Assalamu'alaikum ! welcome to Media Pendidikan.| Contact | Register | Sign In
Showing posts sorted by date for query Kurikulum Merdeka. Sort by relevance Show all posts
Showing posts sorted by date for query Kurikulum Merdeka. Sort by relevance Show all posts

Gagal Itu Data, Pengalaman Itu Hikmah: Membangun Kebiasaan Reflektif di Setiap Ruang Kelas

Founder GSM
Di tengah derasnya arus perubahan global dan berbagai tantangan kompleks yang mendera dunia pendidikan mulai dari adaptasi teknologi yang cepat hingga isu kesenjangan kualitas kita seringkali terjebak pada solusi-solusi struktural dan teknis. Kurikulum diubah, fasilitas diperbarui, dan pelatihan dilaksanakan. Namun, esensi sejati dari pendidikan seringkali terlewatkan. Saatnya kita berhenti sejenak dan kembali pada inti: membentuk cara berpikir yang merdeka, reflektif, dan bermakna. 

Fondasi Perubahan: Pola Pikir yang Merdeka 
Pendidikan sejati bukanlah transfer pengetahuan semata, melainkan proses memerdekakan akal dan hati. Cara Berpikir Merdeka adalah kemampuan untuk melepaskan diri dari belenggu dogma, prasangka, dan ketergantungan pada jawaban tunggal. Ini mendorong guru untuk berani bereksperimen, menyesuaikan metode ajar dengan konteks lokal dan kebutuhan siswa, alih-alih sekadar menjalankan instruksi. Bagi siswa, kemerdekaan berpikir berarti mereka memiliki otonomi untuk bertanya, menyelidiki, dan membangun pengetahuannya sendiri.
Ini adalah pergeseran dari paradigma "mengisi wadah" menjadi "menyalakan api" rasa ingin tahu dan inisiatif.

Kekuatan Introspeksi: Berpikir Reflektif
Jika kemerdekaan adalah sayapnya, maka refleksi adalah kompasnya. Berpikir Reflektif adalah kemampuan untuk melihat kembali pengalaman, tindakan, dan hasil belajar dengan jujur dan kritis. Ini berlaku untuk semua pihak: Guru: Secara rutin mengevaluasi efektivitas metode pengajaran mereka, bertanya, "Apakah siswa saya benar-benar memahami, atau hanya menghafal?" dan "Apa yang bisa saya perbaiki di sesi berikutnya?" Siswa: Mengembangkan kesadaran diri tentang proses belajar mereka, mengetahui kekuatan dan kelemahan diri, serta mampu merencanakan perbaikan diri (metakognisi). Sistem: Para pemangku kebijakan dan pengelola harus merefleksikan dampak nyata dari kebijakan, bukan sekadar melihat angka statistik, melainkan perubahan sikap dan karakter lulusan. Refleksi mengubah kegagalan menjadi data dan pengalaman menjadi hikmah. 

Mencari Jati Diri: Pembelajaran yang Bermakna
Pada akhirnya, pendidikan haruslah bermakna. Pembelajaran Bermakna adalah ketika materi yang dipelajari terhubung dengan kehidupan nyata, nilai-nilai, dan tujuan hidup siswa. Ini menjawab pertanyaan krusial siswa: "Untuk apa saya belajar ini?" Pembelajaran bermakna bukan hanya tentang nilai ujian, tetapi tentang kontribusi siswa kepada komunitas, pemecahan masalah di dunia nyata, dan pengembangan karakter yang kuat. Hal ini menumbuhkan tanggung jawab dan empati, menjauhkan pendidikan dari sekadar perlombaan akademis. 

Gerakan Perubahan Sejati Dimulai dari Dalam
Prinsip inilah yang diyakini oleh gerakan seperti Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) dan inisiatif perubahan pola pikir lainnya. GSM percaya bahwa perubahan sejati dimulai dari dalam, yaitu dari pola pikir guru, siswa, dan semua yang terlibat. Inovasi teknologi, gedung baru, dan buku pelajaran yang canggih hanyalah alat. Mesin penggerak yang sesungguhnya adalah manusia dengan pola pikir yang terbuka, mau belajar, dan berorientasi pada pertumbuhan.
Jika seorang guru masih berpegangan pada pola pikir otoriter, takut pada kesalahan, dan kaku terhadap perubahan, maka secanggih apapun kurikulumnya, hasilnya akan sama. Sebaliknya, guru dengan pola pikir berkembang (growth mindset) akan mampu mentransformasi ruang kelasnya menjadi laboratorium ide yang menarik. 

Aksi Nyata: Mari Kita Mulai dari Diri Sendiri 
Mengubah sistem yang besar memang menantang, tetapi mengubah diri sendiri adalah hal yang sepenuhnya berada dalam kendali kita.

Mari kita mulai dari diri sendiri: 
Bagi Guru: Mulailah hari ini dengan mencoba satu metode pembelajaran baru yang lebih interaktif dan berani mengakui ketika Anda tidak tahu jawabannya. Jadilah pembelajar yang jujur di depan siswa Anda. 
Bagi Siswa: Jadikan rasa ingin tahu sebagai navigasi utama. Bertanyalah "mengapa" dan "bagaimana" alih-alih hanya "apa". Carilah kaitan antara materi pelajaran dengan impian dan lingkungan Anda.
Bagi Orang Tua/Masyarakat: Hargai proses belajar anak, bukan hanya hasilnya. Berikan ruang bagi anak untuk mencoba, gagal, dan berefleksi. Pendidikan bukanlah balapan, melainkan perjalanan penemuan diri dan kontribusi. 
Dengan kembali memprioritaskan cara berpikir yang merdeka, reflektif, dan bermakna, kita tidak hanya menyiapkan generasi untuk menghadapi tantangan, tetapi juga untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.
Perubahan sejati di ruang kelas kita, berawal dari perubahan pola pikir di hati dan pikiran kita.

Sumber: Grup WA GSM Kab.Purbalingga

Read More »
01 October | 0komentar

Kembali pada Esensi: Tiga Pilar Pola Pikir

Untuk mengatasi tantangan ini, kita harus kembali pada tujuan fundamental pendidikan: menciptakan manusia yang merdeka, reflektif, dan bermakna. Ini adalah tiga pilar yang harus menjadi fondasi pola pikir setiap insan pendidikan. 

1. Merdeka: Kebebasan Berpikir (Freedom of Thought) 
Berpikir merdeka berarti memiliki keberanian untuk mempertanyakan (to question), tidak menerima informasi secara mentah-mentah, dan membentuk opini berdasarkan nalar serta bukti, bukan sekadar otoritas. Pendidikan harus menjadi ruang aman bagi siswa untuk mengajukan pertanyaan bodoh, berdebat secara sehat, dan mengemukakan ide-ide yang berbeda. Guru berperan sebagai fasilitator yang mendorong rasa ingin tahu, bukan sebagai diktator pengetahuan. 

2. Reflektif: Menyelami Kedalaman Diri dan Pembelajaran 
Berpikir reflektif adalah kemampuan untuk melihat ke dalam (introspection), mengevaluasi tindakan, proses, dan hasil pembelajaran diri sendiri. Ini melibatkan proses bertanya: Apa yang sudah saya pelajari? Bagaimana saya mempelajarinya? Apa yang bisa saya lakukan berbeda lain kali? Proses refleksi mengubah kesalahan dari kegagalan menjadi peluang belajar dan mematikan budaya menyalahkan. Bagi guru, refleksi berarti terus-menerus menguji efektivitas metode pengajaran mereka. 

3. Bermakna: Menghubungkan Teori dengan Realitas 
Berpikir bermakna adalah kemampuan untuk menghubungkan apa yang dipelajari di kelas dengan kehidupan nyata dan tujuan yang lebih besar. Ketika siswa memahami bahwa matematika digunakan dalam arsitektur, sejarah mengajarkan pola-pola sosial, atau bahasa adalah alat untuk perubahan, motivasi mereka akan melonjak. Pendidikan yang bermakna adalah yang relevan, menanamkan nilai-nilai, dan mendorong siswa untuk menggunakan pengetahuannya demi kebaikan bersama. 

Perubahan Sejati Dimulai dari Dalam Perubahan dalam sistem pendidikan tidak akan efektif jika hanya bersifat kosmetik mengganti kurikulum, menambah jam pelajaran, atau membeli teknologi baru. Perubahan sejati dimulai dari dalam, yaitu dari pola pikir semua yang terlibat: 

Untuk Guru: Dari Pemberi Tahu menjadi Pemandu Guru harus berani melepaskan peran mereka sebagai "satu-satunya sumber pengetahuan" dan beralih menjadi pemandu (guide) atau kolega belajar. Pola pikir ini membutuhkan keberanian untuk mengakui bahwa guru pun bisa belajar dari siswa, dan bahwa tujuan utama adalah mengembangkan kemampuan siswa untuk belajar sendiri (self-directed learning). 

Untuk Siswa: Dari Penerima Pasif menjadi Pemilik Pembelajaran Siswa perlu didorong untuk mengambil kepemilikan (ownership) atas proses belajar mereka. Pola pikir ini menumbuhkan otonomi, tanggung jawab, dan motivasi intrinsik. Sekolah harus menciptakan lingkungan yang memberdayakan siswa untuk menentukan tujuan belajar mereka, memilih proyek yang mereka sukai, dan menilai perkembangan mereka sendiri. 

Untuk Semua Pihak: Mengutamakan Proses daripada Hasil Pemerintah, orang tua, dan institusi pendidikan perlu menggeser fokus dari tekanan nilai akhir ke penghargaan atas proses, usaha, dan pertumbuhan. Pola pikir ini menghargai kegigihan, percobaan, dan perjalanan intelektual, bukan sekadar garis finish yang diukur oleh angka. Penutup Pendidikan yang ideal adalah yang melahirkan individu yang tidak hanya cerdas secara kognitif tetapi juga sehat secara moral dan mental. 

Kembalikan pendidikan pada esensinya: membebaskan pikiran, mendorong refleksi mendalam, dan menumbuhkan rasa ingin tahu yang tak pernah padam. Hanya dengan mengubah pola pikir internal, kita dapat menciptakan generasi yang siap menghadapi masa depan dengan pikiran yang merdeka, reflektif, dan penuh makna. Apakah Anda setuju bahwa mengubah pola pikir internal adalah langkah paling fundamental dalam reformasi pendidikan?

Read More »
30 September | 0komentar

Membentuk Pikiran yang Merdeka dan Bermakna

Wisuda UNS, 27 Sept 2025
Pendidikan, sejatinya, adalah jantung peradaban. Ia bukan sekadar transfer pengetahuan, melainkan proses menumbuhkan individu yang mampu berpikir kritis, berempati, dan berkontribusi secara positif pada dunia. Namun, di tengah gempuran kurikulum yang padat dan tuntutan akreditasi, seringkali kita kehilangan arah, menjauh dari esensi utama pendidikan: membentuk cara berpikir yang merdeka, reflektif, dan bermakna.
Artikel ini mengajak kita untuk menelisik berbagai tantangan pendidikan hari ini dan menggarisbawahi mengapa perubahan sejati harus dimulai dari internal dari pola pikir semua pihak yang terlibat. Tantangan Pendidikan Kontemporer Sistem pendidikan global, termasuk di Indonesia, menghadapi beberapa tantangan krusial yang menghambat pembentukan individu yang mandiri dalam berpikir. 

1. Kurikulum yang Terlalu Berorientasi pada Nilai 
Fokus utama seringkali beralih dari pemahaman mendalam dan proses pembelajaran menjadi sekadar capaian angka (nilai ujian, nilai rapor). Hal ini memicu budaya "menghafal untuk ujian" (rote learning) dan bukannya "belajar untuk mengerti". Akibatnya, siswa lulus dengan kepala penuh informasi namun minim kemampuan untuk menganalisis, menyintesis, atau memecahkan masalah kompleks di dunia nyata. 

2. Beban Administrasi yang Mematikan Kreativitas Guru 
Para guru, sebagai ujung tombak pendidikan, seringkali terbebani oleh tugas administrasi dan pelaporan yang masif. Waktu dan energi yang seharusnya dicurahkan untuk merancang metode pembelajaran yang inovatif, berdiskusi dengan siswa, atau melakukan refleksi praktik mengajar, terkuras untuk urusan birokrasi. Ini secara langsung mematikan kreativitas dan semangat mereka dalam mengajar. 

3. Ketidakselarasan dengan Kebutuhan Masa Depan 
Pendidikan saat ini masih berjuang untuk mengejar laju perubahan dunia. Revolusi industri, disrupsi teknologi, dan perubahan iklim menuntut keterampilan abad ke-21 seperti keterampilan berpikir kritis, kolaborasi, komunikasi, dan kreativitas. Sayangnya, banyak praktik di kelas masih berpegang pada model yang dirancang untuk era industri, yang lebih menekankan kepatuhan daripada inisiatif mandiri.



Read More »
30 September | 0komentar

Saat Guru Berhenti Jadi "Mesin Fotokopi"

Pendidikan di Indonesia sering kali terasa seperti rutinitas tanpa akhir. Penuh dengan tuntutan administratif, jadwal mengajar yang padat, dan kurikulum yang menuntut. Guru-guru seolah-olah menjadi "mesin fotokopi" yang terus mengulang proses yang sama—masuk kelas, mengisi absen, mengajar, lalu pulang, dan kembali lagi esok harinya. Siklus ini bisa membuat siapa pun merasa lelah dan kehilangan makna.
Namun, di tengah semua kelelahan itu, ada sebuah panggilan yang datang. Sebuah bisikan yang mengajak para guru untuk pulang, bukan ke rumah fisik, melainkan ke rumah kesadaran. Ini adalah momen di mana seorang guru menyadari bahwa tugasnya bukan sekadar mentransfer materi pelajaran atau memenuhi tuntutan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) agar lolos penilaian pengawas. Tugas ini jauh lebih dalam.
Pergeseran Paradigma: Dari 'Apa yang Saya Dapat' Menjadi 'Apa yang Bisa Saya Beri'
Pendidikan sejati bukanlah tentang apa yang bisa guru dapatkan, seperti pengakuan, promosi, atau tunjangan. Sebaliknya, pendidikan sejati adalah tentang apa yang bisa guru berikan kepada murid-muridnya. Ini adalah pergeseran paradigma yang fundamental. Guru yang efektif tidak lagi berfokus pada kelengkapan administrasi, tetapi pada esensi pengajaran.
Tentu saja, administrasi itu penting. Tapi, ketika semua fokus hanya tertuju pada teknis seperti RPP, Kriteria Ketercapaian Tujuan Pembelajaran (KKTP), atau aplikasi-aplikasi canggih, kita bisa kehilangan esensi pendidikan itu sendiri. Guru seharusnya merasa merdeka dalam mengajar, bukan terbelenggu oleh aturan yang terlalu kaku.

Langkah Kecil Penuh Makna
Lalu, dari mana kita harus memulai perubahan ini? Jawabannya sederhana: mulai dari diri sendiri. Setiap langkah kecil yang kita ambil, sekecil apa pun, memiliki makna besar. Sebuah refleksi diri, sebuah percakapan mendalam dengan murid, atau bahkan hanya senyum yang tulus, bisa menciptakan jejak yang berarti bagi masa depan mereka.
Pendidikan tidak selalu ideal. Dunia ini penuh dengan tantangan dan ketidaksempurnaan. Namun, dengan merenung dan berefleksi bersama, kita bisa menemukan jalan pulang. Jalan yang membawa kita kembali ke tujuan awal: mendidik manusia, bukan sekadar mengisi kepala mereka dengan informasi.

Pertanyaan yang Harus Kita Jawab
Setelah menyadari semua ini, ada satu pertanyaan tajam yang harus kita hadapi: setelah ini, apa yang berani kita lakukan untuk pendidikan Indonesia? Pendidikan bukan lagi sekadar pekerjaan, tetapi sebuah pergerakan. Ini adalah pergerakan untuk memanusiakan manusia, untuk memerdekakan pikiran, dan untuk menciptakan masa depan yang lebih baik. Mari kita sambut masa depan Indonesia yang baru, yang dibangun di atas fondasi kesadaran, refleksi, dan keberanian untuk bertindak.
Selamat datang di rumah pergerakan, tempat di mana pendidikan bukan sekadar mengajar, tapi memanusiakan dan memerdekakan.

Read More »
04 September | 0komentar

Deep Learning atau Deep Drilling? Sebuah Pertanyaan Menggelitik

Ada pertanyaan yang terus mengusik dari ruang-ruang diskusi para pendidik: "Ini deep learning atau deep feeling, sih? Kok tiap ada workshop baru, saya malah bingung, yang dalam itu otaknya atau anggarannya?"
Pertanyaan ini muncul bukan tanpa alasan. Sebelum Kurikulum Merdeka digaungkan, komunitas-komunitas seperti Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) sudah lama menerapkan nilai-nilai yang serupa. Mereka belajar, berdiskusi, dan berbagi praktik baik secara mandiri, bermodalkan kopi saset dan obrolan di warung kopi. Bukan di seminar megah dengan spanduk "narasumber internasional".

Membedah Konsep: Surface vs. Deep Learner
Dalam berbagai bimbingan teknis (bimtek) dan workshop, konsep surface learner dan deep learner selalu diulang-ulang. Surface learner didorong oleh motivasi eksternal. Mereka belajar untuk mendapatkan nilai bagus, lulus ujian, atau sekadar menunjukkan hasil berupa angka. Strategi yang digunakan pun cenderung pada hafalan, mencatat, menyalin, dan mengulang-ulang.
Deep learner sebaliknya, memiliki motivasi dari dalam. Mereka menganalisis, menghubungkan ide, dan mengajukan pertanyaan filosofis seperti, "Kenapa materi ini relevan dengan hidup saya?"
Marton & Saljo (1976) menguatkan perbedaan ini dengan mengatakan, "A surface approach to learning is characterized by memorization and focus on assessment, while a deep approach emphasizes understanding, meaning, and integration of knowledge." Konsepnya jelas, sejelas perbedaan antara mi instan dan ramen Jepang, meski sama-sama mie, kualitasnya berbeda.

Ketika Teori Bertabrakan dengan Realitas
Sayangnya, meski konsep deep learning terdengar indah, praktik di lapangan sering kali menunjukkan hal sebaliknya. Guru-guru disibukkan dengan berbagai persiapan yang justru mendorong budaya surface learning:
  • Membagikan buku-buku Tes Kemampuan Akademik (TKA) yang katanya tidak wajib, tapi seolah menjadi kewajiban.
  • Repot menyiapkan lab komputer hanya untuk ujian satu kali. 
  • Latihan soal setiap hari demi nilai TKA yang tinggi. 
  • Berlomba mencari kisi-kisi dan tips sukses TKA. 

Maka tak heran, muncul pertanyaan, "Ini deep learning atau deep drilling?"
Ada ironi yang mencolok. Vibes yang digaungkan dalam seminar adalah deeper learner, tetapi perilaku di lapangan justru kembali ke budaya ujian standar. TKA disebut sebagai "kenapa"-nya, alasannya adalah laporan hasil akademik. Namun, pertanyaan yang paling jujur adalah: laporan itu penting untuk siapa? Murid? Guru? Atau pihak yang butuh angka-angka bagus untuk presentasi di kementerian?

Paradoks yang Membingungkan
Kita seolah-olah menjadi bangsa surface learner yang dikemas seolah-olah deeper learner. Atau, sebaliknya, kita sudah menjadi deeper learner tetapi terpaksa kembali menjadi surface learner demi tuntutan administrasi? Paradoks ini menunjukkan adanya ketidakselarasan antara narasi besar dan praktik di lapangan. 
Konsep deep learning mengajak kita untuk berpikir kritis, menganalisis, dan mencari relevansi, tetapi perilaku kita masih terjebak pada hafalan dan hasil instan. Mungkin, saatnya kita, para pendidik, bertanya pada diri sendiri dan pembuat kebijakan: apakah kita benar-benar ingin membangun pemelajar yang mendalam, atau hanya ingin membangun citra pendidikan yang terlihat cemerlang di atas kertas?
Sumber: Grup WA GSM Kab. Purbalingga

Read More »
26 August | 0komentar

Capaian Pembelajaran : BSKAP 046/H/KR/2025


Apa itu Capaian Pembelajaran? 
Capaian Pembelajaran (CP) adalah rumusan kompetensi yang ditargetkan dicapai peserta didik pada setiap fase perkembangan. CP menjadi dasar perencanaan pembelajaran, asesmen, hingga pelaporan hasil belajar. 

Struktur Fase dalam Kurikulum 2025 :

Jenjang Pendidikan

Fase

Rentang Umum

PAUD

Fondasi

Usia 2–6 tahun

SD/MI

A–C

Kelas I–VI

SMP/MTs

D

Kelas VII–IX

SMA/SMK/MAK

E–F

Kelas X–XII/XIII

Pendidikan Khusus/Kesetaraan

A–F

Disesuaikan kebutuhan


Tujuan CP Terbaru :
Integratif: pengetahuan, keterampilan, dan sikap secara holistik 
Berbasis proyek dan kontekstual 
Relevan dengan literasi digital dan dunia kerja 
Fleksibel sesuai konteks lokal dan karakteristik siswa

Surat keputusan BSKAP 046/H/KR/2025 adalah revisi dari capaian pembelajaran CP PSMK 2025 kurikulum merdeka yang di dalamnya juga memuat CP untuk Dikdas (Pendidikan Dasar) dan Dikmen (Pendidikan Menengah). Surat Keputusan Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (BSKAP) Nomor 046/H/KR/2025 ini isinya sama tentang capaian pembelajaran dalam implementasi kurikulum merdeka mulai jenjang paud hingga smk sederajat. Bagi ayah bunda yang belum sempat melihat paparan kurikulum merdeka kami sudah ringkaskan apa itu kurikulum merdeka.


Read More »
28 July | 0komentar

Bawah Tumpukan Dokumen Kurikulum

Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum
Semester telah usai. Pembagian raport akan dibagikan esok Pagi (20/6/2025). Buku catatan penuh kejadian, rekap nilai rapi, dan lembar asesmen otentik tersusun lengkap dengan bukti-bukti foto siswa yang berproyek, mengenakan baju adat, menanam pohon, atau berdiskusi layaknya anak-anak Google. Namun, di tengah hiruk pikuk akhir tahun ajaran, sebuah pertanyaan mengganjal di benak: sebenarnya yang belajar itu siapa sih? 
Konon, negeri ini memiliki peta jalan pendidikan. Tetapi, rasanya kita ini seperti orang yang memegang Google Maps, namun tetap saja bertanya arah pada ibu-ibu yang sedang menyapu halaman rumahnya. Peta ada, tapi kita bingung. Dan lucunya, saat kebingungan melanda, yang paling sering diubah adalah kurikulum. Dalihnya, ini hanya pendekatan. Tapi kenapa pendekatannya selalu menyeret gerbong yang berisi seluruh "persilatan"? Pendekatan berubah, namun guru dan murid justru semakin pontang-panting mengejar istilah baru yang sejatinya hanya ganti baju dari istilah lama. 
Di lapangan, yang terjadi adalah guru sibuk mencari waktu untuk membuat dokumen, bukan untuk memikirkan muridnya. Pendekatan katanya berpusat pada murid dan mendalam. Tapi murid mana yang ditanya keinginannya? Yang terjadi justru guru dipasung dengan format yang bahkan kepala sekolahnya pun kadang kebingungan membacanya. Inovasi, katanya. Tapi mengapa guru dan murid selalu yang ketinggalan kereta? Coba saja, para pembuat kebijakan itu, pernahkah menginap semalam saja di desa yang listriknya masih seperti suasana Senin pagi: naik-turun tak menentu? Pernahkah merasakan sinyal hanya bisa didapat jika memanjat pohon jambu? Pernahkah melihat anak-anak tanpa alas kaki berjalan puluhan kilometer menuju sekolahnya? 
Namun, begitu melihat konten TikTok sekolah yang digelontorkan miliaran, mereka puas dan tersenyum bangga. Sementara itu, anak-anak di desa diminta membuat proyek Pancasila yang nilai-nilai silanya pun mereka tak pahami. Yang penting ramai, yang penting terlihat kreatif. Artefak dikumpulkan, tapi jiwanya kosong. Kolaborasi, katanya. Namun yang terjadi? Anak-anak dibariskan dalam kasta akademik, bahkan akan ada kasta sekolah. Kompetisi dibungkus kolaborasi, seperti bakso isi cabai rawit; terlihat adem, tapi membuat hati panas. 
Kurikulum Merdeka katanya tidak diganti, namun terasa seperti gerbong yang berganti, dan kita semua disuruh ikut arusnya. Saya mulai curiga, yang doyan eksperimen ini siapa? Murid dan guru yang belajar, atau pembuat kebijakan yang lagi hobi mencoba-coba teori pendidikan yang paling jitu? Pendidikan seharusnya membuat manusia berpikir. Tetapi sistemnya justru sibuk membuat manusia yang bisa dikontrol. 
Di kelas, anak-anak mengerjakan tugas dengan tatapan kosong. Hafal rumus, iya. Tapi arah hidup? Mereka tidak tahu. Mereka sibuk menata resume sekolah dan "muka" pendidikan, namun semakin jauh dari jati dirinya. Sumatif? Ya, anak-anak tetap dipaksa ikut tes. Dan nilai akhirnya membuat wali murid tersenyum lebar, padahal mereka tak tahu isi kepala anaknya. Karakter? Ah, itu seperti bumbu penyedap di mi instan; disebut-sebut, tapi tak terasa. Sementara gurunya? Masih harus memikirkan biaya sekolah anaknya dan cicilan yang tersenyum lebar di awal bulan, sambil memutar otak bagaimana membuat murid-murid "terinspirasi". 
Lah, siapa yang memberi inspirasi untuk guru? Ini bukan ironi. Ini luka. Luka yang dirayakan setiap hari agar terlihat normal. Saya bermimpi… ya, masih berani bermimpi, bahwa pendidikan suatu hari kembali menjadi taman berpikir. Bukan ruang penuh soal pilihan ganda, bukan panggung lomba yang dipoles untuk postingan pamer pembuat kebijakan, bukan tempat uji coba kurikulum yang tak sempat matang. Taman itu, seharusnya menjadi tempat manusia tumbuh, saling memahami, menemukan dirinya, dan mencintai proses berpikir sebagai proses menjadi manusia utuh. Untuk siapa pendidikan Indonesia ini? Untuk siapa kita mengajar? Kalau jawabannya hanya untuk melanggengkan sistem, maka sungguh, kita sudah gagal… bahkan sebelum lonceng pulang berbunyi. 
Dan saya... saya hanya ingin besok pagi masuk kelas tanpa merasa sedang ikut lomba siapa paling patuh pada edaran tentang kurikulum pendekatan terbaru. Saya hanya ingin menjadi guru yang menemani anak-anak menjadi manusia. Tidak lebih, tapi semoga itu cukup.
Sumber: Gurp WA GSM Kab. Purbalingga

Read More »
19 June | 0komentar

Kelas Maya Bukan Kelas "Mayeng-Mayeng"

Artikel ini pernah saya tulis sebelum kurikulum merdeka saya tulis tahun 2018. Saat itu sedang trennya istilah "Kelas Maya". Berlaku kurikulum 13 yang salah satunya muncul mata pelajaran Simulasi Digital (Simdig). Ketika Kelas Mendadak Kosong: Memahami Pembelajaran Kelas Maya dan Peran Petugas Piket Pemandangan yang mungkin menimbulkan keheranan, bahkan teguran, di lingkungan sekolah adalah ketika kelas yang tadinya tenang tiba-tiba berhamburan keluar, bukan karena jam istirahat, melainkan untuk mencari sinyal internet. Padahal hasil pembelajaran ini dapat dipantau secara baik. Terbukti dari hasil analisa pada pembelajaran ini.
Fenomena ini bisa memicu berbagai pertanyaan dan bahkan kesalahpahaman, terutama bagi guru lain, petugas piket, hingga kepala sekolah. Namun, di balik "kekacauan" sesaat ini, tersembunyi sebuah metode pembelajaran yang mungkin belum sepenuhnya dipahami: pemanfaatan Kelas Maya. Konteks ini menjadi penting untuk dipahami seiring dengan rekomendasi penggunaan Kelas Maya sebagai salah satu pendekatan pembelajaran di Indonesia, yang bahkan digaungkan bersamaan dengan lahirnya Kurikulum 2013. 
Seorang guru yang menerapkan metode ini tentu memiliki alasan pedagogis yang kuat, yaitu menyampaikan materi pelajaran melalui platform daring yang interaktif dan berpotensi meningkatkan keterlibatan siswa. Dalam era digital ini, Kelas Maya menawarkan fleksibilitas, akses ke berbagai sumber belajar, dan kesempatan untuk berkolaborasi secara virtual. Namun, implementasi Kelas Maya di lapangan seringkali menemui kendala, salah satunya adalah keterbatasan akses internet yang stabil dan merata. Inilah yang kemungkinan besar menjadi penyebab mengapa siswa terpaksa "mayeng-mayeng" atau berkeliaran di sekitar sekolah untuk mencari titik koneksi yang memadai. 
Mereka tidak sedang bolos atau menghindari pelajaran, melainkan berusaha untuk berpartisipasi aktif dalam pembelajaran yang dirancang oleh guru mereka. Dalam situasi seperti ini, pemakluman dari seluruh elemen sekolah menjadi krusial. Guru lain perlu memahami bahwa rekan sejawat mereka sedang mencoba mengimplementasikan metode pembelajaran yang inovatif dan sesuai dengan perkembangan zaman. Petugas piket, yang biasanya bertugas menjaga ketertiban dan keamanan sekolah, perlu memahami konteks situasional ini dan tidak serta-merta menganggap siswa yang berada di luar kelas sebagai pelanggar aturan. 
Kepala sekolah, sebagai pemimpin institusi, memiliki peran penting dalam mensosialisasikan dan mendukung implementasi metode pembelajaran berbasis teknologi ini, termasuk mencari solusi untuk kendala infrastruktur seperti ketersediaan internet. Lantas, muncul pertanyaan menarik: apakah mengevaluasi metode yang digunakan guru merupakan tupoksi seorang petugas piket? Jawabannya, secara umum, tidak. 
Tupoksi utama petugas piket biasanya berkisar pada: Memastikan keamanan dan ketertiban lingkungan sekolah selama jam pelajaran. Mencatat kehadiran dan keterlambatan siswa. Menangani perizinan siswa yang keluar masuk sekolah. Menjadi penghubung informasi antara siswa, guru, dan pihak sekolah. Merespon kejadian insidental atau darurat. Evaluasi metode pembelajaran adalah ranah profesional guru dan kepala sekolah, atau tim khusus yang ditunjuk untuk pengembangan kurikulum dan inovasi pembelajaran. Guru memiliki otonomi dalam memilih dan menerapkan metode pembelajaran yang dianggap paling efektif untuk mencapai tujuan pembelajaran, tentu dengan mempertimbangkan karakteristik siswa dan materi ajar. 
Kepala sekolah bertanggung jawab untuk memantau dan mengevaluasi kualitas pembelajaran secara keseluruhan, memberikan dukungan dan umpan balik kepada guru, serta memastikan bahwa metode yang digunakan selaras dengan visi dan misi sekolah. Dalam konteks siswa yang keluar kelas untuk mencari sinyal internet, peran petugas piket yang lebih tepat adalah: Mencatat siswa yang keluar kelas dengan tujuan mencari koneksi internet (jika diperlukan untuk pendataan). Memastikan siswa tetap berada di area sekolah dan tidak menyalahgunakan waktu di luar kelas. Mengarahkan siswa ke area yang memiliki sinyal internet lebih baik (jika diketahui). 
Berkoordinasi dengan guru yang bersangkutan jika ada siswa yang terlalu lama berada di luar kelas atau menimbulkan potensi masalah. Kesalahpahaman terjadi ketika kita melihat fenomena ini dari sudut pandang aturan dan ketertiban konvensional tanpa memahami konteks pedagogis di baliknya. Pembelajaran Kelas Maya, meskipun menjanjikan, memerlukan dukungan infrastruktur dan pemahaman dari seluruh komunitas sekolah. Alih-alih langsung menghakimi, dialog dan koordinasi antar guru, petugas piket, kepala sekolah, dan bahkan siswa menjadi kunci untuk mengatasi kendala dan mengoptimalkan implementasi metode pembelajaran inovatif ini. 
Pada akhirnya, tujuan utama kita adalah menciptakan lingkungan belajar yang kondusif dan efektif bagi siswa. Jika pemanfaatan Kelas Maya adalah salah satu cara untuk mencapai tujuan tersebut, maka seluruh elemen sekolah perlu berkolaborasi dan saling memahami demi kelancaran proses pembelajaran, meskipun terkadang terlihat "berantakan" di permukaan. Memahami konteks dan berkomunikasi secara efektif adalah langkah awal untuk menghindari kesalahpahaman dan mendukung inovasi dalam dunia pendidikan.

Read More »
25 May | 0komentar

Revisi Tahun 2024 Panduan Praktik Kerja Lapangan

Pada panduan Revisi  yang diterbitkan oleh Dirjen Vokasi pada bulan Juni 2024 terkait Praktik Kerja Lapangan dari Panduan PKL sebelumnya adalag salah satunya pada rumus pembagian pembimbing PKL. Disketahui bersama bahwa  pada kelas XII PKL sebagai Mata Pelajaran tentu terdapat guru yang tidak memiliki jam karena ada Mapel PKL ini. Sebagai ganti mengajarnya guru tersebut membimbing siswa PKL.
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)/Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) merupakan satuan pendidikan yang bertujuan untuk menghasilkan lulusan yang kompeten untuk bekerja pada bidang tertentu sesuai dengan keahliannya. Keterserapan lulusan di dunia kerja¹ menjadi salah satu tantangan yang harus dihadapi oleh SMK/MAK beserta pemangku kepentingan (stakeholder) pendidikan. Penguatan keterampilan teknis (hard skills) dan keterampilan non-teknis (soft skills) merupakan kunci untuk meningkatkan angka kebekerjaan lulusan SMK/MAK. 
Pembelajaran langsung di dunia kerja menjadi kebutuhan peserta didik SMK/MAK agar dapat mengasah kompetensi dan menguatkan budaya kerja. Oleh karena itu, penting sekali dibangun kerjasama antara SMK/MAK dengan dunia kerja. Berdasarkan Permendikbud Nomor 50 Tahun 2020 tentang Praktik Kerja Lapangan Bagi Peserta Didik, Praktik Kerja Lapangan yang selanjutnya disingkat PKL adalah pembelajaran bagi Peserta Didik pada SMK/MAK, SMALB, dan LKP yang dilaksanakan melalui praktik kerja di dunia kerja dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan kurikulum dan kebutuhan dunia kerja. 
Penyelenggaraan PKL di SMK/MAK yang tidak dapat dilaksanakan di dunia kerja dapat dilaksanakan dalam bentuk kegiatan kewirausahaan dan/atau pembelajaran berbasis projek dalam bentuk Teaching Factory (Tefa) berdasarkan kebutuhan dunia kerja. PKL dapat dilaksanakan di dalam atau luar negeri secara luar jaringan (luring) atau dalam jaringan (daring) sesuai dengan ketentuan. Mata pelajaran PKL dilaksanakan di satuan pendidikan dan dunia kerja. Selanjutnya pada Permendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah, ditetapkan bahwa PKL merupakan salah satu mata pelajaran (mapel) sebagai wahana pembelajaran di dunia kerja. 
Pada Kurikulum Merdeka, PKL menjadi mata pelajaran yang harus diikuti oleh seluruh peserta didik SMK/MAK dengan ketentuan sekurang-kurangnya selama 1 semester atau 16 minggu efektif setara dengan 736 jam pelajaran di kelas XII pada SMK/MAK program 3 tahun dan sekurang-kurangnya 10 bulan setara dengan 1.216 jam pelajaran di kelas XIII pada SMK/MAK program 4 tahun. 
Sesuai dengan ketentuan Permendikbudristek tersebut, SMK/MAK bersama dengan mitra dunia kerja berkewajiban untuk membuat perencanaan pembelajaran yang meliputi: menganalisis Capaian Pembelajaran (CP), serta menyusun Tujuan Pembelajaran (TP) dan Alur Tujuan Pembelajaran (ATP).Pada CP tersebut ditegaskan bahwa PKL merupakan bentuk penyelarasan pembelajaran untuk dilaksanakan di dunia kerja. Selain pelaksanaan, asesmen PKL juga direncanakan dalam perencanaan pembelajaran. Pembelajaran PKL diselenggarakan berbasis proses bisnis dan mengikuti Prosedur Operasional Standar (POS) yang berlaku di dunia kerja.
Postingan Rumus pembagian siswa 



Read More »
17 May | 0komentar

Guru Lebih dari Sekedar Agen Program

Menyeruput kopi hitam di pagi yang tenang, pikiran ini kembali berkelana pada potret pendidikan di negeri kita. Rasanya memang seperti tersesat di sebuah labirin raksasa, bukan labirin biasa, melainkan labirin ajaib yang tembok-temboknya gemar sekali bermain petak umpet. Baru saja kita merasa menemukan alur yang pas, eh, tiba-tiba jalur itu lenyap, berganti nama, atau bahkan dihapus begitu saja. Ada semacam siklus lima tahunan yang ironis. Setiap pergantian tampuk kekuasaan, seolah kita mendapatkan "mainan" baru di dunia pendidikan. 
Kurikulum berganti rupa, program-program anyar bermunculan, seringkali dengan dalih penyegaran dan inovasi. Namun, tak jarang kita mendengar bisikan-bisikan di warung kopi, termasuk mungkin di kedai kopi Mbok Yem di Jepara, yang mempertanyakan kontinuitas dan efektivitas perubahan yang terkesan terburu-buru. Benar adanya apa yang diungkapkan oleh para pemerhati pendidikan dunia, seperti John Hattie dengan konsep visible learning-nya. Pengaruh terbesar pada hasil belajar siswa bukanlah semata-mata kurikulum atau program, melainkan kualitas guru itu sendiri. 
Hal senada juga digaungkan oleh Pak Rizal dari GSM dalam berbagai kesempatan. Namun, kenyataannya, suara riset dan kajian mendalam seringkali teredam oleh riuhnya "rapat kepentingan". Alhasil, energi dan fokus kita terkadang lebih tersedot pada implementasi perubahan yang datang silih berganti, ketimbang pada penguatan fondasi utama: pengembangan profesional guru. Belum lagi kerumitan birokrasi yang dihadapi para pendidik. Seorang guru, dalam kesehariannya, harus "melayani" berbagai "majikan" dengan aturan main yang berbeda-beda. 
Urusan seragam bisa jadi ranahnya Kemendagri, penilaian kinerja oleh BKN, gaji melalui Kemenkeu, sementara regulasi dan pengembangan berada di bawah Kemendikbud. Ibarat memiliki empat orang tua dengan instruksi yang tak jarang saling bertentangan, guru pun akhirnya dituntut menjadi sosok multitasking yang luar biasa. Harus tetap waras di tengah perubahan yang konstan, menjaga semangat meski peta pendidikan terus bergeser, dan tetap fokus mendidik di tengah gempuran slogan-slogan perubahan. Srutup kopi lagi... lalu, di tengah labirin yang terus bermetamorfosis ini, bekal apa saja yang seharusnya dimiliki seorang guru zaman sekarang? 
Pertama, mental petualang yang berani berinovasi. Jangan biarkan rasa takut tersesat menghalangi langkah untuk mencoba hal baru. Labirin ini memang penuh kejutan, namun di setiap sudutnya bisa jadi tersimpan potensi pembelajaran yang tak terduga. 
Kedua, kompas batin yang kuat. Pegang teguh tujuan utama kita: mendidik dan menumbuhkan manusia seutuhnya, bukan sekadar menuntaskan materi atau mengejar proyek sesaat. Fokus pada dampak jangka panjang bagi anak didik kita. 
Ketiga, keberanian berpikir kritis. Jangan telan mentah-mentah setiap arus perubahan program. Sebagai pendidik, kita punya tanggung jawab untuk menganalisis, mengevaluasi, dan berani menyuarakan pendapat, meskipun terkadang terasa sepi di tengah arus yang dominan. 
Keempat, kesabaran tingkat dewa, lengkap dengan dosis humor yang tinggi. Menavigasi labirin yang terus berubah membutuhkan ketahanan mental yang luar biasa. Humor bisa menjadi oase di tengah kelelahan dan frustrasi. 
Dan yang terpenting dari semuanya adalah keyakinan yang tak tergoyahkan bahwa meskipun jalan ini tampak berputar-putar tanpa akhir, anak-anak kita membutuhkan guru-guru yang tetap tegak berdiri, membawa cinta, ketulusan hati, dan kreativitas dalam membersamai perjalanan belajar mereka. Kita mungkin tidak bisa menghentikan perubahan peta di labirin ini. Namun, kita bisa memilih untuk tidak menjadi guru yang hanya sibuk membenarkan peta yang salah. 
Kita bisa menjadi guru merdeka yang berani menciptakan jalan sendiri, yang berani keluar dari kotak dan merancang pengalaman belajar yang relevan dan bermakna bagi siswa. Karena, jika kita tidak mampu menemukan pintu keluar dari labirin yang terus bergeser ini, setidaknya kita bisa mengajarkan anak-anak kita... cara membuat pintu mereka sendiri. 
Bagaimana dengan Bapak dan Ibu guru? Adakah pengalaman menarik saat Anda merasa "membuat pintu sendiri" dalam mendidik anak-anak kita di tengah dinamika perubahan pendidikan ini? Mari berbagi cerita sambil kita menghabiskan secangkir kopi hitam ini.

Disarikan dari Grup WA GSM Kab. Purbalingga

Read More »
27 April | 0komentar

Tentang Deep Learning


Menteri Pendidikan dasar dan Menengah yang baru Abdul Mu'ti mengisyaratkan akan mengganti kurikulum merdeka. Banyak masukan terkait dengan kumer ini. Masukan dari guru merasa terbebani dari segi administrasi dan keluaran pendidikan yang tidak terstandarisasi. Kurikulum Deep learning yang rencana menjadi pengganti kumer. 
Deep Learning menekankan pada pemahaman konsep yang mendalam, bukan hanya menghafal. Pembelajaran Deep Learning juga mendorong guru untuk selalu berimprovisasi. Beban Mata pelajaran yang dipelajari siswa akan dikurangi. Sehingga materi pelajaran yang dipelajari siswa akan lebih ringan, namun guru akan menjelaskan materi tersebut dengan lebih mendalam.Dengan cara itu, guru bisa berimprovisasi, murid bisa berkembang pemikirannya. demikian disampaikan oleh Abdul Mu'ti dalam sebuah wawancara.
Terdapat tiga elemen utama dalam Kurikulum Deep Learning, yaitu Mindfull Learning, Meaningfull Learning, dan Joyfull Learning. 

1. Mindfull Learning 
Mindfull Learning bertujuan untuk memberikan ruang kepada siswa agar terlibat aktif dalam proses pembelajaran. 

2. Joyfull Learning 
Selanjutnya, ada metode pembelajaran Joyfull Learning.Dilakukannya metode ini menjadi sebuah bentuk pendekatan yang mengedepankan kepuasan dari pemahaman mendalam. Abdul Mu’ti juga menyatakan bahwa tujuan dari Joyfull Learning adalah dapat menciptakan pengalaman belajar yang bermakna, sehingga siswa tidak hanya merasa senang, namun juga benar-benar memahami materi yang sedang dipelajari.Karena itulah, dalam pendekatan dengan metode 
Mindfull Learning ini diharap bisa membuat siswa terlibat langsung dalam hal pembelajaran melalui diskusi, eksperimen serta eksplorasi. 

3. Meaningfull Learning
Konsep belajar dimana guru menghadirkan situasi dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.

Read More »
09 November | 0komentar

Pendampingan Implementasi Pembelajaran SMK PK


Program Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Pusat Keunggulan adalah program yang berfokus pada pengembangan serta peningkatan kualitas dan kinerja SMK dengan bidang prioritas yang diperkuat melalui kemitraan dan penyelarasan dengan dunia kerja, agar menghasilkan lulusan yang terserap di dunia kerja atau menjadi wirausaha dan menjadi SMK rujukan serta pusat peningkatan kualitas dan kinerja SMK lainnya. 
Dalam rangka rangkaian tindak lanjut SMK Pusat Keunggulan dan bersama Balai Besar Pengembangan Penjaminan Mutu Pendidikan Vokasi Bidang dilakukan pendampingan Pendampingan Implementasi Pembelajaran (PIP). Metode pendampingan menggunakan tempat sekolah sebagai pusat belajar (PB). Untuk SMK Negeri 1 Bukateja pusat belajarnya adalah SMK Negeri 1 Purbalingga, pelaksanaan pada :
  • Hari   : Selasa
  • Tanggal : 8 Oktober 2024
Peserta PIP adalah terdiri dari Sutowo,SPd,MM selaku Kepala Sekolah, Sarastiana,SPd,MBA Waka Kurikulum, Martin, SPd (selaku guru BK), Maryanto,SPd (Guru Umum), Juni Suwarto, SPd dan Hendy Arif H, S.Pd (guru Kejuruan)
Tujuan Pendampingan Implementasi Pembelajaran adalah membantu secara teknis operasional kepada satuan pendidikan pelaksana Program SMK Pusat Keunggulan agar mampu melaksanakan pembelajaran dengan menerapkan kurikulum merdeka secara efektif dan efisien mulai dari perencanaan, persiapan, pelaksanaan dan evaluasi pembelajaran. SMK PK diharapkan dapat mencapai Tahap 4 proses transformasi SMK dalam mewujudkan visi pendidikan Indonesia.



<

Read More »
10 October | 0komentar

Perangkat Mata Pelajaran (Mapel) PKL


Permendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah, ditetapkan bahwa PKL merupakan salah satu mata pelajaran (mapel) sebagai wahana pembelajaran di dunia kerja. Pada Kurikulum Merdeka, PKL menjadi mata pelajaran yang harus diikuti oleh seluruh peserta didik SMK/MAK dengan ketentuan sekurang-kurangnya selama 1 semester atau 16 minggu efektif setara dengan 736 jam pelajaran di kelas XII pada SMK/MAK program 3 tahun dan sekurang-kurangnya 10 bulan setara dengan 1.216 jam pelajaran di kelas XIII pada SMK/MAK program 4 tahun.
Sesuai dengan ketentuan Permendikbudristek tersebut, SMK/MAK bersama dengan mitra dunia kerja berkewajiban untuk membuat perencanaan pembelajaran yang meliputi: menganalisis Capaian Pembelajaran (CP), serta menyusun Tujuan Pembelajaran (TP) dan Alur Tujuan Pembelajaran (ATP) serta Modul Ajar.



Read More »
05 September | 0komentar

Tabel Poin Rencana Hasil Kerja (RHK) PMM

Perencanaan Pengembangan Kompetensi dianjurkan memiliki rentang poin minimum antara 32 (tiga puluh dua) dan 128 (seratus dua puluh delapan dalam satu semester) (Perdirjen GTK/Nomor7607/B.B1/HK.03/2023). Poin tersebut diperoleh dengan memilih Rencana Hasil Kerja' yang efektif dan berdampak bagi diri sendiri, komunitas pendidikan, maupun Satuan Pendidikan. Panduan berikut dapat membantu Anda menghitung poin pada tahap pengembangan kompetensi. Poin dihitung dengan memilih ‘Rencana Hasil Kerja’ sesuai dengan minat dan pengembangan diri. Rencana Hasil Kerja memiliki poin yang berbeda-beda.
Berikut Tabel Poin RHK PMM :

No

Rencana Hasil Kerja

Catatan

Bukti Dukung

Poin (statis)

1

Meningkatnya kompetensi melalui peran sebagai Peserta pelatihan mandiri sesuai model kompetensi Guru, Kepala Sekolah, dan/atau pengawas sekolah

1 pelatihan beserta Aksi Nyata setara 8 poin.

Sertifikat Topik / Dokumen Relavan Lainnya

8

2

Meningkatnya kompetensi melalui peran sebagai Partisipan observasi praktik pembelajaran (persiapan, pelaksanaan, dan diskusi tindak lanjut) bersama rekan sejawat

1 observasi sebagai pelaku dan pengamat secara bergantian setara 8 poin.

Laporan

8

3

Meningkatnya kompetensi melalui peran sebagai Penggerak komunitas belajar dengan mengadakan minimal 3 kegiatan berbagi praktik baik

3 kegiatan setara 36 poin.

Sertifikat

36

4

Meningkatnya kompetensi melalui peran sebagai Narasumber berbagi praktik baik dalam kegiatan yang terkait implementasi Kurikulum Merdeka dan/atau Perencanaan Berbasis Data

1 kegiatan berdurasi 2-3 jam setara 8 poin.

Sertifikat

8

5

Meningkatnya kompetensi melalui peran sebagai Peserta berbagi praktik baik yang diselenggarakan komunitas belajar

1 kegiatan berdurasi 2-3 jam setara 4 poin.

Sertifikat

4

6

Meningkatnya kompetensi melalui peran sebagai Peserta program pelatihan dan pendidikan jangka pendek atau menengah pada bidang kepemimpinan dan bidang teknis yang relevan, seperti Pendidikan Guru Penggerak atau pelatihan manajerial Kepala Sekolah

1 kegiatan berdurasi 3-6 bulan setara 128 poin.

Sertifikat

128

7

Meningkatnya kompetensi melalui peran sebagai Peserta kegiatan pelatihan atau bimbingan teknis yang memperoleh sertifikat di bidang pendidikan, kebudayaan, riset dan teknologi

1 kegiatan berdurasi 2-3 hari setara 8 poin.

Sertifikat

8

8

Meningkatnya kompetensi melalui peran sebagai Peserta praktik magang pada dunia kerja dan/atau bidang lain yang relevan

1 kegiatan berdurasi 2-4 minggu setara 24 poin.

Sertifikat

24

9

Meningkatnya kompetensi melalui peran sebagai Partisipan kegiatan seminar, lokakarya, konferensi, simposium, dan/atau studi banding lapangan yang diselenggarakan di bidang pendidikan

1 kegiatan setara 4 poin.

Sertifikat

4

10

Meningkatnya kompetensi melalui peran sebagai Peraih pengakuan atau penghargaan terhadap kompetensi dan kinerjanya dalam berbagai wadah atau ajang

1 penghargaan setara 12 poin.

Piagam

12

11

Meningkatnya kompetensi melalui peran sebagai Penelaah aksi nyata sejawat yang dihasilkan Guru dan/atau Kepala Sekolah lain

10 Aksi Nyata setara 6 poin.

Laporan

6

12

Meningkatnya kompetensi melalui peran sebagai Penelaah cerita praktik yang dihasilkan Guru dan/atau Kepala Sekolah lain

10 Cerita Praktik setara 6 poin.

Laporan

6

13

Meningkatnya kompetensi melalui peran sebagai Penelaah perangkat ajar yang dihasilkan Guru dan/atau Kepala Sekolah lain

10 Perangkat Ajar setara 6 poin.

Laporan

6

14

Meningkatnya kompetensi melalui peran sebagai Penyusun cerita praktik yang dapat dibagikan kepada Guru dan/atau Kepala Sekolah lain

1 Cerita Praktik yang terbit di PMM setara 12 poin.

Cerita Praktik yang terbit di PMM

12

15

Meningkatnya kompetensi melalui peran sebagai Penyusun perangkat ajar yang dapat dibagikan kepada Guru dan/atau Kepala Sekolah lain

1 Perangkat Ajar yang terbit di PMM setara 24 poin.

Perangkat Ajar yang terbit di PMM

24

16

Meningkatnya kompetensi melalui peran sebagai Penyusun kumpulan konten unggulan yang dapat dibagikan kepada Guru dan/atau Kepala Sekolah lain

1 Kumpulan Konten Unggulan yang terbit di PMM setara 6 poin.

Kumpulan Konten Unggulan yang terbit di PMM

6

17

Meningkatnya kompetensi melalui peran sebagai Coach, mentor, fasilitator, dan/atau pengajar praktik dalam kegiatan pengembangan kompetensi kepada Guru, Kepala Sekolah, dan/atau pengawas sekolah

1 kegiatan berdurasi 2-3 jam setara 12 poin.

Sertifikat

12

18

Meningkatnya kompetensi melalui peran sebagai Peserta coaching atau mentoring pengembangan kompetensi oleh Guru, Kepala Sekolah, dan/atau pengawas sekolah

1 kegiatan setara 4 poin.

Sertifikat

4



Read More »
03 August | 0komentar