Assalamu'alaikum ! welcome to Media Pendidikan.| Contact | Register | Sign In

Metabolisme Jiwa Seorang Guru Sejati

Ada kegelisahan yang menyelinap di lorong-lorong sekolah. Sebuah rutinitas yang terstruktur rapi, namun terasa hampa. Murid datang, duduk, mencatat, lalu pulang. Guru datang, absen, masuk kelas, menjelaskan, memberi tugas, lalu selesai. Semuanya bergerak seolah mengikuti panduan mekanis, seperti mesin pabrik yang memproduksi pengetahuan tanpa melibatkan ‘rasa’ dan jiwa. Kita menyaksikan sebuah alur yang terasa sibuk, padat, dan ramai, namun diwarnai kesunyian dan kehampaan.
Kegelisahan ini semakin dalam saat melihat budaya yang terkadang masih kental dengan nuansa feodalistik di mana yang dominan adalah tumpukan tuntutan alih-alih semangat penuntun. Sekolah, alih-alih menjadi taman tumbuh kembang, seolah berubah menjadi ruang pertunjukan yang memamerkan kesibukan tanpa esensi.
Pendidikan sebagai Perjalanan Batin
Di tengah kemonotonan ini, Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) datang menyadarkan satu hal fundamental: bahwa pendidikan sejati adalah sebuah perjalanan batin, bukan sekadar tumpukan administratif. Tujuan utamanya bukan semata capaian akademik, melainkan hati yang gembira. GSM bercita-cita melihat murid-murid tersenyum karena belajar itu sungguh-sungguh menyenangkan dan membahagiakan.
Namun, GSM tidak hanya fokus pada murid. Gerakan ini juga menyoroti ‘metabolisme jiwa’ seorang guru.
Seringkali kita bertanya-tanya, mengapa ada individu dengan kapasitas luar biasa, ilmu tinggi, dan prestasi hebat, namun enggan untuk berbagi? Padahal, seperti yang ditekankan oleh Fullan (2012), guru yang bersedia berbagi pengetahuan dan pengalaman justru memiliki professional capital yang jauh lebih kuat, dan yang terpenting: hidupnya terasa lebih bermakna.
Kehampaan dan Kebutuhan untuk Berbagi
Mungkin benar, ilmu yang disimpan rapat-rapat akan membuat hidup menjadi tidak seimbang. Fenomenanya mirip dengan tubuh yang terus menerus diberi asupan namun tak pernah bergerak lambat laun, metabolisme jiwa kita akan terganggu. Manusia memiliki kebutuhan dasar untuk memberi kontribusi pada sesama. Ketika dorongan ini ditahan, akan muncul rasa hampa dan kehilangan arah.
Inilah mengapa muncul hipotesis yang menyentuh: kehampaan yang dirasakan guru bukan melulu karena kurangnya penghargaan finansial, melainkan karena kurangnya kesempatan untuk berbagi.
“Berbagi adalah panggilan jiwa terdalam manusia,” ujar Bu Novi (CoFounder GSM), dan esensinya terasa begitu nyata. Setiap kali berbagi, ada perasaan pemulihan, bukan pada fisik, melainkan pada batin yang terasa lebih sehat dan sembuh.
Lumbung Pengetahuan: Menyembuhkan Diri dengan Memberi
Saat ini, GSM sedang menghidupkan kembali semangat berbagi itu melalui inisiasi Lumbung Pengetahuan. Ini adalah ruang di mana para guru saling berbagi, saling belajar, dan saling menguatkan. Beberapa komunitas GSM telah mendaftar untuk mendapatkan penguatan, lalu dengan sukarela membagikannya lagi kepada saudara-saudara guru lain.
Model ini sejajar dengan konsep Learning Organization yang digagas oleh Peter Senge (1990). Senge menjelaskan bahwa sebuah organisasi (termasuk sekolah) akan tumbuh lebih adaptif dan berkelanjutan jika setiap anggotanya mau terus menerus belajar dan, yang paling penting, berbagi pengetahuan.
Pada titik inilah, banyak guru merasa hidupnya kembali menemukan arah. Berbagi dilakukan bukan karena harus menunggu undangan, bukan karena surat tugas, dan bukan karena berharap imbalan. Sebab, setiap kali berbagi, seorang guru tahu bahwa ia sedang menyembuhkan dirinya sendiri. Dan setiap kali ada hati lain yang mendengarkan dan ikut tergerak, ia tahu bahwa ia tidak sendirian di jalan sunyi perubahan ini.
Maka, bagi teman-teman seperjuangan yang mungkin sedang merasa lelah, merasa kehilangan makna, atau tersesat dalam rutinitas mekanistik, marilah bergabung menempuh perjalanan batin ini.
Pada akhirnya, kebahagiaan sejati kita sebagai pendidik tidak diukur dari berapa banyak murid yang mendapatkan nilai sempurna, melainkan dari berapa banyak hati yang kita nyalakan.
Dan siapa tahu, dari Lumbung Pengetahuan ini akan lahir generasi guru-guru yang tidak hanya cerdas dalam ilmu, tapi juga penuh cinta, peduli, dan sadar bahwa belajar adalah proses seumur hidup.
Khoirunnas anfa‘uhum linnas, sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesamanya. Dan mungkin, itulah metabolisme jiwa seorang guru sejati.

Sumber: WA Grup GSM Kab. Purbalingga

Read More »
28 October | 0komentar

Mengapa Anak Kita Dicetak Seragam, Bukan Dibiarkan Tumbuh Utuh?


“Pendidikan sudah mati…”
Kalimat itu, yang pernah dilontarkan oleh kritikus media dan budayawan legendaris, Neil Postman, kini terasa bukan lagi sekadar pernyataan pesimis. Ia menjelma menjadi sebuah kabar duka yang pura-pura tak terdengar, terbungkus rapi dalam formalitas dan keriuhan sistem.
Apa yang kita saksikan hari ini di institusi bernama sekolah, adalah sebuah kematian perlahan. Jiwanya telah hilang, menyisakan kerangka kaku yang masih tegak berdiri—megah, tetapi hampa.

Sekolah, alih-alih menjadi taman tempat benih-benih kemanusiaan disemai, kini menyerupai pabrik. Sebuah tempat di mana anak-anak dicetak seragam, diseragamkan pikirannya, dipacu oleh waktu, dan diburu oleh angka. Nilai seorang anak tidak lagi diukur dari "cahaya dalam dirinya" dari rasa ingin tahu, empati, atau kebijaksanaan melainkan dari seberapa tinggi angkanya di lembar ujian.

Lihatlah kontrasnya: 
Gedungnya masih berdiri kokoh, mungkin dengan arsitektur modern. Spanduk programnya berderet indah, menjanjikan masa depan gemilang. Laporannya tersusun rapi dengan angka miliaran dana dan tanda tangan basah para petinggi.

Namun, di mana jiwanya?
Ia hilang. Terselip di balik tumpukan Surat Pertanggungjawaban (SPJ) yang siap diintai pemeriksa, di antara rapat-rapat sibuk yang sibuk memoles angka capaian. Kebisingan yang mendominasi bukan lagi tawa bahagia anak-anak yang belajar dengan hati, melainkan suara program, proyek, dan formalitas yang kini seakan menjadi dewa baru.

Hilangnya Tujuan Transenden
Sekolah seharusnya memiliki tujuan transenden: memanusiakan manusia, membimbing ke arah kebijaksanaan, dan mengajarkan makna hidup yang lebih dalam. Tanpa tujuan itu, sekolah hanya menjadi rumah tahanan yang berpagar kurikulum. Manusia tumbuh di dalamnya tanpa arah, dan kebijaksanaan mati pelan-pelan di ruang guru yang dingin.

Dampak dari matinya jiwa ini merasuk hingga ke akar budaya sekolah:
  • Hubungan Guru-Murid: Sikap saling dukung dan memihak kini berubah menjadi saling hujat, bahkan kekerasan menjadi hal yang bisa dimaklumi seolah itu cara cepat untuk menertibkan. 
  • Penghakiman Siswa: Anak yang "bodoh" atau "tak beradab" tak lagi kita peluk dengan sabar dan tuntunan. Kita melabeli mereka, menyingkirkannya, seolah kegagalan itu sepenuhnya milik mereka, bukan karena sistem yang kehilangan makna dan gagal memberi arti. 

Kita lupa bahwa tugas pendidikan bukanlah menyingkirkan yang lemah, tetapi membimbing semua menuju potensi terbaik mereka. Di tengah hiruk pikuk formalitas itu, kita bisa melihatnya:
Wajah-wajah guru yang lelah, terbebani oleh administrasi dan target capaian semu. Anak-anak yang matanya kehilangan cahaya, semangat belajarnya dipadamkan oleh tekanan angka. Kepala sekolah yang bingung harus menyelamatkan apa dulu: rasa kemanusiaan, atau sistem birokrasi?
Kita haus, haus akan nilai, akan kasih, akan makna yang dulu menjadi alasan suci kita datang ke sekolah. Kini, angin yang lewat di wajah kita tak lagi sejuk, ia hanya menyapu debu kelelahan, meninggalkan rasa panas dan kering.
Sekolah belum hilang secara fisik, tetapi jiwanya sedang sekarat. Ia adalah sistem yang terlalu sibuk—sibuk dengan laporan, sibuk dengan proyek, sibuk dengan pembenaran—hingga lupa dengan inti tugasnya: mengajar manusia cara menjadi manusia yang utuh.
Jika kita diam saja, membiarkan jiwa pendidikan ini meredup, bisa jadi esok yang tersisa hanyalah bangkai sistem yang berisik, dan manusia-manusia yang lupa caranya menjadi manusia sejati. Inilah saatnya menghentikan irama pabrik, dan mulai mencari kembali cahaya yang hilang di ruang-ruang kelas.
Sumber: WA Grup GSM Kab. Purbalingga

Read More »
23 October | 0komentar

Dari Gaduh Medsos ke Nalar Kritis

Sumber Gambar : https://www.islampos.com/


Kasus viral siswa merokok dan penamparan kepala sekolah adalah “hadiah” yang tak terduga bagi sebuah proses pembelajaran. Dengan menggunakannya sebagai fenomena nyata dalam PBL, kita berhasil mematahkan siklus perdebatan tak berujung dan menguap.
Kita tidak lagi melihat siswa sebagai pelanggar yang harus dihukum, atau kepala sekolah sebagai pelaku kekerasan yang harus dihakimi. Sebaliknya, kita melihat mereka sebagai manusia dalam sebuah ekosistem sosial-pendidikan yang kompleks.
Hasilnya? Anak-anak tidak hanya mendapatkan nilai akademik dari mata pelajaran, tetapi juga sebuah kesadaran baru, nalar kritis, dan keterampilan empati untuk membedah masalah yang hidup di sekitar mereka. Inilah esensi sejati dari Phenomenon-Based Learning: membuat pendidikan relevan, nyata, dan transformatif. 
Phenomenon-Based Learning (PBL), sebuah model pembelajaran yang menjadikan fenomena nyata, yang hidup di tengah masyarakat, sebagai titik tolak eksplorasi multidisiplin di kelas.
PBL menolak konsep belajar di ruang hampa; ia mengajak siswa menyelami dunia, mengidentifikasi masalah autentik, dan mencari solusinya dengan menggabungkan berbagai disiplin ilmu.
Nah, belakangan ini, ada berita yang begitu hangat dan viral di media sosial: seorang siswa SMA kedapatan merokok di lingkungan sekolah, yang kemudian berujung pada tindakan penamparan oleh kepala sekolahnya.
Bagi sebagian orang, kasus ini langsung menjadi bahan perdebatan sengit di belakang layar, memecah belah kubu “disiplin keras” versus “perlindungan anak”, dan pada akhirnya seperti banyak isu viral lainnya menguap begitu saja tanpa menghasilkan solusi jangka panjang.
Namun, sebagai seorang pendidik, “Mengapa tidak saya jadikan bahan pembelajaran yang autentik saja?” 
Membawa peristiwa ini ke kelas, bukan untuk menghakimi siapa yang salah atau benar, tetapi untuk membangun nalar kritis dan kesadaran baru pada anak-anak didik. 
Ini adalah implementasi PBL yang sesungguhnya. Dalam PBL, fenomenanya harus kaya dan kompleks dan kasus ini menawarkan kompleksitas yang luar biasa. Tidak hanya menayangkan berita, tetapi menyajikan fenomena yang utuh: 
  • Fakta Kasus: Siswa merokok di sekolah. Kepala sekolah melakukan kontak fisik (menampar). 
  • Reaksi Publik: Komentar pro dan kontra, pihak sekolah dinonaktifkan, orang tua melapor polisi, siswa lain mogok belajar sebagai bentuk solidaritas. 
  • Hukum dan Etika: Pertanyaan tentang batasan disiplin guru, hak anak, dan kode etik pendidikan.

Tangkapan layar Sumber Gambar :






Read More »
18 October | 0komentar

"Laundry Karakter ?"

Praktik Pembelajaran Mendalam (PM)
Orang tua mengharapkan kepada sekolah seperti nyuci di loundry saja, rapih itu barang (Rapi, pintar, sopan dan lainnya, berkarakter). Dalam prosesnya jika ada kotaran yang membandel pokoknya taunya wangi itu pakaian. Kalau sampai ada treamen lain meski membandel (baca: merokok disekolah) tidak boleh diapa-apakan. Sekolah. Dulu, ia adalah taman. Tempat menumbuhkan budi. Hari ini, bagi sebagian besar orang tua, sekolah seperti telah bertransformasi menjadi "Mesin Cuci Karakter Premium."
Anak-anak masuk, ditaruh, kemudian harapan besarnya: keluar harus kinclong. Rapi, pintar, sopan, hafal Pancasila, bisa mengaji, nilai sempurna, dan—yang paling penting—"laku" di dunia kerja. Wah, kayak mesin cuci premium sing bisa nyalonin anak sekalian, biar nyenengke kalo dilihat.
Benar, sekolah seolah diposisikan sebagai "laundry" di mana kita cukup memasukkan kotoran (karakter yang belum matang) dan mengambilnya kembali dalam keadaan bersih total, wangi, dan terlipat rapi.

Padahal, mari kita jujur: sekolah itu ya bukan tempat nyuci karakter.

Karakter Digodok di Rumah, Bukan di Sekolah
Karakter, moral, dan budi pekerti itu adalah masakan rumahan. Ia:
Digodok soko rumah (dimasak dari rumah).
Direbus karo teladan (direbus dengan keteladanan).
Dikukus karo kasih sayang (dikukus dengan kasih sayang).
Digoreng karo obrolan setiap malam sebelum tidur (digoreng dengan obrolan intim setiap malam).

Namun, berapa banyak orang tua hari ini yang berpikir: "Pokoknya anakku tak sekolahkan di tempat paling mahal, paling bagus, paling modern... beres!"
Lalu, bagaimana peran orang tua? Kita seperti menyerahkan motor rusak ke bengkel terus ditinggal dolan (diserahkan ke bengkel lalu ditinggal bermain). Motor mungkin bisa diservis, tapi anak? Anak itu jiwa, Mas. Bukan sparepart!
Sikap ini adalah bentuk delegasi tanggung jawab yang paling berbahaya. Kita berharap institusi pendidikan menambal lubang yang kita ciptakan di rumah.

Yang Kudu Sekolah , Ya Kita Kabeh
Terus terang jujur saja, yang sesungguhnya kudu sekolah ki ya kita kabeh kita semua. Orang tua perlu menempuh sekolah kehidupan yang tiada akhir. Sekolah termahal bagi anak adalah perilaku orang tuanya. Anak belajar bukan dari teori, tapi dari cara kita hidup.

Kita harus belajar menerima keunikan anak, bukan cuma menuntut kesempurnaan.
Kita harus belajar sabar, bukan cuma menuntut kecepatan hasil.
Kita harus belajar jadi teladan, belajar ngomong sing empuk (berbicara dengan lembut), bukan cuma nyuruh dan ngomel.
Jika kita ingin anak saleh, ya kita yang harus menjadi teladan kesalehan. Jika kita ingin anak jujur, ya kita yang harus jujur dalam segala hal, bahkan dalam hal-hal kecil.

Guru: Bukan Sekadar Penggugur Tugas
Pesan ini juga berlaku bagi para pendidik di sekolah. Jangan pernah puas hanya menjadi "penggugur tugas." Datang–mengajar-pulang–setor nilai. Yo wes, kayak barang-barang pajangan (Ya sudah, seperti barang pajangan).
Guru sejati hadir ketika ia merasakan dirinya juga sebagai orang tua (meskipun bukan biologis). Ketika itulah guru hadir bukan sebagai birokrat pendidikan, melainkan sebagai cahaya.
Mengutip perkataan bijak, esensi mendidik yang terpenting justru adalah mentransfer rasa, cinta, dan makna. Makna tentang kehidupan yang jujur, tentang perjuangan, dan tentang kemanusiaan.

Sekolah: Taman, Bukan Pabrik Produk
Ki Hajar Dewantara (KHD) sudah lama mengingatkan kita. Sekolah seharusnya menjadi Taman Siswa, bukan pabrik, dan bukan pula laundry.
Sekolah harusnya menjadi tempat anak tumbuh, bukan dibentuk. Anak adalah benih yang harus disiram, bukan adonan yang harus dicetak.
Tempat anak mencari jati diri, bukan dipaksa seragam, baik seragam penampilan maupun seragam pemikiran.
Anak kita itu bukan semacam produk. Jika cacat (gagal ujian) lantas dibuang. Bukan juga obyek proyek yang harus sempurna dalam deadline nilai. Mereka adalah proses tumbuh yang panjang, kadang mbulet (berliku), tapi penuh harapan.

Read More »
16 October | 0komentar

Pembelajaran Mendalam Yang Saintifik

Keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran sangat diharapkan sebagai bagian dari pembelajaran yang bermakna/ mendalam. Pada awal pelaksanaan kurikulum K13 ada istilah pembelajaran dengan menggunakan metode saintifik,sebagai ruh dari kurikulum ini. Sebenarnya metode pembelajaran pendekatan ini bisa sebagai replika pembelajaran dengan menggunakan metode pendekatan pembelajaran mendalam, yang sekarang sedang digaungkan oleh Kemdikdasmen. Kita lihat pendekatan saintifik ini dengan langkah-langkah yang mendukung pada salah satu kerangkan pembelajaran mendalam yaitu pada kerangka pengalaman belajar. yaitu pada pembelajaran kolaboratif yang berbasis inkuiri (mengajukan pertanyaan, menyelidiki, dan menemukan jawaban sendiri). 
Dimana langkah-lakang pendekatan saintifik adalah mengamati, menanya, menalar, mencoba, dan mengkomunikasikan. Pembelajaran mandalam akan terwujud jika terjadi situasi pembelajaran yang paling ideal, yaitu keaktifan siswa maksimal guru sangat siap mengajar dengan metode dan persiapan yang matang dalam mengajar. Untuk bisa mewujudkan pembelajaran mandalam, maka tidak cukup jika siswa hanya mendengarkan informasi dari guru atau hanya melihat tayangan yang diberikan oleh guru. Siswa perlu melakukan aktifitas yang mendukung terjadinya proses belajar. Sehingga harapan agar pembelajaran bisa menjadi perilaku dan karakter diri bisa diwujudkan. Peran guru berubah dari “memberi/mengajar” menjadi “fasilitator, pendiagnosis, pendorong, pengarah, dan pembentuk inisiator” . Guru juga menjadi pembangkit belajar dan pemicu berpikir. 

Praktik Meaningfull dalam DPIB
DPIB (Desain Pemodelan dan Informasi Bangunan) DPIB memiliki Mapel yang menyiapkan peserta didik untuk memiliki kompetensi perencanaan untuk menghitung rencana anggaran biaya (RAB) pada Mapel Konsentrasi Keahlian pada Sub Materi Estimasi Biaya Konstruksi (EBK). Pada materi ini siswa telah memahami berkaitan dengan perencanaan berupa gambar rumah (lengkap dengan denah,tampak,potongan dan detail) dan juga perencanaan gedung. 
Guru menyajikan beberapa contoh Gambar perencanaan yang lengkap dalam bentuk slide, Gambar dan Maket. Dengan metode saintifik guru mempersilahkan kepada siswa untuk mengamati media-media gambar tersebut. Tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana, jelas, dan menarik sistem penyajiannya salah satu bentuk metode saintifik. 
Langkah-langkah saintifik tersebut adalah sebagai berikut:

A. Mengamati 
Keunggulan melalui langkah mengamati ini adalah dapat menyajikan media obyek secara nyata, peserta didik senang dan tertantang, dan mudah pelaksanaannya. Tentu saja kegiatan mengamati dalam rangka pembelajaran ini biasanya memerlukan waktu persiapan yang lama dan matang, biaya dan tenaga relatif banyak, dan jika tidak terkendali akan mengaburkan makna serta tujuan pembelajaran. Langkah mengamati sangat bermanfaat bagi pemenuhan rasa ingin tahu peserta didik. Sehingga proses pembelajaran memiliki kebermaknaan yang tinggi. Dengan metode observasi peserta didik menemukan fakta bahwa ada hubungan antara obyek yang dianalisis dengan materi pembelajaran yang digunakan oleh guru. Contoh siswa sedang mengamati gambar perencanaan rumah yang akan digunakan sebagai pembuatan maket.






B. Menanya

Langkah menanya dimaksudkan untuk a) membangkitkan rasa ingin tahu, minat, dan perhatianpeserta didik tentang suatu tema atau topik pembelajaran; b) mendorong dan menginspirasi peserta didik untuk aktif belajar, serta mengembangkan pertanyaan dari dan untuk dirinya sendiri; c) Disamping itu juga membangkitkan ketrampilan peserta didik dalam berbicara, mengajukan pertanyaan, dan memberi jawaban secara logis, sistematis, dan menggunakan bahasa yang baik dan benar; d) mendorong partisipasi peserta didik dalam berdiskusi, berargumen, mengembangkan kemampuan berpikir, dan menarik simpulan; e) membangun sikap keterbukaan untuk saling memberi dan menerima pendapat atau gagasan, memperkaya kosa kata, serta mengembangkan toleransi sosial dalam hidup berkelompok; f) membiasakan peserta didik berpikir spontan dan cepat, serta sigap dalam merespon persoalan yang tiba-tiba muncul; dan selanjutnya g) melatih kesantunan dalam berbicara dan membangkitkan kemampuan berempati satu sama lain.


C. Menalar

Penalaran adalah proses berfikir yang logis dan sistematis atas fakta-kata empiris yang dapat diobservasi untuk memperoleh simpulan berupa pengetahuan. Istilah menalar di sini merupakan padanan dari associating. Istilah asosiasi dalam pembelajaran merujuk pada kemamuan mengelompokkan beragam ide dan mengasosiasikan beragam peristiwa untuk kemudian memasukannya menjadi penggalan memori. Selama mentransfer peristiwa-peristiwa khusus ke otak, pengalaman tersimpan dalam referensi dengan peristiwa lain. Pengalaman-pengalaman yang sudah tersimpan di memori otak berelasi dan berinteraksi dengan pengalaman sebelumnya yang sudah tersedia. Proses itu dikenal sebagai asosiasi atau menalar.



D. Mengkomunikasikan Hasil 
Aplikasi metode eksperimen atau mencoba dimaksudkan untuk mengembangkan berbagai ranah tujuan belajar, yaitu sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Aktivitas pembelajaran yang nyata untuk ini adalah: (1) menentukan tema atau topik sesuai dengan kompetensi dasar menurut tuntutan kurikulum; (2) mempelajari cara-cara penggunaan alat dan bahan yang tersedia dan harus disediakan; (3) mempelajari dasar teoritis yang relevan dan hasil-hasil eksperimen sebelumnya; (4) melakukan dan mengamati percobaan; (5) mencatat fenomena yang terjadi, menganalisis, dan menyajikan data; (6) menarik simpulan atas hasil percobaan; dan (7) membuat laporan dan mengkomunikasikan hasil percobaan. Agar pelaksanaan percobaan dapat berjalan lancar maka: (1) Guru hendaknya merumuskan tujuan eksperimen yanga akan dilaksanakan murid (2) Guru bersama murid mempersiapkan perlengkapan yang dipergunakan (3) Perlu memperhitungkan tempat dan waktu (4) Guru menyediakan kertas kerja untuk pengarahan kegiatan murid (5) Guru membicarakan masalah yanga akan yang akan dijadikan eksperimen (6) Membagi kertas kerja kepada murid (7) Murid melaksanakan eksperimen dengan bimbingan guru, dan (8) Guru mengumpulkan hasil kerja murid dan mengevaluasinya, bila dianggap perlu didiskusikan secara klasikal. Kegiatan pembelajaran dengan pendekatan eksperimen atau mencoba dilakukan melalui tiga tahap, yaitu, persiapan, pelaksanaan, dan tindak lanjut. 



E. Pembelajaran Kolaboratif 
Pembelajaran kolaboratif sebagai satu falsafah peribadi, maka ia menyentuh tentang identitas peserta didik terutama jika mereka berhubungan atau berinteraksi dengan yang lain atau guru. Dalam situasi kolaboratif itu, peserta didik berinteraksi dengan empati, saling menghormati, dan menerima kekurangan atau kelebihan masing-masing. Dengan cara semacam ini akan tumbuh rasa aman, sehingga memungkin peserta didik menghadapi aneka perubahan dan tntutan belajar secara bersama-sama. Kebermaknaan kegiatan pembalajaran sangat berhubungan antara metode mengajar guru dan keaktifan siswa. Interaksi tersebut dapat dilihat pada bagan di bawah ini.


Metode Mengajar Guru

Keaktifan Siswa

Tidak Ada

Ada,Insidental

Ada, Tinggi

Tidak Ada

A

B

C

Ada,Insidental

D

E

F

Ada,Berkualitas

G

H

I

      Tabel interaktif siswa

Dari tabel di atas tampak sembilan situasi pembelajaran yang berbeda-beda. Dilihat dari segi metode mengajar guru dan keaktifan siswa, maka: 
  • Situasi A, kedua pihak guru dan siswa sama-sama tidak mempunyai minat mengajar dan belajar, maka sebenarnya tidak ada kegiatan pembalajaran. 
  • Situasi B, guru tidak siap mengajar karena belum menyiapkan metode mengajar, sedangkan siswa hanya memiliki sedikit niat belajar. 
  • Situasi C, siswa memiliki niat belajar yang sangat tinggi, tetapi guru tidak siap mengajar. 
  • Situasi D, guru belum terlalu siap mengajar, jadi hanya insidental, sedangkan siswa tidak memiliki niat belajar, maka akan terjadi situasi pembelajaran tanpa respon dari siswa.
  • Situasi E, situasi pembelajaran hanya bersifat insidental, Hasilnya hanyalah tujuan yang tercapai secara tidak sadar. Tujuan diperoleh hanya melalui peniruan, penularan atau perembesan secara tidak sadar. 
  • Situasi F, guru mengajar hanya insidental, yaitu hanya persiapan sekedarnya, tetapi minat siswa dalam belajar tinggi, sehingga pembalajaran masih disadari oleh siswa. 
  • Situasi G, walaupun guru sangat siap mengajar tetapi pada pihak siswa tidak terdapat minat belajar sama sekali. Pada situasi ini tidak tercipta situasi pembalajaran sama sekali. 
  • Situasi H, walaupun guru sangat siap mengajar, tetapi minat siswa dalam belajar hanya bersifat insidental, sehingga tujuan pembelajaran hanya disadari oleh guru. 
  • Situasi I, adalah situasi pembelajaran yang paling ideal, keaktifan siswa maksimal, sedangkan guru sangat siap mengajar dengan metode dan persiapan yang matang dalam mengajar, sehingga kedua belah pihak melakukan peranannya masing-masing.

Read More »
10 October | 0komentar

Kisah Perubahan Kiblat: Ketika Iman Diuji dan Dibenarkan

Hadits yang diriwayatkan oleh Al-Barra' bin 'Azib ini mengisahkan momen historis yang sangat krusial dalam sejarah Islam, yaitu peristiwa pemindahan arah kiblat salat dari Baitul Maqdis di Yerusalem ke Ka'bah di Makkah.
Peristiwa ini bukan sekadar perubahan arah fisik, melainkan ujian keimanan dan penegasan identitas umat Islam.

Awal Kedatangan di Madinah: Menghadap ke Baitul Maqdis
Ketika Rasulullah ﷺ pertama kali tiba di Madinah setelah hijrah, Beliau singgah di tempat paman-pamannya dari Kaum Anshar. Selama enam belas atau tujuh belas bulan pertama, salat kaum Muslimin menghadap ke Baitul Maqdis.
Meskipun demikian, jauh di lubuk hati, Rasulullah ﷺ sangat senang jika diperintahkan salat menghadap ke Baitullah (Ka'bah). Ka'bah adalah kiblat nabi-nabi terdahulu dan tempat di mana leluhur Beliau, Nabi Ibrahim, mendirikan pondasinya. Keinginan Beliau ini adalah kerinduan untuk menyempurnakan identitas keagamaan yang berdiri tegak di atas warisan Nabi Ibrahim.

Momen Perubahan: Shalat Asar yang Menjadi Sejarah
Perintah perubahan kiblat itu datang secara tiba-tiba dan dramatis. Perubahan pertama terjadi saat Rasulullah ﷺ sedang melaksanakan shalat Asar.
Suatu hari, seorang sahabat yang telah ikut shalat Asar bersama Nabi ﷺ dan mengetahui perubahan arah kiblat, berjalan melewati masjid lain. Di sana, ia melihat sekelompok orang sedang shalat dan dalam posisi rukuk, masih menghadap ke Baitul Maqdis.
Sahabat itu segera bersaksi, "Aku bersaksi kepada Allah bahwa aku ikut salat bersama Rasulullah ﷺ menghadap Makkah!"
Mendengar kabar yang sangat yakin dan penting itu, orang-orang yang sedang salat tersebut tidak ragu sedetik pun. Mereka melakukan gerakan luar biasa: berputar saat sedang rukuk untuk menghadap Ka'bah, menunaikan sisa shalat mereka ke arah kiblat yang baru. Ini adalah bukti nyata ketaatan mutlak para sahabat kepada perintah Allah dan Rasul-Nya.

Reaksi Ahli Kitab: Ujian Bagi Umat
Perubahan mendadak ini menimbulkan keheranan, dan bahkan pengingkaran, dari orang-orang Yahudi dan Ahlul Kitab yang sebelumnya terbiasa melihat Muslimin shalat menghadap ke kiblat mereka. Mereka mempertanyakan mengapa Nabi ﷺ mengubah kiblat setelah sekian lama.
Penolakan mereka menjadi penanda bahwa perubahan kiblat adalah pembeda yang tegas antara Islam dan agama-agama terdahulu, sekaligus menjadi ujian bagi orang-orang yang hanya mengikuti hawa nafsu dan bukan petunjuk Allah.

Firman Allah: Penjamin Keselamatan Iman
Perubahan kiblat ini tidak hanya berdampak pada orang yang masih hidup, tetapi juga memunculkan keraguan di hati sebagian sahabat: Bagaimana nasib orang-orang yang meninggal dunia atau terbunuh pada masa arah kiblat belum dialihkan? Apakah salat dan amal ibadah mereka sia-sia?
Di sinilah kasih sayang dan jaminan Allah diturunkan. Menjawab kekhawatiran para sahabat, Allah Ta'ala menurunkan firman-Nya:
"Dan Allah tidaklah akan menyia-nyiakan iman kalian." (QS. Al-Baqarah: 143)
Ayat ini menegaskan bahwa segala ibadah yang dilakukan dengan iman yang tulus dan ketaatan kepada perintah yang berlaku pada saat itu, tidak akan pernah disia-siakan oleh Allah. Salat yang mereka lakukan menghadap Baitul Maqdis adalah sah dan diterima, karena itu adalah perintah Allah pada masa tersebut.

Pelajaran Penting
Kisah perubahan kiblat mengajarkan dua hal fundamental:
  • Ketaatan Total: Keimanan sejati adalah kesiapan untuk mengubah praktik ibadah seketika ketika perintah Allah datang, tanpa keraguan atau penundaan. 
  • Rahmat Allah: Allah menghargai iman dan ketaatan hamba-Nya pada setiap masa. Selama kita berpegang teguh pada petunjuk yang ada, amal ibadah kita dijamin aman di sisi-Nya. 

Peristiwa ini abadi sebagai pengingat bahwa Islam adalah agama yang dinamis, tunduk sepenuhnya pada kehendak Ilahi, dan senantiasa memberikan jaminan keselamatan bagi hamba-Nya yang beriman.

Read More »
07 October | 0komentar

Stop 'Gumunan'! Darah Para Pencipta Peradaban Mengalir di Tubuhmu.

Kita berdiri di atas anugerah yang tak habis-habisnya. Tanah ini, yang kita sebut Indonesia, adalah museum hidup kemegahan masa lampau dan gudang harta karun masa depan.
Lihatlah ke agungan Borobudur. Leluhur kita, tanpa smartphone, tanpa gelar doktor arsitektur, tanpa pasokan listrik modern, mendirikan mahakarya yang kokoh melawan ribuan tahun. Atau renungkan Prambanan, di mana setiap ukiran batu bukan sekadar dekorasi, melainkan bahasa visual tentang keindahan, doa, dan kebijaksanaan. Bahkan di Muaro Jambi, tersembunyi kompleks candi delapan kali lebih luas, sebuah bisikan lirih dari peradaban yang berteriak: “Kami pernah menjadi bangsa yang besar dan hebat!”
Kekayaan kita tak berhenti di warisan batu. Di bawah tanah, terpendam emas, nikel, uranium, dan batu bara. Di atasnya, terhampar hutan, sawah, dan keindahan alam yang tak cukup alasan bagi kita untuk tidak berdecak kagum.
Lalu, kita punya para pendiri bangsa: Agus Salim, HOS Tjokroaminoto, Kartini, Tan Malaka, Sjahrir. Mereka adalah intelektual dunia yang berbicara dengan bahasa pengetahuan, menguasai lebih dari satu bahasa asing, menulis, berpikir, dan bertindak melampaui zamannya. Mereka adalah bukti bahwa di urat nadi bangsa ini mengalir darah para pencipta peradaban, bukan sekadar pengikut.

Ironi Bangsa "Gumunan"
Pertanyaannya kini: Di mana narasi kebesaran itu?
Di tengah kemegahan warisan yang luar biasa, kita justru tampak lelah dan kehilangan semangat di ruang-ruang sekolah, atau lebih buruk lagi, kita menjadi bangsa yang "gumunan"—terlalu mudah terkesima oleh hal-hal yang sensasional, dangkal, dan sering kali tak substantif.
Kita cepat terdecak melihat orang yang secara dramatis naik ke panggung politik, entah dari gorong-gorong atau melalui jogetan di media. Kita "gumun" pada pejabat yang baru menjabat lantas berlagak seperti koboi di depan kamera dan seketika dianggap sebagai pemimpin yang cocok. Kita kagum pada yang marah-marah, yang menenggelamkan kapal dengan gimmick penuh drama, atau yang secara membarakan memarahi murid di depan umum.
Kita sibuk berdecak kagum, bukan sibuk berkarya. Kita lebih senang menonton panggung daripada menaiki panggung itu sendiri.
Narasi besar tentang kehebatan leluhur dan kekayaan alam tidak lagi menjadi bahan bakar ledakan untuk membangun peradaban baru. Di sekolah-sekolah, kisah Borobudur seringkali hanya sebatas materi hafalan, bukan kisah yang diajarkan dengan dada yang bergetar dan mata yang berbinar penuh kebanggaan.

Nyala Kecil di Pelosok Negeri
Namun, di sudut-sudut paling pelosok negeri, masih ada harapan yang bersinar. Harapan itu dibawa oleh guru-guru hebat yang bekerja tanpa sorotan kamera, tanpa janji kenaikan jabatan, dan bahkan dengan gaji yang tak layak.
Ada guru honorer yang gajinya tak cukup membeli sepatu baru, tetapi tetap datang dengan senyum, menyalakan semangat di wajah anak-anak kampungnya. Ada guru di perbatasan yang harus menyeberangi sungai dan berjalan berkilo-kilometer melewati lumpur, semata-mata untuk memastikan anak-anak tidak kehilangan harapan. Mereka adalah lentera-lentera kecil perubahan, yang berani turun dan bergerak tanpa menunggu surat penugasan dari pusat.
Mereka inilah nyala-nyala arang kecil yang menjaga bara api pendidikan Indonesia agar tidak padam.
Tetapi bara kecil itu tidak akan cukup. Diperlukan lebih banyak lagi nyala. Dibutuhkan guru, orang tua, dan anak muda yang mau menjadi percikan api pergerakan dan perubahan.

Saatnya Bangkit dari Keterpukauan
Mari kita renungkan: Ada apa dengan bangsa kita, terutama pendidikannya?
Mengapa kita lebih memilih gumun (terpukau tanpa makna mendalam) daripada kagum (menghargai dan meneladani kebesaran)? Mengapa kita lebih suka menjadi penonton yang sibuk mengomentari sensasi "koboi baru" daripada menjadi pencipta peradaban baru seperti yang leluhur kita lakukan?
Jawabannya mungkin sederhana: Kita sudah terlalu lama lupa bahwa darah yang mengalir di tubuh kita adalah darah para pencipta peradaban.
Ketika kesadaran itu lahir kembali, ketika narasi kehebatan leluhur diajarkan dengan semangat membara, dan ketika nyala-nyala kecil dari pelosok menyatu menjadi api besar pergerakan, saat itulah Indonesia benar-benar BANGKIT.
Bangkit, bukan karena gumun pada tontonan sesaat, tetapi karena sadar dirinya memang hebat. Bukankah sudah saatnya kita berhenti menonton dan mulai kembali mewarisi takhta sebagai bangsa pencipta?
Sumber: Grup WA GSM Kab.Purbalingga

Read More »
05 October | 0komentar

"Deep Learning Sejati: Momen Saat Empati Mengalahkan Semua Teori dan RPP."

Pagi itu, udara di kelas terasa berbeda, dipenuhi getaran antisipasi yang manis dan sedikit melankolis. Agenda kami, praktik dari GSM yang kami namai "Deep Intro with Photo Story," bertepatan dengan Hari Ibu. Sehari sebelumnya, saya meminta setiap murid membawa satu foto paling istimewa bersama ibu mereka sebuah kenangan yang terbingkai dalam kertas.
Di layar proyektor, foto-foto mulai tayang, dikirimkan melalui WA Web. Foto masa kecil yang menggemaskan, foto liburan saat sudah remaja, atau potret sederhana di teras rumah. Saya memanggil tiga nama untuk hari itu. Tiga cerita, tiga hati yang akan terbuka.
Murid pertama maju, tawanya renyah saat ia menceritakan perjalanan panjang dengan mobil yang membuat ibunya harus menyetir berjam-jam. Anak kedua menceritakan momen kelulusan TK-nya, saat ibunya merangkul erat. Hangat, ceria, dan penuh syukur.
Lalu tiba giliran anak ketiga. Foto di layar menampilkan pesta ulang tahunnya saat masih kecil. Ada kue warna-warni, lilin yang menyala terang, dan yang paling memukau, senyum ibunya yang begitu hangat, terpantul cerah di wajah mungilnya.
Dengan suara yang awalnya penuh semangat, ia memulai kisahnya. Ia bercerita tentang kebaikan ibunya, tentang bagaimana ibunya selalu menyiapkan sarapan favoritnya, dan tentang cinta tak bersyarat yang ia rasakan dalam pelukan itu, seingatnya saat masih kecil dulu. Mata anak itu berbinar, seolah ia sedang benar-benar kembali ke momen bahagia di foto itu.

Namun, tiba-tiba, perubahan itu datang.
Di ujung cerita, suaranya berubah lirih. Ia menundukkan kepala, pandangannya tertuju pada lantai. Keheningan yang tiba-tiba membuat kami semua menahan napas. Dengan berat, ia mengucapkan kata-kata yang menusuk hati itu, di hadapan semua teman dan gurunya.
“Sekarang… saya rindu ibu saya. Sudah sepuluh tahun saya tidak berjumpa. Ibu bekerja… dan tidak pernah pulang. Saya hanya hidup berdua dengan ayah saya.”
Kelas seketika hening total. Saya, sang guru yang seharusnya membimbing, tercekat. Saya tidak punya kata-kata yang tepat. Tidak ada petunjuk di RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) yang mengajarkan bagaimana menanggapi pengakuan tulus tentang sepuluh tahun kerinduan.

Pendidikan yang Sesungguhnya
Namun, apa yang terjadi selanjutnya adalah di luar dugaan.
Seakan-akan ada tali tak kasat mata yang terentang, menghubungkan hati mereka. Beberapa temannya berdiri, bergerak secara spontan. Mereka maju ke depan.
Ada yang dengan lembut menepuk pundak anak itu. Ada yang mendekat dan menggenggam tangannya dengan erat. Ada pula yang hanya berdiri tegak di sampingnya, seolah barisan pelindung yang ingin berkata tanpa suara: "Kamu tidak sendiri. Kami di sini." Tidak ada yang berbicara, namun ruangan itu dipenuhi suara empati yang paling keras. Saya hanya bisa berdiri terdiam. Speechless.

Pemandangan itu tidak ada dalam skenario RPP terbaik yang saya susun. Momen itu tidak tercantum dalam diktat pelatihan yang didesain berhari-hari oleh para ahli. Tidak perlu ada teori rumit atau format kaku untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi.
Itulah pembelajaran bermakna, itulah deep learning, itulah interaksi yang mendalam (deep interaction) yang sesungguhnya. Anak-anak tidak sedang mencari nilai di mata pelajaran, mereka sedang belajar menjadi manusia. Mereka belajar empati, tumbuh bersama, saling menguatkan, dan berkesadaran.
Hari itu, realisasi itu menghantam saya dengan kesadaran penuh: Sekolah bukan hanya tempat anak-anak mencari nilai. Sekolah adalah tempat mereka belajar menjadi manusia seutuhnya.
Momen itu membuat saya percaya, melebihi teori apapun: RPP bisa saja baik, teori bisa saja hebat, tapi ketika hati anak-anak bergerak dan terhubung—itulah pendidikan yang sesungguhnya.
Sumber: Grup WA GSM Kab.Purbalingga

Read More »
04 October | 0komentar

TERUNGKAP: Alasan Sejati Wanita Dominasi Neraka !

Hadis Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim sering kali menjadi renungan sekaligus pengingat bagi setiap Muslimah. Hadis ini menyebutkan sebuah kenyataan yang tegas namun perlu dipahami secara mendalam, bukan secara harfiah tanpa konteks.

Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda:
"Aku diperlihatkan neraka, ternyata kebanyakan penghuninya adalah wanita. Karena mereka sering mengingkari." Ditanyakan: "Apakah mereka mengingkari Allah?" Beliau bersabda: "Mereka mengingkari pemberian suami, mengingkari kebaikan. Seandainya kamu berbuat baik terhadap seseorang dari mereka sepanjang masa, lalu dia melihat satu saja kejelekan darimu maka dia akan berkata: 'Aku belum pernah melihat kebaikan sedikit pun darimu'."
Hadis ini bukanlah vonis diskriminatif, melainkan sebuah peringatan keras dan pelajaran berharga mengenai bahaya sifat kufur nikmat (mengingkari kebaikan) dalam lingkup rumah tangga.

Inti Masalah: Bukan Kufur kepada Allah, tetapi Kufur Nikmat Suami
Jawaban Nabi shallallahu ’alaihi wasallam menghilangkan keraguan: 'mereka mengingkari pemberian suami, mengingkari kebaikan.' Ini menunjukkan bahwa permasalahan utamanya bukanlah dalam aspek akidah (keimanan kepada Allah), melainkan dalam aspek muamalah (interaksi sosial) dan akhlak (perilaku). Istilah mengingkari (yakfurn) di sini merujuk pada kufur al-'asyir—mengingkari kebaikan pasangan hidup.

Istilah mengingkari (yakfurn) di sini merujuk pada kufur al-'asyir—mengingkari kebaikan pasangan hidup. 

1. Bahaya Lisan yang Lupa Kebaikan
Nabi shallallahu ’alaihi wasallam memberikan ilustrasi yang sangat gamblang dan sering terjadi: “Seandainya kamu berbuat baik terhadap seseorang dari mereka sepanjang masa, lalu dia melihat satu saja kejelekan darimu maka dia akan berkata: 'aku belum pernah melihat kebaikan sedikitpun darimu'.”
Kalimat ini menunjukkan puncak ketidaksyukuran: Satu kesalahan atau kekurangan kecil mampu menghapus tumpukan kebaikan yang telah dilakukan bertahun-tahun.

Sikap ini berbahaya karena:
  • Merusak Hubungan: Mengabaikan kebaikan pasangan secara terus-menerus dapat merusak cinta dan ikatan rumah tangga yang dibangun atas dasar saling menghargai.
  • Melukai Hati: Kalimat yang meniadakan seluruh pengorbanan adalah pedang yang melukai hati pasangan dan bisa menjatuhkan nilainya di mata Allah.
  • Wujud Ketidaksyukuran: Dalam pandangan Islam, berterima kasih kepada manusia (suami/istri) adalah jembatan menuju syukur kepada Allah. Barangsiapa tidak berterima kasih kepada manusia, ia tidak bersyukur kepada Allah.
2. Mayoritas Bukan Berarti Selamanya
Penting untuk dipahami bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wasallam menyebutkan "kebanyakan penghuninya" (aktsaru ahlinnari), bukan "semua penghuninya". Hal ini berfungsi sebagai peringatan dini bagi kaum wanita agar berhati-hati terhadap kecenderungan sifat ini. Perlu dicatat juga, dalam hadis lain, Nabi shallallahu ’alaihi wasallam juga memberikan nasihat kepada wanita untuk memperbanyak sedekah dan istighfar sebagai penebus dosa tersebut. Ini menunjukkan bahwa meskipun kecenderungan itu ada, pintu taubat dan perbaikan selalu terbuka lebar. 

Pelajaran Utama untuk Muslimah
Hadis ini adalah pelajaran universal tentang bagaimana sifat ketidaksyukuran dapat merusak amal dan memerosokkan seseorang ke dalam siksa, meskipun ia rajin dalam ibadah ritual.
Bagi Muslimah:
  • Lisan adalah Penjaga Pintu Surga: Jagalah lisan dari ucapan yang meniadakan pengorbanan suami. Biasakan mengucapkan terima kasih atas hal terkecil sekali pun.
  • Fokus pada Kebaikan: Latihlah diri untuk selalu fokus pada kebaikan dan kelebihan suami, bukan hanya pada satu kekurangan yang terlihat. 
  • Berbaik Sangka (Husnuzan): Pahami bahwa suami juga manusia yang bisa luput dan salah. Jangan jadikan satu kesalahan sebagai alasan untuk melupakan seluruh kebaikannya.
Pada akhirnya, kebaikan seorang istri terletak pada kemampuannya untuk bersyukur atas setiap rezeki, perhatian, dan pengorbanan yang diberikan suaminya. Inilah yang menjadi kunci untuk menyelamatkan diri dari apa yang dikhawatirkan dalam hadis tersebut, dan meraih gelar wanita yang shalihah yang disayangi Allah subhanahu wa ta’ala.

Read More »
02 October | 0komentar

Gagal Itu Data, Pengalaman Itu Hikmah: Membangun Kebiasaan Reflektif di Setiap Ruang Kelas

Founder GSM
Di tengah derasnya arus perubahan global dan berbagai tantangan kompleks yang mendera dunia pendidikan mulai dari adaptasi teknologi yang cepat hingga isu kesenjangan kualitas kita seringkali terjebak pada solusi-solusi struktural dan teknis. Kurikulum diubah, fasilitas diperbarui, dan pelatihan dilaksanakan. Namun, esensi sejati dari pendidikan seringkali terlewatkan. Saatnya kita berhenti sejenak dan kembali pada inti: membentuk cara berpikir yang merdeka, reflektif, dan bermakna. 

Fondasi Perubahan: Pola Pikir yang Merdeka 
Pendidikan sejati bukanlah transfer pengetahuan semata, melainkan proses memerdekakan akal dan hati. Cara Berpikir Merdeka adalah kemampuan untuk melepaskan diri dari belenggu dogma, prasangka, dan ketergantungan pada jawaban tunggal. Ini mendorong guru untuk berani bereksperimen, menyesuaikan metode ajar dengan konteks lokal dan kebutuhan siswa, alih-alih sekadar menjalankan instruksi. Bagi siswa, kemerdekaan berpikir berarti mereka memiliki otonomi untuk bertanya, menyelidiki, dan membangun pengetahuannya sendiri.
Ini adalah pergeseran dari paradigma "mengisi wadah" menjadi "menyalakan api" rasa ingin tahu dan inisiatif.

Kekuatan Introspeksi: Berpikir Reflektif
Jika kemerdekaan adalah sayapnya, maka refleksi adalah kompasnya. Berpikir Reflektif adalah kemampuan untuk melihat kembali pengalaman, tindakan, dan hasil belajar dengan jujur dan kritis. Ini berlaku untuk semua pihak: Guru: Secara rutin mengevaluasi efektivitas metode pengajaran mereka, bertanya, "Apakah siswa saya benar-benar memahami, atau hanya menghafal?" dan "Apa yang bisa saya perbaiki di sesi berikutnya?" Siswa: Mengembangkan kesadaran diri tentang proses belajar mereka, mengetahui kekuatan dan kelemahan diri, serta mampu merencanakan perbaikan diri (metakognisi). Sistem: Para pemangku kebijakan dan pengelola harus merefleksikan dampak nyata dari kebijakan, bukan sekadar melihat angka statistik, melainkan perubahan sikap dan karakter lulusan. Refleksi mengubah kegagalan menjadi data dan pengalaman menjadi hikmah. 

Mencari Jati Diri: Pembelajaran yang Bermakna
Pada akhirnya, pendidikan haruslah bermakna. Pembelajaran Bermakna adalah ketika materi yang dipelajari terhubung dengan kehidupan nyata, nilai-nilai, dan tujuan hidup siswa. Ini menjawab pertanyaan krusial siswa: "Untuk apa saya belajar ini?" Pembelajaran bermakna bukan hanya tentang nilai ujian, tetapi tentang kontribusi siswa kepada komunitas, pemecahan masalah di dunia nyata, dan pengembangan karakter yang kuat. Hal ini menumbuhkan tanggung jawab dan empati, menjauhkan pendidikan dari sekadar perlombaan akademis. 

Gerakan Perubahan Sejati Dimulai dari Dalam
Prinsip inilah yang diyakini oleh gerakan seperti Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) dan inisiatif perubahan pola pikir lainnya. GSM percaya bahwa perubahan sejati dimulai dari dalam, yaitu dari pola pikir guru, siswa, dan semua yang terlibat. Inovasi teknologi, gedung baru, dan buku pelajaran yang canggih hanyalah alat. Mesin penggerak yang sesungguhnya adalah manusia dengan pola pikir yang terbuka, mau belajar, dan berorientasi pada pertumbuhan.
Jika seorang guru masih berpegangan pada pola pikir otoriter, takut pada kesalahan, dan kaku terhadap perubahan, maka secanggih apapun kurikulumnya, hasilnya akan sama. Sebaliknya, guru dengan pola pikir berkembang (growth mindset) akan mampu mentransformasi ruang kelasnya menjadi laboratorium ide yang menarik. 

Aksi Nyata: Mari Kita Mulai dari Diri Sendiri 
Mengubah sistem yang besar memang menantang, tetapi mengubah diri sendiri adalah hal yang sepenuhnya berada dalam kendali kita.

Mari kita mulai dari diri sendiri: 
Bagi Guru: Mulailah hari ini dengan mencoba satu metode pembelajaran baru yang lebih interaktif dan berani mengakui ketika Anda tidak tahu jawabannya. Jadilah pembelajar yang jujur di depan siswa Anda. 
Bagi Siswa: Jadikan rasa ingin tahu sebagai navigasi utama. Bertanyalah "mengapa" dan "bagaimana" alih-alih hanya "apa". Carilah kaitan antara materi pelajaran dengan impian dan lingkungan Anda.
Bagi Orang Tua/Masyarakat: Hargai proses belajar anak, bukan hanya hasilnya. Berikan ruang bagi anak untuk mencoba, gagal, dan berefleksi. Pendidikan bukanlah balapan, melainkan perjalanan penemuan diri dan kontribusi. 
Dengan kembali memprioritaskan cara berpikir yang merdeka, reflektif, dan bermakna, kita tidak hanya menyiapkan generasi untuk menghadapi tantangan, tetapi juga untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.
Perubahan sejati di ruang kelas kita, berawal dari perubahan pola pikir di hati dan pikiran kita.

Sumber: Grup WA GSM Kab.Purbalingga

Read More »
01 October | 0komentar

Kembali pada Esensi: Tiga Pilar Pola Pikir

Untuk mengatasi tantangan ini, kita harus kembali pada tujuan fundamental pendidikan: menciptakan manusia yang merdeka, reflektif, dan bermakna. Ini adalah tiga pilar yang harus menjadi fondasi pola pikir setiap insan pendidikan. 

1. Merdeka: Kebebasan Berpikir (Freedom of Thought) 
Berpikir merdeka berarti memiliki keberanian untuk mempertanyakan (to question), tidak menerima informasi secara mentah-mentah, dan membentuk opini berdasarkan nalar serta bukti, bukan sekadar otoritas. Pendidikan harus menjadi ruang aman bagi siswa untuk mengajukan pertanyaan bodoh, berdebat secara sehat, dan mengemukakan ide-ide yang berbeda. Guru berperan sebagai fasilitator yang mendorong rasa ingin tahu, bukan sebagai diktator pengetahuan. 

2. Reflektif: Menyelami Kedalaman Diri dan Pembelajaran 
Berpikir reflektif adalah kemampuan untuk melihat ke dalam (introspection), mengevaluasi tindakan, proses, dan hasil pembelajaran diri sendiri. Ini melibatkan proses bertanya: Apa yang sudah saya pelajari? Bagaimana saya mempelajarinya? Apa yang bisa saya lakukan berbeda lain kali? Proses refleksi mengubah kesalahan dari kegagalan menjadi peluang belajar dan mematikan budaya menyalahkan. Bagi guru, refleksi berarti terus-menerus menguji efektivitas metode pengajaran mereka. 

3. Bermakna: Menghubungkan Teori dengan Realitas 
Berpikir bermakna adalah kemampuan untuk menghubungkan apa yang dipelajari di kelas dengan kehidupan nyata dan tujuan yang lebih besar. Ketika siswa memahami bahwa matematika digunakan dalam arsitektur, sejarah mengajarkan pola-pola sosial, atau bahasa adalah alat untuk perubahan, motivasi mereka akan melonjak. Pendidikan yang bermakna adalah yang relevan, menanamkan nilai-nilai, dan mendorong siswa untuk menggunakan pengetahuannya demi kebaikan bersama. 

Perubahan Sejati Dimulai dari Dalam Perubahan dalam sistem pendidikan tidak akan efektif jika hanya bersifat kosmetik mengganti kurikulum, menambah jam pelajaran, atau membeli teknologi baru. Perubahan sejati dimulai dari dalam, yaitu dari pola pikir semua yang terlibat: 

Untuk Guru: Dari Pemberi Tahu menjadi Pemandu Guru harus berani melepaskan peran mereka sebagai "satu-satunya sumber pengetahuan" dan beralih menjadi pemandu (guide) atau kolega belajar. Pola pikir ini membutuhkan keberanian untuk mengakui bahwa guru pun bisa belajar dari siswa, dan bahwa tujuan utama adalah mengembangkan kemampuan siswa untuk belajar sendiri (self-directed learning). 

Untuk Siswa: Dari Penerima Pasif menjadi Pemilik Pembelajaran Siswa perlu didorong untuk mengambil kepemilikan (ownership) atas proses belajar mereka. Pola pikir ini menumbuhkan otonomi, tanggung jawab, dan motivasi intrinsik. Sekolah harus menciptakan lingkungan yang memberdayakan siswa untuk menentukan tujuan belajar mereka, memilih proyek yang mereka sukai, dan menilai perkembangan mereka sendiri. 

Untuk Semua Pihak: Mengutamakan Proses daripada Hasil Pemerintah, orang tua, dan institusi pendidikan perlu menggeser fokus dari tekanan nilai akhir ke penghargaan atas proses, usaha, dan pertumbuhan. Pola pikir ini menghargai kegigihan, percobaan, dan perjalanan intelektual, bukan sekadar garis finish yang diukur oleh angka. Penutup Pendidikan yang ideal adalah yang melahirkan individu yang tidak hanya cerdas secara kognitif tetapi juga sehat secara moral dan mental. 

Kembalikan pendidikan pada esensinya: membebaskan pikiran, mendorong refleksi mendalam, dan menumbuhkan rasa ingin tahu yang tak pernah padam. Hanya dengan mengubah pola pikir internal, kita dapat menciptakan generasi yang siap menghadapi masa depan dengan pikiran yang merdeka, reflektif, dan penuh makna. Apakah Anda setuju bahwa mengubah pola pikir internal adalah langkah paling fundamental dalam reformasi pendidikan?

Read More »
30 September | 0komentar

Membentuk Pikiran yang Merdeka dan Bermakna

Wisuda UNS, 27 Sept 2025
Pendidikan, sejatinya, adalah jantung peradaban. Ia bukan sekadar transfer pengetahuan, melainkan proses menumbuhkan individu yang mampu berpikir kritis, berempati, dan berkontribusi secara positif pada dunia. Namun, di tengah gempuran kurikulum yang padat dan tuntutan akreditasi, seringkali kita kehilangan arah, menjauh dari esensi utama pendidikan: membentuk cara berpikir yang merdeka, reflektif, dan bermakna.
Artikel ini mengajak kita untuk menelisik berbagai tantangan pendidikan hari ini dan menggarisbawahi mengapa perubahan sejati harus dimulai dari internal dari pola pikir semua pihak yang terlibat. Tantangan Pendidikan Kontemporer Sistem pendidikan global, termasuk di Indonesia, menghadapi beberapa tantangan krusial yang menghambat pembentukan individu yang mandiri dalam berpikir. 

1. Kurikulum yang Terlalu Berorientasi pada Nilai 
Fokus utama seringkali beralih dari pemahaman mendalam dan proses pembelajaran menjadi sekadar capaian angka (nilai ujian, nilai rapor). Hal ini memicu budaya "menghafal untuk ujian" (rote learning) dan bukannya "belajar untuk mengerti". Akibatnya, siswa lulus dengan kepala penuh informasi namun minim kemampuan untuk menganalisis, menyintesis, atau memecahkan masalah kompleks di dunia nyata. 

2. Beban Administrasi yang Mematikan Kreativitas Guru 
Para guru, sebagai ujung tombak pendidikan, seringkali terbebani oleh tugas administrasi dan pelaporan yang masif. Waktu dan energi yang seharusnya dicurahkan untuk merancang metode pembelajaran yang inovatif, berdiskusi dengan siswa, atau melakukan refleksi praktik mengajar, terkuras untuk urusan birokrasi. Ini secara langsung mematikan kreativitas dan semangat mereka dalam mengajar. 

3. Ketidakselarasan dengan Kebutuhan Masa Depan 
Pendidikan saat ini masih berjuang untuk mengejar laju perubahan dunia. Revolusi industri, disrupsi teknologi, dan perubahan iklim menuntut keterampilan abad ke-21 seperti keterampilan berpikir kritis, kolaborasi, komunikasi, dan kreativitas. Sayangnya, banyak praktik di kelas masih berpegang pada model yang dirancang untuk era industri, yang lebih menekankan kepatuhan daripada inisiatif mandiri.



Read More »
30 September | 0komentar

Pendidikan yang Kita Inginkan: Bukan Hanya Mengakses, tapi Memahami

Di era yang serba terhubung ini, anak-anak kita seolah memiliki kunci untuk membuka gerbang pengetahuan global. Hanya dengan sekali klik, mereka dapat menjelajahi museum-museum terbaik di dunia, "berdiskusi" dengan para ilmuwan terkemuka, atau mempelajari peristiwa sejarah langsung dari sumbernya. Akses yang tak terbatas ini membuka jendela yang luar biasa bagi rasa ingin tahu mereka. Namun, di balik kemudahan ini, muncul sebuah pertanyaan krusial: Apakah akses yang melimpah ini benar-benar menghasilkan pembelajaran yang bermakna? Atau sebaliknya, justru membuat mereka kehilangan esensi dari proses belajar itu sendiri?

Fenomena yang sering kita lihat adalah pergeseran budaya belajar menjadi serba instan. Anak-anak terbiasa mendapatkan jawaban secara cepat tanpa perlu melalui proses berpikir yang mendalam. Alih-alih merenungkan suatu masalah, mereka cenderung mencari "solusi" di internet. Alih-alih membaca buku untuk memahami suatu konsep, mereka lebih memilih menonton video ringkasan yang durasinya hanya beberapa menit.

Tentu saja, konten-konten singkat ini bisa menjadi alat bantu yang berguna. Namun, jika ini menjadi satu-satunya cara belajar, kita perlu khawatir. Proses belajar yang hanya berfokus pada kecepatan dan ringkasan dapat mengikis kemampuan mereka untuk berpikir kritis dan berefleksi. Kemampuan untuk menganalisis informasi, membedakan fakta dan opini, serta menyusun argumen yang logis menjadi tumpul. Mereka menjadi konsumen pengetahuan, bukan produsennya.

Ketika sebuah tugas sekolah bisa diselesaikan dengan "copy-paste" dari internet, lalu di mana letak pengalaman belajar yang berharga? Pengalaman untuk berjuang memahami suatu materi, berdiskusi dengan teman, atau menemukan solusi setelah melalui serangkaian kesalahan adalah hal yang justru membentuk karakter dan menumbuhkan rasa ingin tahu yang otentik. Proses jatuh-bangun inilah yang memberikan makna dan kekuatan pada pengetahuan yang mereka peroleh.


Pendidikan yang Kita Inginkan: Bukan Hanya Mengakses, tapi Memahami

Lalu, apakah ini jenis pendidikan yang ingin terus kita pertahankan? Pendidikan yang menghasilkan generasi yang pintar menghafal tapi miskin nalar? Atau kita menginginkan generasi yang mampu beradaptasi dengan kompleksitas dunia, memiliki empati, dan mampu memberikan solusi kreatif untuk masalah yang dihadapi?

Pendidikan di era digital tidak boleh lagi hanya berfokus pada penyaluran informasi. Peran guru dan orang tua harus bergeser dari sekadar penyedia informasi menjadi fasilitator dan pembimbing. Kita perlu mengajak anak-anak untuk bertanya, "mengapa," bukan hanya "apa." Kita perlu menantang mereka untuk berdebat, bukan sekadar menerima. Kita harus menciptakan ruang di mana mereka merasa aman untuk bereksperimen, membuat kesalahan, dan belajar dari sana.

Penting bagi kita untuk:

  • Membiasakan diskusi dan refleksi. Ajak anak untuk memproses informasi yang mereka dapatkan. Tanyakan pendapat mereka, minta mereka untuk menjelaskan alasannya, dan ajak mereka melihat suatu isu dari berbagai sudut pandang.

  • Mengembangkan proyek berbasis minat. Berikan mereka tugas yang menuntut penelitian mendalam, analisis, dan kreativitas. Ini akan mendorong mereka untuk melakukan lebih dari sekadar mencari jawaban instan.

  • Menumbuhkan rasa ingin tahu yang otentik. Dorong mereka untuk bertanya, mencari tahu lebih dalam, dan berani untuk tidak tahu jawabannya. Ini adalah fondasi dari setiap penemuan dan inovasi.

Di tangan kita, ada tanggung jawab besar untuk membimbing anak-anak agar dapat memanfaatkan kekayaan informasi global tanpa kehilangan esensi dari proses belajar yang bermakna. Kita tidak bisa mencegah mereka untuk mengakses dunia, tapi kita bisa membantu mereka untuk memahaminya. Mari kita ciptakan pendidikan yang menghasilkan manusia yang tidak hanya cerdas, tetapi juga bijaksana, kritis, dan reflektif.



Read More »
24 September | 0komentar

Seberapa Panjang Bajumu? Refleksi Keimanan dalam Hadits Rasulullah ﷺ



Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ubaidillah berkata, telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa'd dari Shalih dari Ibnu Syihab dari Abu Umamah bin Sahal bin Hunaif bahwasanya dia mendengar Abu Said Al Khudri berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Ketika aku tidur, aku bermimpi melihat orang-orang dihadapkan kepadaku. Mereka mengenakan baju, diantaranya ada yang sampai kepada buah dada dan ada yang kurang dari itu. Dan dihadapkan pula kepadaku Umar bin Al Khaththab dan dia mengenakan baju dan menyeretnya. Para sahabat bertanya: "Apa maksudnya hal demikian menurut engkau, ya Rasulullah?" Beliau shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: 
"Ad-Din (agama) ".




Hadits tersebut menjelaskan tentang tingkatan iman atau agama (ad-Din) seseorang, yang digambarkan melalui perumpamaan panjang pendeknya baju yang dipakai dalam mimpi Nabi Muhammad ﷺ.
Berikut adalah makna dari hadits tersebut:

Panjang pendeknya baju menunjukkan kadar agama. 
Rasulullah ﷺ melihat orang-orang dengan baju yang panjangnya berbeda-beda. Baju yang panjang sampai menutupi seluruh badan mengisyaratkan tingginya keimanan dan kesempurnaan dalam beragama. Sebaliknya, baju yang pendek menunjukkan kurangnya keimanan dan kekurangan dalam menjalankan syariat agama.
Baju yang diseret oleh Umar bin Khattab menunjukkan kesempurnaan agamanya. 
Dalam mimpi tersebut, Rasulullah ﷺ melihat Umar bin Khattab mengenakan baju yang sangat panjang hingga diseret. Ini melambangkan betapa kuat dan sempurnanya keimanan serta agama yang dipegang oleh Umar.
Ad-Din diartikan sebagai agama. 
Ketika para sahabat bertanya tentang makna mimpi tersebut, Rasulullah ﷺ menjawab bahwa baju itu adalah "ad-Din" (agama). Hal ini menegaskan bahwa pakaian dalam mimpi adalah simbol dari kondisi keimanan dan amalan seseorang.
Secara keseluruhan, hadits ini merupakan kiasan dari Nabi Muhammad ﷺ untuk menunjukkan bahwa kadar keimanan dan pengamalan agama seseorang itu bertingkat-tingkat. Hadits ini juga menjadi pujian khusus bagi Umar bin Khattab, yang melambangkan kekuatan dan keutamaan agamanya

Read More »
23 September | 0komentar