menggunakan Kurikulum 2013 dan Kurikulum Merdeka. Kurikulum Merdeka, yang sejak awal dirancang dengan prinsip fleksibilitas dan penguatan kompetensi, tetap menjadi acuan dalam upaya membangun karakter dan kecakapan peserta didik sesuai konteks lokal dan kebutuhan masa depan. Kurikulum 2013 pun tetap digunakan secara berkelanjutan sesuai dengan kesiapan satuan pendidikan.


Pendekatan Pembelajaran Mendalam
Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) telah menetapkan Peraturan Menteri Nomor 13 Tahun 2025 sebagai perubahan atas Permendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024. Perubahan ini merupakan bentuk penyesuaian administratif dan penguatan kebijakan dalam rangka mengoptimalkan implementasi kurikulum yang telah berlaku. Tujuan utama dari regulasi ini adalah untuk menjawab tantangan zaman sekaligus memperkuat kualitas pembelajaran tanpa melakukan perubahan substansial terhadap struktur kurikulum yang sudah ada.


Penambahan Mata Pelajaran Pilihan Koding dan Kecerdasan Artifisial
Salah satu perubahan penting dalam Permendikdasmen Nomor 13 Tahun 2025 adalah penambahan mata pelajaran pilihan baru berupa Koding dan Kecerdasan Artifisial. Pelajaran ini akan mulai diterapkan secara bertahap mulai tahun ajaran 2025/2026, dimulai dari kelas 5 dan 6 jenjang pendidikan dasar, serta kelas 7 jenjang pendidikan menengah. Tujuan dari penambahan ini adalah untuk memberikan bekal keterampilan abad ke-21 kepada murid, khususnya dalam menghadapi tantangan era digital dan perkembangan teknologi yang sangat pesat.


Profil Lulusan
Permendikdasmen Nomor 13 Tahun 2025 memperbarui profil lulusan dari enam dimensi Profil Pelajar Pancasila menjadi delapan Profil Lulusan, yaitu:
  1. Keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa 
  2. Kewargaan 
  3. Penalaran kritis 
  4. Kreativitas 
  5. Kolaborasi 
  6. Kemandirian 
  7. Kesehatan 
  8. Komunikasi
Perubahan ini mencerminkan pendekatan holistik dalam pengembangan kompetensi siswa, dengan penambahan aspek kesehatan dan komunikasi sebagai bagian dari profil lulusan.


Perubahan Kokurikuler
Kegiatan kokurikuler mengalami penyesuaian sebagai berikut:

Bentuk:
Semula: Minimal berupa Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5).
Menjadi: Dapat dilakukan melalui pembelajaran kolaboratif lintas disiplin ilmu, gerakan tujuh kebiasaan anak Indonesia hebat, atau cara lain yang relevan.

Kompetensi:
Semula: Enam dimensi Profil Pelajar Pancasila.
Menjadi: Delapan Profil Lulusan.

Muatan:
Semula: Tema ditetapkan oleh pemerintah.
Menjadi: Tema dapat ditetapkan oleh satuan pendidikan, memberikan fleksibilitas sesuai kebutuhan dan karakteristik lokal.

Kegiatan Ekstrakurikuler
Ekstrakurikuler dirancang untuk mengembangkan potensi, bakat, minat, kemampuan, kepribadian, kerja sama, dan kemandirian siswa secara optimal. Kegiatan ini dilakukan di bawah bimbingan dan pengawasan satuan pendidikan, dengan pramuka atau kepanduan lainnya sebagai kegiatan wajib. Satuan pendidikan juga dapat menyediakan kegiatan ekstrakurikuler lain sesuai kebutuhan siswa.

Read More »
04 November | 0komentar

Dari Tugas Administratif ke Panggilan Jiwa: Kunci Transformasi Guru

Menjadi guru adalah panggilan jiwa yang menuntut kesadaran tiada henti. Di tengah tantangan kurikulum dan tuntutan administratif, guru sejati dituntut untuk memahami esensi unik setiap manusia di hadapannya, terus belajar, dan tak lelah memperbaiki diri. 
Refleksi mendalam inilah yang menjadi fondasi Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), sebuah gerakan yang menyerukan revolusi kecil di setiap ruang kelas.Workshop Pendidikan Terpadu yang diadakan oleh GSM, dengan Muhammad Nur Rizal dan Novi Candra sebagai founder dan co-founder, menawarkan kesadaran baru: tugas guru adalah memanusiakan manusia. Beberapa bulan ini hanya mengikuti dari grup Whattsapp GSM Kab. Purbalingga. 
GSM mengingatkan bahwa setiap anak adalah individu yang unik, dianugerahi rasa ingin tahu yang tinggi, dan memiliki daya imajinasi yang tak terbatas. Dengan kesadaran ini, cara mengajar harus bergeser drastis: 
  • Dari Menjelaskan ke Memfasilitasi: Guru bukan lagi sekadar penyalur informasi yang meminta murid menyalin, melainkan fasilitator yang menciptakan pengalaman berkesan. 
  • Dari Paksaan ke Keinginan: Pembelajaran harus memungkinkan anak didik menemukan cara belajarnya sendiri—dari melihat, mendengar, hingga mempraktikkan—tanpa rasa tertekan. 
  • Menumbuhkan Minat, Bukan Menjejalkan Materi: Peran guru adalah memantik rasa penasaran dan menumbuhkan minat, sehingga proses belajar menjadi sebuah petualangan yang otentik. 
 Dengan kata lain, pendidikan harus berfokus pada proses cara belajar dan interaksi yang dibangun, bukan hanya hasil akhir di atas kertas.
Menjaga komunitas bukanlah hal yang mudah, dibutuhkan refleksi harian agar setiap guru terus termotivasi untuk bangkit dan berbuat kebaikan. Setiap langkah, sekecil apa pun, yang dilakukan di dalam komunitas adalah awal dari perubahan besar yang akan mendefinisikan masa depan generasi penerus bangsa. Guru yang berani berproses dan berkolaborasi adalah pahlawan sejati yang membangun peradaban dari dalam kelas.

Read More »
04 November | 0komentar

Monster Senyap Pembunuh Nalar: Ketidakberpikiran, Ancaman Nyata Krisis Moral Bangsa!


Di tengah hiruk pikuk modern, sebuah monster senyap mengintai: Ketidakberpikiran. Ini adalah kondisi saat manusia terjebak dalam pusaran rutinitas tanpa jeda untuk refleksi mendalam, sekadar menjadi pengikut setia alur birokrasi dan algoritma digital. Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) melalui Pendirinya, Muhammad Nur Rizal, secara lantang memperingatkan bahwa fenomena ini adalah ancaman nyata bagi nalar, moral, dan kesejatian diri bangsa.

🕰️ Waktu yang Tersita dan Nalar yang Tumpul
Rizal menyoroti bagaimana waktu yang seharusnya dialokasikan untuk pengembangan diri justru tersedot habis oleh hal-hal administratif dan digital.
“Waktu kita banyak tersita oleh algoritma, oleh rutinitas administratif, tetapi justru sedikit sekali untuk perkara yang penting, yakni, berpikir, berdialog dengan nurani, dan memelihara imajinasi,” ungkap Muhammad Nur Rizal.
Konsekuensinya fatal: nalar kritis tumpul, imajinasi moral terkikis, dan manusia makin jauh dari esensi dirinya. Kita bergerak, tapi tanpa makna; berinteraksi, tapi tanpa kedalaman; dan menjalankan tugas, tapi tanpa jiwa.
📉 Manifestasi Ketidakberpikiran dalam Realitas Sosial-Politik
Ketidakberpikiran bukan hanya masalah individu atau ruang kelas, tetapi telah meresap ke dalam sendi-sendi kehidupan sosial dan politik, menciptakan krisis peradaban. Kesenjangan yang Menganga: Sulitnya lapangan kerja, kenaikan harga kebutuhan pokok, dan akses pendidikan yang timpang adalah indikasi bahwa negara ini menghadapi tantangan serius yang tak tersentuh oleh solusi berbasis nalar kritis.
Krisis Etika Publik: Perilaku para wakil rakyat yang mengusulkan kenaikan tunjangan dan pajak di tengah kesulitan rakyat, korupsi yang merajalela, serta sikap arogan kelas atas yang melukai nurani, adalah cerminan dari hilangnya empati dan imajinasi moral. Bahkan, aksi aparat yang represif hingga menimbulkan kematian menunjukkan bahwa tindakan-tindakan diambil tanpa refleksi mendalam terhadap rasa keadilan.
Semua gejala ini adalah produk dari pikiran yang beku, yang gagal melihat di luar kepentingan diri sendiri dan rutinitas kekuasaan. Mereka adalah bukti nyata betapa berbahayanya hidup tanpa jeda untuk mempertimbangkan dampak moral dan sosial dari setiap tindakan.
🏛️ Pendidikan: Benteng Terakhir Peradaban
Menghadapi situasi ini, GSM mengingatkan bahwa Pendidikan harus menjadi benteng peradaban, bukan sekadar pabrik penghasil tenaga kerja teknis. Tujuan utama pendidikan sejati haruslah melahirkan manusia yang mampu berpikir merdeka, berimajinasi moral, dan bertindak autentik. Ini adalah antidote terhadap racun ketidakberpikiran. Jika di sekolah guru hanya fokus pada buku teks dan kurikulum, serta melarang murid untuk bertanya kritis karena dianggap mengganggu alur pelajaran, maka yang lahir hanyalah generasi:
  • Pengikut (Followers), bukan pencipta.
  • Pelaksana, bukan visioner.
Rizal menekankan, “Padahal bangsa ini membutuhkan generasi yang autentik, berani, dan visioner.”

💡 Jalan Keluar
Menghidupkan Kembali Ruang Refleksi
Tantangan bagi seluruh pemangku kepentingan pendidik, orang tua, dan pemimpin adalah merebut kembali waktu yang tersita dari algoritma dan birokrasi, lalu mengalihkannya untuk perkara penting: berpikir. Ini membutuhkan perubahan radikal dalam paradigma pendidikan:
  • Prioritaskan Nalar Kritis: Jadikan ruang kelas sebagai arena dialog, perdebatan ide, dan mempertanyakan status quo, bukan sekadar transfer informasi. 
  • Kembangkan Imajinasi Moral: Ajarkan anak didik untuk merasakan dan membayangkan dampak tindakan mereka terhadap orang lain, membangun empati sebagai fondasi etika. 
  • Dorong Keotentikan: Beri ruang bagi siswa untuk mengekspresikan diri secara jujur dan berani, menumbuhkan jiwa pencipta, bukan peniru. 
Hanya dengan menjadikan pendidikan sebagai rumah bagi pikiran merdeka dan hati nurani yang hidup, kita bisa membentengi diri dari monster ketidakberpikiran dan membangun kembali peradaban yang didasari oleh keadilan, kemanusiaan, dan kesejatian diri.

Sumber : https://sekolahmenyenangkan.or.id/

Read More »
03 November | 0komentar

Metabolisme Jiwa Seorang Guru Sejati

Ada kegelisahan yang menyelinap di lorong-lorong sekolah. Sebuah rutinitas yang terstruktur rapi, namun terasa hampa. Murid datang, duduk, mencatat, lalu pulang. Guru datang, absen, masuk kelas, menjelaskan, memberi tugas, lalu selesai. Semuanya bergerak seolah mengikuti panduan mekanis, seperti mesin pabrik yang memproduksi pengetahuan tanpa melibatkan ‘rasa’ dan jiwa. Kita menyaksikan sebuah alur yang terasa sibuk, padat, dan ramai, namun diwarnai kesunyian dan kehampaan.
Kegelisahan ini semakin dalam saat melihat budaya yang terkadang masih kental dengan nuansa feodalistik di mana yang dominan adalah tumpukan tuntutan alih-alih semangat penuntun. Sekolah, alih-alih menjadi taman tumbuh kembang, seolah berubah menjadi ruang pertunjukan yang memamerkan kesibukan tanpa esensi.
Pendidikan sebagai Perjalanan Batin
Di tengah kemonotonan ini, Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) datang menyadarkan satu hal fundamental: bahwa pendidikan sejati adalah sebuah perjalanan batin, bukan sekadar tumpukan administratif. Tujuan utamanya bukan semata capaian akademik, melainkan hati yang gembira. GSM bercita-cita melihat murid-murid tersenyum karena belajar itu sungguh-sungguh menyenangkan dan membahagiakan.
Namun, GSM tidak hanya fokus pada murid. Gerakan ini juga menyoroti ‘metabolisme jiwa’ seorang guru.
Seringkali kita bertanya-tanya, mengapa ada individu dengan kapasitas luar biasa, ilmu tinggi, dan prestasi hebat, namun enggan untuk berbagi? Padahal, seperti yang ditekankan oleh Fullan (2012), guru yang bersedia berbagi pengetahuan dan pengalaman justru memiliki professional capital yang jauh lebih kuat, dan yang terpenting: hidupnya terasa lebih bermakna.
Kehampaan dan Kebutuhan untuk Berbagi
Mungkin benar, ilmu yang disimpan rapat-rapat akan membuat hidup menjadi tidak seimbang. Fenomenanya mirip dengan tubuh yang terus menerus diberi asupan namun tak pernah bergerak lambat laun, metabolisme jiwa kita akan terganggu. Manusia memiliki kebutuhan dasar untuk memberi kontribusi pada sesama. Ketika dorongan ini ditahan, akan muncul rasa hampa dan kehilangan arah.
Inilah mengapa muncul hipotesis yang menyentuh: kehampaan yang dirasakan guru bukan melulu karena kurangnya penghargaan finansial, melainkan karena kurangnya kesempatan untuk berbagi.
“Berbagi adalah panggilan jiwa terdalam manusia,” ujar Bu Novi (CoFounder GSM), dan esensinya terasa begitu nyata. Setiap kali berbagi, ada perasaan pemulihan, bukan pada fisik, melainkan pada batin yang terasa lebih sehat dan sembuh.
Lumbung Pengetahuan: Menyembuhkan Diri dengan Memberi
Saat ini, GSM sedang menghidupkan kembali semangat berbagi itu melalui inisiasi Lumbung Pengetahuan. Ini adalah ruang di mana para guru saling berbagi, saling belajar, dan saling menguatkan. Beberapa komunitas GSM telah mendaftar untuk mendapatkan penguatan, lalu dengan sukarela membagikannya lagi kepada saudara-saudara guru lain.
Model ini sejajar dengan konsep Learning Organization yang digagas oleh Peter Senge (1990). Senge menjelaskan bahwa sebuah organisasi (termasuk sekolah) akan tumbuh lebih adaptif dan berkelanjutan jika setiap anggotanya mau terus menerus belajar dan, yang paling penting, berbagi pengetahuan.
Pada titik inilah, banyak guru merasa hidupnya kembali menemukan arah. Berbagi dilakukan bukan karena harus menunggu undangan, bukan karena surat tugas, dan bukan karena berharap imbalan. Sebab, setiap kali berbagi, seorang guru tahu bahwa ia sedang menyembuhkan dirinya sendiri. Dan setiap kali ada hati lain yang mendengarkan dan ikut tergerak, ia tahu bahwa ia tidak sendirian di jalan sunyi perubahan ini.
Maka, bagi teman-teman seperjuangan yang mungkin sedang merasa lelah, merasa kehilangan makna, atau tersesat dalam rutinitas mekanistik, marilah bergabung menempuh perjalanan batin ini.
Pada akhirnya, kebahagiaan sejati kita sebagai pendidik tidak diukur dari berapa banyak murid yang mendapatkan nilai sempurna, melainkan dari berapa banyak hati yang kita nyalakan.
Dan siapa tahu, dari Lumbung Pengetahuan ini akan lahir generasi guru-guru yang tidak hanya cerdas dalam ilmu, tapi juga penuh cinta, peduli, dan sadar bahwa belajar adalah proses seumur hidup.
Khoirunnas anfa‘uhum linnas, sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesamanya. Dan mungkin, itulah metabolisme jiwa seorang guru sejati.

Sumber: WA Grup GSM Kab. Purbalingga

Read More »
28 October | 0komentar