Assalamu'alaikum ! welcome to Media Pendidikan.| Contact | Register | Sign In
Showing posts sorted by relevance for query pendidikan di era digital. Sort by date Show all posts
Showing posts sorted by relevance for query pendidikan di era digital. Sort by date Show all posts

Mapel Koding dan Kecerdasan Artifisial


Indonesia telah menetapkan fokus pada pengembangan sumber daya manusia yang unggul dan kompetitif untuk menghadapi tantangan global, termasuk di bidang digital, melalui Undang-Undang No. 59 Tahun 2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Kemampuan digital sangat penting di era Revolusi Industri 4.0 dan Masyarakat 5.0, di mana teknologi seperti Kecerdasan Artifisial (KA), mahadata, dan Internet of Things (IoT) semakin banyak digunakan di berbagai sektor.
Dalam konteks RPJPN, peningkatan literasi digital di semua jenjang pendidikan sangat diperlukan untuk membekali manusia dengan kemampuan beradaptasi terhadap perkembangan teknologi. Selain itu, kemampuan digital juga membantu dalam transformasi ekonomi digital, meningkatkan efisiensi layanan publik, dan mempercepat inovasi di berbagai bidang, termasuk pendidikan. Dengan cara ini, peningkatan keterampilan digital tidak hanya membuat Indonesia lebih kompetitif di dunia, tetapi juga membantu pembangunan berkelanjutan dan memastikan akses teknologi yang merata di seluruh wilayah Indonesia.
Salah satu cara untuk meningkatkan keterampilan digital adalah dengan penguatan literasi digital, koding, dan kecerdasan artifisial (KA) dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah. Program ini tidak hanya bertujuan meningkatkan daya saing sumber daya manusia Indonesia di tingkat global, tetapi juga mendukung percepatan pembangunan ekosistem ekonomi digital yang inklusif dan berkelanjutan.
Selanjutnya, dalam konteks inovasi dan teknologi untuk pembangunan, pendidikan yang berfokus pada Koding dan Kecerdasan Artifisial (KKA) bisa menghasilkan generasi inovator yang mampu berkontribusi pada penelitian dan pengembangan teknologi untuk mengatasi berbagai masalah sosial. Yang tak kalah penting, menjaga identitas nasional sangat perlu, karena teknologi bisa digunakan untuk mengangkat dan mempromosikan budaya lokal di kancah global. Dengan menggabungkan pembelajaran koding dan KA dalam sistem pendidikan nasional, diharapkan generasi mendatang dapat menciptakan solusi inovatif untuk menghadapi tantangan nasional,meningkatkan kesejahteraan sosial-ekonomi, dan memperkuat posisi Indonesia sebagai negara inovatif di dunia.
Untuk mendukung kebijakan pendidikan berkualitas untuk semua, Program Prioritas Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) telah dibuat untuk mengatasi tantangan pendidikan di era digital. Fokus utama program ini adalah menyediakan fasilitas yang baik, meningkatkan kualitas guru, dan mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan zaman. Program ini juga menekankan pemerataan akses pendidikan, termasuk layanan pendidikan untuk peserta didik dengan kebutuhan khusus, dukungan finansial bagi peserta didik dari keluarga kurang mampu, serta menciptakan lingkungan sosial-budaya yang mendukung pembelajaran.
Dalam pengembangan talenta unggul, pemerintah berupaya memberi lebih banyak kesempatan bagi peserta didik untuk mengembangkan minat dan bakat mereka di berbagai bidang, termasuk literasi digital, koding, dan kecerdasan artifisial. Kemendikdasmen menjadikan transformasi digital sebagai fokus utama untuk memperkuat sistem pendidikan dasar dan menengah. Penguatan kurikulum berbasis teknologi, pelatihan guru dalam menggunakan teknologi informasi, dan penyediaan akses ke infrastruktur digital adalah langkah penting untuk memastikan peserta didik siap menghadapi tantangan di masa depan. Salah satu inovasi yang didorong adalah pemanfaatan kecerdasan artifisial untuk personalisasi pembelajaran, sehingga pengalaman belajar bisa disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing peserta didik. Dengan sistem pembelajaran yang inklusif dan adil, pendidikan di Indonesia diharapkan mampu mencetak generasi yang kompetitif dan memastikan tidak ada anak yang tertinggal dalam mendapatkan akses pendidikan berkualitas.
Menyaksikan keberhasilan negara-negara seperti Singapura, India, Tiongkok, Australia, dan Korea Selatan dalam mengintegrasikan pembelajaran koding dan KA ke dalam sistem pendidikan mereka, Indonesia perlu mengambil langkah strategis agar tidak tertinggal dalam revolusi digital global. Upaya ini dapat dimulai dengan mengadaptasi kurikulum berbasis teknologi, memberikan pelatihan intensif bagi guru, dan memastikan akses yang merata terhadap infrastruktur digital di seluruh daerah. Selain itu, pendekatan pembelajaran berbasis proyek (Project-Based Learning/PBL) yang telah diterapkan di berbagai negara dapat diadopsi untuk mendorong kreativitas dan inovasi peserta didik dalam memecahkan masalah menggunakan teknologi. Dengan merancang kebijakan yang sesuai dengan karakter dan kebutuhan pendidikan di Indonesia, pembelajaran koding dan KA tidak hanya akan meningkatkan daya saing peserta didik di tingkat nasional dan internasional, tetapi juga membantu menciptakan generasi yang siap menghadapi tantangan industri masa depan.

Read More »
01 July | 0komentar

Keluarga Di Era "Now"


Anak adalah Peniru Ulung. Sikap mereka di sekolah, di lingkungan dan di masyarakat adalah cerminan bagaimana kehidupan mereka di rumah, yang tentu tidak terlepas dari teladan/didikan orang tua. Rumah merupakan madrasah (sekolah) pertama bagi tumbuh kembang anak dan orang tua adalah guru utama bagi tahun-tahun pertama kehidupan mereka. Disebabkan karena usia dini adalah usia meniru, maka orang tua adalah ‘model’ bagi anaknya. Oleh karena itu, keluarga menjadi ujung tombak dalam perkembangan sosio-emosinya. 
Menyikapi fenomena dan tantangan anak jaman “Now”, pola pendidikan orang tua tidak akan sama dengan pola pendidikan yang kita dapati dari orang tua kita dahulu (saya sekarang sebagai orang tua). Jaman dahulu (saya masih sekolah SD) semua serba sederhana,belum berkembang dengan menggunakan perangkat elektronik, perangkat lunak masih bersifat tradisional, radio, tape recoder, permainan menggunakan motorik sangat dominan. Anak-anak pada zaman sekarang sudah langka melakukan permainan petak umpet, lompat tali,egrang, ular naga panjang,engklek,congklak, kelereng, gobag sodor, kucing-kucingan dan permainan tradisonal lainnya. 

Sumber gambar : PUSKAKOM (Pusat Kajian Komunikasi) UI,2014

Ibarat pepatah yang sudah kita kenal, Lain lading lain belalang, lain zaman lain juga permainan. Zaman Now, interaksi anak untuk bermain bisa dikatakan berhadapan dengan layar atau disebut juga jaman ‘layar’, layar televisi, handphone, komputer atau laptop, game, dan internet. perlu mendapat perhatian dan pengawasan orangtua terhadap apa yang dilihat anak di layar-layar media elektronik tersebut. Demikian pula dengan jenis dan bentuk permainan anak di zaman digital ini seperti play stastion, game online, jejaring sosial, youtube, instagram, dan berbagai permainan yang berbasis IT lainnya. Bagaimana peran orangtua dalam menjaga anak-anaknya dari dampak negatif dunia layar, dan bagaimana memanfaatkan dunia layar bagi kebaikan hidup mereka? Perlu dipahami bahwa tugas orangtua menjaga anak-anak mereka dari dampak negatif dunia layar bukan berarti menutup rapat-rapat anak mereka dari dunia layar sama sekali. 
Penelitian yang dilakukan oleh Nasrun Faisal (2016) mengungkapkan bahwa pola asuh yang tidak otoriter oleh orang tua disertai penjelasan dan pengawasan penggunaan media digital diperlukan sehingga anak akan menggunakan media tersebut sesuai kebutuhan. Pemberian penjelasan adalah bentuk pemahaman orang tua terhadap sesuatu aplikasi sehingga orang tua dapat memandu dengan benar. 
 

Globalisasi dengan segala dampaknya sudah tidak dapat dibendung lagi kedahsyatannya, dan oleh sebab itu keluarga sebagai lingkungan terkecil harus bisa menyiapkan pendidikan untuk berlayar di lautan modernisasi.Upaya-upaya untuk mengantisipasi serbuan situs pornografi pada dampak negatif penggunaan internet, berbagai internet software ini sedikit banyak bisa mengurangi efek penetrasi pornografi yang ditimbulkan. Sebut saja Solid Oak Softwarei, dengan produk andalannya Cybersitter. Software ini bekerja melalui tiga tahap; mengunci akses ke URL (Uniform Resource Locator) tertentu (Web, FTP Sites, dan Unsenet News Gruop)` yang kedua adalag dengan meyensor key words tertentu, dan yang terakhir berfungsi sebagai penyensor file-file tertentu. Disamping cybersitter, software lainnya yang cukup populer adalah Net Nanny dan Surf Watch. Kedua software ini, disamping memiliki keunggulan seperti yang dimiliki oleh cybersitter, juga memiliki kemampuan untuk menyensor IRC chat rooms, Gopher, dan E-mail. Sekalipun banyak kelemahan yang tedapat pada berbagai software tersebut, akan tetapi paling tidak orang tua bisa sedikit bernafas lega dan tidak berprasangka buruk terhadap teknologi. 

Komitmen 

Diperlukan komitmen bersama antara orang tua dan anak untuk membatasi diri penggunaan media elektronik dengan merencanakan jadwal penggunaannya. Tentunya hal ini berlaku bagi semua anggota keluarga (orang tua, anak yang dewasa,mahasiswa dan anak-anak yang masih usia sekolah dasar). Orangtua hanya berusaha membatasi waktu anak-anak dalam dunia internet, seimbangkan waktu mereka dengan keluarga-saudara-teman, dan lain-lain. Buatlah kesepakatan dengan anak mengenai durasi dan aturan menggunakan digital. Buatlah jadwal penggunaan digital. Kemudian berhentilah bermain digital saat makan bersama, jangan makan di depan televisi atau layar apa pun, jadikan obrolan anda di seputar meja makan sebagai layar. 
Beberapa solusi terkait dengan komitmen penggunaan waktu dalam keluarga diera digital ini diantaranya: 

  1. Menjalankan fungsi dan tatanan keluarga dengan baik (yaitu kerjasama antara Ayah dan Bunda), 
  2. Membuat kesepakatan dengan anak, me-manage aktivitas harian mereka mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi, tanpa mengekang hak bermainnya termasuk menikmati suguhan gadget mereka. Hal yang terpenting adalah, hindari menggunakan gadget saat bersama anak, karena hal itu akan membuat anak meniru prilaku buruk orang tua tersebut; 
  3. Ciptakan kebersamaan dengan anak sebaik mungkin (tanpa gangguan gadget), untuk melatih anak agar mereka selalu terbuka pada orang tua dan tidak mencari tempat curhat lain selain orang tuanya;
  4. Usahakan 30 menit dalam 24 jam yang kita punya, untuk mengevaluasi aktivitas hariannya, berdialog mendengarkan curahan hati dan perasaan mereka. Meski tidak dapat memberi solusi, setidaknya jadilah orang tua yang bersahabat, yang selalu membuat anak merasa nyaman dan terbuka dengan kita. 


 Alternatif Kegiatan 

Berikan keragaman pada anak dari digital ke buku, bacakan cerita, berjalan jalan ke perpustakaan atau toko buku, banyak beli kaset film rohani, lagu anak yang mendidik, dan sebagainya. Hindari penggunaan digital di depan anak karena anak akan mudah meniru. Orangtua harus mengerti terhadap perkembangan dunia digital agar dapat mendampingi, mengawasi, mengontrol dunia digital anak-anaknya. Jangan malas untuk belajar hal baru. Kemudian, keluarga hendaknya punya ruang digital, di ruang terbuka, bukan di kamar tertutup. Terbiasa melakukan interaksi dengan seluruh anggota keluarga secara terbuka.

Semua masalah anak akan segera menyampaikan kepada orang tua.Hal ini tentunya sudah dilatih dengan menerapkan pola asuh yang terbuka. Usia remaja adalah usia yang membuat anak-anak terobsesi mengikuti setiap fantasi yang ada didalam fikiran mereka. Terutama bagi remaja diera digital, tontonan acapkali menjadi tuntunan; meniru dan mecomplak setiap tokoh yang diidolakan. Mereka mulai silau dengan fana dan fatamorgana. 
Kebahagiaan dan kesenangan selalu menjadi keniscayaan. Bahkan tidak sedikit remaja kekinian lupa dengan cita-cita yang dulu mereka gadang-gadangkan dimasa kanak-kanaknya. Terlebih diera digital ini, kejahatan media terhadap anak semakin tak kenal ampun. Fakta membuktikan, semua teori perkembangan seks pada anak, tumbang seiring perkembangan teknologi. 
Pakar psikologi anak mengamati, realitas anak dan remaja di era digital ini cenderung mudah bosan, stress berkepanjangan, selalu merasa kesepian meski di keramaian, takut dimarahi dan mudah lelah. Semua jenis layar, membuat otak dan mata anak menjadi fokus. Bukan fokus aktif, melainkan fokus pasif. Sehingga, anak tidak lagi aware dengan lingkungan. Maka dari itu, perlu rasanya digalakkan durasi sehat digital; 15-20 menit bagi anak usia 3-5 tahun, 60 menit bagi anak rentang usia 6-7 tahun, dan 2 jam saja bagi anak usia diatas 7 tahun, tentu tidak dengan memberikan keseluruhan waktu itu untuk mereka menikmati gadget-nya, melainkan diselingi dengan aktfitas produktif mereka.

Penanaman Aqidah 

Keimanan Semua agama pasti sepakat bahwa keimanan adalah pondasi dasar bagi tumbuh berkembangnya anak. Pada usia pendidikan dasar (SD dan SMP) orang tua harus bisa menjadi sahabat. Penanaman pondasi keimanan akan menjadi benteng bagi anak dari gempuran musuh-musuh modernisasi. Jangan biarkan masa remaja anak-anak kita rusak diperbudak modernisasi dan budaya kebarat-baratan. Remaja yang rusak adalah kegagalan penanaman aqidah dan akhlakul karimah diusia emas. Tegas tidak harus keras. Tetapi tegas, harus tegaan. Maksimalkan pendidikan anak di setiap fase perkembangannya, sebelum mereka tumbuh menjadi pribadi yang gagal dan kehilangan masa depannya.


Hasil penelitian yang dilakukan oleh Apriyani Dwi Latifah (2016) menyatakan bahwa urgensi menanamkan nilai-nilai akidah pada anak dikarenakan nilai-nilai akidah sangat berpengaruh terhadap keyakinan (keimanan) anak. Karena akidah merupakan pondasi awal dan hal yang fundamental dalam mendidik keagamaan anak sebelum memberikan pendidikan ibadah dan pendidikan lainnya. Nilai-nilai akidah mengandung pengertian rukun iman yang dapat diimplementasikan melalui sikap dan perilaku sehari-hari. Dengan demikian anak akan terhindar dari perilaku yang tidak dibenarkan oleh agama dengan arahan dari orang tua yang merupakan lembaga pendidikan utama bagi anak. Menanamkan nilai-nilai akidah pada anak dapat dilakukan dengan metode Kasih Sayang, metode dialog Qur’ani dan Nabawi (bagi beragama Islam), metode Kisah, metode Ibrah, metode Keteladanan, metode Pembiasaan, metode Memberi Nasihat, metode Perumpamaan, metode Motivasi dan Intimidasi, serta metode doa. #sahabatkeluarga 

Sumber: 
Abeng Eddy Adriansyah Dkk, jendela Keluarga. Cet. III; Bandung: MQS Publishing, 2015. 
Alief Budiyono,Sikap Asertif dan Peran keluarga Terhadap Anak : Komunika, Vol. 6, 2012
https://sugithewae.wordpress.com/2012/05/05/pendidikan-dalam-lingkungan-keluarga/ 
Yee-jin Shin, Mendidik Anak Di Era digital. Cet. I;Bandung: PT Mizan Publik, 2014. 
Nasrun Faisal, Pola Asuh Orang Tua Dalam Pendidikan Era Digital: An-Nisa’, Volume IX Nomor 6,2016 
Apriyani, Dwi Latifah (2016) MENANAMKAN NILAI-NILAI AKIDAH PADA ANAK DALAM KELUARGA (Skripsi). Other thesis, UIN Raden Fatah Palembang.

Read More »
13 April | 1komentar

Jebakan Layar: Mengapa Kita Banyak Tahu Tapi Sedikit Paham?

Di era serba digital ini, masyarakat kita menunjukkan antusiasme yang luar biasa dalam mengakses informasi. Gawai pintar menjadi perpanjangan tangan, membuka gerbang tanpa batas menuju lautan data dan berita. Platform media sosial, portal berita daring, hingga berbagai aplikasi berbagi informasi menjadi santapan sehari-hari. Namun, di balik hiruk pikuk aktivitas digital ini, tersimpan sebuah paradoks yang mengkhawatirkan: meskipun volume informasi yang dikonsumsi sangat tinggi, kedalaman pemahaman dan kemampuan analisis seringkali dangkal dan terfragmentasi. 
Fenomena "membaca" di era digital ini lebih menyerupai konsumsi instan, sebuah kontras signifikan dengan proses membaca buku atau artikel yang menuntut fokus, refleksi, dan pemahaman yang komprehensif. 

Gelombang Informasi Instan: 
Kemudahan dan Konsekuensinya
Kemudahan akses informasi digital memang menawarkan banyak keuntungan. Berita terkini dapat diakses dalam hitungan detik, berbagai perspektif dapat dijangkau dengan beberapa kali klik, dan pengetahuan tentang topik tertentu dapat diperoleh secara instan. Namun, kemudahan ini juga membawa konsekuensi. Algoritma media sosial dan mesin pencari seringkali menyajikan informasi yang terpersonalisasi dan terkurasi, menciptakan "filter bubble" atau "echo chamber" di mana pengguna hanya terpapar pada pandangan yang sesuai dengan keyakinan mereka. Akibatnya, kemampuan untuk melihat isu dari berbagai sudut pandang dan mengembangkan pemikiran kritis menjadi terhambat. 
Selain itu, format informasi digital yang didominasi oleh konten singkat, visual menarik, dan headline sensasional mendorong pola konsumsi yang cepat dan dangkal. Masyarakat terbiasa dengan scrolling tanpa henti, melompat dari satu informasi ke informasi lain tanpa memberikan waktu yang cukup untuk mencerna dan merenungkan. Notifikasi yang terus-menerus dan distraksi dari berbagai aplikasi juga memecah fokus, membuat konsentrasi pada satu topik secara mendalam menjadi tantangan tersendiri. 

"Membaca" yang Terfragmentasi: Antara Konsumsi dan Pemahaman Istilah "membaca" di era digital mengalami pergeseran makna. Alih-alih merujuk pada aktivitas yang melibatkan pemahaman mendalam, analisis kritis, dan pembentukan pengetahuan yang terstruktur, "membaca" kini seringkali hanya berarti sekadar melihat sekilas headline, membaca ringkasan singkat (thread), atau bahkan hanya menonton video pendek. Informasi yang diterima bersifat fragmentaris, terpotong-potong, dan kurang terhubung dalam sebuah kerangka pemahaman yang utuh. Kondisi ini berbeda jauh dengan pengalaman membaca buku atau artikel ilmiah yang panjang dan kompleks. Guru Berprestasi
Proses membaca yang mendalam menuntut kesabaran, fokus, dan kemampuan untuk menghubungkan ide-ide yang berbeda. Pembaca dipaksa untuk berpikir secara analitis, mengevaluasi argumen, dan membentuk pemahaman yang koheren. Proses ini tidak hanya menghasilkan pengetahuan yang lebih mendalam tetapi juga melatih kemampuan kognitif seperti konsentrasi, memori, dan pemikiran kritis. 

Erosi Pemikiran Kritis dan Literasi Informasi Kecenderungan konsumsi informasi yang dangkal dan terfragmentasi dapat membawa dampak jangka panjang yang merugikan. Erosi pemikiran kritis menjadi salah satu ancaman utama. Ketika masyarakat terbiasa menerima informasi secara instan tanpa melakukan verifikasi atau analisis lebih lanjut, mereka menjadi lebih rentan terhadap disinformasi, berita palsu (hoax), dan propaganda. Kemampuan untuk membedakan fakta dari opini, informasi yang kredibel dari yang tidak, menjadi semakin tumpul. 
Selain itu, literasi informasi yang rendah juga menjadi konsekuensi dari pola konsumsi digital yang tidak terstruktur. Literasi informasi tidak hanya sebatas kemampuan untuk mencari informasi, tetapi juga kemampuan untuk mengevaluasi, mengorganisir, dan menggunakan informasi secara efektif dan bertanggung jawab. Ketika masyarakat lebih fokus pada konsumsi instan, kemampuan ini tidak terlatih dengan baik. Menuju Keseimbangan: Mengembangkan Literasi Digital yang Mendalam Menghadapi tantangan ini, penting untuk menumbuhkan kesadaran akan pentingnya mengembangkan literasi digital yang mendalam. Ini bukan berarti menolak kemajuan teknologi atau menghindari konsumsi informasi digital, melainkan bagaimana kita dapat memanfaatkan teknologi secara bijak untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan. Beberapa langkah yang dapat dilakukan antara lain: 

Mengalokasikan waktu khusus untuk membaca buku, artikel panjang, atau laporan yang membutuhkan fokus dan analisis. Mengembangkan Keterampilan Pemikiran Kritis: Melatih diri untuk selalu mempertanyakan informasi yang diterima, mencari berbagai sumber, dan mengevaluasi validitas dan kredibilitas informasi. Memanfaatkan Teknologi untuk Pembelajaran yang Terstruktur: Menggunakan platform pendidikan daring, kursus online, atau aplikasi yang dirancang untuk pembelajaran yang mendalam dan terstruktur. Menciptakan Ruang Diskusi yang Bermakna: Berpartisipasi dalam diskusi atau forum yang mendorong pertukaran ide, analisis mendalam, dan pengembangan pemahaman bersama. 
Edukasi Literasi Informasi: Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya literasi informasi dan memberikan pelatihan keterampilan yang dibutuhkan untuk mengelola informasi digital secara efektif. 
Era digital menawarkan potensi besar untuk meningkatkan akses terhadap informasi dan pengetahuan. Namun, kemudahan ini juga membawa tantangan berupa kecenderungan konsumsi informasi yang dangkal dan terfragmentasi. Untuk menghindari erosi pemikiran kritis dan meningkatkan kualitas pemahaman, masyarakat perlu mengembangkan literasi digital yang mendalam, menyeimbangkan antara konsumsi informasi instan dengan kebiasaan membaca dan belajar yang terstruktur. Dengan demikian, banjir informasi digital tidak hanya menjadi sekadar tontonan, tetapi juga sumber pengetahuan yang memperkaya dan memberdayakan.



Read More »
23 May | 0komentar

Berpikir Komputasional dan Pemanfaatan Teknologi (Mapel KKA)

Tujuan KKA
Di era digital yang terus berkembang pesat, kemampuan untuk beradaptasi dan berinovasi menjadi krusial. Lebih dari sekadar penggunaan alat digital, kita dituntut untuk memiliki kecakapan digital yang mendalam, dimulai dari cara kita berpikir hingga cara kita menciptakan solusi. Artikel ini akan membahas empat pilar penting dalam membentuk warga digital yang kompeten dan bertanggung jawab: berpikir komputasional, literasi digital, pengelolaan data, dan berkarya dengan teknologi. Berikut tujuan dari pembelajaran Koding dan Kecerdasan Artifisial (KKA)

Terampil Berpikir Komputasional: 
Fondasi Pemecahan Masalah Berpikir komputasional adalah sebuah kerangka berpikir yang memungkinkan kita memecahkan masalah kompleks layaknya seorang ilmuwan komputer. Ini bukan hanya tentang coding, melainkan tentang bagaimana kita mendekati masalah secara logis, sistematis, kritis, analitis, dan kreatif. Ada empat pilar utama dalam berpikir komputasional: 


  • a) Dekomposisi: Memecah masalah besar menjadi bagian-bagian yang lebih kecil dan mudah dikelola. Bayangkan Anda ingin membangun rumah; Anda tidak langsung membangun semuanya, melainkan membaginya menjadi pondasi, dinding, atap, dan seterusnya. 
  • b) Pengenalan Pola: Mengidentifikasi kesamaan, tren, atau pola dalam data atau masalah yang berbeda. Jika Anda menyadari bahwa beberapa masalah memiliki pola yang sama, Anda bisa menggunakan solusi yang sama untuk menyelesaikannya. 
  • c) Abstraksi: Menyaring informasi yang tidak relevan dan fokus pada detail yang penting. Ini seperti membuat peta — Anda tidak perlu melihat setiap pohon atau batu, hanya jalan utama dan penanda penting. 
  • d) Algoritma: Mengembangkan langkah-langkah atau instruksi yang jelas dan berurutan untuk memecahkan masalah atau mencapai suatu tujuan. Ini adalah "resep" untuk menyelesaikan tugas. Dengan menguasai berpikir komputasional, kita tidak hanya menjadi pemecah masalah yang lebih baik, tetapi juga lebih adaptif dalam menghadapi tantangan di berbagai aspek kehidupan, dari pekerjaan hingga kehidupan sehari-hari. 

Cakap dan Bijak sebagai Warga Masyarakat Digital 
Menjadi warga masyarakat digital berarti lebih dari sekadar memiliki akun media sosial. Ini tentang menjadi individu yang literat, produktif, beretika, aman, berbudaya, dan bertanggung jawab dalam interaksi online. Literat: Mampu memahami, mengevaluasi, dan menciptakan informasi secara efektif di berbagai platform digital. Ini termasuk kemampuan membedakan berita palsu (hoaks) dari informasi yang benar. Produktif: Memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan efisiensi dan menciptakan nilai, baik dalam pekerjaan, pendidikan, maupun aktivitas personal. Beretika: Mematuhi norma-norma perilaku yang baik di dunia maya, menghormati privasi orang lain, dan menghindari perundungan siber (cyberbullying). Aman: Menjaga keamanan data pribadi dan akun online dari serangan siber seperti phishing atau peretasan. Berbudaya: Memahami dan menghargai keragaman budaya di ruang digital, serta berpartisipasi dalam interaksi yang konstruktif. Bertanggung Jawab: Mengakui dampak dari tindakan online kita, baik positif maupun negatif, dan siap menanggung konsekuensinya. Dengan menjadi warga masyarakat digital yang cakap dan bijak, kita berkontribusi pada lingkungan online yang lebih sehat, aman, dan produktif bagi semua. 

Terampil Mengelola dan Memanfaatkan Data untuk Pemecahan Masalah 
Kehidupan Di dunia yang digerakkan oleh data, kemampuan untuk mengelola dan memanfaatkan data adalah keterampilan yang sangat berharga. Data ada di mana-mana, dari catatan kesehatan hingga tren pembelian. Kemampuan untuk mengumpulkan, membersihkan, menganalisis, dan menginterpretasikan data dapat memberikan wawasan yang mendalam dan membantu kita membuat keputusan yang lebih baik dalam berbagai konteks: Mengidentifikasi Masalah: Data dapat membantu kita melihat pola atau anomali yang menunjukkan adanya masalah. Mencari Solusi: Dengan menganalisis data, kita dapat menemukan hubungan sebab-akibat atau mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi suatu masalah, sehingga memudahkan kita merancang solusi yang tepat. Mengukur Dampak: Setelah menerapkan solusi, data dapat digunakan untuk mengukur efektivitasnya dan membuat penyesuaian yang diperlukan. Misalnya, seorang pemilik usaha kecil dapat menganalisis data penjualan untuk mengidentifikasi produk terlaris atau periode penjualan puncak, sehingga dapat mengoptimalkan strategi pemasaran dan persediaan. 

Terampil Berkarya dengan Kode dan Kecerdasan Artifisial 
Puncak dari semua keterampilan ini adalah kemampuan untuk berkarya dengan menghasilkan rancangan atau program melalui proses koding dan pemanfaatan kecerdasan artifisial (AI). Coding adalah bahasa yang memungkinkan kita "berbicara" dengan komputer dan memberinya instruksi. Dengan coding, kita dapat menciptakan aplikasi, situs web, game, dan berbagai solusi digital lainnya. Kecerdasan Artifisial (AI), di sisi lain, adalah bidang yang berfokus pada pengembangan sistem yang dapat belajar dari data, memahami, dan bahkan membuat keputusan seperti manusia. Memanfaatkan AI dalam karya kita berarti kita dapat menciptakan solusi yang lebih cerdas, efisien, dan otomatis. Contohnya: Membangun chatbot layanan pelanggan yang dapat menjawab pertanyaan secara otomatis. Mengembangkan sistem rekomendasi yang menyarankan produk atau konten berdasarkan preferensi pengguna. Menciptakan alat yang dapat menganalisis gambar atau suara untuk tujuan tertentu. Menggabungkan kemampuan koding dengan pemahaman tentang AI membuka peluang tak terbatas untuk inovasi. Ini memberdayakan kita untuk tidak hanya mengonsumsi teknologi, tetapi juga menjadi pencipta dan inovator di garis depan perkembangan digital. 

Menguasai keempat pilar ini – berpikir komputasional, literasi digital, pengelolaan data, dan berkarya dengan teknologi – adalah investasi penting untuk masa depan. Ini membekali kita dengan keterampilan yang tidak hanya relevan di dunia kerja, tetapi juga esensial untuk menjalani kehidupan yang produktif, bermakna, dan bertanggung jawab di era digital. Dengan terus mengasah kecakapan-kecakapan ini, kita dapat menjadi agen perubahan yang positif dan inovatif dalam masyarakat.

Read More »
01 July | 0komentar

Ketika Jari-jemari Lebih Aktif dari Pikiran: Paradoks Literasi Digital

Literasi digital
Di era digital yang serba cepat ini, kita menyaksikan sebuah fenomena yang menarik sekaligus ironis terkait dengan literasi. Di satu sisi, masyarakat kita menunjukkan tingkat partisipasi yang tinggi dalam menyerap informasi digital. Layar ponsel pintar menjadi jendela utama menuju dunia pengetahuan, berita, dan opini. Namun, di sisi lain, kebiasaan membaca yang dominan justru terfragmentasi, dangkal, dan seringkali tidak terstruktur, jauh berbeda dengan esensi literasi yang sesungguhnya. 
Inilah paradoks "literasi" digital: kita aktif "membaca" konten-konten digital baik itu di internet atau di kolom percakapan grup medsos. Namun seringkali mengabaikan kedalaman dan analisis yang ditawarkan oleh bacaan yang lebih substansial seperti buku atau artikel ilmiah. Ironi ini terletak pada definisi "membaca" itu sendiri. Dalam konteks digital, "membaca" seringkali hanya sebatas memindai judul, membaca beberapa kalimat pertama, atau bahkan langsung melompat ke bagian komentar. Interaksi dengan teks menjadi dangkal dan sporadis. 
Kita lebih tertarik pada ringkasan singkat, infografis menarik, atau cuitan padat berisi daripada menyelami argumen yang kompleks atau narasi yang panjang. Kebiasaan membaca komentar online menjadi salah satu manifestasi paling jelas dari paradoks ini. Kolom komentar, yang seharusnya menjadi ruang diskusi dan pertukaran ide, seringkali justru dipenuhi dengan opini instan, reaksi emosional, bahkan ujaran kebencian. 
Masyarakat kita seolah lebih tertarik untuk membaca dan merespons komentar-komentar singkat ini daripada meluangkan waktu untuk memahami konteks dan substansi dari artikel atau berita yang dikomentari. Mengapa fenomena ini bisa terjadi? Beberapa faktor kemungkinan berperan. Pertama, sifat informasi digital yang serba cepat dan berlimpah mendorong kita untuk mencari kepuasan instan. Kita terbiasa dengan notifikasi dan pembaruan yang konstan, sehingga sulit untuk fokus pada satu teks yang panjang dan membutuhkan konsentrasi tinggi. Kedua, algoritma media sosial cenderung memprioritaskan konten yang menarik perhatian dan memicu interaksi cepat, seperti komentar kontroversial atau ringkasan viral. 
Hal ini secara tidak sadar membentuk preferensi membaca kita. Ketiga, tekanan sosial untuk selalu "up-to-date" membuat kita merasa perlu untuk mengonsumsi sebanyak mungkin informasi dalam waktu sesingkat mungkin, meskipun dengan kedalaman yang minim. Dampak dari "literasi" digital yang dangkal ini bisa sangat signifikan. Kemampuan untuk berpikir kritis dan analitis dapat terkikis karena kita jarang melatih diri untuk memahami argumen yang kompleks dan mengevaluasi informasi secara mendalam. Kita menjadi lebih rentan terhadap misinformasi dan disinformasi karena kurangnya kemampuan untuk memverifikasi fakta dan memahami konteks yang lebih luas. 
Diskusi publik pun menjadi lebih polarisasi karena kita cenderung hanya terpapar pada opini yang sesuai dengan pandangan kita dan jarang berinteraksi dengan perspektif yang berbeda secara substansial. Tentu saja, bukan berarti semua interaksi digital bersifat negatif. Internet dan media sosial juga menawarkan potensi besar untuk pendidikan dan penyebaran informasi yang bermanfaat. Namun, penting bagi kita untuk menyadari paradoks "literasi" digital ini dan mengambil langkah-langkah untuk mengatasinya. Beberapa upaya yang bisa dilakukan antara lain: 
  • Meningkatkan kesadaran akan pentingnya membaca mendalam: 
  • Mengedukasi masyarakat tentang manfaat membaca buku, artikel ilmiah, atau laporan yang lebih komprehensif dalam mengembangkan pemikiran kritis dan pemahaman yang mendalam. 
  • Mengembangkan keterampilan literasi digital yang sejati: 
  • Tidak hanya sekadar mampu menggunakan teknologi, tetapi juga mampu mengevaluasi sumber informasi, membedakan fakta dan opini, serta memahami konteks yang lebih luas. 
  • Menciptakan ruang diskusi online yang lebih sehat: 
  • Mendorong interaksi yang lebih konstruktif dan berbasis argumen, bukan hanya reaktif dan emosional. 
  • Mengintegrasikan kegiatan membaca mendalam dalam pendidikan: 
  • Mendorong siswa untuk membaca dan menganalisis teks yang lebih panjang dan kompleks sejak dini. 
  • Bijak dalam mengonsumsi informasi digital: 
  • Meluangkan waktu untuk membaca artikel secara utuh sebelum berkomentar, memverifikasi informasi dari berbagai sumber, dan menghindari terjebak dalam echo chamber media sosial. 

Paradoks "literasi" digital adalah tantangan nyata di era informasi ini. Meskipun kita aktif dalam dunia digital, esensi literasi yang mendalam dan analitis tidak boleh hilang. Dengan meningkatkan kesadaran dan mengambil tindakan yang tepat, kita dapat memanfaatkan potensi positif teknologi sambil tetap menjaga dan mengembangkan kemampuan literasi yang sesungguhnya. Membaca komentar online boleh menjadi bagian dari interaksi digital kita, namun jangan sampai kebiasaan ini menggantikan kebutuhan kita akan bacaan yang lebih substansial dan bermakna.

Read More »
23 May | 0komentar

Berpikir Jernih di Tengah Badai Informasi

Di era digital yang serba cepat, arus informasi mengalir deras tanpa henti. Kemudahan mengakses berbagai sumber informasi seharusnya menjadi modal berharga untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat. Namun, di balik kemudahan ini, tersembunyi sebuah ancaman serius: erosi pemikiran kritis dan literasi informasi akibat kecenderungan konsumsi informasi yang dangkal dan terfragmentasi. Fenomena ini, jika dibiarkan berlarut-larut, dapat membawa dampak jangka panjang yang merugikan bagi individu, masyarakat, dan bahkan tatanan demokrasi. 
Ancaman Nyata Erosi Pemikiran Kritis Salah satu dampak paling mengkhawatirkan dari konsumsi informasi yang dangkal adalah terkikisnya kemampuan berpikir kritis. Ketika individu terbiasa menerima informasi secara instan melalui headline menarik, cuitan singkat, atau unggahan media sosial tanpa melakukan verifikasi atau analisis mendalam, kemampuan mereka untuk mengevaluasi informasi secara objektif menjadi tumpul. 
Mereka cenderung menerima informasi apa adanya tanpa mempertanyakan sumber, validitas, atau potensi bias yang terkandung di dalamnya. Keterbiasaan ini melahirkan generasi yang kurang mampu membedakan antara fakta dan opini, antara informasi yang kredibel dan yang tidak. Mereka menjadi lebih rentan terhadap disinformasi, berita palsu (hoax), dan propaganda yang dirancang untuk memanipulasi opini publik. Kemampuan untuk mengidentifikasi asumsi yang mendasari suatu klaim, mengevaluasi argumen, dan menarik kesimpulan yang logis menjadi semakin tergerus. 
Literasi Informasi yang Terabaikan Erosi pemikiran kritis berjalan beriringan dengan rendahnya literasi informasi. Literasi informasi bukan hanya sekadar kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga mencakup kemampuan untuk mencari, mengevaluasi, menggunakan, dan mengkomunikasikan informasi secara efektif dan etis. Di era banjir informasi ini, literasi informasi menjadi semakin krusial. Individu perlu memiliki keterampilan untuk: 
  • Mengidentifikasi kebutuhan informasi: Mampu merumuskan pertanyaan yang jelas dan menentukan jenis informasi yang dibutuhkan. 
  • Menemukan informasi: Mahir menggunakan berbagai sumber informasi secara efektif dan efisien, termasuk mesin pencari, basis data, dan perpustakaan digital. 
  • Mengevaluasi informasi: Mampu menilai kredibilitas, akurasi, relevansi, dan bias dari berbagai sumber informasi. 
  • Mengorganisir dan mensintesis informasi: Mampu mengolah informasi yang diperoleh dari berbagai sumber dan merangkainya menjadi pemahaman yang komprehensif. 
  • Menggunakan informasi secara etis: Memahami isu-isu hak cipta, privasi, dan plagiarisme, serta mampu menggunakan informasi secara bertanggung jawab. 
Ketika konsumsi informasi didominasi oleh konten yang dangkal dan terfragmentasi, proses pengembangan keterampilan literasi informasi ini terhambat. Individu tidak terdorong untuk mencari informasi dari berbagai sumber, melakukan analisis mendalam, atau mempertimbangkan perspektif yang berbeda. Akibatnya, mereka terjebak dalam echo chamber atau filter bubble, di mana mereka hanya terpapar pada informasi yang sesuai dengan keyakinan mereka sendiri, memperkuat bias yang sudah ada. 
Dampak Jangka Panjang yang Merugikan Erosi pemikiran kritis dan rendahnya literasi informasi memiliki konsekuensi jangka panjang yang merugikan di berbagai aspek kehidupan: 
Rentan terhadap Manipulasi: 
Masyarakat yang tidak memiliki kemampuan berpikir kritis dan literasi informasi yang memadai menjadi sasaran empuk bagi pihak-pihak yang ingin menyebarkan disinformasi atau propaganda untuk kepentingan tertentu. Hal ini dapat mengancam stabilitas sosial dan politik. 
Keputusan yang Tidak Tepat: Dalam kehidupan sehari-hari, individu dihadapkan pada berbagai pilihan dan keputusan. Tanpa kemampuan untuk mengevaluasi informasi secara kritis, mereka cenderung membuat keputusan yang kurang tepat berdasarkan informasi yang salah atau menyesatkan, baik dalam hal keuangan, kesehatan, maupun pilihan politik. 
Polarisasi dan Konflik Sosial: Paparan terhadap informasi yang terfragmentasi dan kurangnya kemampuan untuk memahami perspektif yang berbeda dapat memperdalam polarisasi di masyarakat. Echo chamber dan filter bubble memperkuat keyakinan yang sudah ada dan mempersulit terjadinya dialog yang konstruktif. 
Menghambat Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Inovasi: Pemikiran kritis adalah fondasi dari perkembangan ilmu pengetahuan dan inovasi. Masyarakat yang kurang memiliki kemampuan ini akan sulit untuk menerima ide-ide baru, mempertanyakan asumsi yang ada, dan mendorong kemajuan. Erosi Kepercayaan terhadap Institusi: Ketika masyarakat kesulitan membedakan antara informasi yang benar dan salah, kepercayaan terhadap media, pemerintah, dan lembaga-lembaga publik lainnya dapat terkikis. Hal ini dapat melemahkan tatanan sosial dan demokrasi. 
Upaya Mengatasi Erosi Pemikiran Kritis dan Meningkatkan Literasi Informasi Mengatasi erosi pemikiran kritis dan meningkatkan literasi informasi membutuhkan upaya kolektif dari berbagai pihak: 
  • Pendidikan: Sistem pendidikan harus dirancang untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan literasi informasi sejak dini. Kurikulum perlu memasukkan pembelajaran tentang evaluasi sumber informasi, analisis argumen, dan identifikasi bias. 
  • Keluarga: Orang tua memiliki peran penting dalam menanamkan kebiasaan membaca, berdiskusi, dan mempertanyakan informasi kepada anak-anak mereka. Media Massa: Media massa memiliki tanggung jawab untuk menyajikan informasi yang akurat, berimbang, dan mendalam, serta memberikan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya literasi informasi. 
  • Platform Digital: Platform media sosial dan penyedia informasi daring perlu mengambil langkah-langkah proaktif untuk memerangi penyebaran disinformasi dan mempromosikan konten yang berkualitas. Algoritma yang digunakan perlu mempertimbangkan aspek kredibilitas dan akurasi informasi. 
  • Masyarakat Sipil: Organisasi masyarakat sipil dapat berperan dalam mengedukasi masyarakat tentang literasi informasi melalui berbagai program dan kegiatan. Individu: Setiap individu memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan literasi informasi secara mandiri. 
Hal ini dapat dilakukan dengan membiasakan diri untuk mencari informasi dari berbagai sumber yang kredibel, melakukan verifikasi sebelum mempercayai dan menyebarkan informasi, serta terbuka terhadap perspektif yang berbeda. 
Erosi pemikiran kritis dan rendahnya literasi informasi merupakan ancaman nyata di era digital ini. Kecenderungan mengonsumsi informasi secara dangkal dan terfragmentasi memiliki dampak jangka panjang yang merugikan bagi individu, masyarakat, dan demokrasi. Oleh karena itu, upaya kolektif dan berkelanjutan dari berbagai pihak sangat dibutuhkan untuk membekali masyarakat dengan kemampuan berpikir kritis dan literasi informasi yang memadai. Dengan masyarakat yang cerdas dan mampu memilah informasi, kita dapat membangun masa depan yang lebih baik dan terhindar dari bahaya manipulasi dan disinformasi.

Read More »
25 May | 0komentar

Leading for Learning: How to Transform Schools into Learning Organization


Reflesi Buku 
Leading for Learning: How to Transform Schools into Learning Organization 
Direfleksi Oleh: Arifin
Bab 1 : 
Menyoal Transformasi 
Semua sepakat bahwa sekolah-sekolah kita harus diperbaiki kualitasnya. Namun kesepakatan tidak tercapai ketika berbicara tentang bagaimana cara memperbaiki kualitas tersebut. Ada yang berpendapat bahwa yang dibutuhkan adalah reformasi, namun sebagian yang lain mengatakan reformasi tidak cukup. Yang dibutuhkan saat ini adalah transformasi, bukan reformasi. 
Dalam konteks upaya perbaikan sekolah, reformasi memiliki arti melakukan perubahan prosedur, proses, dan teknologi dalam rangka memperbaiki kinerja sistem operasi yang telah ada. Tujuan reformasi adalah untuk menjaga agar sistem yang telah ada dapat berjalan dengan lebih efektif sebagaimana yang telah ditentukan. 
Transformasi dimaksudkan untuk memungkinkan melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh organisasi. Transformasi berarti bermetamorfosis, yaitu berubah dari satu bentuk ke bentuk lain yang benar-benar berbeda. Dalam bahasa organisasi, transformasi berarti melakukan reposisi (repositioning) dan reorientasi (reorienting) aksi dengan memasukkan organisasi ke dalam sebuah bisinis baru atau dengan cara mengadopsi cara –cara berbeda yang mendasar untuk melakukan pekerjaan organisasi. 
Maka transformasi meliputi upaya perubahan keyakinan, nilai-nilai, dan makna –kultur– serta perubahan sistem aturan yang ada, peran dan pola hubungan antar warga organisasi –struktur sosial—sehingga inovasi-inovasi yang dicanangkan aka memperoleh dukungan. Sebaliknya, reformasi hanya bermakna meng-install inovasi-inovasi yang akan berjalan dalam konteks sturktur dan kultur sekolah yang telah ada. Transformasi , dengan demikian, merupakan upaya yang beresiko dan sulit, dimensi-dimensinya dipenuhi dengan ketidakpastian dan sukar untuk didefinisikan. 
Transformasi membutuhkan sumber daya manusia yang mampu melakukan pekerjaan yang belum pernah mereka lakukan – tidak hanya mampu melakukan pekerjaan yang rutin mereka lakukan. Karena transformasi berresiko, maka transformasi membutuhkan pemimpin-pemimpin yang tangguh yang memahami posisi mereka sebagai penyemai nilai-nilai, penerap tehnik-tehnik terbaik, makna sekaligus keterampilan kepemimpinan. Diatas segalanya, transformasi membutuhkan para pemimpin yang memiliki pemahaman mendalam tentang rasionalitas transformasi dan lika-liku jalan terjal yang akan mereka lalui. Transformasi menghendaki pemimpin yang memiliki komitmen diri yang kuat untuk menciptakan satu entitas organisasi baru yang dicita-citakannya. 
Tanpa sosok pemimpin yang demikian itu, maka upaya transformasi sekolah akan mustahil terjadi. Tanpa pemimpin yang tangguh, masa depan pendidikan Indonesia dan masa depan demokrasi di negeri katulistiwa ini akan berada dalam resiko besar. 

MENGAPA REFORMASI SAJA TIDAK CUKUP? 
Kasus reformasi di berbagai Negara biasanya terjadi karena dipicu oleh persaingan , terutama bidang ekonomi dan teknologi, dengan Negara lain. Amerika serikat melakukan gerakan reformasi pendidikan besar-besaran karena gusar dengan keberhasilan Uni Soviet yang berhasil meluncurkan Sputnik. Pada era tahun 80an Amerika, lagi-lagi, gusar karena keberhasilan Jepang dibidang manufaktur yang menguasai dunia. Dan sekarang Amerika Serikat tambah gusar karena kehebatan China dan India dan merebut pasar ekonomi dunia. Sudut dunia mana yang tidak dibanjiri barang-barang impor dari China dan India. Bahkan sudut Gunung Kidul yang terpencil sekalipun pasti ada mainan made in China. 
Satu-satunya Negara yang tidak pernah gusar hanyalah Indonesia…ha..ha…apa yang digusarkan Indonesia..wong…memiliki kolam susu dan batang bamboo ditancapkan saja tumbuh kok…. Namun, ada beberapa hal yang bisa saya ingatkan untuk kawan Amerika yang sedang gusar, bahwa reformasi saja tidak cukup. Kita tahu bahwa pendidikan itu tidak hanya terkait dengan urusan ekonomi saja, tetapi kait mengait dengan bidang politik, komunitas, kewarganegaraan, kesehatan moral, karakter generasi yang akan dating, dan masa depan demokrasi bangsa. Pendidikan menjadi landasan pengembangan semua aspek kehidupan sehingga reformasi secara sporadis saja tidak lagi memadai. 
Maka yang dibutuhkan adalah perubahan mendasar secara komprehensif melalui upaya transformasi. 

 PERLUNYA UPAYA TRANSFORMASI 
Bagaikan menanam padi, maka penanaman yang paling baik adalah di lahan yang lebih subur. Demikian pula dengan pendidikan, jika kita menginginkan perbaikan di bidang pendidikan, maka sekolah-sekolah harus dicangkokkan ke dalam lingkungan yang lebih kondusif. Sekolah-sekolah harus ditransformasikan dari pengajaran (instructrion) menuju pembelajaran (learning), dari pola birokrasi yang mengekang menuju organisasi pembelajaran yang mendorong kreatifitas. Tujuan sekolah saat ini adalah untuk memastikan bahwa semua siswa memiliki akses pada kualitas pengajaran yang seragam. Padahal definisi kualitas pengajaran sendiri sulit didefinisikan. 
Dalam atmosfir reformasi saat ini, kualitas pengajaran diartikan sebagai bentuk pengajaran yang mengantarkan siswa mampu mengerjakan soal-soal terstandar, memperoleh skor tes tertentu dan hanya melalui tes lah kualitas pengajaran dapat distandardisasikan. Persolannya adalah bahwa tipe pengajaran yang memadai untuk memastikan siswa mampu mengerjakan soal-soal tentang puisi tidak sama dengan pengajaran yang dibutuhkan siswa untuk mampu menulis puisi. Sebagian besar siswa mengetahui dan mampu menjawab soal tentang menulis puisi, namun mereka tidak terinspirasi dan mampu menulis puisi. 
Tipe pengajaran di sekolah saat ini tidak mampu mengembangkan keterampilan, sikap, dan kebiasaan berfikir serta kemampuan-kemampuan lainnya yang dibutuhkan oleh dunia kerja abad 21. Tipe pengajaran saat ini belum mampu mengantarkan siswa memasuki lingkungan digital dan belum mampu juga mengantarkan siswa menjadi warga negara yang efektif dalam Negara demokrasi dimana laki-laki dan perempuan bakal kebanjiran informasi dan fakta-fakta yang diberitakan. Transformasi Tidak “Sekadar Akademik” Harus diakui bahwa siswa belajar banyak hal di sekolah. 
Bagi yang tertarik di berbagai aspek atau bidang akademik, mereka akan tertantang untuk belajar giat tentang kerja akademik yang ditawarkan sekolah. Namun demikian, banyak pula siswa yang tidak begitu tertarik dengan kerja akademik sekolah atau tidak memiliki banyak manfaat bagi kehidupannya. Mata pelajaran akademis memang penting, namun kerja akademik bukanlah satu-satunya keunggulan yang harus dimiliki siswa. Masih ada keunggulan lain yang harus diakui dan dikembangkan oleh sekolah, yaitu, misalnya kemampuan atletik dan artistik. 
Dengan mengakui keunggulan lain maka ukuran keberhasilan atau sukses seorang siswa tidak tergantung pada keunggulan akademik saja tapi juga dikarenakan oleh keunggulan yang lain. Oleh karena itu, sekolah perlu didesain sedemikian rupa agar mampu menghargai potensi siswa secara purna, tidak hanya akademik saja, namun juga mampu mengembangkan standar-standar yang lebih komprehensif, lebih dari sekadar standar akademik yang sempit. 
Melihat tantangan di atas, transformasi sekolah membutuhkan pemimpin-pemimpin yang siap untuk menyusun ulang tujuan sekolah dan mampu berimaginasi tentang sekolah masa depan yang lebih baik. Sekolah masa depan, abad 21, adalah sekolah yang membekali siswa dengan daya kreatifitas tinggi, kemampuan berkolaborasi, kemampuan mensintesa data-data dari berbagai sumber, dan kemampuan mengevaluasi data secara kritis. Sekolah yang hanya mampu mengantarkan siswanya menyelesaikan soal-soal dan berhasil mengerjakan tes ujian dengan baik bukan sekolah yang dibutuhkan generasi masa depan. 
Realitas Abad 21 Setidaknya terdapat tiga bentuk atau realitas perubahan yang memberikan pengaruh terhadap sekolah dan hubungan antara siswa, sekolah, guru, dan orangtua. Bentuk perubahan itu diantaranya : 
 - Ketersediaan peluang pembelajaran digital, 
 - Penciptaan gagasan remaja sebagai kategori demografik dan meningkatnya pengaruh atau arti teman sebaya diantara para remaja 
 - Pemasaran langsung kepada anak-anak dan remaja. Realitas baru ini memberikan tantangan sekaligus peluang bagi dunia pendidikan, yaitu tantangan bagi status quo pendidikan sekaligus peluang bagi inovasi dan transformasi. 

Keharusan Digital 
Kemajuan teknologi, terutama teknologi informasi (TI), memberikan tantangan sekaligus peluang bagi dunia pendidikan dan khususnya dunia sekolah. Ada sebagian sekolah dan guru yang memandang TI sebagai musuh (enemy) karena dianggap ikut andil dalam menembus batas-batas norma social dan agama serta membawa virus kebobrokan moral bagi para siswa. Namun ada juga yang memiliki pandangan positif, dimana TI dimanfaatkan untuk proses pembelajaran sehingga menjadi lebih fleksibel dan kaya. 
TI memperkaya pembelajaran dengan sumber-sumber belajar yang tidak hanya terbatas pada guru. Dengan pemanfaatn TI pembelajaran tidak hanya terjadi di dalam ruang kelas selama beberapa jam efektif, pembelajaran menjadi proses sepanjang hayat baik bagi siswa maupun guru. Guru dan siswa bisa memanfaatkan internet untuk pembelajaran nir kelas yang tidak dibatasi tempat dan waktu.
Persoalannya adalah apakah sekolah memiliki pemimpin yang mampu melakukan transformasi secara fundamental yang bisa mendorong perubahan pola hubungan otoritas antara guru dan siswa, dan apakah mereka mampu menciptakan kondisi sekolah yang fleksibel dalam pemanfaatan teknologi digital tersebut. Tanpa pemimpin yang transformatif, sekolah kita akan bertahan menjadi sekolah tradisional, dimana siswa tidak berkembang dalam cara belajarnya. 
Di masa depan, siswa memiliki pilihan yang lebih banyak dalam pembelajaran dengan membuncahnya kemajuan TI. Merekalah yang mengendalikan waktu dan tempat pembelajaran. Guru dan sekolah akan lebih berperan sebagai designer yang membantu siswa mengelola sumber-sumber informasi dan pengajaran yang sesuai dengan gaya belajar siswa. 
Pengaruh Teman Sebaya Realitas abad 21 yang kedua adalah menguatnya pengaruh teman sebaya dan memudarnya pengaruh orangtua terhadap remaja. Hal ini terjadi karena para remaja semakin independen, baik dalam konteks keluarga maupun independesi dalam akses informasi. Dulu, tahun 1960an, teknologi informasi belum berkembang seperti saat ini, para remaja saat itu hanya memperoleh informasi dari sumber terbatas, terutama orang tua mereka. Sekarang para remaja telah membentuk jaringan pertemanan mereka sendiri melalui berbagai teknologi informasi yang ada, misalnya Twitter, facebook, dan lain sebagainya, sehingga pengaruh teman sebaya lebih kuat. 
Dalam menghadapi realitas ini, guru dan sekolah harus mampu memanfaatkan the power of peer group dan jaringannya untuk kepentingan pendidikan. Sekolah dan guru harus mampu menemani dan mengarahkan para siswa dalam dunia maya sekaligus memanfaatkannya untuk proses pembelajaran yang lebih fleksibel agar pengaruh negative yang mungkin muncul dari networking mereka bisa direduksi. 
Pemasaran Kepada Anak-anak Realitas ketiga abad 21 adalah pemasaran yang bersifat langsung dann menjadikan anak-anak dan para remaja sebagai sasaran tembak. Berbagai produk dan iklan yang gencar membombardir mereka, dari soft drink , pakaian, mainan, hingga alat-alat elektronik canggih seperti iPhone, iPod , dan lain sebagainya. Yang menarik dari realitas ini adalah bahwa para pemasar komersial tersebut seolah-olah lebih memahami kemauan anak-anak dan remaja daripada orangtua mereka, para pemimpin agama, guru dan sekolah. Guru dan sekolah kalah dengan para pemasar komersial. Guru dan sekolah perlu belajar dari para pemasar industri tersebut dan mencoba menerapkannya dalam proses pembejalaran di sekolah. 
Bagaimana membuat para siswanya tertarik untuk melakukan pembelajaran dengan sepenuh hati. Keharusan Demokratik Demokrasi didasarkan pada keyakinan bahwa rakyat biasa dapat dipercaya untuk membuat keputusan politik yang akan mempengaruhi kehidupan mereka sendiri dan kehidupan orang lain. Di Negara non-demokrasi, hak-hak semacam ini hanya dimiliki oleh para elit. 
Pendidikan dan sekolah-sekolah memiliki peran sentral dalam menyemai benih-benih demokrasi. Sekolah publik , terutama, memiliki kewajiban untuk mengajarkan kemampuan pengambilan keputusan, keterampilan berfikir kritis, kemampuan berkolaborasi, dan kemampuan esensial lain sebagai warga negara kepada para siswanya. Kemampuan-kemampuan tersebut merupakan modal dasar bagi tumbuhnya demokrasi. 
Demokrasi juga menuntut adanya sistem pendidikan yang egaliter dimana semua warga Negara memiliki hak dan kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang berkualitas. Hal ini tentu saja membutuhkan para pemimpin pendidikan yang mampu mentransformasikan sekolah menjdi tempat penyemai warga demokratis dengan berbagai profesi mereka, baik sebagai artis, novelis, sejarawan, jurnalis, musisi, dan berbagai profesi lainnya. 
Tantangan Moral Dunia insustri abad 21 menawarkan segala macam bentuk hiburan, baik yang positif maupun nagatif. Hampir tidak ada institusi yang mampu mensensor secara penuh muatan hiburan tersebut. Maka menjadi tugas institusi pendidikan untuk membekali peserta didiknya dengan kemampuan pengambilan keputusan tentang mana yang baik dan buruk, mana yang indah dan tidak, mana seni dan pornografi, dan mana music dan kegaduhan. Inilah tugas moral pendidikan. 
Dan, sekali lagi, agar mampu melaksanakan kewajiban tersebut, institusi pendidikan perlu melakukan transformasi. Pembelajaran Untuk Mengeksploitasi Peluang Baru Para guru mengeluhkan fakta bahwa para siswa malas mengerjakan PR karena lebih suka kongkow-kongkow dengan teman sebayanya daripada memelototi PR. 
Orangtua juga mengeluh karena anak-anak mereka menghabiskan waktu di depan televise sehingga kesehatan fisik dan mentalnya terganggu. Dewan sekolah menghabiskan waktu mereka untuk membuat formulasi dan regulasi tentang bagaimana membatasi penggunaan telepon selular, iPhod, dan akses internet di sekolah. Keprihatinan yang dialami guru, orangtua dan sekolah sebenarnya bisa di mengerti. Namun mereka juga harus memahami bahwa dunia telah mengalami perubahan sehingga dunia anak-anak dan remaja saat ini memang berbeda. 
Guru, orangtua, dan orang dewasa lainnya seharusnya mulai memahami dan mengapresiasi perubahan yang terjadi dalam kehidupan para remaja, mereka harus berhenti melihat perubahan-perubahan ini sebagai ancaman, sebaliknya mereka perlu melihatnya sebagai kesempatan dan peluang. Telah terjadi pergeseran prinsip-prinsip otoritas tradisional dalam pola hubungan antara anak dan orangtua. Anak atau siswa cenderung memiliki akses informasi lebih cepat dari orangutan dan gurunya, bahkan mereka sering mempelajari tehnik-tehnik baru dalam mengakses informasi dan menciptakan konten serta pengolahan informasi dibanding para gurunya. 
Guru dan sekolah harus melihat ini sebagai peluang edukatif guna meraih tujuan pendidikan yang ditetapkan bersama dengan sekolah. Daripada sekolah menghabiskan waktu untuk memerangi atau membatasi penggunaan jaringan elektronik bagi para siswanya, guru dan sekolah mestinya mengeksploitasi inovasi-inovasi ini demi tujuan pendidikan yang positif. 

 MENGAPA KITA SUKA MENGUTAK-ATIK : MERUMUSKAN MASALAH 
Sebagian besar upaya perbaikan pendidikan dilakukan dengan cara melakukan utak-atik dengan program-program dan cara-cara yang sama sekali tidak mendasar sehingga tidak mengena. Upaya perbaikan hanya menyentuh kulit dari masalah sebenarnya yang ada dalam dunia pendidikan kita. Perubahan kurikulum telah berkali-kali dilakukan, sekarang kita menggunakan KTSP sejak 2006, dan perilaku guru dalam pembelajaran tetap sama seperti ketika mereka menggunakan kurikulum 1999. Para birokrat pendidikan kemudian mencanangkan program sertifikasi untuk meningkatkan kualitas guru. 
Namun lagi-lagi program sertifikasi dilakukan secara tidak komprehensi dan sempurna sehingga setiap tahun bahkan setiap saat terjadi perubahan yang justru semakin membingungkan guru. Tengoklah misalnya program UKA dan UKG yang kacau balau. Semua itu karena para birokrat pendidikan suka utak-atik dalam perbaikan pendidikan bukan melakukan transformasi yang lebih mendasar. Begitu pula dengan kasus Ujian Nasional (UN) kala itu, dimana kulaitas lulusan sekolah hanya diukur dengan angka-angka dan distandardisasi secara kaku. 
Alasannya adalah obyektifitas, prediktibilitas, dan stabilitas. Jika itu alasannya maka struktur pendidikan kita, sekolah kita, masih menggunakan sistem birokrasi yang mengedepankan stabilitas, ketenangan, dan prediktibilitas. Padahal organisasi yang mengedepankan prinsip-prinsip kaku birokrasi akan mati di telan perubahan dan perkembangan zaman yang semakin cepat dan tidak bisa diprediksi. Sekolah kita, sekali lagi, harus menjadi pusat kreatifitas, imaginasi, dan menyusun standar-standar keunggulan melalui komitmen bersama, penguatan kolegial, serta agenda-agenda kolaboratif daripada menggunakan gaya manajemen birokrasi yang dikendalikan dari luar (eksternal), penghargaan ekstrinsik, dan pemberian hukuman. Itulah arah transformasi yang perlu dilakukan oleh sekolah dan guru. 

Rangkuman Kuliah 
1. Pendahuluan 
  • Di era informasi dan teknologi, peningkatan mutu sekolah merupakan suatu keharusan. 
  • Peningkatan mutu sekolah tidak sekadar reformasi tetapi harus melalui transformasi. 
  • Reformasi berarti perubahan prosedur, proses dan teknologi dengan focus pada peningkatan kinerja lebih efektif. 
  • Transformasi, lebih dari sekadar reformasi, dalam transformasi ada agenda reposisi dan reorientasi tindakan kea rah yang lebih baru. 

 2. Reformasi saja tidak cukup? 
  • Reformasi hanya menekankan pada perbaikan dalam bentuk yang sudah ada dan lebih didorong oleh pengaruh eksternal. 
  • Realitanya, aspek-aspek perbaikan cukup kompleks (tidak hanya akademik, tetapi juga terkait dengan aspek politik, social, moral, dan ekonomi) dan melibatkan banyak pihak. 
  • Oleh karena itulah kita membutuhkan transformasi guna perubahan yang lebih mendasar. 

 3. Realitas abad 21 mendorong terjadinya transformasi. 
  • Realitas kemajuan TI, teknologi digital 
  • Perubahan demografi dan pola hubungan antara orangtua, guru, sekolah, dan teman sebaya. 
  • Realitas pemasaran industry komersial. 
  • Realitas demokrasi 
  • Tantangan moral 
  • Munculnya peluang-peluang baru yang harus dimanfaatkan untuk kemajuan pendidikan.

Read More »
19 December | 0komentar

Jurnal Refleksi Dwi mingguan Modul 1.1.

Sebagai wujud merefleksikan diri setelah 2 minggu mengikuti kegiatan pelatihan. Sebagai bentuk tugas yang diupload pada LMS dari diklat CGP. ilosofi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara Kegiatan pelatihan yang sudah kami lalui, khususnya pada modul 1.1 Tentang Filosofi Pemikiran Ki Hajar Dewantara. Dalam menulis jurnal refleksi menggunakan model 4F : 1. Fact (peristiwa); 2. Feeling (perasaan); 3. Findings (pembelajaran) ; dan 4. Future(penerapan), yang diprakarsai oleh Dr. Roger Greenaway.
   
1. Facts (Peristiwa)
Pada tanggal 24 Agustus 2022 CGP Angkatan 6 resmi dibuka oleh Kemendikbudristek yaitu Bapak Nadiem Makarim,B.A.,M.B.A. dan Dirjen GTK melalui zoom yang diikuti CGP Angkatan 6 se Indonesia. Pembukaan juga diisi oleh Kepala Balai Guru Penggerak. Beliau menyampaikan bahwa selama mengikuti diklat guru penggerak diharap para CGP jangan sampai berhenti di tengah jalan karena Bapak/Ibu adalah guru-guru pilihan. Jangan dijadikan alasan karena kendala-kendala yang dapat menghambat proses belajar. Setelah kegiatan zoom meeting seluruh CGP Angkatan 6 wajib mengikuti kegiatan-kegiatan serta pelatihan-pelatihan yang ada di LMS mulai dari mempelajari modul 1.1. tentang Mulai Dari Diri dan Eksplorasi Konsep di forum diskusi yang dipimpin oleh fasilitator. 
Kemudian ada ruang kolaborasi, di mana setiap CGP berkolaborasi bersama kelompoknya masing-masing. Pada hari Sabtu, tanggal 22 Oktober 2022 diadakan Lokakarya orientasi secara luring dari pukul 08.00 s.d 17.00 WIB. Saat lokakarya orientasi saya mendapatkan banyak ilmu dan pengalaman tentang pendidikan guru penggerak.Dalam kegiatan ini diundang juga pengawas dan Kepala sekolah tempat CGP mengajar. Dengan diikutsertakannya Kepala Sekolah dalam lokakarya tersebut alangkah bahagianya hati saya karena Beliau mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang perjalanan Pendidikan Guru Penggerak sehingga diharapkan dapat memberikan bimbingan, arahan, dan motivasi kepada saya sehingga saya dapat melaksanakan Pendidikan Guru Penggerak ini dengan baik. 

Dalam moment ini, kami fokus menggali dan memperluas wawasan kami tentang mengenali siapa saya, apa yang belum dan sudah ada pada diri saya serta mengerjakan 5 LK dan mendiskusikannya untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam. Dengan bimbingan bapak Pengajar Praktik, saya merasa lokakarya orientasi ini menjadi sangat menyenangkan sehingga waktu yang cukup lama tersebut menjadi tidak terasa. Kegiatan dimulai dengan membuat kesepakatan kelas, kemudian menulis harapan dan tantangan menjadi CGP dikertas post-it, setelah itu menempel dikertas plano . Beliau juga meminta kami membuat google site sebagai wadah guru penggerak yang nantinya siap berbagi praktik baik bagi guru-guru yang lain. Kurang lebih selama dua minggu, mulai 24 Oktober sampai 1 November 2022 kami belajar mandiri mulai dari diri sendiri merefleksi pemikiran KHD melalui LMS yang dirancang dengan sangat bersahabat, sehingga para CGP tidak susah untuk mengeksplore fitur-fitur yang ada di dalam LMS itu sendiri. 
Kegiatan demi kegiatan dilaksanakan hingga kami melakukan kegiatan eksplorasi konsep bediskusi bersama fasilitator dan CGP lainnya mengenai filosofi KHD. Setelah itu, ruang kolaborasi saya bersama teman-teman saling sharing dan berdiskusi mengenai filosfi KHD dan penerapannya di sekolah. Kemudian kami diharuskan membuat karya berupa demonstrasi konstektual. Terakhir mengiktui kegiatan elaborasi pemahaman bersama instruktur pada tanggal 3 November 2022. Di sana banyak ilmu dan pengalaman yang disampaikan instruktur dan teman-tean CGP lainnya. Instruktur memberikan asupan ilmu tentang pemahaman yang sangat mendalam mengenai konsep Filosofi KHD dan penerapannya pada konteks lokal sosial budaya. Berdiskusi dan terus belajar sehingga kami ditugaskan untuk membuat modul itu dalam bentuk grafik, infografis, blogspot, video, dll berupa modul koneksi antar materi, kesimpulan dan refleksi pemikiran Ki Hajar dewantara. Dan saya memilih membuat blog.
    
2. Feelings (Perasaan)
Selama kurang lebih dua minggu menjadi CGP, banyak sekali hal yang dirasakan, sedih, senang, down, bahagia, semua bercampur aduk dengan keinginan dan tekad yang kuat untuk dapat menyelesaikan Program Guru Penggerak ini. Keseluruhan perasaan tersebut saya ibaratkan juga dengan apa yang dialami oleh murid-murid saya. Perasaan senang karena saya bisa mendapatkan Banyak ilmu Pengetahuan dan pengalaman tentang filosofi KHD, bagaimana menjadi guru yang seharusnya, bagaimana memerdekakan anak, upaya apa yang harus dilakukan, dll. Keseluruhan rangkaian yang ada di dalam LMS membuat saya merasakan bahwa apa yang saya miliki tentang Pendidikan sangat jauh dari yang diharapkan dengan tujuan Ki Hajar Dewantara. 
Betapa harus dicontohnya sosok Ki Hajar Dewantara yang mengatakan bahwa kita harus memanusiakan manusia, sehingga murid dapat mencapai kodrat alam, namun juga tetap selalu membuka mata untuk setiap hal positif di luaran sana (kodrat zaman) sehingga anak didik kita dapat merasakan kebahagiaan dan keselamatan sejati. Saat menerapkan filosofi KHD di dalam pembelajaran saya merasa senang karena ada hal yang berubah menjadi lebih baik pada diri murid-murid saya. Misalnya dahulu saya banyak melakukan pembelajaran konvensional. Sekarang lebih berpusat pada siswa. Siswa merasa senang karena kebutuhan belajarnya terpenuhi. Semangat siswa untuk bersekolah semakin meningkat. Saya juga merasa bangga karena saya bisa menjadi bagian dari guru-guru hebat di seluruh Indonesia. Sehingga banyak hal yang didapat dari materi ini.
 
3. Findings (Pembelajaran)
Dalam pembelajaran ini saya menemukan hal-hal yang kurang saya pahami sebelumnya yaitu tentang filosofis Ki Hajar Dewantara. Saya mendapat ilmu-ilmu baru yang sangat saya perlukan untuk meningkatkan kompetensi saya sebagai seorang pendidik. Melalui 6 Dasar pemikiran ki hajar Dewantara saya merasa mendapat bekal yang tidak ternilai harganya. Pengalaman berharga ini didapat ketika mendapatkan ilmu tentang filosofi pendidikan KHD dan saat berdiskusi dengan rekan CGP serta fasilitator dan instruktur. Banyak hal yang didapat untuk saya terapkan dalam pembelajaran di kelas saya. 
Pengalaman yang berharga yaitu mendapatkan imu tentang filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara. Pemikiran KHD tersebut menyatakan bahwa tugas saya sebagai seorang pendidik adalah guru disini adalah menuntun anak pada kodratnya sehingga anak dapat hidup secara mandiri di masyarakat dengan mengacu pada trilogi pendidikan yaitu ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso dan tut wuri handayani. Pendidikan harus didasarkan pada kodrat alam dan kodrat zaman. Bahwa anak memiliki kodrat merdeka, merdeka batin adalah pendidikan sedangkan merdeka lahir adalah pengajaran. Dua hal yang saling bergantug satu sama lain. Oleh karena itu saya harus memberikan kemerdekaan kepada anak-anak untuk menyelesaikan tugas-tugasnya sesuai dengan minat, bakat , dan kreatifitasnya sebab manusia merdeka adalah manusia yang hidupnya tidak tergantung pada orang lain, akan tetapi bersandar atas kekuatan sendiri. Tidak hanya itu, sebagai pendidik saya harus senantiasa menuntun kepada anak atau dengan kata lain berpihak pada mereka. 
Saya juga harus memandang murid bukanlah kertas yang bisa digambar sesuai kemauan saya, karena mereka lahir dengan kodrat yang samar. Tugas kita adalah menebalkan garis-garis samar itu agar dapat memperbaiki lakunya untuk menjadi manusia seutuhnya sesuai dengan tujuan pendidikan yang sebenarnya. Menerapkan budi pekerti yang luhur atau akhlak mulia merupakan keharusan yang tidak terbantahkan dengan cara mengintegrasikan setiap proses pembelajaran dengan pencapaian profil pelajar Pancasila yaitu beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia, berkebinekaan global, bergotong royong, mandiri , bernalar kritis dan kreatif. Ketika berdiskusi dengan fasilitator, instruktur, dan rekan CGP yang lain banyak sharing pengalaman dalam penyelesaian tantagan dalam penerapan filosofi KHD ini di sekolah.
4. Future (Penerapan)
Saya akan merealisasikan hal terbaik dalam proses pembelajaran saya dikelas, agar tujuan pendidikan bisa tercapai dengan baik. Banyak hal yang akan saya benahi, karena saya sadar selama ini yang saya lakukan jauh dari kata sempurna jika dikaitkan dengan filosofis pemikiran Ki Hajar Dewantara . Filosofi pendidikan KHD yang didapatkan selama 2 minggu ini akan saya laksanakan dalam proses pembelajaran. Saya akan merancang pembelajaran yang berpusat pada murid, agar tercipta interaktif yang menyenangkan didalam kelas. Saya akan merancang pembelajaran sesuai dengan kodrat alam dan kodrat zaman. 
Memberi kebebasan kepada anak-anak untuk menggali potensi yang dimilikinya harus terjadi dalam proses pembelajaran agar mereka menemukan jati dirinya sehingga menjadi manusia seutuhnya. Saya akan menjadi guru yang bisa menuntun kodrat siswa dan menjadi teladan bagi mereka. Merasa egois kepada peserta didik bukan lagi hal yang perlu dipertahankan tetapi kita harus merubahnya dengan menuntun peserta didik agar kodrat alam yang dimilikinya sejak lahir bisa berkembang kearah yang lebih baik dan kodrat zaman dimana mereka hidup saat ini bisa mereka dapatkan sehingga akan mempermudah mereka dalam mengatasi persoalan hidupnya dimasa kini ataupun masa yang akan datang. Pendidikan disesuaikan dengan kodrat zaman bahwasanya anak sekarang hidup di era digital, sehingga guru harus mengembangkan keterampilan abad 21 untuk menghadapi tantangan zaman ini.
Keterampilan abad 21 dapat dilaksanakan dengan pembelajaran menggunakan proyektor dan menggunakan teknologi komunikasi, serta menuntun siswa untuk aktif mengkonstruk ilmunya sendiri. Tugas guru di sini hanyalah menuntun siswa. Selain itu siswa juga memiliki karakteristik, potensi, minat dan baka yang berbeda sesuai dengan kodrat alam. Oleh karena itu pembelajaran harus memfasilitasi perbedaan siswa tersebut. Guru harus mengetahui gaya belajar siswa sehingga bisa menerapkan pembelajaran berdeferensiasi. Pembelajaran yang berpusat pada siswa dan disesuaikan dengan gaya belajar. Hal yang akan saya lakukan untuk memfasilitasinya yaitu dengan menggunakan berbagai macam media pembelajaran sesuai dengan kebutuhan siswa.

Read More »
21 August | 0komentar

Upacara Bendera Hari Kebangkitan Nasional: Momentum Solidaritas dan Nasionalisme

Upacara BenderaPurbalingga, 20 Mei 2025 – Suasana khidmat dan penuh semangat terasa di Lapangan SMKN 1 Bukateja pada Selasa pagi, 20 Mei 2025. Seluruh civitas akademika sekolah, mulai dari Bapak/Ibu Guru dan Karyawan hingga para siswa kelas X dan XI, berkumpul untuk mengikuti Upacara Bendera dalam rangka memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Upacara yang dimulai tepat pukul 07.00 WIB ini berlangsung dengan tertib dan lancar. Bertindak sebagai Pembina Upacara adalah Bapak Sarastiana, S.Pd., MBA, yang merupakan Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum SMKN 1 Bukateja. 
Dalam amanatnya, Bapak Sarastiana membacakan pidato resmi dari Menteri Komunikasi dan Digital Republik Indonesia. Amanat tersebut menekankan pentingnya semangat persatuan dan kesatuan bangsa dalam menghadapi berbagai tantangan di era digital saat ini. Semangat Kebangkitan Nasional yang telah diwariskan oleh para pendahulu bangsa diharapkan dapat terus membakar semangat generasi muda untuk berkarya dan berinovasi demi kemajuan Indonesia. 
Lebih lanjut, amanat tersebut juga menyoroti peran penting teknologi digital dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari pendidikan, ekonomi, hingga sosial budaya. Para siswa sebagai generasi digital diharapkan dapat memanfaatkan teknologi secara bijak dan bertanggung jawab, serta menjadi agen perubahan positif di era digital ini. Upacara Bendera Hari Kebangkitan Nasional di SMKN 1 Bukateja ini menjadi momentum penting untuk merefleksikan kembali nilai-nilai luhur perjuangan bangsa dan menumbuhkan rasa cinta tanah air serta semangat nasionalisme di kalangan siswa. Kehadiran seluruh elemen sekolah dalam upacara ini menunjukkanSolidaritas dan kebersamaan dalam memaknai hari bersejarah ini. 
Seluruh peserta upacara kemudian kembali ke aktivitas masing-masing dengan membawa semangat baru untuk terus berkontribusi bagi bangsa dan negara, sejalan dengan semangat Kebangkitan Nasional. `Kegiatan ini diharapkan dapat menjadi pengingat bagi seluruh civitas akademika SMKN 1 Bukateja, khususnya para siswa, akan pentingnya sejarah perjuangan bangsa dan relevansinya dengan tantangan masa kini. Semangat Kebangkitan Nasional harus terus dipelihara dan diimplementasikan dalam setiap tindakan dan karya, demi mewujudkan Indonesia yang lebih maju dan berdaulat.

Read More »
21 May | 0komentar

Materi MPLS Tahun Ajaran 2024/2025

Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) sebagai salah satu kegiatan wajib bagi sekolah untuk menjematani siswa-siswa baru. Tujuan utama MPLS adalah membantu siswa mengenal lingkungan sekolah, membiasakan diri dengan jadwal dan kegiatan sekolah, serta mengenal guru dan staf. Selain itu, MPLS juga bertujuan untuk mengembangkan keterampilan sosial siswa, seperti kerjasama, komunikasi, dan kepemimpinan.
MPLS sebagai periode penting bagi siswa baru untuk beradaptasi dengan lingkungan sekolah yang baru. MPLS bertujuan memperkenalkan siswa pada budaya, norma, dan tata tertib sekolah, serta membantu mereka beradaptasi dengan lingkungan dan teman-teman baru.
Perencanaan yang matang adalah kunci untuk menyelenggarakan MPLS yang sukses. Sekolah perlu membentuk tim khusus yang bertanggung jawab atas pelaksanaan MPLS. Tim ini harus terdiri dari guru, staf, dan siswa lama/kelas atas yang terlatih untuk membimbing siswa baru khususnya untuk menemani masa transisi. Langkah pertama dalam perencanaan adalah menyusun jadwal kegiatan yang jelas dan terstruktur. Kegiatan harus dirancang sedemikian rupa sehingga memberikan informasi yang dibutuhkan siswa tanpa membuat mereka merasa terbebani atau stres. 


Berikut materi MPLS yang wajib disampaikan dan dipahami oleh semua pihak yang terlibat termasuk guru, siswa dan orang tua:
1. profil satuan pendidikan
 
Pengenalan Lingkungan Sekolah: Guru dan peserta didik harus mengenal fasilitas dan lingkungan sekolah, termasuk ruang kelas, laboratorium, perpustakaan, kantin, dan area olahraga Hal ini bertujuan agar peserta didik baru dapat merasa nyaman dan familiar dengan lingkungan barunya. 
 a. Pengenalan Kurikulum: 
Materi ini meliputi pengenalan terhadap kurikulum yang diterapkan di sekolah, termasuk mata pelajaran, jadwal pelajaran, serta metode pembelajaran yang akan digunakan. Informasi ini penting agar peserta didik dapat mempersiapkan diri dengan baik untuk kegiatan belajar mengajar. 
b. Pengenalan Tata Tertib: 
Guru wajib menjelaskan aturan dan tata tertib yang berlaku di sekolah, seperti jam masuk dan pulang, peraturan tentang seragam, serta sanksi bagi yang melanggar. Tata tertib ini penting untuk menjaga disiplin dan keteraturan di lingkungan sekolah. 
c. Prestasi Sekolah: 
Informasi tentang prestasi yang telah diraih oleh sekolah, baik di bidang akademik maupun non-akademik, dapat memotivasi peserta didik baru untuk berprestasi dan bangga menjadi bagian dari sekolah tersebut.


2. Pembentukan karakter
 Profil Pelajar Pancasila: Materi ini menekankan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Profil Pelajar Pancasila, seperti gotong royong, kreatif, berintegritas, dan berwawasan kebangsaan. Pembentukan karakter ini diharapkan dapat membentuk pribadi yang tangguh dan berakhlak mulia. Penguatan Pendidikan Karakter: Guru harus memberikan materi yang berkaitan dengan penguatan pendidikan karakter, termasuk sikap jujur, disiplin, kerja keras, dan tanggung jawab. Pendidikan karakter ini sangat penting untuk membangun fondasi moral peserta didik.


3. Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
Pendidikan Lingkungan Hidup: Materi ini mencakup edukasi tentang pentingnya menjaga kebersihan lingkungan sekolah, pengelolaan sampah, dan penghijauan. Tujuannya adalah menciptakan lingkungan sekolah yang bersih, hijau, dan nyaman. b.Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan Narkotika (P4GN): Pengenalan tentang bahaya narkotika dan cara pencegahannya merupakan bagian penting dari MPLS. Peserta didik harus dibekali pengetahuan untuk menghindari penyalahgunaan narkotika dan menjaga diri dari pergaulan negatif. c. Pembinaan Dasar-dasar Bencana dan Pertolongan Pertama: Materi ini meliputi pengetahuan dasar tentang penanggulangan bencana dan keterampilan pertolongan pertama. Hal ini penting agar peserta didik siap menghadapi situasi darurat dengan tenang dan sigap.
4. Penguatan Kesadaran Bela Negara
a. Kesadaran Berbangsa dan Bernegara: Guru harus mengajarkan pentingnya cinta tanah air, penghormatan terhadap lambang negara, dan semangat nasionalisme. Kesadaran berbangsa dan bernegara ini penting untuk membangun rasa kebanggaan dan tanggung jawab sebagai warga negara Indonesia. b. Tiga Dosa Besar Pendidikan: Peserta didik harus diberi pemahaman tentang tiga dosa besar dalam pendidikan, yaitu perundungan, kekerasan seksual, dan intoleransi. Pengenalan ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan nyaman bagi semua.
5. Pengenalan Budaya Daerah
Guru dan peserta didik harus memahami dan menghargai kebudayaan lokal di daerahnya termasuk bahasa, kesenian, dan adat istiadat. Pengenalan budaya ini penting untuk menjaga kearifan lokal dan memperkaya wawasan peserta didik tentang keberagaman budaya. [ permen no 6 tahun 2023]
6. Literasi Digital dan Literasi Keuangan
Literasi Digital: Materi ini mencakup penggunaan teknologi informasi secara bijak dan bertanggung jawab, serta pemahaman tentang keamanan digital Literasi digital ini penting di era teknologi untuk menghindari dampak negatif dari penggunaan internet dan media sosial. Literasi Keuangan: Peserta didik harus dibekali dengan pengetahuan dasar tentang pengelolaan keuangan, seperti menabung, membuat anggaran, dan mengelola uang saku. Literasi keuangan ini penting untuk membentuk kebiasaan finansial yang baik sejak dini.

Read More »
17 July | 0komentar