Assalamu'alaikum ! welcome to Media Pendidikan.| Contact | Register | Sign In

TERUNGKAP: Alasan Sejati Wanita Dominasi Neraka !

Hadis Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim sering kali menjadi renungan sekaligus pengingat bagi setiap Muslimah. Hadis ini menyebutkan sebuah kenyataan yang tegas namun perlu dipahami secara mendalam, bukan secara harfiah tanpa konteks.

Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda:
"Aku diperlihatkan neraka, ternyata kebanyakan penghuninya adalah wanita. Karena mereka sering mengingkari." Ditanyakan: "Apakah mereka mengingkari Allah?" Beliau bersabda: "Mereka mengingkari pemberian suami, mengingkari kebaikan. Seandainya kamu berbuat baik terhadap seseorang dari mereka sepanjang masa, lalu dia melihat satu saja kejelekan darimu maka dia akan berkata: 'Aku belum pernah melihat kebaikan sedikit pun darimu'."
Hadis ini bukanlah vonis diskriminatif, melainkan sebuah peringatan keras dan pelajaran berharga mengenai bahaya sifat kufur nikmat (mengingkari kebaikan) dalam lingkup rumah tangga.

Inti Masalah: Bukan Kufur kepada Allah, tetapi Kufur Nikmat Suami
Jawaban Nabi shallallahu ’alaihi wasallam menghilangkan keraguan: 'mereka mengingkari pemberian suami, mengingkari kebaikan.' Ini menunjukkan bahwa permasalahan utamanya bukanlah dalam aspek akidah (keimanan kepada Allah), melainkan dalam aspek muamalah (interaksi sosial) dan akhlak (perilaku). Istilah mengingkari (yakfurn) di sini merujuk pada kufur al-'asyir—mengingkari kebaikan pasangan hidup.

Istilah mengingkari (yakfurn) di sini merujuk pada kufur al-'asyir—mengingkari kebaikan pasangan hidup. 

1. Bahaya Lisan yang Lupa Kebaikan
Nabi shallallahu ’alaihi wasallam memberikan ilustrasi yang sangat gamblang dan sering terjadi: “Seandainya kamu berbuat baik terhadap seseorang dari mereka sepanjang masa, lalu dia melihat satu saja kejelekan darimu maka dia akan berkata: 'aku belum pernah melihat kebaikan sedikitpun darimu'.”
Kalimat ini menunjukkan puncak ketidaksyukuran: Satu kesalahan atau kekurangan kecil mampu menghapus tumpukan kebaikan yang telah dilakukan bertahun-tahun.

Sikap ini berbahaya karena:
  • Merusak Hubungan: Mengabaikan kebaikan pasangan secara terus-menerus dapat merusak cinta dan ikatan rumah tangga yang dibangun atas dasar saling menghargai.
  • Melukai Hati: Kalimat yang meniadakan seluruh pengorbanan adalah pedang yang melukai hati pasangan dan bisa menjatuhkan nilainya di mata Allah.
  • Wujud Ketidaksyukuran: Dalam pandangan Islam, berterima kasih kepada manusia (suami/istri) adalah jembatan menuju syukur kepada Allah. Barangsiapa tidak berterima kasih kepada manusia, ia tidak bersyukur kepada Allah.
2. Mayoritas Bukan Berarti Selamanya
Penting untuk dipahami bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wasallam menyebutkan "kebanyakan penghuninya" (aktsaru ahlinnari), bukan "semua penghuninya". Hal ini berfungsi sebagai peringatan dini bagi kaum wanita agar berhati-hati terhadap kecenderungan sifat ini. Perlu dicatat juga, dalam hadis lain, Nabi shallallahu ’alaihi wasallam juga memberikan nasihat kepada wanita untuk memperbanyak sedekah dan istighfar sebagai penebus dosa tersebut. Ini menunjukkan bahwa meskipun kecenderungan itu ada, pintu taubat dan perbaikan selalu terbuka lebar. 

Pelajaran Utama untuk Muslimah
Hadis ini adalah pelajaran universal tentang bagaimana sifat ketidaksyukuran dapat merusak amal dan memerosokkan seseorang ke dalam siksa, meskipun ia rajin dalam ibadah ritual.
Bagi Muslimah:
  • Lisan adalah Penjaga Pintu Surga: Jagalah lisan dari ucapan yang meniadakan pengorbanan suami. Biasakan mengucapkan terima kasih atas hal terkecil sekali pun.
  • Fokus pada Kebaikan: Latihlah diri untuk selalu fokus pada kebaikan dan kelebihan suami, bukan hanya pada satu kekurangan yang terlihat. 
  • Berbaik Sangka (Husnuzan): Pahami bahwa suami juga manusia yang bisa luput dan salah. Jangan jadikan satu kesalahan sebagai alasan untuk melupakan seluruh kebaikannya.
Pada akhirnya, kebaikan seorang istri terletak pada kemampuannya untuk bersyukur atas setiap rezeki, perhatian, dan pengorbanan yang diberikan suaminya. Inilah yang menjadi kunci untuk menyelamatkan diri dari apa yang dikhawatirkan dalam hadis tersebut, dan meraih gelar wanita yang shalihah yang disayangi Allah subhanahu wa ta’ala.

Read More »
02 October | 0komentar

Gagal Itu Data, Pengalaman Itu Hikmah: Membangun Kebiasaan Reflektif di Setiap Ruang Kelas

Founder GSM
Di tengah derasnya arus perubahan global dan berbagai tantangan kompleks yang mendera dunia pendidikan mulai dari adaptasi teknologi yang cepat hingga isu kesenjangan kualitas kita seringkali terjebak pada solusi-solusi struktural dan teknis. Kurikulum diubah, fasilitas diperbarui, dan pelatihan dilaksanakan. Namun, esensi sejati dari pendidikan seringkali terlewatkan. Saatnya kita berhenti sejenak dan kembali pada inti: membentuk cara berpikir yang merdeka, reflektif, dan bermakna. 

Fondasi Perubahan: Pola Pikir yang Merdeka 
Pendidikan sejati bukanlah transfer pengetahuan semata, melainkan proses memerdekakan akal dan hati. Cara Berpikir Merdeka adalah kemampuan untuk melepaskan diri dari belenggu dogma, prasangka, dan ketergantungan pada jawaban tunggal. Ini mendorong guru untuk berani bereksperimen, menyesuaikan metode ajar dengan konteks lokal dan kebutuhan siswa, alih-alih sekadar menjalankan instruksi. Bagi siswa, kemerdekaan berpikir berarti mereka memiliki otonomi untuk bertanya, menyelidiki, dan membangun pengetahuannya sendiri.
Ini adalah pergeseran dari paradigma "mengisi wadah" menjadi "menyalakan api" rasa ingin tahu dan inisiatif.

Kekuatan Introspeksi: Berpikir Reflektif
Jika kemerdekaan adalah sayapnya, maka refleksi adalah kompasnya. Berpikir Reflektif adalah kemampuan untuk melihat kembali pengalaman, tindakan, dan hasil belajar dengan jujur dan kritis. Ini berlaku untuk semua pihak: Guru: Secara rutin mengevaluasi efektivitas metode pengajaran mereka, bertanya, "Apakah siswa saya benar-benar memahami, atau hanya menghafal?" dan "Apa yang bisa saya perbaiki di sesi berikutnya?" Siswa: Mengembangkan kesadaran diri tentang proses belajar mereka, mengetahui kekuatan dan kelemahan diri, serta mampu merencanakan perbaikan diri (metakognisi). Sistem: Para pemangku kebijakan dan pengelola harus merefleksikan dampak nyata dari kebijakan, bukan sekadar melihat angka statistik, melainkan perubahan sikap dan karakter lulusan. Refleksi mengubah kegagalan menjadi data dan pengalaman menjadi hikmah. 

Mencari Jati Diri: Pembelajaran yang Bermakna
Pada akhirnya, pendidikan haruslah bermakna. Pembelajaran Bermakna adalah ketika materi yang dipelajari terhubung dengan kehidupan nyata, nilai-nilai, dan tujuan hidup siswa. Ini menjawab pertanyaan krusial siswa: "Untuk apa saya belajar ini?" Pembelajaran bermakna bukan hanya tentang nilai ujian, tetapi tentang kontribusi siswa kepada komunitas, pemecahan masalah di dunia nyata, dan pengembangan karakter yang kuat. Hal ini menumbuhkan tanggung jawab dan empati, menjauhkan pendidikan dari sekadar perlombaan akademis. 

Gerakan Perubahan Sejati Dimulai dari Dalam
Prinsip inilah yang diyakini oleh gerakan seperti Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) dan inisiatif perubahan pola pikir lainnya. GSM percaya bahwa perubahan sejati dimulai dari dalam, yaitu dari pola pikir guru, siswa, dan semua yang terlibat. Inovasi teknologi, gedung baru, dan buku pelajaran yang canggih hanyalah alat. Mesin penggerak yang sesungguhnya adalah manusia dengan pola pikir yang terbuka, mau belajar, dan berorientasi pada pertumbuhan.
Jika seorang guru masih berpegangan pada pola pikir otoriter, takut pada kesalahan, dan kaku terhadap perubahan, maka secanggih apapun kurikulumnya, hasilnya akan sama. Sebaliknya, guru dengan pola pikir berkembang (growth mindset) akan mampu mentransformasi ruang kelasnya menjadi laboratorium ide yang menarik. 

Aksi Nyata: Mari Kita Mulai dari Diri Sendiri 
Mengubah sistem yang besar memang menantang, tetapi mengubah diri sendiri adalah hal yang sepenuhnya berada dalam kendali kita.

Mari kita mulai dari diri sendiri: 
Bagi Guru: Mulailah hari ini dengan mencoba satu metode pembelajaran baru yang lebih interaktif dan berani mengakui ketika Anda tidak tahu jawabannya. Jadilah pembelajar yang jujur di depan siswa Anda. 
Bagi Siswa: Jadikan rasa ingin tahu sebagai navigasi utama. Bertanyalah "mengapa" dan "bagaimana" alih-alih hanya "apa". Carilah kaitan antara materi pelajaran dengan impian dan lingkungan Anda.
Bagi Orang Tua/Masyarakat: Hargai proses belajar anak, bukan hanya hasilnya. Berikan ruang bagi anak untuk mencoba, gagal, dan berefleksi. Pendidikan bukanlah balapan, melainkan perjalanan penemuan diri dan kontribusi. 
Dengan kembali memprioritaskan cara berpikir yang merdeka, reflektif, dan bermakna, kita tidak hanya menyiapkan generasi untuk menghadapi tantangan, tetapi juga untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.
Perubahan sejati di ruang kelas kita, berawal dari perubahan pola pikir di hati dan pikiran kita.

Sumber: Grup WA GSM Kab.Purbalingga

Read More »
01 October | 0komentar

Kembali pada Esensi: Tiga Pilar Pola Pikir

Untuk mengatasi tantangan ini, kita harus kembali pada tujuan fundamental pendidikan: menciptakan manusia yang merdeka, reflektif, dan bermakna. Ini adalah tiga pilar yang harus menjadi fondasi pola pikir setiap insan pendidikan. 

1. Merdeka: Kebebasan Berpikir (Freedom of Thought) 
Berpikir merdeka berarti memiliki keberanian untuk mempertanyakan (to question), tidak menerima informasi secara mentah-mentah, dan membentuk opini berdasarkan nalar serta bukti, bukan sekadar otoritas. Pendidikan harus menjadi ruang aman bagi siswa untuk mengajukan pertanyaan bodoh, berdebat secara sehat, dan mengemukakan ide-ide yang berbeda. Guru berperan sebagai fasilitator yang mendorong rasa ingin tahu, bukan sebagai diktator pengetahuan. 

2. Reflektif: Menyelami Kedalaman Diri dan Pembelajaran 
Berpikir reflektif adalah kemampuan untuk melihat ke dalam (introspection), mengevaluasi tindakan, proses, dan hasil pembelajaran diri sendiri. Ini melibatkan proses bertanya: Apa yang sudah saya pelajari? Bagaimana saya mempelajarinya? Apa yang bisa saya lakukan berbeda lain kali? Proses refleksi mengubah kesalahan dari kegagalan menjadi peluang belajar dan mematikan budaya menyalahkan. Bagi guru, refleksi berarti terus-menerus menguji efektivitas metode pengajaran mereka. 

3. Bermakna: Menghubungkan Teori dengan Realitas 
Berpikir bermakna adalah kemampuan untuk menghubungkan apa yang dipelajari di kelas dengan kehidupan nyata dan tujuan yang lebih besar. Ketika siswa memahami bahwa matematika digunakan dalam arsitektur, sejarah mengajarkan pola-pola sosial, atau bahasa adalah alat untuk perubahan, motivasi mereka akan melonjak. Pendidikan yang bermakna adalah yang relevan, menanamkan nilai-nilai, dan mendorong siswa untuk menggunakan pengetahuannya demi kebaikan bersama. 

Perubahan Sejati Dimulai dari Dalam Perubahan dalam sistem pendidikan tidak akan efektif jika hanya bersifat kosmetik mengganti kurikulum, menambah jam pelajaran, atau membeli teknologi baru. Perubahan sejati dimulai dari dalam, yaitu dari pola pikir semua yang terlibat: 

Untuk Guru: Dari Pemberi Tahu menjadi Pemandu Guru harus berani melepaskan peran mereka sebagai "satu-satunya sumber pengetahuan" dan beralih menjadi pemandu (guide) atau kolega belajar. Pola pikir ini membutuhkan keberanian untuk mengakui bahwa guru pun bisa belajar dari siswa, dan bahwa tujuan utama adalah mengembangkan kemampuan siswa untuk belajar sendiri (self-directed learning). 

Untuk Siswa: Dari Penerima Pasif menjadi Pemilik Pembelajaran Siswa perlu didorong untuk mengambil kepemilikan (ownership) atas proses belajar mereka. Pola pikir ini menumbuhkan otonomi, tanggung jawab, dan motivasi intrinsik. Sekolah harus menciptakan lingkungan yang memberdayakan siswa untuk menentukan tujuan belajar mereka, memilih proyek yang mereka sukai, dan menilai perkembangan mereka sendiri. 

Untuk Semua Pihak: Mengutamakan Proses daripada Hasil Pemerintah, orang tua, dan institusi pendidikan perlu menggeser fokus dari tekanan nilai akhir ke penghargaan atas proses, usaha, dan pertumbuhan. Pola pikir ini menghargai kegigihan, percobaan, dan perjalanan intelektual, bukan sekadar garis finish yang diukur oleh angka. Penutup Pendidikan yang ideal adalah yang melahirkan individu yang tidak hanya cerdas secara kognitif tetapi juga sehat secara moral dan mental. 

Kembalikan pendidikan pada esensinya: membebaskan pikiran, mendorong refleksi mendalam, dan menumbuhkan rasa ingin tahu yang tak pernah padam. Hanya dengan mengubah pola pikir internal, kita dapat menciptakan generasi yang siap menghadapi masa depan dengan pikiran yang merdeka, reflektif, dan penuh makna. Apakah Anda setuju bahwa mengubah pola pikir internal adalah langkah paling fundamental dalam reformasi pendidikan?

Read More »
30 September | 0komentar

Membentuk Pikiran yang Merdeka dan Bermakna

Wisuda UNS, 27 Sept 2025
Pendidikan, sejatinya, adalah jantung peradaban. Ia bukan sekadar transfer pengetahuan, melainkan proses menumbuhkan individu yang mampu berpikir kritis, berempati, dan berkontribusi secara positif pada dunia. Namun, di tengah gempuran kurikulum yang padat dan tuntutan akreditasi, seringkali kita kehilangan arah, menjauh dari esensi utama pendidikan: membentuk cara berpikir yang merdeka, reflektif, dan bermakna.
Artikel ini mengajak kita untuk menelisik berbagai tantangan pendidikan hari ini dan menggarisbawahi mengapa perubahan sejati harus dimulai dari internal dari pola pikir semua pihak yang terlibat. Tantangan Pendidikan Kontemporer Sistem pendidikan global, termasuk di Indonesia, menghadapi beberapa tantangan krusial yang menghambat pembentukan individu yang mandiri dalam berpikir. 

1. Kurikulum yang Terlalu Berorientasi pada Nilai 
Fokus utama seringkali beralih dari pemahaman mendalam dan proses pembelajaran menjadi sekadar capaian angka (nilai ujian, nilai rapor). Hal ini memicu budaya "menghafal untuk ujian" (rote learning) dan bukannya "belajar untuk mengerti". Akibatnya, siswa lulus dengan kepala penuh informasi namun minim kemampuan untuk menganalisis, menyintesis, atau memecahkan masalah kompleks di dunia nyata. 

2. Beban Administrasi yang Mematikan Kreativitas Guru 
Para guru, sebagai ujung tombak pendidikan, seringkali terbebani oleh tugas administrasi dan pelaporan yang masif. Waktu dan energi yang seharusnya dicurahkan untuk merancang metode pembelajaran yang inovatif, berdiskusi dengan siswa, atau melakukan refleksi praktik mengajar, terkuras untuk urusan birokrasi. Ini secara langsung mematikan kreativitas dan semangat mereka dalam mengajar. 

3. Ketidakselarasan dengan Kebutuhan Masa Depan 
Pendidikan saat ini masih berjuang untuk mengejar laju perubahan dunia. Revolusi industri, disrupsi teknologi, dan perubahan iklim menuntut keterampilan abad ke-21 seperti keterampilan berpikir kritis, kolaborasi, komunikasi, dan kreativitas. Sayangnya, banyak praktik di kelas masih berpegang pada model yang dirancang untuk era industri, yang lebih menekankan kepatuhan daripada inisiatif mandiri.



Read More »
30 September | 0komentar

Pendidikan yang Kita Inginkan: Bukan Hanya Mengakses, tapi Memahami

Di era yang serba terhubung ini, anak-anak kita seolah memiliki kunci untuk membuka gerbang pengetahuan global. Hanya dengan sekali klik, mereka dapat menjelajahi museum-museum terbaik di dunia, "berdiskusi" dengan para ilmuwan terkemuka, atau mempelajari peristiwa sejarah langsung dari sumbernya. Akses yang tak terbatas ini membuka jendela yang luar biasa bagi rasa ingin tahu mereka. Namun, di balik kemudahan ini, muncul sebuah pertanyaan krusial: Apakah akses yang melimpah ini benar-benar menghasilkan pembelajaran yang bermakna? Atau sebaliknya, justru membuat mereka kehilangan esensi dari proses belajar itu sendiri?

Fenomena yang sering kita lihat adalah pergeseran budaya belajar menjadi serba instan. Anak-anak terbiasa mendapatkan jawaban secara cepat tanpa perlu melalui proses berpikir yang mendalam. Alih-alih merenungkan suatu masalah, mereka cenderung mencari "solusi" di internet. Alih-alih membaca buku untuk memahami suatu konsep, mereka lebih memilih menonton video ringkasan yang durasinya hanya beberapa menit.

Tentu saja, konten-konten singkat ini bisa menjadi alat bantu yang berguna. Namun, jika ini menjadi satu-satunya cara belajar, kita perlu khawatir. Proses belajar yang hanya berfokus pada kecepatan dan ringkasan dapat mengikis kemampuan mereka untuk berpikir kritis dan berefleksi. Kemampuan untuk menganalisis informasi, membedakan fakta dan opini, serta menyusun argumen yang logis menjadi tumpul. Mereka menjadi konsumen pengetahuan, bukan produsennya.

Ketika sebuah tugas sekolah bisa diselesaikan dengan "copy-paste" dari internet, lalu di mana letak pengalaman belajar yang berharga? Pengalaman untuk berjuang memahami suatu materi, berdiskusi dengan teman, atau menemukan solusi setelah melalui serangkaian kesalahan adalah hal yang justru membentuk karakter dan menumbuhkan rasa ingin tahu yang otentik. Proses jatuh-bangun inilah yang memberikan makna dan kekuatan pada pengetahuan yang mereka peroleh.


Pendidikan yang Kita Inginkan: Bukan Hanya Mengakses, tapi Memahami

Lalu, apakah ini jenis pendidikan yang ingin terus kita pertahankan? Pendidikan yang menghasilkan generasi yang pintar menghafal tapi miskin nalar? Atau kita menginginkan generasi yang mampu beradaptasi dengan kompleksitas dunia, memiliki empati, dan mampu memberikan solusi kreatif untuk masalah yang dihadapi?

Pendidikan di era digital tidak boleh lagi hanya berfokus pada penyaluran informasi. Peran guru dan orang tua harus bergeser dari sekadar penyedia informasi menjadi fasilitator dan pembimbing. Kita perlu mengajak anak-anak untuk bertanya, "mengapa," bukan hanya "apa." Kita perlu menantang mereka untuk berdebat, bukan sekadar menerima. Kita harus menciptakan ruang di mana mereka merasa aman untuk bereksperimen, membuat kesalahan, dan belajar dari sana.

Penting bagi kita untuk:

  • Membiasakan diskusi dan refleksi. Ajak anak untuk memproses informasi yang mereka dapatkan. Tanyakan pendapat mereka, minta mereka untuk menjelaskan alasannya, dan ajak mereka melihat suatu isu dari berbagai sudut pandang.

  • Mengembangkan proyek berbasis minat. Berikan mereka tugas yang menuntut penelitian mendalam, analisis, dan kreativitas. Ini akan mendorong mereka untuk melakukan lebih dari sekadar mencari jawaban instan.

  • Menumbuhkan rasa ingin tahu yang otentik. Dorong mereka untuk bertanya, mencari tahu lebih dalam, dan berani untuk tidak tahu jawabannya. Ini adalah fondasi dari setiap penemuan dan inovasi.

Di tangan kita, ada tanggung jawab besar untuk membimbing anak-anak agar dapat memanfaatkan kekayaan informasi global tanpa kehilangan esensi dari proses belajar yang bermakna. Kita tidak bisa mencegah mereka untuk mengakses dunia, tapi kita bisa membantu mereka untuk memahaminya. Mari kita ciptakan pendidikan yang menghasilkan manusia yang tidak hanya cerdas, tetapi juga bijaksana, kritis, dan reflektif.



Read More »
24 September | 0komentar

Seberapa Panjang Bajumu? Refleksi Keimanan dalam Hadits Rasulullah ﷺ



Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ubaidillah berkata, telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa'd dari Shalih dari Ibnu Syihab dari Abu Umamah bin Sahal bin Hunaif bahwasanya dia mendengar Abu Said Al Khudri berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Ketika aku tidur, aku bermimpi melihat orang-orang dihadapkan kepadaku. Mereka mengenakan baju, diantaranya ada yang sampai kepada buah dada dan ada yang kurang dari itu. Dan dihadapkan pula kepadaku Umar bin Al Khaththab dan dia mengenakan baju dan menyeretnya. Para sahabat bertanya: "Apa maksudnya hal demikian menurut engkau, ya Rasulullah?" Beliau shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: 
"Ad-Din (agama) ".




Hadits tersebut menjelaskan tentang tingkatan iman atau agama (ad-Din) seseorang, yang digambarkan melalui perumpamaan panjang pendeknya baju yang dipakai dalam mimpi Nabi Muhammad ﷺ.
Berikut adalah makna dari hadits tersebut:

Panjang pendeknya baju menunjukkan kadar agama. 
Rasulullah ﷺ melihat orang-orang dengan baju yang panjangnya berbeda-beda. Baju yang panjang sampai menutupi seluruh badan mengisyaratkan tingginya keimanan dan kesempurnaan dalam beragama. Sebaliknya, baju yang pendek menunjukkan kurangnya keimanan dan kekurangan dalam menjalankan syariat agama.
Baju yang diseret oleh Umar bin Khattab menunjukkan kesempurnaan agamanya. 
Dalam mimpi tersebut, Rasulullah ﷺ melihat Umar bin Khattab mengenakan baju yang sangat panjang hingga diseret. Ini melambangkan betapa kuat dan sempurnanya keimanan serta agama yang dipegang oleh Umar.
Ad-Din diartikan sebagai agama. 
Ketika para sahabat bertanya tentang makna mimpi tersebut, Rasulullah ﷺ menjawab bahwa baju itu adalah "ad-Din" (agama). Hal ini menegaskan bahwa pakaian dalam mimpi adalah simbol dari kondisi keimanan dan amalan seseorang.
Secara keseluruhan, hadits ini merupakan kiasan dari Nabi Muhammad ﷺ untuk menunjukkan bahwa kadar keimanan dan pengamalan agama seseorang itu bertingkat-tingkat. Hadits ini juga menjadi pujian khusus bagi Umar bin Khattab, yang melambangkan kekuatan dan keutamaan agamanya

Read More »
23 September | 0komentar